Ayat Ayat Cinta
Novel Pembangun Jiwa
Karya
Habiburrahman Saerozi
Alumnus Universitas Al Azhar, Cairo
1. Gadis Mesir Itu Bernama Maria
Tengah hari ini, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah
petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi.
Tanah dan pasir menguapkan bau neraka. Hembusan angin sahara disertai
debu yang bergulung-gulung menambah panas udara semakin tinggi dari
detik ke detik. Penduduknya, banyak yang berlindung dalam flat yang ada
dalam apartemen-apartemen berbentuk kubus dengan pintu, jendela dan
tirai tertutup rapat.
Memang, istirahat di dalam flat sambil menghidupkan pendingin ruangan
jauh lebih nyaman daripada berjalan ke luar rumah, meski sekadar untuk
shalat berjamaah di masjid. Panggilan azan zhuhur dari ribuan menara
yang bertebaran di seantero kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan
hati mereka yang benar-benar tebal imannya. Mereka yang memiliki tekad
beribadah sesempurna mungkin dalam segala musim dan cuaca, seperti
karang yang tegak berdiri dalam deburan ombak, terpaan badai, dan
sengatan matahari. Ia tetap teguh berdiri seperti yang dititahkan Tuhan
sambil bertasbih tak kenal kesah. Atau, seperti matahari yang telah
jutaan tahun membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi dan
seantero mayapada. Ia tiada pernah mengeluh, tiada pernah mengerang
sedetik pun menjalankan titah Tuhan.
Awal-awal Agustus memang puncak musim panas.
Dalam kondisi sangat tidak nyaman seperti ini, aku sendiri sebenarnya
sangat malas keluar. Ramalan cuaca mengumumkan: empat puluh satu derajat
celcius! Apa tidak gila!? Mahasiswa Asia Tenggara yang tidak tahan
panas, biasanya sudah mimisan, hidungnya mengeluarkan darah. Teman satu
flat yang langganan mimisan di puncak musim panas adalah Saiful. Tiga
hari ini, memasuki pukul sebelas siang sampai pukul tujuh petang, darah
selalu merembes dari hidungnya. Padahal ia tidak keluar flat sama
sekali. Ia hanya diam di dalam kamarnya sambil terus menyalakan kipas
angin. Sesekali ia kungkum, mendinginkan badan di kamar mandi.
Dengan tekad bulat, setelah mengusir segala rasa aras-arasen1 aku
bersiap untuk keluar. Tepat pukul dua siang aku harus sudah berada di
Masjid Abu Bakar
1 Rasa malas melakukan sesuatu.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
2
Ash-Shidiq yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk
talaqqi2 pada Syaikh Utsman Abdul Fattah. Pada ulama besar ini aku
belajar qiraah sab’ah3 dan ushul tafsir4. Beliau adalah murid Syaikh
Mahmoud Khushari, ulama legendaris yang mendapat julukan Syaikhul
Maqari’ Wal Huffadh Fi Mashr atau Guru Besarnya Para Pembaca dan
Penghafal Al-Qur’an di Mesir.
Jadwalku mengaji pada Syaikh yang terkenal sangat disiplin itu seminggu
dua kali. Setiap Ahad dan Rabu. Beliau selalu datang tepat waktu. Tak
kenal kata absen. Tak kenal cuaca dan musim. Selama tidak sakit dan
tidak ada uzur yang teramat penting, beliau pasti datang. Sangat tidak
enak jika aku absen hanya karena alasan panasnya suhu udara. Sebab
beliau tidak sembarang menerima murid untuk talaqqi qiraah sab’ah. Siapa
saja yang ingin belajar qiraah sab’ah terlebih dahulu akan beliau uji
hafalan Al-Qur’an tiga puluh juz dengan qiraah bebas. Boleh Imam Warasy.
Boleh Imam Hafsh. Atau lainnya. Tahun ini beliau hanya menerima sepuluh
orang murid. Aku termasuk sepuluh orang yang beruntung itu. Lebih
beruntung lagi, beliau sangat mengenalku. Itu karena, di samping sejak
tahun pertama kuliah aku sudah menyetorkan hafalan Al-Qur’an pada beliau
di serambi masjid Al Azhar, juga karena di antara sepuluh orang yang
terpilih itu ternyata hanya diriku seorang yang bukan orang Mesir. Aku
satu-satunya orang asing, sekaligus satu-satunya yang dari Indonesia.
Tak heran jika beliau meng-anakemas-kan diriku. Dan teman-teman dari
Mesir tidak ada yang merasa iri dalam masalah ini. Mereka semua simpati
padaku. Itulah sebabnya, jika aku absen pasti akan langsung ditelpon
oleh Syaikh Utsman dan teman-teman. Mereka akan bertanya kenapa tidak
datang? Apa sakit? Apa ada halangan dan lain sebagainya. Maka aku harus
tetap berusaha datang selama masih mampu menempuh perjalanan sampai ke
Shubra, meskipun panas membara dan badai debu bergulung-gulung di luar
sana. Meskipun jarak yang ditempuh sekitar lima puluh kilo meter lebih
jauhnya.
Kuambil mushaf tercinta.
Kucium penuh takzim. Lalu kumasukkan ke dalam saku depan tas cangklong
hijau tua. Meskipun butut, ini adalah tas bersejarah yang setia
2 Belajar langsung face to face dengan seorang syaikh atau ulama.
3 Membaca Al-Qur’an dengan riwayat tujuh Imam.
4 Ilmu tafsir paling pokok.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
3
menemani diriku menuntut ilmu sejak di Madrasah Aliyah sampai saat ini,
saat menempuh S.2. di universitas tertua di dunia, di delta Nil ini. Aku
mengambil satu botol kecil berisi air putih di kulkas. Kumasukkan dalam
plastik hitam lalu kumasukkan dalam tas. Aku selalu membiasakan diri
membawa air putih jika bepergian, selain sangat berguna juga merupakan
salah satu bentuk penghematan yang sangat terasa. Apalagi selama
menempuh perjalanan jauh dari Hadayek Helwan sampai Shubra El-Khaima
dengan metro5, tidak akan ada yang menjual minuman.
Aku sedikit ragu mau membuka pintu. Hatiku ketar-ketir. Angin sahara
terdengar mendesau-desau. Keras dan kacau. Tak bisa dibayangkan betapa
kacaunya di luar sana. Panas disertai gulungan debu yang berterbangan.
Suasana yang jauh dari nyaman. Namun niat harus dibulatkan. Bismillah
tawakkaltu ‘ala Allah6, pelan-pelan kubuka pintu apartemen. Dan...
Wuss!
Angin sahara menampar mukaku dengan kasar. Debu bergumpal-gumpal
bercampur pasir menari-nari di mana-mana. Kututup kembali pintu
apartemen. Rasanya aku melupakan sesuatu.
“Mas Fahri, udaranya terlalu panas. Cuacanya buruk. Apa tidak sebaiknya
istirahat saja di rumah?” saran Saiful yang baru keluar dari kamar
mandi. Darah yang merembes dari hidungnya telah ia bersihkan.
“Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa. Aku sangat tidak enak pada
Syaikh Utsman jika tidak datang. Beliau saja yang sudah berumur tujuh
puluh lima tahun selalu datang. Tepat waktu lagi. Tak kenal cuaca panas
atau dingin. Padahal rumah beliau dari masjid tak kurang dari dua kilo,”
tukasku sambil bergegas masuk kamar kembali, mengambil topi dan kaca
mata hitam.
“Allah yubarik fik7, Mas,” ujarnya serak. Tangan kanannya mengusapkan
sapu tangan pada hidungnya. Mungkin darahnya merembes lagi.
“Wa iyyakum!8” balasku sambil memakai kaca mata hitam dan memakai topi menutupi kopiah putih yang telah menempel di kepalaku.
5 Kereta listrik, disebut juga trem.
6 Dengan menyebut nama Allah, aku berserah diri kepada Allah.
7 Semoga Allah melimpahkan berkah padamu.
8 Dan semoga melimpahkan (berkah-Nya) pada kalian semua.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
4
“Sudah bawa air putih, Mas?”
Aku mengangguk.
“Saif, Rudi minta dibangunkan pukul setengah dua. Tadi malam dia lembur
bikin makalah. Kelihatannya dia baru tidur jam setengah sepuluh tadi.
Terus tolong nanti bilang sama dia untuk beli gula, dan minyak goreng.
Hari ini dia yang piket belanja. Oh ya, hampir lupa, nanti sore yang
piket masak Hamdi. Dia paling suka masak oseng-oseng wortel campur
kofta9. Kebetulan wortel dan koftanya habis. Bilang sama Rudi sekalian.”
Sebagai yang dipercaya untuk jadi kepala keluarga—meskipun tanpa seorang
ibu rumah tangga—aku harus jeli memperhatikan kebutuhan dan
kesejahteraan anggota. Dalam flat ini kami hidup berlima; aku, Saiful,
Rudi, Hamdi dan Mishbah. Kebetulan aku yang paling tua, dan paling lama
di Mesir. Secara akademis aku juga yang paling tinggi. Aku tinggal
menunggu pengumuman untuk menulis tesis master di Al Azhar. Yang lain
masih program S.1. Saiful dan Rudi baru tingkat tiga, mau masuk tingkat
empat. Sedangkan Misbah dan Hamdi sedang menunggu pengumuman kelulusan
untuk memperoleh gelar Lc. atau Licence. Mereka semua telah menempuh
ujian akhir tahun pada akhir Mei sampai awal Juni yang lalu. Awal-awal
Agustus biasanya pengumuman keluar. Namun sampai hari ini, pengumuman
belum juga keluar.
Dan hari ini, kebetulan yang ada di flat hanya tiga orang, yaitu aku,
Saiful dan Rudi. Adapun Hamdi sudah dua hari ini punya kegiatan di
Dokki, tepatnya di Masjid Indonesia Cairo. Ia diminta untuk memberikan
pelatihan kepemimpinan pada remaja masjid yang semuanya adalah
putera-puteri para pejabat KBRI. Siang ini katanya selesai, dan nanti
sore dia pulang. Sedangkan Mishbah sedang berada di Rab’ah El-Adawea,
Nasr City. Katanya ia harus menginap di Wisma Nusantara, di tempatnya
Mas Khalid, untuk merancang draft pelatihan ekonomi Islam bersama
Profesor Maulana Husein Shahata, pertengahan September depan.
Masing-masing penghuni flat ini punya kesibukan. Aku sendiri yang sudah
tidak aktif di organisasi manapun, juga mempunyai jadwal dan kesibukan.
Membaca bahan untuk tesis, talaqqi qiraah sab’ah, menerjemah, dan
diskusi intern dengan teman-teman mahasiswa Indonesia yang sedang
menempuh S.2. dan S.3. di Cairo.
9 Daging yang telah dicincang halus dengan mesin.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
5
Urusan-urusan kecil seperti belanja, memasak dan membuang sampah, jika
tidak diatur dengan bijak dan baik akan menjadi masalah. Dan akan
mengganggu keharmonisan. Kami berlima sudah seperti saudara kandung.
Saling mencintai, mengasihi dan mengerti. Semua punya hak dan kewajiban
yang sama. Tidak ada yang diistimewakan. Semboyan kami, baiti jannati.
Rumahku adalah surgaku. Tempat yang kami tinggali ini harus benar-benar
menjadi tempat yang menyenangkan. Dan sebagai yang paling tua aku
bertanggung jawab untuk membawa mereka pada suasana yang mereka
inginkan.
Aku melangkah ke pintu.
“Saif. Jangan lupa pesanku tadi!” kembali aku mengingatkan sebelum membuka pintu.
“Insya Allah, Mas.”
Di luar sana angin terdengar mendesau-desau. Benar kata Saiful, cuaca sebetulnya kurang baik.
Ah, kalau tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dari
hari ini dan lebih gawat dari hari ini. Hari ketika manusia digiring di
padang Mahsyar dengan matahari hanya satu jengkal di atas ubun-ubun
kepala. Kalau tidak ingat, bahwa keberadaanku di kota seribu menara ini
adalah amanat. Dan amanat akan dipertanggungjawabkan dengan pasti. Kalau
tak ingat, bahwa masa muda yang sedang aku jalani ini akan
dipertanyakan kelak. Kalau tak ingat, bahwa tidak semua orang diberi
nikmat belajar di bumi para nabi ini. Kalau tidak ingat, bahwa aku
belajar di sini dengan menjual satu-satunya sawah warisan dari kakek.
Kalau tidak ingat bahwa aku dilepas dengan linangan air mata dan selaksa
doa dari ibu, ayah dan sanak saudara. Kalau tak ingat bahwa jadwal
adalah janji yang harus ditepati. Kalau tak ingat itu semua, shalat
zhuhur di kamar saja lalu tidur nyantai menyalakan kipas dan
mendengarkan lantunan lagu El-Himl El-Arabi atau El-Hubb El-Haqiqi, atau
untaian shalawatnya Emad Rami dari Syiria itu, tentu rasanya nyaman
sekali. Apalagi jika diselingi minum ashir10 mangga yang sudah
didinginkan satu minggu di dalam kulkas atau makan buah semangka yang
sudah dua hari didinginkan. Masya Allah, alangkah segarnya.
Kubuka pintu apartemen perlahan.
10 Juice
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
6
Wuss!
Angin sahara kembali menerpa wajahku. Aku melangkah keluar lalu menuruni
tangga satu per satu. Flat kami ada di tingkat tiga. Gedung apartemen
ini hanya enam tingkat dan tidak punya lift. Sampai di halaman
apartemen, jilatan panas matahari seakan menembus topi hitam dan kopiah
putih yang menempel di kepalaku. Seandainya tidak memakai kaca mata
hitam, sinarnya yang benderang akan terasa perih menyilaukan mata.
Kulangkahkan kaki ke jalan.
“Psst..psst...Fahri! Fahri!”
Kuhentikan langkah. Telingaku menangkap ada suara memanggil-manggil
namaku dari atas. Suara yang sudah kukenal. Kupicingkan mataku mencari
asal suara. Di tingkat empat. Tepat di atas kamarku. Seorang gadis Mesir
berwajah bersih membuka jendela kamarnya sambil tersenyum. Matanya yang
bening menatapku penuh binar.
“Hei Fahri, panas-panas begini keluar, mau ke mana?”
“Shubra.”
“Talaqqi Al-Qur’an ya?”
Aku mengangguk.
“Pulangnya kapan?”
“Jam lima, insya Allah.”
“Bisa nitip?”
“Nitip apa?”
“Belikan disket. Dua. Aku malas sekali keluar.”
“Baik, insya Allah.”
Aku membalikkan badan dan melangkah.
“Fahri, istanna suwayya!11”
“Fi eh kaman?12”
Aku urung melangkah.
“Uangnya.”
“Sudah, nanti saja, gampang.”
“Syukran Fahri.”13
11 Tunggu sebentar.
12 Ada apa lagi? AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
7
“Afwan.”
Aku cepat-cepat melangkah ke jalan menuju masjid untuk shalat zhuhur. Panasnya bukan main.
Gadis Mesir itu, namanya Maria. Ia juga senang dipanggil Maryam. Dua
nama yang menurutnya sama saja. Dia puteri sulung Tuan Boutros Rafael
Girgis. Berasal dari keluarga besar Girgis. Sebuah keluarga Kristen
Koptik yang sangat taat. Bisa dikatakan, keluarga Maria adalah tetangga
kami paling akrab. Ya, paling akrab. Flat atau rumah mereka berada tepat
di atas flat kami. Indahnya, mereka sangat sopan dan menghormati kami
mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Al Azhar.
Maria gadis yang unik.
Ia seorang Kristen Koptik atau dalam bahasa asli Mesirnya qibthi, namun
ia suka pada Al-Qur’an. Ia bahkan hafal beberapa surat Al-Qur’an. Di
antaranya surat Maryam. Sebuah surat yang membuat dirinya merasa bangga.
Aku mengetahui hal itu pada suatu kesempatan berbincang dengannya di
dalam metro. Kami tak sengaja berjumpa. Ia pulang kuliah dari Cairo
University, sedangkan aku juga pulang kuliah dari Al Azhar University.
Kami duduk satu bangku. Suatu kebetulan.
“Hei namamu Fahri, iya ‘kan?”
“Benar.”
“Kau pasti tahu namaku, iya ‘kan?”
“Iya. Aku tahu. Namamu Maria. Puteri Tuan Boutros Girgis.”
“Kau benar.”
“Apa bedanya Maria dengan Maryam?”
“Maria atau Maryam sama saja. Seperti David dengan Daud. Yang jelas
namaku tertulis dalam kitab sucimu. Kitab yang paling banyak dibaca umat
manusia di dunia sepanjang sejarah. Bahkan jadi nama sebuah surat.
Surat kesembilan belas, yaitu surat Maryam. Hebat bukan?”
“Hei, bagaimana kau mengatakan Al-Qur’an adalah kitab suci paling banyak
dibaca umat manusia sepanjang sejarah? Dari mana kamu tahu itu?”
selidikku penuh rasa kaget dan penasaran.
13 Terima kasih. AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
8
“Jangan kaget kalau aku berkata begitu. Ini namanya objektif. Memang
kenyataannya demikian. Charles Francis Potter mengatakan seperti itu.
Bahkan jujur kukatakan, ‘Al-Qur’an jauh lebih dimuliakan dan dihargai
daripada kitab suci lainnya. Ia lebih dihargai daripada Perjanjian Baru
dan Perjanjian Lama. Pendeta J. Shillidy dalam bukunya The Lord Jesus in
The Koran memberikan kesaksian seperti itu. Dan pada kenyataannya tak
ada buku atau kitab di dunia ini yang dibaca dan dihafal oleh jutaan
manusia setiap detik melebihi Al-Qur’an. Di Mesir saja ada sekitar
sepuluh ribu Ma’had Al Azhar. Siswanya ratusan ribu bahkan jutaan anak.
Mereka semua sedang menghafalkan Al-Qur’an. Karena mereka tak akan lulus
dari Ma’had Al Azhar kecuali harus hafal Al-Qur’an. Aku saja, yang
seorang Koptik suka kok menghafal Al-Qur’an. Bahasanya indah dan enak
dilantunkan,” cerocosnya santai tanpa ada keraguan.
“Kau juga suka menghafal Al-Qur’an? Apa aku tidak salah dengar?” heranku.
“Ada yang aneh?”
Aku diam tidak menjawab.
“Aku hafal surat Maryam dan surat Al-Maidah di luar kepala.”
“Benarkah?”
“Kau tidak percaya? Coba kau simak baik-baik!”
Maria lalu melantunkan surat Maryam yang ia hafal. Anehnya ia terlebih
dahulu membaca ta’awudz14 dan basmalah. Ia tahu adab dan tata cara
membaca Al-Qur’an. Jadilah perjalanan dari Mahattah15 Anwar Sadat Tahrir
sampai Tura El-Esmen kuhabiskan untuk menyimak seorang Maria membaca
surat Maryam dari awal sampai akhir. Nyaris tak ada satu huruf pun yang
ia lupa. Bacaannya cukup baik meskipun tidak sebaik mahasiswi Al Azhar.
Dari Tura El-Esmen hingga Hadayek Helwan Maria mengajak berbincang ke
mana-mana. Aku tak menghiraukan tatapan orang-orang Mesir yang heran aku
akrab dengan Maria.
Itulah Maria, gadis paling aneh yang pernah kukenal. Meskipun aku sudah
cukup banyak tahu tentang dirinya, baik melalui ceritanya sendiri saat
tak sengaja bertemu di metro, atau melalui cerita ayahnya yang ramah.
Tapi aku masih menganggapnya aneh. Bahkan misterius. Ia gadis yang
sangat cerdas. Nilai ujian
14 Yaitu membaca A’udzubillahi minasy syaithaanir rajiim.
15 Stasiun, terminal.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
9
akhir Sekolah Lanjutan Atasnya adalah terbaik kedua tingkat nasional
Mesir. Ia masuk Fakultas Komunikasi, Universitas Cairo. Dan tiap tingkat
selalu meraih predikat mumtaz atau cumlaude. Ia selalu terbaik di
fakultasnya. Ia pernah ditawari jadi reporter Ahram, koran terkemuka di
Mesir. Tapi ia tolak. Ia lebih memilih jadi penulis bebas. Ia memang
gadis Koptik yang aneh. Menurut pengakuannya sendiri, ia paling suka
dengar suara azan, tapi pergi ke gereja tidak pernah ia tinggalkan.
Sekali lagi, ia memang gadis Koptik yang aneh. Aku tidak tahu jalan
pikirannya.
Selama ini, aku hanya mendengar dari bibirnya yang tipis itu hal-hal
yang positif tentang Islam. Dalam hal etika berbicara dan bergaul ia
terkadang lebih Islami daripada gadis-gadis Mesir yang mengaku muslimah.
Jarang sekali kudengar ia tertawa cekikikan. Ia lebih suka tersenyum
saja. Pakaiannya longgar, sopan dan rapat. Selalu berlengan panjang
dengan bawahan panjang sampai tumit. Hanya saja, ia tidak memakai
jilbab. Tapi itu jauh lebih sopan ketimbang gadis-gadis Mesir seusianya
yang berpakaian ketat dan bercelana ketat, dan tidak jarang bagian
perutnya sedikit terbuka. Padahal mereka banyak yang mengaku muslimah.
Maria suka pada Al-Qur’an. Ia sangat mengaguminya, meskipun ia tidak
pernah mengaku muslimah. Penghormatannya pada Al-Qur’an bahkan melebihi
beberapa intelektual muslim.
Ia pernah cerita, suatu kali ia ikut diskusi tentang aspek kebahasaan
Al-Qur’an di Fakultas Sastra Universitas Cairo. Pemakalahnya adalah
seorang doktor filsafat jebolan Sorbonne Perancis. Maria merasa risih
sekali dengan kepongahan doktor itu yang mengatakan Al-Qur’an tidak
sakral karena dilihat dari aspek kebahasaan ada ketidakberesan. Doktor
itu mencontohkan dalam Al-Qur’an ada rangkaian huruf yang tidak
diketahui maknanya. Yaitu, alif laam miim, alif laam ra, haa miim, yaa
siin, thaaha nuun, kaf ha ya ‘ain shaad, dan sejenisnya.
Maria berkata padaku,
“Fahri, aku geli sekali mendengar perkataan doktor dari Sorbonne itu.
Dia itu orang Arab, juga muslim, tapi bagaimana bisa mengatakan hal yang
stupid begitu. Aku saja yang Koptik bisa merasakan betapa indahnya
Al-Qur’an dengan alif laam miim-nya. Kurasa rangkaian huruf-huruf
seperti alif laam miim, alif laam ra, haa miim, yaa siin, nuun, kaf ha
ya ‘ain shaad adalah rumus-rumus
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
10
Tuhan yang dahsyat maknanya. Susah diungkapkan maknanya, tapi
keagungannya bisa ditangkap oleh mereka yang memiliki cita rasa bahasa
Arab yang tinggi. Jika susunan itu dianggap sebagai suatu
ketidakberesan, orang-orang kafir Quraisy yang sangat tidak suka pada
Al-Qur’an dan memusuhinya sejak dahulu tentu akan mengambil kesempatan
adanya ketidakberesan itu untuk menghancurkan Al-Qur’an. Dan tentu
mereka sudah mencela bahasa Al-Qur’an habis-habisan sepanjang sejarah.
Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Mereka mengakui keindahan
bahasanya yang luar biasa. Mereka menganggap bahasa Al-Qur’an bukan
bahasa manusia biasa tapi bahasa yang datang dari langit. Jadi kukira
doktor itu benar-benar stupid. Tidak semestinya seorang doktor sekelas
dia mengatakan hal seperti itu.”
Aku lalu menjelaskan kepada Maria segala hal berkaitan dengan alim laam
miim dalam Al-Qur’an. Lengkap dengan segala rahasia yang digali oleh
para ulama dan ahli tafsir. Maknanya, hikmahnya, dan pengaruhnya dalam
jiwa. Juga kuterangkan bahwa pendapat Maria yang mengatakan huruf-huruf
itu tak lain adalah rumus-rumus Tuhan yang maha dahsyat maknanya, dan
hanya Tuhan yang tahu persis maknanya, ternyata merupakan pendapat yang
dicenderungi mayoritas ulama tafsir. Maria girang sekali mendengarnya.
“Wah pendapat yang terlintas begitu saja dalam benak kok bisa sama
dengan pendapat mayoritas ulama tafsir ya?” komentarnya sambil tersenyum
bangga.
Aku ikut tersenyum.
Di dunia ini memang banyak sekali rahasia Tuhan yang tidak bisa
dimengerti oleh manusia lemah seperti diriku. Termasuk kenapa ada gadis
seperti Maria. Dan aku pun tidak merasa perlu untuk bertanya padanya
kenapa tidak mengikuti ajaran Al-Qur’an. Pertanyaan itu kurasa sangat
tidak tepat ditujukan pada gadis cerdas seperti Maria. Dia pasti punya
alasan atas pilihannya. Inilah yang membuatku menganggap Maria adalah
gadis aneh dan misterius. Di dunia ini banyak sekali hal-hal misterius.
Masalah hidayah dan iman adalah masalah misterius. Sebab hanya Allah
saja yang berhak menentukan siapa-siapa yang patut diberi hidayah. Abu
Thalib adalah paman nabi yang mati-matian membela dakwah nabi. Cinta
nabi pada beliau sama dengan cinta nabi pada ayah
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
11
kandungnya sendiri. Tapi masalah hidayah hanya Allah yang berhak
menentukan. Nabi tidak bisa berbuat apa-apa atas nasib sang paman yang
amat dicintainya itu. Juga hidayah untuk Maria. Hanya Allah yang berhak
memberikannya.
Mungkin, sejak azan berkumandang Maria telah membuka daun jendela
kayunya. Dari balik kaca ia melihat ke bawah, menunggu aku keluar.
Begitu aku tampak keluar menuju halaman apartemen, ia membuka jendela
kacanya, dan memanggil dengan suara setengah berbisik. Ia tahu persis
bahwa aku dua kali tiap dalam satu minggu keluar untuk talaqqi
Al-Qur’an. Tiap hari Ahad dan Rabu. Berangkat setelah azan zhuhur
berkumandang dan pulang habis Ashar. Dan ini hari Rabu. Seringkali ia
titip sesuatu padaku. Biasanya tidak terlalu merepotkan. Seperti titip
membelikan disket, memfotocopykan sesuatu, membelikan tinta print, dan
sejenisnya yang mudah kutunaikan. Banyak toko alat tulis, tempat foto
copy dan toko perlengkapan komputer di Hadayek Helwan. Jika tidak ada di
sana, biasanya di Shubra El-Khaima ada.
Suhu udara benar-benar panas. Wajar saja Maria malas keluar. Toko alat
tulis yang juga menjual disket hanya berjarak lima puluh meter dari
apartemen. Namun ia lebih memilih titip dan menunggu sampai aku pulang
nanti. Ini memang puncak musim panas. Laporan cuaca meramalkan akan
berlangsung sampai minggu depan, rata-rata 39 sampai 41 derajat celcius.
Ini baru di Cairo. Di Mesir bagian selatan dan Sudan entah berapa
suhunya. Tentu lebih menggila. Ubun-ubunku terasa mendidih.
Panggilan iqamat16 terdengar bersahut-sahutan. Panggilan mulia itu
sangat menentramkan hati. Pintu-pintu meraih kebahagiaan dan
kesejahteraan masih terbuka lebar-lebar. Kupercepat langkah. Tiga puluh
meter di depan adalah Masjid Al-Fath Al-Islami. Masjid kesayangan.
Masjid penuh kenangan tak terlupakan. Masjid tempat aku mencurahkan suka
dan deritaku selama belajar di sini. Tempat aku menitipkan rahasia
kerinduanku yang memuncak, tujuh tahun sudah aku berpisah dengan ayah
ibu. Tempat aku mengadu pada Yang Maha Pemberi rizki saat berada dalam
keadaan kritis kehabisan uang. Saat hutang pada teman-teman menumpuk dan
belum terbayarkan. Saat uang honor terjemahan terlambat datang.
16 Tanda bahwa shalat berjamaah segera didirikan.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
12
Tempat aku menata hati, merancang strategi, mempertebal azam dan keteguhan jiwa dalam perjuangan panjang.
Begitu masuk masjid...
Wusss!
Hembusan udara sejuk yang dipancarkan lima AC dalam masjid menyambut
ramah. Alhamdulillah. Nikmat rasanya jika sudah berada di dalam masjid.
Puluhan orang sudah berjajar rapi dalam shaf shalat jamaah. Kuletakkan
topi dan tas cangklongku di bawah tiang dekat aku berdiri di barisan
shaf kedua. Kedamaian menjalari seluruh syaraf dan gelegak jiwa begitu
kuangkat takbir. Udara sejuk yang berhembus terasa mengelus-elus leher
dan mukaku. Juga mengusap keringat yang tadi mengalir deras. Aku merasa
tenteram dalam elusan kasih sayang Tuhan Yang Mahapenyayang. Dia terasa
begitu dekat, lebih dekat dari urat leher, lebih dekat dari jantung yang
berdetak.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
13
2. Peristiwa di dalam Metro
Usai shalat, aku menyalami Syaikh Ahmad. Nama lengkapnya Syaikh Ahmad
Taqiyyuddin Abdul Majid. Imam muda yang selama ini sangat dekat
denganku. Beliau tidak pernah menyembunyikan senyumnya setiap kali
berjumpa denganku. Beliau masih muda, umurnya baru tiga puluh satu, dan
baru setengah tahun yang lalu ia meraih Magister Sejarah Islam dari
Universitas Al Azhar. Anaknya baru satu, berumur dua tahun. Kini beliau
bekerja di Kementerian Urusan Wakaf sambil menempuh program doktoralnya.
Beliau juga menjadi dosen Sejarah Islam di Ma’had I’dadud Du’at17 yang
dikelola oleh Jam’iyyah Syar’iyyah bekerjasama dengan Fakultas Dakwah,
Universitas Al Azhar. Di seluruh Mesir sampai sekarang ma’had ini baru
ada dua: di Ramsis dan di Hadayek Helwan.
Meskipun masih muda, namun kedalaman ilmu agama dan kefashihannya
membaca serta mentafsirkan Al-Qur’an membuat masyarakat memanggilnya
“Syaikh”. Kerendahan hati, dan komitmennya yang tinggi membela kebenaran
membuat sosoknya dicintai dan dihormati semua lapisan masyarakat
Hadayek Helwan dan sekitarnya. Yang menarik, dia dekat dengan kawula
muda. Panggilan ‘Syaikh’ tidak membuatnya lantas merasa canggung untuk
ikut sepak bola setiap Jum’at pagi bersama anak-anak muda. Jika Maria
adalah gadis Koptik yang aneh. Aku merasa Syaikh Ahmad adalah ulama muda
yang unik.
“Akh18 Fahri, mau ke mana?” tanya Syaikh ramah dengan senyum menghiasi
wajahnya yang bersih. Jenggotnya tertata rapi. Kutatap wajah beliau
sesaat. Sejatinya Syaikh Ahmad memang tampan. Tak kalah dengan Kazem
Saheer, penyanyi tenar asal Irak yang digandrungi gadis-gadis remaja
seantero Timur Tengah. Nada suaranya juga indah berwibawa. Tak heran
jika beliau disayangi semua orang. Seandainya suara indah Kazem Saheer
digunakan untuk membaca Al-Qur’an seperti Syaikh Ahmad mungkin akan lain
cerita belantika selebritis Mesir.
“Seperti biasa Syaikh, ke Shubra,” jawabku datar.
17 Sekolah Tinggi Juru Dakwah.
18 Saudara.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
14
Beliau langsung paham aku mau ke mana dan mau apa. Sebab Syaikh Ahmad
dulu juga belajar qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman di Shubra. Sesekali
bahkan masih datang ke sana.
“Cuacanya buruk. Sangat panas. Apa tidak sebaiknya istrirahat saja?
Jarak yang akan kau tempuh itu tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu,
Akh,” lanjut beliau sambil meletakkan tangan kanannya dipundak kiriku.
“Semestinya memang begitu Syaikh. Tapi saya harus komitmen dengan
jadwal. Jadwal adalah janji. Janji pada diri sendiri dan janji pada
Syaikh Utsman untuk datang.”
“Masya Allah, semoga Allah menyertai langkahmu.”
“Amin,” sahutku pelan sambil melirik jam dinding di atas mihrab.
Waktunya sudah mepet.
“Syaikh, saya pamit dulu,” kataku sambil bangkit berdiri. Syaikh Ahmad
ikut berdiri. Kucangklong tas, kupakai topi dan kaca mata.
Syaikh Ahmad tersenyum melihat penampilanku.
“Dengan topi dan kaca mata hitammu itu kau seperti bintang film Hong
Kong saja. Tak tampak sedikit pun kau seorang mahasiswa pascasarjana Al
Azhar yang hafal Al-Qur’an.”
“Syaikh ini bisa saja,” sahutku sambil tersenyum, “mohon doanya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh.”
Di luar masjid, terik matahari dan gelombang angin panas langsung
menyerang. Cepat-cepat kuayunkan kaki, berlari-lari kecil menuju
mahathah metro yang berada tiga puluh lima meter di hadapanku. Ups,
sampai juga akhirnya. Aku langsung menuju loket penjualan tiket.
“Ya Kapten, wahid Shubra!”19 seruku pada penjaga loket berkepala botak
dan gemuk. Wajahnya penuh keringat, meskipun tepat di belakangnya ada
kipas angin kecil berputar-putar. Ia tampak berkenan kusapa dengan
kapten. Memang untuk menyapa lelaki yang tidak dikenal cukup memakai ‘ya
kapten’ bisa juga ‘ya basya’ atau kalau agak tua ‘ya ammu’. Jika
kira-kira sudah haji memakai ‘ya haj’.”
19 Kapten, Shubra satu!
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
15
“Masyi ya Andonesy,”20 jawab penjaga loket sambil mengulurkan karcis
kecil warna kuning kepadaku. Ia mengambil uang satu pound yang kuberikan
dan memberi kembalian 20 piesters. Di pintu masuk karcis aku masukkan
untuk membuka pintu penghalang. Setelah melewati pintu penghalang karcis
itu kuambil lagi. Sebab tanpa karcis itu saya tidak akan bisa keluar di
Shubra nanti. Dan jika ada pemeriksaan di dalam metro karcis itu harus
aku tunjukkan. Jika tidak bisa menunjukkan, akan kena denda. Biasanya
sepuluh pound. Itu pun setelah dimaki-maki oleh petugas pemeriksa.
Bagi penduduk Mesir, khususnya Cairo, metro bisa dikatakan transportasi
kebanggaan. Lumayan canggih. Mahattah bawah tanah yang ada di Attaba,
Tahrir dan Ramsis kelihatan modern dan canggih. Itu wajar. Sebab
arsiteknya, semuanya orang Perancis. Orang-orang Mesir sering
menyombongkan diri begini,
‘Kalau Anda berada di mahattah metro Tahrir atau Ramsis itu sama saja Anda berada di salah satu mahattah metro kota Paris.’
Benarkah?
Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah pergi ke Paris. Tapi aku pernah
membaca sebuah majalah, memang ada stasiun bawah tanah di kota Paris
yang dibuat bernuansa Mesir kuno. Dinding-dindingnya diukir dengan
Hieroglyph, huruf-huruf Mesir kuno. Beberapa sisinya dihiasi dengan
patung-patung dan simbol-simbol Mesir kuno, seperti tugu Alexandria,
kunci pyramid yang sekilas tampak seperti salib, patung Tutankhmoun,
Tutmosis, Ramses III, Amenophis III, Cleopatra dan lain sebagainya.
Nuansa seperti itu sangat kental di mahattah metro Anwar Sadat-Tahrir,
yang berada tepat di jantung kota Cairo.
Sebuah metro biru kusam datang. Pintu-pintunya terbuka perlahan.
Beberapa orang turun. Setelah itu, barulah para penumpang yang menunggu
naik. Aku masuk gerbong nomor lima. Aku yakin sekali akan dapat tempat
duduk. Dalam cuaca panas seperti ini pasti penumpang sepi. Begitu sampai
di dalam, aku langsung mengedarkan pandangan mencari tempat duduk.
Sayang, semua tempat duduk telah terisi. Bahkan ada lima penumpang yang
berdiri. Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin ini terjadi? Di
hari-hari biasa yang tidak panas saja seringkali ada tempat duduk
kosong.
20 Baik, Orang Indonesia.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
16
Aku mengerutkan kening.
Dapat tempat duduk adalah juga rizki. Jika tidak dapat tempat duduk
berarti belum rizkinya. Aku menggeser diri ke dekat pintu di mana ada
kipas angin berputar-putar di atasnya. Namun kipas itu nyaris tak
berguna. Udara panas yang diputar tetap saja panas. Metro melaju
kencang. Udara yang masuk dari jendela juga panas. Padang pasir seperti
mendidih. Semua penumpang basah oleh air peluh.
Seorang pemuda berjenggot tipis yang berdiri tak jauh dari tempat aku
berdiri memandangi diriku dengan tersenyum. Aku membalas senyumnya. Ia
mendekat dan mengulurkan tangannya.
“Ana akhukum, 21 Ashraf,” ia memperkenalkan diri dengan sangat sopan. Ia
menggunakan kalimat ‘akhukum’ berarti ia sangat yakin aku seorang
muslim seperti dirinya.
“Ana akhukum, Fahri,” jawabku.
“Min Shin?”22
Orang Mesir terlalu susah membedakan orang Asia Tenggara dengan orang China.
“La. Ana Andonesy.”23
Kami pun lantas berbincang-bincang. Mula-mula aku memancingnya dengan
masalah bola. Orang Mesir paling suka berbicara masalah bola. Terutama
membicarakan persaingan tiga klub besar Mesir yaitu Ahli, Zamalek dan
Ismaili. Ia ternyata pendukung Zamalek. Dengan bangga ia berkata,
“Syaikh Muhammad Jibril juga pendukung setia Zamalek.” Aku hanya
tersenyum. Aku tidak perlu mempertanyakan lebih lanjut kebenaran
kata-katanya. Tidak penting. Pendukung fanatik sebuah klub akan mencari
banyak data untuk mendukung klub kesayangannya. Maka aku langsung
menyambungnya dengan memuji kehebatan beberapa pemain andalan Zamalek.
Terutama Hosam Hasan. Ia tampak senang. Tujuanku memang membuat dia
merasa senang. Tak lebih. Aku merasa tak rugi membaca buku-buku Syaikh
Abbas As-Sisi tentang bagaimana caranya mengambil hati orang lain.
Pembicaraan terus melebar ke mana-mana. Ia sangat
21 Aku saudaramu.
22 Dari China?
23 Tidak. Aku orang Indonesia. AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
17
senang ketika tahu bahwa aku mahasiswa pascasarjana Al Azhar. Lebih
kaget ketika ia tahu aku hendak ke Shubra untuk talaqqi pada Syaikh
Utsman.
Ia berkata,
“Di Helwan saya belajar qiraah riwayat Imam Hafsh pada Syaikh Hasan yang
tak lain adalah murid Syaikh Utsman. Berkali-kali Syaikh Hasan
memintaku untuk ikut belajar qiraah sab’ah langsung pada Syaikh Utsman,
tapi aku tak ada waktu. Aku sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan
keluarga. Jadi, kau termasuk orang yang beruntung, orang Indonesia.”
Metro terus berjalan. Tak terasa sudah sampai daerah Thakanat Maadi.
“Akh Ashraf, kamu mau turun di mana?” tanyaku ketika metro perlahan berhenti dan beberapa orang bersiap turun.
“Sayyeda Zaenab. Insya Allah.”
Pintu metro terbuka. Beberapa orang turun. Dua kursi kosong. Kalau mau,
aku bisa mengajak Ashraf mendudukinya. Namun ada seorang bapak setengah
baya masih berdiri. Dia memandang ke luar jendela, tidak melihat ada dua
bangku kosong. Kupersilakan dia duduk. Dia mengucapkan terima kasih.
Kursi masih kosong satu. Sangat dekat denganku. Kupersilakan Ashraf
duduk. Dia tidak mau, malah memaksaku duduk. Tiba-tiba mataku menangkap
seorang perempuan berabaya biru tua, dengan jilbab dan cadar biru muda
naik dari pintu yang satu, bukan dari pintu dekat yang ada di dekatku.
Kuurungkan niat untuk duduk. Masih ada yang lebih berhak. Perempuan
bercadar itu kupanggil dengan lambaian tangan. Ia paham maksudku. Ia
mendekat dan duduk dengan mengucapkan, “Syukran!”
Metro atau kereta listrik terus melaju.
Ashraf kembali mengajakku berbincang. Kali ini tentang Amerika. Ia geram
sekali pada Amerika. Seribu alasan ia beberkan. Kata-katanya menggebu
seperti Presiden Gamal Abdul Naser berorasi memberi semangat dunia Arab
dalam perang 1967.
“Ayatollah Khomeini benar, Amerika itu setan! Setan harus dienyahkan!”
katanya berapi-api. Orang Mesir memang suka bicara. Kalau sudah bicara
ia merasa paling benar sendiri. Aku diam saja. Kubiarkan Ashraf
berbicara sepuas-puasnya. Hanya sesekali, pada saat yang tepat aku
menyela. Sesekali aku
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
18
menyapukan pandangan melihat keadaan sekeliling. Juga ke luar jendela
agar tahu metro sudah melaju sampai di mana. Sekilas ujung mataku
menangkap perempuan bercadar biru mengeluarkan mushaf dari tasnya, dan
membacanya dengan tanpa suara. Atau mungkin dengan suara tapi sangat
lirih sehingga aku tidak mendengarnya. Orang-orang membaca Al-Qur’an di
metro, di bis, di stasiun dan di terminal adalah pemandangan yang tidak
aneh di Cairo. Apalagi jika bulan puasa tiba.
Metro sampai di Maadi, kawasan elite di Cairo setelah Heliopolis, Dokki,
El-Zamalek dan Mohandesen. Sebagian orang malah mengatakan Maadi adalah
kawasan paling elite. Lebih elite dari Heliopolis. Tidak terlalu
penting membandingkan satu sama lain. Nama-nama itu semuanya nama
kawasan elite. Masing-masing punya kelebihan. Dokki terkenal sebagai
tempatnya para diplomat tinggal. Mohandesen tempatnya para pengusaha dan
selebritis. Sedangkan Maadi mungkin adalah kawasan yang paling teratur
tata kotanya. Dirancang oleh kolonial Inggris. Jalan-jalannya lebar.
Setiap rumah ada tamannya. Dan dekat sungai Nil. Tinggal di Maadi
memiliki prestise sangat tinggi. Prestise-nya seumpama tinggal di Paris
dibandingkan dengan tinggal di kota-kota besar lainnya di Eropa. Itu
keterangan yang aku dapat dari Tuan Boutros, ayahnya Maria yang bekerja
di sebuah bank swasta di Maadi. Masalah prestise memang sangat
subjektif. Orang yang tinggal di kawasan agak kumuh Sayyeda Zaenab
merasa lebih prestise dibandingkan dengan tinggal di kawasan lain di
Cairo. Alasan mereka karena dekat dengan makam Sayyeda Zaenab, cucu
Baginda Nabi Saw. Demikian juga yang tinggal di dekat masjid Amru bin
Ash. Mereka merasa lebih beruntung dan selalu bangga bisa tinggal di
dekat masjid pertama yang didirikan di benua Afrika itu.
Begitu pintu metro terbuka, beberapa penumpang turun. Lalu beberapa
orang naik-masuk. Mataku menangkap ada tiga orang bule masuk. Yang
seorang nenek-nenek. Ia memakai kaos dan celana pendek sampai lutut.
Wajahnya tampak pucat. Mungkin karena kepanasan. Ia diiringi seorang
pemuda dan seorang perempuan muda. Mungkin anaknya atau cucunya.
Keduanya memakai ransel. Pemuda bule itu memakai topi berbendera Amerika
dan berkaca mata hitam. Ia juga hanya berkaos sport putih dan celana
pendek sampai lutut. Yang perempuan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
19
memakai kaos ketat tanpa lengan, you can see. Dan bercelana pendek
ketat. Semua bagian tubuhnya menonjol. Lekak-lekuknya jelas. Bagian
pusarnya kelihatan. Ia seperti tidak berpakaian. Mereka berdua
mengitarkan pandangan. Mencari tempat duduk. Sayang, tak ada yang
kosong. Beberapa orang justru berdiri termasuk diriku.
Aku tersenyum pada Ashraf sambil berkata,
“Ashraf kau mau titip pesan pada Presiden Amerika nggak?”
“Apa maksudmu?”
“Itu, mumpung ada orang Amerika. Minggu depan mereka mungkin sudah
kembali ke Amerika. Kau bisa titip pesan pada mereka agar presiden
mereka tidak bertindak bodoh seperti yang kau katakan tadi.”
Ashraf menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan raut tidak senang. Tiba-tiba ia berteriak,
“Ya Amrikaniyyun, la’natullah ‘alaikum!”24
Kontan para penumpang yang mendengar perkataan Ashraf itu melongok ke
arah tiga bule yang baru masuk itu. Gerakan persis anak-anak ayam yang
kaget atas kedatangan musang di kandangnya. Kusisir wajah orang-orang
Mesir. Raut-raut kurang simpati dan tidak senang. Apalagi pakaian
perempuan muda Amerika itu bisa dikatakan tidak sopan. Orang-orang Mesir
memang menganggap Amerika sebagai biang kerusakan di Timur Tengah.
Orang-orang Mesir sangat marah pada Amerika yang mencoba mengadu domba
umat Islam dengan umat Kristen Koptik. Amerika pernah menuduh pemerintah
Mesir dan kaum muslimin berlaku semena-mena pada umat Koptik. Tentu
saja tuduhan itu membuat gerah seluruh penduduk Mesir. Bapa Shnouda,
pemimpin tertinggi dan kharismatik umat Kristen Koptik serta merta
memberikan keterangan pers bahwa tuduhan Amerika dusta belaka. Sebuah
tuduhan yang bertujuan hendak menghancurkan sendi-sendi persaudaraan
umat Islam dan umat Koptik yang telah kuat mengakar berabad-abad lamanya
di bumi Kinanah.25
Untung ketiga orang Amerika itu tidak bisa bahasa Arab. Mereka
kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali dengan kata-kata yang
diucapkan Ashraf. Memang, kalau sedang jengkel orang Mesir bisa
mengatakan apa saja. Di
24 Hai orang-orang Amerika, laknat Allah untuk kalian!
25 Kinanah: salah satu julukan untuk bumi Mesir.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
20
pasar Sayyeda Zainab aku pernah melihat seorang penjual ikan marah-marah
pada isterinya. Entah karena apa. Ia menghujani isterinya dengan sumpah
serapah yang sangat kasar dan tidak nyaman di dengar telinga. Di antara
kata-kata kasar yang kudengar adalah: Ya bintal haram, ya syarmuthah,
ya bintal khinzir...!26 Bulu romaku sampai berdiri. Ngeri mendengarnya.
Sang isteri juga tak mau kalah. Ia membalas dengan caci maki dan serapah
yang tak kalah keras dan kotornya. Dan sumpah serapah yang mengandung
laknat adalah termasuk paling kasar.
Telingaku paling tidak suka mendengar caci mencaci, apalagi umpatan
melaknat. Tak ada yang berhak melaknat manusia kecuali Tuhan. Manusia
jelas-jelas telah dimuliakan oleh Tuhan. Tanpa membedakan siapa pun dia.
Semua manusia telah dimuliakan Tuhan sebagaimana tertera dalam
Al-Qur’an, Wa laqad karramna banii Adam. Dan telah Kami muliakan anak
keturunan Adam! Jika Tuhan telah memuliakan manusia, kenapa masih ada
manusia yang mencaci dan melaknat sesama manusia? Apakah ia merasa lebih
tinggi martabatnya daripada Tuhan?
Tindakan Ashraf melaknat tiga turis Amerika itu sangat aku sesalkan.
Tindakannya jauh dari etika Al-Qur’an, padahal dia tiap hari membaca
Al-Qur’an. Ia telah menamatkan qiraah riwayat Imam Hafsh. Namun ia
berhenti pada cara membacanya saja, tidak sampai pada penghayatan ruh
kandungannya. Semoga Allah memberikan petunjuk di hatinya.
Yang aku herankan, dalam kondisi panas seperti ini, kenapa bule-bule itu
ada di dalam metro. Seandainya mau bepergian kenapa tidak memakai
limousin atau taksi yang ber-AC. Dalam hati aku merasa kasihan pada
mereka. Mereka seperti tersiksa. Basah oleh keringat. Wajah dan kulit
mereka kemerahan. Yang paling kasihan adalah yang nenek-nenek. Beberapa
kali ia menenggak air mineral. Mukanya tetap saja pucat. Mereka tidak
biasa kepanasan seperti ini. Aku jadi teringat Majidov, teman dari
Rusia. Ia sangat tidak tahan dengan panasnya Mesir. Ia tinggal di
Madinatul Bu’uts, atau biasa disebut Bu’uts saja. Yaitu asrama mahasiswa
Al Azhar dari seluruh penjuru dunia. Di Bu’uts tidak ada AC-nya. Jika
musim panas tiba dia akan hengkang dari Bu’uts dan menyewa flat bersama
beberapa temannya di kawasan Rab’ah El-Adawea. Mencari yang ada AC-nya.
26 Ya bintal haram (Hai anak haram/anak hasil perzinaan), Ya Syarmuthah (Hai pelacur), Ya bintal khinzir (Hai anak babi).
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
21
Tapi tidak semua mahasiswa dari Rusia seperti Majidov. Banyak juga yang tahan dengan musim panas.
Tak ada yang bergerak mempersilakan nenek bule itu untuk duduk. Ini yang
aku sesalkan. Beberapa lelaki muda atau setengah baya yang masih kuat
tetap saja tidak mau berdiri dari tempat duduk mereka. Biasanya, begitu
melihat orang tua, apalagi nenek-nenek, beberapa orang langsung berdiri
menyilakan duduk. Tapi kali ini tidak. Lelaki bule itu mengajak bicara
seorang pemuda Mesir berbaju kotak-kotak lengan pendek yang duduk di
dekatnya. Sekilas di antara deru metro kutangkap maksud perkataan si
bule. Ia minta kepada pemuda Mesir itu memberi kesempatan pada ibunya
yang sudah tua untuk duduk. Mereka bertiga akan turun di Tahrir. Tapi
pemuda Mesir itu sama sekali tidak menanggapinya. Entah kenapa. Apa
karena dia tidak paham bahasa Inggris, atau karena ketidaksukaannya pada
orang Amerika? Aku tidak tahu.
Nenek bule itu kelihatannya tidak kuat lagi berdiri. Ia hendak duduk
menggelosor di lantai. Belum sampai nenek bule itu benar-benar
menggelosor, tiba-tiba perempuan bercadar yang tadi kupersilakan duduk
itu berteriak mencegah,
“Mom, wait! Please, sit down here!”
Perempuan bercadar biru muda itu bangkit dari duduknya. Sang nenek
dituntun dua anaknya beranjak ke tempat duduk. Setelah si nenek duduk,
perempuan bule muda berdiri di samping perempuan bercadar. Aku melihat
pemandangan yang sangat kontras. Sama-sama perempuan. Yang satu auratnya
tertutup rapat. Tak ada bagian dari tubuhnnya yang membuat jantung
lelaki berdesir. Yang satunya memakai pakaian sangat ketat, semua
lekak-lekuk tubuhnya kelihatan, ditambah basah keringatnya bule itu
nyaris seperti telanjang.
“Thank you. It’s very kind of you!” Perempuan bule muda mengungkapkan rasa terima kasih pada perempuan bercadar.
“You’re welcome,” lirih perempuan bercadar. Bahasa Inggrisnya bagus.
Sama sekali tak kuduga. Keduanya lalu berkenalan dan berbincang-bincang.
Perempuan bercadar minta maaf atas perlakuan saudara seiman yang
mungkin kurang ramah. Ternyata lebih dari yang kunilai. Perempuan
bercadar itu benar-benar berbicara sefasih orang Inggris. Biasanya orang
Mesir sangat susah
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
22
berbahasa Inggris dengan fasih. Kata ‘friend’ selalu mereka ucapan
‘bren’. Huruf ‘f’ jadi ‘b’. Aku sering geli mendengarnya. Tapi perempuan
bercadar ini sungguh fasih. Lebih fasih dari pembaca berita Nile TV.
Perempuan bule tersenyum dan berkata,
“Oh not at all. It’s all right. Cuaca memang panas dan melelahkan.
Semuanya lelah. Dalam keadaan lelah terkadang susah untuk mengalah. Dan
itu sangat manusiawi.”
“Busyit! Hei perempuan bercadar, apa yang kau lakukan!”
Pemuda berbaju kotak-kotak bangkit dengan muka merah. Ia berdiri tepat
di samping perempuan bercadar dan membentaknya dengan kasar. Rupanya ia
mendengar dan mengerti percakapan mereka berdua.
Perempuan bercadar kaget. Namun aku tidak bisa menangkap raut kagetnya
sebab mukanya tertutup cadar. Yang bisa kutangkap adalah gerakan
kepalanya yang terperangah, kedua matanya yang sedikit menciut, kulit
putih antara dua matanya sedikit mengkerut, alisnya seperti mau bertemu.
“Hal a..ana khata’?”27 Ucap perempuan bercadar tergagap. Ia memakai
bahasa fusha28, bukan bahasa ‘amiyah.29 Maksudnya bisa dipahami, tapi
susunannya janggal. Apakah mungkin karena dirinya terlalu kaget atas
bentakan pemuda Mesir itu.
Mendengar jawaban seperti itu si pemuda malah semakin naik pitam. Ia
kembali membentak dan memaki-maki secara kasar dengan bahasa ‘amiyah,
“Yakhrab baitik!30 Kau telah menghina seluruh orang Mesir yang ada di
metro ini. Kau sungguh keterlaluan! Kelihatannya saja bercadar, sok
alim, tapi sebetulnya kau perempuan bangsat! Kau kira kami tidak tahu
sopan-santun apa? Sengaja kami mengacuhkan orang Amerika itu untuk
sedikit memberi pelajaran. Ee..bukannya kau mendukung kami. Kau malah
mempersilakan setan-setan bule itu duduk. Dan seolah paling baik, kau
sok jadi pahlawan dengan memintakan maaf atas nama kami semua. Kau ini
siapa, heh?”
27 Hal ana khata’ ? Maksudnya, apakah saya salah? Susunannya yang tepat adalah Hal ana mukhthi’ah?
28 Bahasa Arab yang fashih secara gramatikal, bukan bahasa pergaulan.
29 Bahasa Arab pergaulan, yang biasa digunakan dalam percakapan harian.
30 Yakhrab baitik! (Artinya secara bahasa semoga rumahmu roboh, biasanya
digunakan untuk mengumpat dalam bahasa Jawa senada dengan kata-kata:
Bajingan! Dancouk! Dan sejenisnya).
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
23
Pemuda itu sudah keterlaluan. Aku berharap ada yang bertindak. Ashraf
dan seorang lelaki setengah baya berpakaian abu-abu mendekati pemuda dan
perempuan bercadar. Aku sedikit lega.
“Kau memang sungguh kurang ajar perempuan! Kau membela bule-bule Amerika
yang telah membuat bencana di mana-mana. Di Afganistan. Di Palestina.
Di Irak dan di mana-mana. Mereka juga tiada henti-hentinya menggoyang
negara kita. Kau ini muslimah macam apa, hah!?” Ashraf marah sambil
menuding-nuding perempuan bercadar itu.
Aku kaget bukan main. Aku tak mengira Ashraf akan berkata sekasar itu. Kelegaanku berubah jadi kekecewaan mendalam.
“Meski kau bercadar dan membawa mushaf ke mana-mana, nilaimu tak lebih
dari seorang syarmuthah!”31 umpat lelaki berpakaian abu-abu.
Ini sudah keterlaluan. Menuduh seorang perempuan baik-baik sehina pelacur tidak bisa dibenarkan.
Aku membaca istighfar dan shalawat berkali-kali. Aku sangat kecewa pada
mereka. Perempuan bercadar itu diam seribu bahasa. Matanya berkaca-kaca.
Bentakan, cacian, tudingan dan umpatan yang ditujukan padanya memang
sangat menyakitkan. Aku tak bisa diam. Kucopot topi yang menutupi kopiah
putihku. Lalu aku mendekati mereka sambil mencopot kaca mata hitamku.
“Ya jama’ah, shalli ‘alan nabi, shalli ‘alan nabi!”32 ucapku pada mereka
sehalus mungkin. Cara menurunkan amarah orang Mesir adalah dengan
mengajak membaca shalawat. Entah riwayatnya dulu bagaimana. Di
mana-mana, di seluruh Mesir, jika ada orang bertengkar atau marah, cara
melerai dan meredamnya pertama-tama adalah dengan mengajak membaca
shalawat. Shalli ‘alan nabi, artinya bacalah shalawat ke atas nabi. Cara
ini biasanya sangat manjur.
Benar, mendengar ucapanku spontan mereka membaca shalawat. Juga para
penumpang metro lainnya yang mendengar. Orang Mesir tidak mau dikatakan
orang bakhil. Dan tiada yang lebih bakhil dari orang yang mendengar nama
nabi, atau diminta bershalawat tapi tidak mau mengucapkan shalawat.
Begitu penjelasan Syaikh Ahmad waktu kutanyakan ihwal cara aneh orang
Mesir
31 Syarmuthah: Pelacur.
32 Wahai Jamaah (untuk menyapa orang banyak)! Bacalah shalawat ke atas nabi, bacalah shalawat ke atas nabi!
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
24
dalam meredam amarah. Justru jika ada orang sedang marah lantas kita
bilang padanya, La taghdhab! (yang artinya: jangan marah!) terkadang
malah akan membuat ia semakin marah.
Lalu aku menjelaskan pada mereka bahwa yang dilakukan perempuan bercadar
itu benar. Bukanya menghina orang Mesir, justru sebaliknya. Dan
umpatan-umpatan yang ditujukan padanya itu sangat tidak sopan dan tidak
bisa dibenarkan. Aku beberkan alasan-alasan kemanusiaan. Mereka bukannya
sadar, tapi malah kembali naik pitam. Si pemuda marah dan mencela
diriku dengan sengit. Juga si bapak berpakaian abu-abu. Sementara Ashraf
bilang, “Orang Indonesia, sudahlah, kau jangan ikut campur urusan
kami!”
Aku kembali mengajak mereka membaca shalawat. Aku nyaris kehabisan akal.
Akhirnya kusitir beberapa hadits nabi untuk menyadarkan mereka. Tapi
orang Mesir seringkali muncul besar kepalanya dan merasa paling menang
sendiri.
Pemuda Mesir malah menukas sengak, “Orang Indonesia, kau tahu apa sok
mengajari kami tentang Islam, heh! Belajar bahasa Arab saja baru kemarin
sore. Juz Amma entah hafal entah tidak. Sok pintar kamu! Sudah kau diam
saja, belajar baik-baik selama di sini dan jangan ikut campur urusan
kami!”
Aku diam sesaat sambil berpikir bagaimana caranya menghadapi anak turun
Fir’aun yang sombong dan keras kepala ini. Aku melirik Ashraf. Mata kami
bertatapan. Aku berharap dia berlaku adil. Dia telah berkenalan
denganku tadi. Kami pernah akrab meskipun cuma sesaat. Kupandangi dia
dengan bahasa mata mencela. Ashraf menundukkan kepalanya, lalu berkata,
“Kapten, kau tidak boleh berkata seperti itu. Orang Indonesia ini sudah
menyelesaikan licence-nya di Al Azhar. Sekarang dia sedang menempuh
program magisternya. Walau bagaimana pun, dia seorang Azhari. Kau tidak
boleh mengecilkan dia. Dia hafal Al-Qur’an. Dia murid Syaikh Utsman
Abdul Fattah yang terkenal itu.”
Pembelaan Ashraf ini sangat berarti bagiku. Pemuda berbaju kotak-kotak
itu melirik kepadaku lalu menunduk. Mungkin dia malu telah berlaku tidak
sopan kepadaku. Tetapi lelaki berpakaian abu-abu kelihatannya tidak mau
menerima begitu saja.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
25
“Dari mana kau tahu? Apa kau teman satu kuliahnya?” tanyanya.
Ashraf tergagap, “Tidak. Aku tidak teman kuliahnya. Aku tahu saat berkenalan dengannya tadi.”
“Kau terlalu mudah percaya. Bisa saja dia berbohong. Program magister di
Al Azhar tidak mudah. Jadi murid Syaikh Utsman juga tidak mudah.”
Lelaki itu mencela Ashraf. Dia lalu berpaling ke arahku dan berkata,
“Hei orang Indonesia, kalau benar kau S.2. di Al Azhar mana kartumu!?”
Lelaki itu membentak seperti polisi intel. Berurusan dengan orang awam
Mesir yang keras kepala memang harus sabar. Tapi jika mereka sudah
tersentuh hatinya, mereka akan bersikap ramah dan luar biasa bersahabat.
Itulah salah satu keistimewaan watak orang Mesir. Terpaksa kubuka tas
cangklongku. Kuserahkan dua kartu sekaligus. Kartu S.2. Al Azhar dan
kartu keanggotaan talaqqi qiraah sab’ah dari Syaikh Utsman. Tidak hanya
itu, aku juga menyerahkan selembar tashdiq33 resmi dari universitas.
Tasdiq yang akan kugunakan untuk memperpanjang visa Sabtu depan.
Lelaki setengah baya lalu meneliti dua kartu dan tashdiq yang masih gres
itu dengan seksama. Ia manggut-manggut, kemudian menyerahkannya pada
pemuda berbaju kotak-kotak yang keras kepala yang ada di sampingnya.
“Kebetulan saat ini saya sedang menuju masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq
untuk talaqqi. Kalau ada yang mau ikut menjumpai Syaikh Utsman boleh
menyertai saya.” Ujarku tenang penuh kemenangan.
Kulihat wajah mereka tidak sepitam tadi. Sudah lebih mencair. Bahkan ada
gurat rasa malu pada wajah mereka. Jika kebenaran ada di depan mata,
orang Mesir mudah luluh hatinya.
“Maafkan kelancangan kami, Orang Indonesia. Tapi perempuan bercadar ini
tidak pantas dibela. Ia telah melakukan tindakan bodoh!” kata pemuda
Mesir berbaju kotak-kotak sambil menyerahkan kembali dua kartu dan
tashdiq kepadaku.
33 Tashdiq adalah surat keterangan resmi dari Universitas, bahwa
pemiliknya benar-benar mahasiswa pada fakultas, jurusan dan program
tertentu di universitas itu. Tashdiq biasanya diperlukan untuk
urusan-urusan resmi. Misalnya perpanjangan visa belajar, pengambilan
visa haji, meminta atau memperpanjang beasiswa pada suatu lembaga dan
lain sebagainya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
26
Aku menghela nafas panjang. Metro melaju kencang menembus udara panas. Sesekali debu masuk berhamburan.
“Terus terang, aku sangat kecewa pada kalian! Ternyata sifat kalian
tidak seperti yang digambarkan baginda Nabi. Beliau pernah bersabda
bahwa orang-orang Mesir sangat halus dan ramah, maka beliau
memerintahkan kepada shahabatnya, jika kelak membuka bumi Mesir
hendaknya bersikap halus dan ramah. Tapi ternyata kalian sangat kasar.
Aku yakin kalian bukan asli orang Mesir. Mungkin kalian sejatinya
sebangsa Bani Israel. Orang Mesir asli itu seperti Syaikh Muhammad
Mutawalli Sya’rawi yang ramah dan pemurah,” ucapku datar. Aku yakin akan
membuat hati orang Mesir yang mendengarnya bagaikan tersengat aliran
listrik.
“Maafkan kami, Orang Indonesia. Kami memang emosi tadi. Tapi jangan kau
katakan kami bukan orang Mesir. Jangan pula kau katakan kami ini
sebangsa Bani Israel. Kami asli Mesir. Kami satu moyang dengan Syaikh
Sya’rawi rahimahullah,” lelaki setengah baya itu tidak terima. Syaikh
Sya’rawi memang seorang ulama yang sangat merakyat. Sangat dicintai
orang Mesir. Hampir semua orang Mesir mengenal dan mencintai beliau.
Mereka sangat bangga memiliki seorang Sya’rawi yang dihormati di
seantero penjuru Arab.
“Yang aku tahu, selama ini, orang Mesir asli sangat memuliakan tamu.
Orang Mesir asli sangat ramah, pemurah, dan hatinya lembut penuh kasih
sayang. Sifat mereka seperti sifat Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub. Syaikh
Sya’rawi, Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh
Muhammad Hasan, Syaikh Kisyk, Syaikh Muhammad Jibril, Syaikh Athea
Shaqr, Syaikh Ismail Diftar, Syaikh Utsman dan ulama lainnya adalah
contoh nyata orang Mesir asli yang berhati lembut, sangat memuliakan
tamu dan sangat memanusiakan manusia. Tapi apa yang baru saja kalian
lakukan?! Kalian sama sekali tidak memanusiakan manusia dan tidak punya
rasa hormat sedikit pun pada tamu kalian. Orang bule yang sudah
nenek-nenek itu adalah tamu kalian. Mereka bertiga tamu kalian. Tetapi
kenapa kalian malah melaknatnya. Dan ketika saudari kita yang bercadar
ini berlaku sebagai seorang muslimah sejati dan sebagai seorang Mesir
yang ramah, kenapa malah kalian cela habis-habisan!? Kalian
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
27
bahkan menyumpahinya dengan perkataan kasar yang sangat menusuk perasaan
dan tidak layak diucapkan oleh mulut orang yang beriman! ”
“Tapi Amerika sudah keterlaluan! Apa salah jika kami sedikit saja
mengungkapkan kejengkelan kami dengan memberi pelajaran sedikit saja
pada orang-orang Amerika itu?!” Lelaki setengah baya masih berusaha
membenarkan tindakannya. Aku tidak merasa aneh. Begitulah orang Mesir,
selalu merasa benar. Dan nanti akan luluh jika berhadapan dengan
kebenaran yang seterang matahari.
“Kita semua tidak menyukai tindak kezhaliman yang dilakukan siapa saja.
Termasuk yang dilakukan Amerika. Tapi tindakan kalian seperti itu tidak
benar dan jauh dari tuntunan ajaran baginda Nabi yang indah.”
“Lalu kami harus berbuat apa dan bagaimana? Ini mumpung ada orang
Amerika. Mumpung ada kesempatan. Dengan sedikit pelajaran mereka akan
tahu bahwa kami tidak menyukai kezhaliman mereka. Biar nanti kalau
pulang ke negaranya mereka bercerita pada tetangganya bagaimana tidak
sukanya kami pada mereka!”
“Justru tindakan kalian yang tidak dewasa seperti anak-anak ini akan
menguatkan opini media massa Amerika yang selama ini beranggapan orang
Islam kasar dan tidak punya perikemanusiaan. Padahal baginda Rasul
mengajarkan kita menghormati tamu. Apakah kalian lupa, beliau bersabda,
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hormatilah tamunya.
Mereka bertiga adalah tamu di bumi Kinanah ini. Harus dihormati
sebaik-baiknya. Itu jika kalian merasa beriman kepada Allah dan hari
akhir. Jika tidak, ya terserah! Lakukanlah apa yang ingin kalian
lakukan. Tapi jangan sekali-kali kalian menamakan diri kalian bagian
dari umat Islam. Sebab tindakan kalian yang tidak menghormati tamu itu
jauh dari ajaran Islam.”
Lelaki setengah baya itu diam. Pemuda berbaju kotak-kotak menunduk.
Ashraf membisu. Para penumpang yang lain, termasuk perempuan bercadar
juga diam. Metro terus berjalan dengan suara bergemuruh, sesekali
mencericit.
“Coba kalian jawab pertanyaanku ini. Kenapa kalian berani menyakiti
Rasulullah?!” tanyaku sambil memandang ketiga orang Mesir bergantian.
Mereka agak terkejut mendengar pertanyaanku itu.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
28
“Akhi, mana mungkin kami berani menyakiti Rasulullah yang kami cintai,” jawab Ashraf.
“Kenapa kalian kelak di hari akhir berani berseteru di hadapan Allah melawan Rasulullah?” tanyaku lagi.
“Akhi, kau melontarkan pertanyaan gila. Kita semua di hari akhir kelak
mengharap syafaat Rasulullah, bagaimana mungkin kami berani berseteru
dengan beliau di hadapan Allah!” jawab Ashraf.
“Tapi kalian telah melakukan tindakan sangat lancang. Kalian telah
menyakiti Rasulullah. Kalian telah menantang Rasulullah untuk berseteru
di hadapan Allah kelak di hari akhir!” ucapku tegas sedikit keras.
Lelaki setengah baya, Ashraf, pemuda berbaju kotak-kotak dan beberapa
penumpang metro yang mendengar ucapanku semuanya tersentak kaget.
“Apa maksudmu, Andonesy? Kau jangan bicara sembarangan!” jawab lelaki setengah baya sedikit emosi.
“Paman, aku tidak berkata sembarangan. Aku akan sangat malu pada diriku
sendiri jika berkata dan bertindak sembarangan. Baiklah, biar aku
jelaskan. Dan setelah aku jelaskan kalian boleh menilai apakah aku
berkata sembarangan atau bukan. Harus kalian mengerti, bahwa ketiga
orang bule ini selain tamu kalian mereka sama dengan ahlu dzimmah. Tentu
kalian tahu apa itu ahlu dzimmah. Disebut ahlu dzimmah karena mereka
berada dalam jaminan Allah, dalam jaminan Rasul-Nya, dan dalam jaminan
jamaah kaum muslimin. Ahlu dzimmah adalah semua orang non muslim yang
berada di dalam negara tempat kaum muslimin secara baik-baik, tidak
ilegal, dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada dalam
negara itu. Hak mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan
kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka
harus dijaga dan dilindungi. Tidak boleh disakiti sedikit pun. Dan
kalian pasti tahu, tiga turis Amerika ini masuk ke Mesir secara resmi.
Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya coba saja lihat paspornya.
Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan kehormatan
mereka harus kita lindungi. Itu yang diajarkan Rasulullah Saw. Tidakkah
kalian dengar sabda beliau, ‘Barangsiapa menyakiti orang zhimmi (ahlu
zhimmah) maka aku akan menjadi seterunya. Dan siapa yang aku menjadi
seterunya dia pasti kalah di
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
29
hari kiamat.’34 Beliau juga memperingatkan, ‘Barangsiapa yang menyakiti
orang dzimmi, dia telah menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti
diriku berarti dia menyakiti Allah.’35 Begitulah Islam mengajarkan
bagaimana memperlakukan non muslim dan para tamu asing yang masuk secara
resmi dan baik-baik di negara kaum muslimin. Imam Ali bahkan berkata,
‘Begitu membayar jizyah, harta mereka menjadi sama harus dijaganya
dengan harta kita, darah mereka sama nilainya dengan darah kita.’ Dan
para turis itu telah membayar visa dan ongkos administrasi lainnya, sama
dengan membayar jizyah. Mereka menjadi tamu resmi, tidak ilegal, maka
harta, kehormatan dan darah mereka wajib kita jaga bersama-sama. Jika
tidak, jika kita sampai menyakiti mereka, maka berarti kita telah
menyakiti baginda Nabi, kita juga telah menyakiti Allah. Kalau kita
telah lancang berani menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka siapakah diri
kita ini? Masih pantaskan kita mengaku mengikuti ajaran baginda Nabi?”
Lelaki setengah baya itu tampak berkaca-kaca. Ia beristighfar
berkali-kali. Lalu mendekati diriku. Memegang kepalaku dengan kedua
tangannya dan mengecup kepalaku sambil berkata, “Allah yaftah ‘alaik, ya
bunayya! Allah yaftah ‘alaik! Jazakallah khaira!”36 Ia telah tersentuh.
Hatinya telah lembut.
Setelah itu giliran Ashraf merangkulku.
“Senang sekali aku bertemu dengan orang sepertimu, Fahri!” katanya.
Aku tersenyum, ia pun tersenyum. Pemuda berbaju kotak-kotak lalu
mempersilakan pria bule yang berdiri di dekat neneknya untuk duduk di
tempat duduknya. Dua pemuda Mesir yang duduk di depan nenek bule berdiri
dan mempersilakan pada perempuan bercadar dan perempuan bule untuk
duduk.
Begitulah.
Salah satu keindahan hidup di Mesir adalah penduduknya yang lembut
hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan kita seumpama
raja. Mereka terkadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan luluh
mereka bisa melakukan kebaikan seperti malaikat. Mereka kalau marah
meledak-ledak tapi kalau sudah reda benar-benar reda dan hilang tanpa
bekas. Tak ada dendam di
34 Diriwayatkan oleh Al-Khathib dengan sanad baik.
35 Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan sanad baik.
36 Semoga Allah membuka hatimu (menambahkan ilmumu) Anakku! Dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan!
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
30
belakang yang diingat sampai tujuh keturunan seperti orang Jawa. Mereka mudah menerima kebenaran dari siapa saja.
Metro terus melaju. Tak terasa sudah sampai mahattah Mar Girgis. Ashraf
mendekatkan diri ke pintu. Ia bersiap-siap. Mahattah depan adalah
El-Malik El-Saleh, setelah itu Sayyeda Zeinab dan ia akan turun di sana.
Aku menghitung masih ada tujuh mahattah baru sampai di Ramsis. Setelah
itu aku akan pindah metro jurusan Shubra El-Khaima. Perjalanan masih
jauh. Metro kembali berjalan. Pelan-pelan lalu semakin kencang. Tak lama
kemudian sampai di El-Malik El-Saleh. Metro berhenti. Pintu dibuka.
Beberapa orang turun. Lelaki setengah baya hendak turun. Sebelum turun
ia menyalami diriku dan mengucapkan terima kasih sambil mulutnya tiada
henti mendoakan diriku. Aku mengucapkan amin berkali-kali. Topi dan kaca
mata hitamku kembali aku pakai. Tak jauh dariku, perempuan bercadar
nampak asyik berbincang dengan perempuan bule. Sedikit-sedikit telingaku
menangkap isi perbincangan mereka. Rupanya perempuan bercadar sedang
menjelaskan semua yang tadi terjadi. Kejengkelan orang-orang Mesir pada
Amerika. Kekeliruan mereka serta pembetulan-pembetulan yang aku lakukan.
Perempuan bercadar juga menjelaskan maksud dari hadits-hadits nabi yang
tadi aku ucapkan dengan bahasa Inggris yang fasih. Perempuan bule itu
mengangguk-anggukkan kepala. Sampai di Sayyeda Zeinab, Ashraf turun
setelah terlebih dahulu melambaikan tangan padaku. Seorang ibu yang
duduk di samping nenek bule turun. Kursinya kosong. Aku bisa duduk di
sana kalau mau. Tapi kulihat seorang gadis kecil membawa tas belanja
masuk. Langsung kupersilakan dia duduk.
Metro kembali melaju. Perempuan bercadar dan perempuan bule masih
berbincang-bincang dengan akrabnya. Tapi kali ini aku tidak mendengar
dengan jelas apa yang mereka perbincangkan. Angin panas masuk melalui
jendela. Aku memandang ke luar. Rumah-rumah penduduk tampak kotak-kotak
tak teratur seperti kardus bertumpukan tak teratur. Metro masuk ke
lorong bawah tanah. Suasana gelap sesaat. Lalu lampu-lampu metro
menyala. Tak lama kemudian metro sampai mahattah Saad Zaghloul dan
berhenti. Beberapa orang turun dan naik. Tiga bule itu bersiap hendak
turun, juga perempuan bercadar. Berarti mereka mau turun di Tahrir.
Perempuan bercadar masih bercakap dengan perempuan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
31
bule. Keduanya sangat dekat denganku. Aku bisa mendengar dengan jelas
apa yang mereka bicarakan. Tentang asal mereka masing. Perempuan
bercadar itu ternyata lahir di Jerman, dan besar juga di Jerman. Namun
ia berdarah Jerman, Turki dan Palestina. Sedangkan perempuan bule lahir
dan besar di Amerika. Ia berdarah Inggris dan Spanyol. Keduanya bertukar
kartu nama.
Perempuan bule tepat berada di depanku. Wajahnya masih menghadap
perempuan bercadar. Metro bercericit mengerem. Gerbong sedikit goyang.
Tubuh perempuan bule bergoyang. Saat itulah dia melihat diriku. Ia
tersenyum sambil mengulurkan tangannya kepadaku dan berkata,
“Hai Indonesian, thank’s for everything. My name’s Alicia.”
“Oh, you’re welcome. My name is Fahri,” jawabku sambil menangkupkan
kedua tanganku di depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya.
“Ini bukan berarti saya tidak menghormati Anda. Dalam ajaran Islam,
seorang lelaki tidak boleh bersalaman dan bersentuhan dengan perempuan
selain isteri dan mahramnya.” Aku menjelaskan agar dia tidak salah
faham.
Alicia tersenyum dan berseloroh, “Oh, never mind. And this is my name card, for you.” Ia memberikan kartu namanya.
“Thank’s,” ujarku sambil menerima kartu namanya.
“It’s a pleasure.”
Metro berhenti.
Alicia, neneknya dan saudaranya mendekati pintu hendak keluar. Perempuan
bercadar masih berdiri di tempatnya. Ia melihat ke arah orang-orang
yang hendak turun. Perlahan pintu dibuka. Ketika orang-orang mulai
turun, perempuan bercadar itu bergerak melangkah, ia menyempatkan untuk
menyapaku,
“Indonesian, thank you.”
Aku teringat dia orang Jerman. Aku iseng menjawab dengan bahasa Jerman,
“Bitte!”
Agaknya perempuan bercadar itu kaget mendengar jawabanku dengan bahasa
Jerman. Ia urung melangkah ke pintu. Ia malah menatap diriku dengan
sorat mata penuh tanda tanya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
32
“Sprechen Sie Deutsch?”37 tanyanya dengan bahasa Jerman. Ia mungkin
ingin langsung meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi ia dengarkan
dariku benar-benar bahasa Jerman. Bahwa aku bisa berbahasa Jerman. Bahwa
ia tidak salah dengar.
“Ja, ein wenig.38 Alhamdulillah!” jawabku tenang. Kalau sekadar bercakap
dengan bahasa Jerman insya Allah tidak terlalu susah. Kalau aku disuruh
membuat tesis dengan bahasa Jerman baru menyerah.
“Sind Sie Herr Fahri?”39
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Ia bertanya seperti itu. Berarti
ia benar-benar mendengarkan dengan baik pendebatanku dengan tiga orang
Mesir tadi sehingga tahu namaku. Atau dia mendengarkan aku berkenalan
dengan Alicia.
“Ja. Mein name ist Fahri.”40 Jawabku.
“Mein name ist Aisha,” sahutnya sambil menyerahkan kartu nama. Ia lalu menyodorkan buku notes kecil dan pulpen.
“Bitte, schreiben Sie ihren namen!”41 katanya.
Kuterima buku notes kecil dan pulpen itu. Aku paham maksud Aisha, tentu
tidak sekadar nama tapi dilengkapi dengan alamat atau nomor telpon.
Masinis metro membunyikan tanda alarm bahwa sebentar lagi pintu metro
akan ditutup dan metro akan meneruskan perjalanan. Aku hanya menuliskan
nama dan nomor handphone-ku. Lalu kuserahkan kembali padanya. Aisha
langsung bergegas turun sambil berkata,
“Danke, auf wiedersehn!”42
“Auf wiedersehn!” jawabku.
Metro kembali berjalan. Ada tempat kosong. Saatnya aku duduk. Sudah
separuh perjalanan lebih. Sudah setengah dua lebih lima menit. Waktu
masih cukup. Insya Allah sampai di hadapan Syaikh Utsman tepat pada
waktunya. Kalaupun terlambat hanya beberapa menit saja. Masih dalam
batas yang bisa
37 Kau berbicara bahasa Jerman.
38 Ya. Sedikit-sedikit.
39 Apakah Anda tuan Fahri.
40 Ya nama saya Fahri.
41 Maaf, bisa tuliskan nama Anda.
42 Terima kasih, sampai bertemu lagi.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
33
dimaafkan. Dengan duduk aku merasa lebih tenang. Ini saatnya aku
mengulang dan memperbaiki hafalan Al-Qur’an yang akan aku setorkan pada
Syaikh Utsman.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
34
3. Keributan Tengah Malam
Aku sampai di flat jam lima lebih seperempat. Siang yang melelahkan.
Ubun-ubun kepalaku rasanya mendidih. Cuaca benar-benar panas. Yang
berangkat talaqqi pada Syaikh Utsman hanya tiga orang. Aku, Mahmoud dan
Hisyam. Syaikh Utsman jangan ditanya. Disiplin beliau luar biasa.
Meskipun cuma tiga yang hadir, waktu talaqqi tetap seperti biasa. Jadi,
kami bertiga membaca tiga kali lipat dari biasanya. Jatah membaca
Al-Qur’an sepuluh orang kami bagi bertiga. Untungnya masjid Abu Bakar
Ash-Shiddiq ber-AC. Jika tidak, aku tak tahu seperti apa menderitanya
kami. Mungkin konsentrasi kami akan berantakan, dan kami tidak bisa
membaca seperti yang diharapkan.
Seperti mengerti keinginan kami, begitu selesai talaqqi, Amu Farhat,
takmir masjid yang baik hati itu membawakan empat gelas tamar hindi43
dingin. Bukan main segarnya ketika minuman segar itu menyentuh lidah dan
tenggorokan. Selesai minum aku pulang. Mahmoud, Hisyam, Amu Farhat dan
Syaikh Utsman meneruskan perbincangan menunggu ashar.
Perjalanan pulang ternyata lebih panas dari berangkat. Antara pukul
setengah empat hingga pukul lima adalah puncak panas siang itu. Berada
di dalam metro rasanya seperti berada dalam oven. Kondisi itu nyaris
membuatku lupa akan titipan Maria. Aku teringat ketika keluar dari
mahattah Hadayek Helwan. Ada dua toko alat tulis. Kucari di sana.
Dua-duanya kosong.. Aku melangkah ke Pyramid Com. Sebuah rental komputer
yang biasanya juga menjual disket. Malang! Rental itu tutup. Terpaksa
aku kembali ke mahattah dan naik metro ke Helwan. Di kota Helwan ada
pasar dan toko-toko cukup besar. Di sana kudapatkan juga disket itu. Aku
beli empat. Dua untuk Maria. Dan dua untuk diriku sendiri. Kusempatkan
mampir ke masjid yang berada tepat di sebelah barat mahattah Helwan
untuk shalat ashar.
Terik matahari masih menyengat ketika aku keluar masjid untuk pulang. Di
tengah perjalanan aku melewati Universitas Helwan yang lengang. Hanya
seorang polisi berpakaian lusuh yang menjaga gerbangnya. Tampangnya
mengenaskan. Masih muda, tapi kurus kering. Seperti pohon pisang kering.
Atau
43 Air buah asam.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
35
seperti dendeng di Saudi kala musim haji. Mukanya tampak kering. Panas
sahara seperti menghisap habis darahnya. Ia pasti prajurit wajib militer
yang biasa disebut duf’ah. Polisi paling menderita karena bertugas
dengan sangat terpaksa. Tanpa gaji memadai. Hanya beberapa pound saja.
Wajar jika tampangnya mengenaskan. Bisa jadi ia masih berstatus
mahasiswa. Karena memang seluruh laki-laki Mesir terkena wajib militer.
Seorang kumsari44 mendekat. Ia gemuk, kepalanya bulat penuh keringat.
Perutnya buncit seperti balon mau meletus. Beda sekali dengan polisi
penjaga gerbang universitas itu. Dunia ini memang penuh
perbedaan-perbedaan dan hal-hal kontras yang terkadang tidak mudah
dimengerti. Metro terus melaju.
Sampai di flat, tenagaku nyaris habis. Kulepas sepatu dan kaos kaki lalu
masuk kamar. Sampai di kamar langsung kunyalakan kipas angin, kulepas
tas, topi, kaca mata hitam, dan kemeja putihku. Kuusap mukaku dengan
tissu. Hitam. Banyak debu menempel. Aku lalu beranjak ke ruang tengah,
membuka lemari es, mencari yang dingin-dingin untuk menyegarkan badan.
Begitu membuka pintu lemari es mataku membelalak berbinar. Ada sebotol
ashir ashab.45 Dingin. Kutuangkan untuk satu gelas. Sambil membawa gelas
berisia ashir ashab aku berteriak,
“Siapa nih yang beli ashir ashab. Pengertian sekali. Syukran ya. Semoga umurnya diberkahi Allah.”
Rudi keluar dari kamarnya dengan wajah ceria.
“Mas. Ashir ashab itu bukan kami yang beli.”
“Terus dapat dari mana?”
“Tadi diberi oleh Maria.”
“Apa? Diberi oleh Maria?”
“Iya. Katanya untuk Mas. Makanya masih utuh satu botol. Kami tidak
menyentuhnya sebelum dapat izin dari Mas. Sekarang kami boleh ikut
mencicipi ‘kan Mas?”
“Ah kamu ini ada-ada saja. Kalau ambil ya ambil saja. Yang penting aku disisain. Pakai menunggu izin segala.”
44 Kondektur.
45 Sari air tebu. (Minuman paling memasyarakat di Mesir saat musim panas).
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
36
“Masalahnya ini dari Maria, Mas. Sepertinya puteri Tuan Boutros itu
perhatian sekali sama Mas. Jangan-jangan dia jatuh hati sama Mas.”
“Hus jangan ngomong sembarangan! Mereka itu memang tetangga yang baik.
Sejak awal kita tinggal di sini mereka sudah baik sama kita. Bukan
sekali ini mereka memberi sesuatu pada kita.”
“Tapi kenapa Maria bilang untuk Mas. Bukan untuk kita semua?”
“Lha ketahuan ‘kan? Kau cemburu, jangan-jangan kau yang jatuh cinta. Ya
udah nanti biar kusampaikan sama Maria dan Tuan Boutros ayahnya, kalau
memberi sesuatu biar yang disebut namamu hehehe.”
“Jangan Mas. Bukan itu maksudku?”
“Terus?”
“Tapi Maria sepertinya punya perhatian lebih pada Mas.”
“Akh Rudi, kamu jangan berprasangka yang bukan-bukan. Kamu ‘kan tahu.
Maria berbuat begitu atas nama keluaganya, atas petunjuk ayahnya yang
baik hati itu. Dan karena kepala keluarga di rumah ini adalah aku, maka
tiap kali memberi makanan, minuman atau menyampaikan sesuatu ya selalu
lewat aku, as a leader here. Dia menyampaikan sesuatu atas nama
keluarganya dan aku dianggap representasi kalian semua. Jadi ini bukan
hanya interaksi dua person saja, tapi dua keluarga. Bahkan lebih besar
dari itu, dua bangsa dan dua penganut keyakinan yang berbeda. Inilah
keharmonisan hidup sebagai umat manusia yang beradab di muka bumi ini.
Sudahlah kau jangan memikirkan hal yang terlalu jauh. Tugas kita di sini
adalah belajar. Kita belajar sebaik-baiknya. Di antaranya adalah
belajar bertetangga yang baik. Karena kita telah diberi, ya nanti kita
gantian memberi sesuatu pada mereka. Wa idza huyyitum bi tahiyyatin fa
hayyu bi ahasana minha!”46
“Saya mengerti, Mas. Afwan jika ucapan saya tadi ada yang kurang berkenan.”
“Udah jangan dipikir. Emm..bagaimana makalahmu? Sudah selesai?”
“Alhamdulillah, Mas.”
“Kapan dipresentasikan?”
“Sabtu sore.”
46 Dan jika kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya (QS.
An-Nisaa’: 86)
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
37
“Di mana?”
“Di Wisma Nusantara.”
“Ma’at taufiq.”47
Aku melangkah ke kamar sambil membawa segelas ashir ashab. Kuselonjorkan
kakiku di atas karpet. Punggungku kusandarkan ke pinggir tempat tidur.
Untung tembok apartemen ini tebal. Jendelanya rapat. Sehingga udara
panas di luar apartemen tidak mudah menembus masuk. Meskipun agak hangat
tapi tidak sepanas di luar. Dan dengan kipas angin sudah cukup membuat
udara yang hangat itu menjadi sejuk. Kuteguk ashir ashab. Perlahan.
Dingin mengaliri tenggorokan. Oh luar biasa nikmatnya. Di kawasan
beriklim panas, seperti Mesir dan negara Timur Tengah lainnya, air
dingin memang sangat menyenangkan. Jika air dingin itu membasahi
tenggorokan yang kering rasanya seperti meneguk air sejuk dari surga,
tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Orang yang kehausan di tengah
sahara yang paling ia damba dan ia cinta adalah air dingin penawar
dahaga. Tak ada yang lebih ia cinta dari itu. Di sinilah baru bisa
kurasakan betapa dahsyat doa baginda Nabi,
‘Ya Allah jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi cintaku pada harta, keluarga dan air yang dingin’.
Beliau meminta agar cintanya kepada Allah melebihi cintanya pada air
yang dingin, yang sangat dicintai, disukai, dan diingini oleh siapa saja
yang kehausan di musim panas. Di daerah yang beriklim panas, cinta pada
air yang sejuk dingin dirasakan oleh siapa saja, oleh semua manusia.
Jika cinta kepada Allah telah melebihi cintanya seseorang yang sekarat
kehausan di tengah sahara pada air dingin, maka itu adalah cinta yang
luar biasa. Sama saja dengan melebihi cinta pada nyawa sendiri. Dan
memang semestinya demikianlah cinta sejati kepada Allah Azza Wa Jalla.
Jika direnungkan benar-benar, baginda Nabi sejatinya telah mengajarkan
idiom cinta yang begitu indah.
Setelah keringat hilang, dan ubun-ubun kepala mulai dingin aku bangkit
hendak mengambil handuk. Aku harus mandi, badan rasanya tidak nyaman.
Harus dibersihkan dan disegarkan. Baru menyentuh handuk, handphone-ku
memerik singkat. Ada sms masuk. Kubuka. Dari Maria,
47 Semoga sukses.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
38
“Sudah pulang ya? Bagaimana dengan titipanku, dapat?”
Langsung kujawab,
“Dapat. Terima kasih atas ashir ashabnya.”
Kuletakkan handphone-ku di atas meja. Aku langsung bergegas mandi. Baru
menutup kamar mandi yang bersebelahan dengan kamarku, kudengar si
handphone memekik lagi. Maria pasti mengirim pesan balik. Ah, biar,
nanti saja setelah mandi. Kuputar kran wastafel. Aku ingin cuci tangan.
Air mengalir. Kusentuh. Hangat sekali. Berarti pipa-pipa yang berada di
dalam tanah berpasir yang mengalirkan air dari tandon raksasa itu telah
panas. Aku jadi teringat saat umrah ke Saudi di puncak musim panas tahun
lalu. Baik siang atau pun malam, kalau hendak mandi harus mendinginkan
air dulu di ember besar. Sebab air yang keluar dari kran sangat panas.
Harus ditampung di ember besar dan ditunggu sampai dingin. Kulihat
bath-tub penuh dengan air. Alhamdulillah, teman-teman sangat pengertian
dan cerdas. Aku bisa langsung mandi tanpa menunggu air dingin. Ketika
air menyiram seluruh tubuh rasa segar itu susah diungkapkan dengan
bahasa verbal. Habis mandi tenaga rasanya pulih kembali.
Usai berganti pakaian kurebahkan diriku di atas kasur. Oh, alangkah
nikmatnya. Ini saatnya istirahat. Kunyalakan tape kecil di samping
tempat tidur. Enaknya adalah memutar murattal48 Syaikh Abu Bakar
Asy-Syathiri. Suaranya yang sangat lembut dan indah penuh penghayatan
dalam membaca Al-Qur’an sering membawa terbang imajinasiku ke
tempat-tempat sejuk. Ke sebuah danau bening di tengah hutan yang penuh
buah-buahan. Kadang ke suasana senja yang indah di tepi pantai Ageeba,
pantai laut Mediterania yang menakjubkan di Mersa Mathruh. Bahkan bisa
membawaku ke dunia lain, dunia indah di dalam laut dengan ikan-ikan hias
dan bebatuan yang seperti permata-permata di surga. Dalam keadaan lelah
selalu saja suara Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri menjadi musik pengantar
tidur yang paling nikmat. Meski terkadang aku harus terlebih dahulu
meneteskan air mata, kala mendengar Syaikh Syathiri sesengukan menangis
dalam bacaannya. Kunyalakan murattal Syaikh Syatiri. Suaranya yang indah
langsung mengelus-elus syaraf-syarafku. Mataku mulai liyer-liyer hendak
48 Kaset yang merekam Al-Qur’an dibaca secara tartil.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
39
terpejam. Tiba-tiba handphone-ku kembali memekik. Aku teringat sesuatu. Titipan Maria. Kubaca pesan Maria.
Ada tiga pesan:
“Buka jendela sekarang. Aku akan turunkan keranjang.”
“Kau sedang apa? Aku sudah turunkan keranjang. Lama sekali.”
“Kenapa tidak ada respons?”
Aduh, kasihan Maria. Dia tadi sudah lama membuka jendelanya dan menurunkan keranjang.
Langsung kujawab,
“Afwan. Tadi saya langsung mandi. Jadi tiga pesanmu terakhir baru kubuka
setelah mandi. Afwan. Sekarang bisa kau turunkan keranjang.”
Kutunggu respons darinya. Tak lama pesannya masuk,
“O, begitu. Tak apa-apa. Ini kuturunkan keranjangnya.”
Aku bangkit dari tempat tidur. Mengambil dua disket dalam tas. Lalu
menuju jendela. Kubuka jendela. Hawa panas langsung masuk. Sebuah
keranjang kecil dijulurkan dengan tambang kecil putih dari atas. Ada
uang sepuluh pound di dalamnya. Kuletakkan dua disket itu dalam
keranjang tanpa menyentuh uang sepuluh pound itu sama sekali.
Kamar Maria memang tepat di atas kamarku, dan jendela kamarnya tepat di
atas jendela kamarku. Orang Mesir yang berada di atas lantai dua
biasanya memiliki keranjang kecil yang seringkali digunakan untuk suatu
keperluan tanpa harus turun ke bawah. Jika ibu-ibu Mesir belanja
buah-buahan atau sayur-sayuran pada penjual buah atau penjual sayur
keliling, biasanya mereka menggunakan keranjang kecil itu, tanpa harus
turun dari rumah mereka yang berada di atas. Mereka cukup pesan berapa
kilo, setelah sepakat harganya mereka menurunkan keranjang kecil yang di
dalamnya sudah ada uang untuk membayar barang yang dipesannya. Tukang
buah atau tukang sayur akan mengisi keranjang itu dengan barang yang
dipesan setelah mengambil uangnya. Jika uangnya lebih, mereka akan
mengembalikannya sekaligus bersama barang yang dipesan. Barulah si ibu
mengangkat keranjangnya seperti orang menimba. Transaksi yang praktis.
Pertama kali melihat aku heran. Yang aku herankan adalah begitu
amanah-nya
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
40
penjual buah itu. Mereka tidak curang. Tidak berusaha nakal. Maria atau
ibunya juga biasa membeli sayur atau buah dengan cara seperti itu.
Maria mengangkat keranjangnya. Aku menutup jendela. Tak lama kemudian handphone-ku kembali bertulalit. Maria lagi,
“Harganya berapa? Uangnya kok tidak diambil, kenapa?”
Kujawab,
“Harganya zero, zero, zero pound. Jadi tak perlu dibayar.”
Ia menjawab,
“Jangan begitu. Itu tidak wajar.”
Kujawab,
“Harganya seperti biasa. Uangnya kau simpan saja.
Kalau kau buat Ruzz bil laban49 titip ya. Bolehkan?”
Ia menjawab,
“Baiklah kalau begitu. Dengan senang hati. Syukran!”
Kujawab,
“Afwan.”
Klik. Handphone kunonaktifkan. Aku ingin tidur. Pada saat yang sama,
kudengar suara pintu terbuka. Lalu suara Hamdi mengucapkan salam.
Kujawab lirih. Alhamdulillah dia pulang. Dia nanti akan masak
oseng-oseng wortel campur kofta. Aku senang bahwa teman-teman satu rumah
ini mengerti dengan kewajiban masing-masing. Kewajiban memasak sesibuk
apa pun adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. Sepertinya remeh tapi
sangat penting untuk sebuah tanggung jawab. Masak tepat pada waktunya
adalah bukti paling mudah sebuah rasa cinta sesama saudara. Ya inilah
persaudaraan. Hidup di negeri orang harus saling membantu dan
melengkapi. Tanpa orang lain mana mungkin kita bisa hidup dengan baik.
Sambil rebahan kunikmati suara Syaikh Syathiri membaca Al-Qur’an
mengalun indah. Maghrib masih lama. Dalam musim panas, siang lebih
panjang dari malam. Aku harus beristirahat. Nanti malam harus kembali
memeras otak. Menerjemah untuk biaya menyambung hidup. Ya, hidup
ini—kata Syauqi, sang raja penyair Arab—adalah keyakinan dan perjuangan.
Dan perjuangan seorang
49 Ruzz bil laban: Bubur dari beras yang dibuat dengan susu. Setelah dingin dimasukkan dalam kulkas.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
41
mukmin sejati—kata Imam Ahmad bin Hanbal—tidak akan berhenti kecuali ketika kedua kakinya telah menginjak pintu surga.
* * *
Seperti biasa, usai shalat maghrib berjamaah di masjid kami berkumpul di
ruang tengah untuk makan bersama. Kali ini kami hanya berempat. Masih
kurang satu, yaitu Si Mishbah. Ia belum pulang. Ia masih di Wisma
Nusantara yang menjadi sentral kegiatan mahasiswa Indonesia. Gedung yang
diwakafkan oleh Yayasan Abdi Bangsa itu terletak di Rab’ah El-Adawea,
Nasr City.
Hamdi baru pulang dari Masjid Indonesia. Ia banyak bercerita tentang
anak-anak para pejabat KBRI yang lucu-lucu dan manja-manja. Dibandingkan
yang ada di negara lain, KBRI di Cairo bisa dibilang termasuk yang
beruntung. Komunitas yang mereka urusi adalah mahasiswa Al Azhar.
Kegiatan keislaman dan pengajian antaribu-ibu KBRI juga berjalan lancar.
Tiap Ramadhan ada tarawih bersama. Juga ada pesantren kilat untuk
putera-puteri mereka. Semuanya dipandu oleh mahasiswa dan mahasiswi Al
Azhar. Masalah yang dihadapi KBRI Cairo tidak serumit yang dihadapi oleh
KBRI di Saudi Arabia misalnya, yang setiap hari berurusan dengan TKI
atau TKW dengan setumpuk masalahnya yang sangat memuakkan. Misalnya,
tidak dibayar majikan, disiksa majikan, diperkosa majikan, diperlakukan
seperti budak oleh majikan, dihamili oleh sesama tenaga kerja dari
Indonesia, ditangkap polisi karena tidak punya izin tinggal resmi, dan
lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Masjid Indonesia yang dibangun oleh para pejabat KBRI bahkan telah
memiliki perpustakaan yang cukup mengasyikkan bagi putera-puteri mereka.
Manajemen masjidnya lumayan baik. Teks khutbah Jum’atnya dibukukan tiap
tahun. Masjid Indonesia bahkan biasa menjadi tempat rekreasi para
mahasiswa yang ingin melepas penat pikiran. Mereka yang mayoritasnya
tinggal di Nasr City, jika merasa bosan bisa main ke Dokki. Silaturrahmi
ke rumah pejabat KBRI yang dikenal. Atau ke Masjid Indonesia yang
terletak di Mousadda Street. Pergi ke Dokki pada hari Jum’at sangat
tepat. Selain shalat Jum’at bersama dan bersilaturrahim dengan sesama
orang Indonesia, usai shalat Jum’at biasanya ada makan bersama di
belakang masjid. Makanan disediakan oleh para pejabat KBRI AYAT AYAT
CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
42
muslim secara bergiliran. Jika keadaan ini terus bertahan niscaya sangat indah untuk dikisahkan dan dikenang.
Usai makan, aku melakukan rutinitasku di depan komputer.
Mengalihbahasakan kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Kali
ini yang aku garap adalah kitab klasik karya Ibnu Qayyim, yaitu kitab
Miftah Daris Sa’adah. Dua jilid besar. Kitab berat. Menggarap kitab ini
benar-benar menguras pikiran dan tenaga. Aku harus ekstra serius dan
hati-hati pada saat Ibnu Qayyim membahas masalah ilmu perbintangan,
horoskop, pengaruh planet-planet, ramalan nasib, dan lain sebagainya.
Bahasa ilmu falak dan astronomi adalah bahasa yang tidak mudah. Aku
terpaksa membuka kamus klasik berkali-kali. Apalagi bahasa yang dipakai
Ibnu Qayyim adalah bahasa Arab klasik. Itu saja tidak cukup, harus juga
didampingi dengan kamus dan buku astronomi modern. Dan tatkala yang
ditulis Ibnu Qayyim telah terang maksudnya, aku bagaikan menemukan
mutiara tidak ternilai harganya. Ibnu Qayyim ternyata juga seorang
astronom yang luar biasa.
Menerjemahkan sebuah kitab klasik terkadang terasa sangat menjemukan.
Namun ketika rasa jemu bisa teratasi kegiatan itu akan berubah menjadi
sebuah rekreasi yang sangat mengasyikkan. Andaikan Ibnu Rusyd masih
hidup, aku ingin bertanya, rasanya seperti apa ketika dia sedang
menerjemahkan karya-karya Aristoteles. Dan seperti apa rasanya ketika
telah selesai semuanya?
Malam ini jadwalku sampai jam dua belas. Berhenti ketika shalat Isya.
Akhir bulan naskah harus sudah aku kirim ke Jakarta. Setelah itu ada dua
buku yang siap diterjemah. Buku kontemporer, bahasanya lebih mudah.
Seorang teman pernah mencibir diriku, bahwa menjadi penerjemah sama saja
menjadi mesin pengalih bahasa. Aku tak peduli dengan segala cibiran
mereka. Aku merasa nikmat dengan apa yang aku kerjakan. Aku bisa belajar
menambah ilmu, mentransfer ilmu pengetahuan dan berarti ikut serta
mencerdaskan bangsa. Aku bisa berkarya, sekecil apa pun bentuknya.
Berdakwah, dengan kemampuan seadanya. Dan yang terpenting aku bisa hidup
mandiri dengan royalti yang aku terima. Tidak seperti mereka yang
bisanya mencibir saja. Menuruti kata orang tidak akan pernah ada
habisnya. Kamu tidak akan mungkin bisa memenuhi segala
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
43
kesesuaian dengan hati semua manusia! Kata-kata Imam Syafii mengingatkan diriku.
* * *
Pukul 22.00 waktu Cairo. Handphone-ku berdering. Ada sms masuk. Dari
Musthafa, teman Mesir satu kelas di pasca. Ia memberikan kabar gembira,
“Mabruk. Kamu lulus. Kamu bisa nulis tesis. Tadi sore pengumumannya keluar.”
Aku merasa seperti ada hawa dingin turun dari langit. Menetes deras ke
dalam ubun-ubun kepalaku lalu menyebar ke seluruh tubuh. Seketika itu
aku sujud syukur dengan berlinang air mata. Aku merasa seperti
dibelai-belai tangan Tuhan. Setelah puas sujud syukurku aku
mengungkapkan rasa gembiraku pada teman-teman satu rumah. Mereka semua
menyambut dengan riang gembira. Dengan tasbih, tahmid dan istighfar.
Dengan mata yang berbinar-binar. Kukatakan pada mereka,
“Malam ini juga kita syukuran. Kita beli firoh masywi50 dua. Lengkap
dengan ashir mangga. Kita makan nanti tengah malam, bersama-sama di
sutuh sana. Bagaimana. Eh ra’yukum51?”
“Kalau ini sih usul yang susah ditolak!” sahut Saiful senang. Siapa yang tidak senang diajak makan ayam bakar gratis.
Kukeluarkan uang lima puluh pound.
“Biar aku sama Saiful saja yang beli. Mas Fahri sama Hamdi di rumah
saja. Kalian masih capek ‘kan karena perjalanan tadi siang. Okay?” Rudi
menawarkan diri.
“Okay. Oh ya jangan cuma ashir mangga, beli juga tamar hindi ya? Jangan
lupa!” sahut Hamdi. Ia memang paling suka sama tamar hindi. Waktu musim
dingin saja ia mencari tamar hindi, apa tidak aneh.
“Beres bos,” seru Saiful.
Keduanya membuka pintu dan keluar.
“Mas aku buat sambal sama menanak sedikit nasi ya?” kata Hamdi.
“Sip. Kita buat bareng,” sambutku sambil mengacungkan kedua jempolku.
Memang, tanpa membuat sambal ala Indonesia kurang mantap. Ayam bakar
Mesir
50 Ayam bakar.
51 Apa pendapat kalian.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
44
tidak pakai sambal. Padahal kami berempat adalah orang yang doyan
sambal, terutama Hamdi. Dia jebolan pesantren Lirboyo, harus pakai
sambal.
Saat melangkah ke dapur aku teringat Mishbah. Tidak adil rasanya kami
berempat berpesta tampa mengikutsertakan dia. Namanya keluarga, ketika
senang harus dirasakan bersama. Aku tersenyum. Masalah yang mudah.
Kutelpon Wisma. Aku minta disambungkan pada Mishbah. Kuberitahukan
padanya orang satu rumah akan syukuran atas kelulusanku. Ia berteriak
gembira,
“Mas apa aku pulang saja sekarang? Pakai taksi ‘kan cepat!”
“Kerjamu sudah selesai?” tanyaku.
“Belum sih sekarang aku lagi membuat estimasi dana sama Mas Khalid.”
“Kalau begitu kau selesaikan saja pekerjaanmu. Kalau kau pulang ke
Hadayek Helwan kau akan terlalu capek. Begini saja Akhi, kau ajak saja
Mas Khalid istirahat ke Babay atau ke mana terserah. Ajak makan firoh
masywi. Pakai uangmu atau uangnya Mas Khalid dulu. Nanti aku ganti. Jadi
adil, bagaimana?”
“Kalau begitu siiip-lah Mas. Pokoknya alfu mabruk deh.” Suaranya
terdengar girang. Aku tersenyum. Ah, musim panas yang menyenangkan,
meskipun melelahkan.
Dalam segala musim, Tuhan selalu Penyayang.
Itu yang aku rasakan.
* * *
Tepat tengah malam kami pergi ke suthuh.52 Membawa tikar, nampan besar,
empat gelas plastik, ashir mangga, tamar hindi, dan dua bungkus firoh
masywi yang masih hangat dan sedap baunya.
Kami benar-benar berpesta. Dua ciduk nasi hangat digelar di atas nampan.
Sambal ditumpahkan. Lalu dua ayam bakar dikeluarkan dari bungkusnya.
Tak lupa acar dan lalapan timun. Satu ayam untuk dua orang.
“Sekali-kali kita jadi orang Mesir beneran, satu ayam untuk dua orang,” komentar Rudi.
“Kalau ini bukan makan nasi lauk ayam. Ini makan ayam lauk nasi. Nasinya dikit sekali. Mbok ditambah dikit,” sambung Saiful.
52 Lantai apartemen paling atas dan menghadap langit (atap apartemen).
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
45
“Tujuannya memang kita makan ayam bakar. Nasi pelengkap saja untuk
melestarikan budaya Indonesia. Bagi yang mau tambah nasi ambil saja
sendiri. Benar nggak Mas?” sahut Hamdi.
“Sekarang bukan saatnya diskusi. Kalau mau diskusi besok Sabtu di Wisma
Nusantara. Rudi presentatornya. Bismillah, ayo jangan banyak cingcong
langsung kita ganyang saja!” ucapku sambil mencomot daging ayam di
hadapanku. Serta merta mereka melakukan hal yang sama. Kami makan sambil
ngobrol, di belai udara malam yang tidak dingin dan tidak panas.
Semilir sejuk. Keindahan musim panas memang pada waktu malam. Kala
langit cerah. Bulan terang. Bintang-bintang gemerlapan. Dan debu tidak
berhamburan. Menikmati suasana alam di atas suthuh apartemen sangat
menyenangkan. Nun jauh di sana cahaya lampu-lampu rumah dan
gedung-gedung dekat sungai Nil tampak berkerlap-kerlip diterpa angin.
Sayup-sayup kami mendengar bunyi irama musik rakyat mengalun di kejauhan
sana. Mungkin ada yang sedang pesta. Alunan itu ditingkahi puja-puji
syair sufi. Sangat khas senandung malam di delta Nil.
Suasana nyaman ini akan jadi kenangan tiada terlupakan. Dan kelak ketika
kami sudah kembali ke Tanah Air, kami pasti akan merindukan suasana
indah malam musim panas di Mesir seperti ini.
Usai makan kami tidak langsung turun. Kami tetap bercengkerama ditemani
semilir angin dari sungai Nil dan satu botol air segar tamar hindi. Kami
bercerita tentang malam-malam berkesan yang pernah kami lewati. Rudi
Marpaung yang berasal dari Medan menceritakan pengalamannya menginap
bersama teman-temannya ketika masih aliyah di Brastagi. Menyewa vila dan
mengadakan shalat tahajjud bersama dalam dinginnya malam. Suasana jadi
semakin asyik ketika Hamdi mengisahkan pengalamannya yang menegangkan
selama tersesat di lereng Gunung Lawu selama dua hari.
“Kami berempat belas. Dibagi dalam dua kelompok. Kami mencoba jalur
baru. Kelompok kami istirahat terlalu lama. Kami mengejar kelompok
pertama. Sayang kurang kompak. Kami bertiga tertinggal dan terlunta
selama dua hari dalam hutan Gunung Lawu. Hanya pertolongan dari Allah
yang membuat kami tetap hidup.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
46
Sedangkan Saiful yang waktu SMP pernah diajak ayahnya ke Turki bercerita
tentang indahnya malam di teluk Borporus. Ia bercerita detil teluk
Borporus. Lalu mengajak kami membayangkan bagaimana Sultan Muhammad
Al-Fatih merebut Konstantinopel dengan memindahkan puluhan kapal di
malam hari lewat daratan dan menjadikan kapal itu jembatan untuk
menembus benteng pertahanan Konstantinopel.
Di tengah asyiknya bercengkerama, tiba-tiba kami mendengar suara orang
ribut. Suara lelaki dan perempuan bersumpah serapah berbaur dengan suara
jerit dan tangis seorang perempuan. Suara itu datang dari bawah. Kami
ke tepi suthuh dan melihat ke bawah.
Benar, di gerbang apartemen kami melihat seorang gadis diseret oleh
seorang lelaki hitam dan ditendangi tanpa ampun oleh seorang perempuan.
Gadis yang diseret itu menjerit dan menangis. Sangat mengibakan. Gadis
itu diseret sampai ke jalan.
“Jika kau tidak mau mendengar kata-kata kami, jangan sekali-kali kau
injak rumah kami. Kami bukan keluargamu!” sengit perempuan yang
menendangnya.
Kami kenal gadis itu. Kasihan benar dia. Malang nian nasibnya. Namanya
Noura. Nama yang indah dan cantik. Namun nasibnya selama ini tak seindah
nama dan paras wajahnya. Noura masih belia. Ia baru saja naik ke
tingkat akhir Ma’had Al Azhar puteri. Sekarang sedang libur musim panas.
Tahun depan jika lulus dia baru akan kuliah. Sudah berulang kali kami
melihat Noura dizhalimi oleh keluarganya sendiri. Ia jadi bulan-bulanan
kekasaran ayahnya dan dua kakaknya. Entah kenapa ibunya tidak
membelanya. Kami heran dengan apa yang kami lihat. Dan malam ini kami
melihat hal yang membuat hati miris. Noura disiksa dan diseret tengah
malam ke jalan oleh ayah dan kakak perempuannya. Untung tidak musim
dingin. Tidak bisa dibayangkan jika ini terjadi pada puncak musim
dingin.
Noura sesengukan di bawah tiang lampu merkuri. Ia duduk sambil mendekap
tiang lampu itu seolah mendekap ibunya. Apa yang kini dirasakan ibunya
di dalam rumah. Tidakkah ia melihat anaknya yang menangis tersedu dengan
nada menyayat hati. Tak ada tetangga yang keluar. Mungkin sedang lelap
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
47
tidur. Atau sebenarnya terjaga tapi telah merasa sudah sangat bosan
dengan kejadian yang kerap berulang itu. Ayah Noura yang bernama Bahadur
itu memang keterlaluan. Bicaranya kasar dan tidak bisa menghargai
orang. Seluruh tetangga di apartemen ini dan masyarakat sekitar jarang
yang mau berurusan dengan Si Hitam Bahadur. Kulitnya memang hitam
meskipun tidak sehitam orang Sudan. Hanya kami yang mungkin masih
sesekali menyapa jika berjumpa. Itu pun kami terkadang merasa jengkel
juga, sebab ketika disapa ekspresi Bahadur tetap dingin seperti algojo
kulit hitam yang berwajah batu. Sejak kami tinggal di apartemen ini
belum pernah Si Muka Dingin Bahadur tersenyum pada kami. Kalau suara
tawanya yang terbahak-bahak memang sering kami dengar.
Aku paling tidak tahan mendengar perempuan menangis. Kuajak teman-teman
turun kembali ke flat. Mereka bertanya apa yang harus dilakukan untuk
menolong Noura. Aku diam belum menemukan jawaban. Aku masuk kamar,
kubuka jendela, angin malam semilir masuk. Noura masih terisak-isak di
bawah tiang lampu. Aku dan teman-teman tidak mungkin turun ke bawah
menolong Noura. Meskipun dengan sepatah kata untuk menghibur hatinya.
Atau untuk memberitahukan padanya bahwa sebenarnya ada yang peduli
padanya. Tidak mungkin. Jika ada yang salah persepsi urusannya bisa
penjara. Apalagi Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja tanpa
pertimbangan akal sehatnya.
Aku teringat Maria. Ia gadis yang baik hatinya. Rasa ibaku pada Noura
menggerakkan tanganku untuk mencoba mengirim sms pada Maria.
“Maria. Apa kau bangun. Kau dengar suara tangis di bawah sana?”
Kutunggu. Lima menit. Tak ada jawaban. Kuulangi lagi. Kutunggu lagi. Ada jawaban.
“Ya aku bangun. Aku mendengarnya. Aku lihat dari jendela Noura memeluk tiang lampu.”
“Apa kau tidak kasihan padanya?”
“Sangat kasihan.”
“Apa kau tidak tergerak untuk menolongnya.”
“Tergerak. Tapi itu tidak mungkin.”
“Kenapa?”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
48
“Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja. Ayahku tidak mau berurusan dengannya.”
“Tidakkah kau bisa turun dan menyeka air matanya. Kasihan Noura. Dia perlu seseorang yang menguatkan hatinya.”
“Itu tidak mungkin.”
“Kau lebih memungkinkan daripada kami.”
“Sangat susah kulakukan!” Maria menolak.
“Kumohon turunlah dan usaplah air matanya. Aku paling tidak tahan jika
ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal
baginya tentu aku akan turun mengusap air matanya dan membawanya ke
tempat yang jauh dari linangan air mata selama-lamanya.”
“Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa!”
“Kumohon, demi rasa cintamu pada Al-Masih. Kumohon!”
“Baiklah, demi cintaku pada Al-Masih akan kucoba. Tapi kau harus tetap
mengawasi dari jendelamu. Jika ada apa-apa kau harus berbuat sesuatu.”
“Jangan kuatir. Tuhan menyertai orang yang berbuat kebajikan.”
Benar dugaanku. Sebenarnya banyak tetangga yang terbangun oleh
teriakan-teriakan Bahadur dan jeritan Noura. Tapi mereka tidak tahu
harus berbuat apa. Pernah seorang tetangga memanggil polisi, tapi Noura
tidak mau ayahnya diperkarakan, Noura malah mengaku dia yang salah dan
ayahnya berhak marah. Mau bagaimana? Noura sepertinya tidak mau dibela
padahal apa yang dilakukan ayahnya padanya telah melewati batas. Tuan
Boutros, ayah Maria pernah menegur Si Hitam Bahadur atas perlakuannya
yang tidak baik pada anak bungsunya. Tapi apa yang terjadi? Bahadur
malah melontarkan sumpah serapah yang tidak enak didengar telinga.
Dari jendela aku melihat Maria berjalan mendekati Maria. Ia memakai
jubah biru tua. Rambutnya yang hitam tergerai ditiup angin malam. Maria
lalu duduk di samping Noura. Ia kelihatannya berbicara pada Noura sambil
mengelus-elus kepalanya. Noura masih memeluk tiang lampu. Maria terus
berusaha. Akhirnya kulihat Noura memeluk Maria dengan tersedu-sedu.
Maria memperlakukan Noura seolah adiknya sendiri. Sambil memeluk Noura
Maria menengok ke arahku. Aku menganggukkan kepala. Kulihat jam dinding,
pukul
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
49
dua empat puluh lima menit. Teman-teman sudah terlelap. Mereka
kekenyangan makan. Maria masih memeluk Noura. Cukup lama mereka
berpelukan. Maria melepaskan pelukannya. Tangan kanannya memenjet
handphone-nya dan meletakkan di telingannya.
Handphoneku menjerit. Maria bertanya,
“Sekarang apa yang harus kulakukan?”
“Tidak bisakah kau ajak dia ke kamarmu?”
“Aku kuatir Bahadur tahu.”
“Aku yakin dia sudah terlelap. Dan biasanya akan bangun sekitar jam
sepuluh pagi. Dia pekerja malam. Tadi jam setengah dua baru pulang terus
membuat keributan.”
“Baiklah akan kucoba.”
“Tunggu! Sekalian kau bujuk Noura menceritakan apa yang sebenarnya
dialaminya selama ini, agar kita semua para tetangga yang peduli pada
nasibnya bisa menolongnya dengan bijaksana.”
“Akan kucoba.”
Sebenarnya Maria bisa bicara langsung tanpa melalui handphone. Tapi dia
harus bersuara sedikit keras, dan itu akan mengganggu tetangga yang
tidur. Maria memang tidak seperti Mona dan Suzana, dua kakak perempuan
Noura yang genit dan keras bicaranya. Seringkali Mona atau Suzana
memanggil orang di rumah mereka dari bawah dengan suara keras. Tidak
siang tidak malam. Padahal rumah mereka hanya di lantai dua tapi
suaranya seperti memanggil orang di lantai tujuh.
Kulihat Maria berhasil membujuk Noura untuk ikut dengannya dan berjalan
memasuki gerbang apartemen. Hatiku sedikit lega. Masih ada waktu satu
jam setengah sampai subuh tiba. Kupasang beker. Aku ingin melelapkan
mata sebentar saja.
* * *
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
50
4. Air Mata Noura
Meskipun cuma terlelap satu jam setengah, itu sudah cukup untuk
meremajakan seluruh syaraf tubuhku. Setelah satu rumah shalat shubuh
berjamaah di masjid, kami membaca Al-Qur’an bersama. Tadabbur sebentar,
bergantian. Teman-teman sangat melestarikan kegiatan rutian tiap pagi
ini. Selama ada di rumah, membaca Al-Qur’an dan tadabbur tetap berjalan,
meskipun pagi ini kulihat mata Saiful dan Rudi melek merem menahan
kantuk.
Usai tadabbur Saiful, Rudi, dan Hamdi merebahkan diri di tempat tidur
masing-masing. Di musim panas, karena malamnya pendek, tidur selepas
shubuh adalah hal biasa bagi kebanyakan mahasiswa Indonesia. Tidak
putera, tidak puteri, semua sama. Wa bilkhusus para aktivis yang sering
begadang sampai shubuh. Mereka para raja dan para ratu tidur pagi hari.
Orang Mesir pun juga banyak melakukan hal yang sama. Begitu mendengar
azan shubuh mereka yang tidak mau berjamaah langsung shalat lalu tidur
dan bangun sekitar pukul setengah sembilan. Kantor-kantor dan instansi
benar-benar membuka pelayanan setelah jam sembilan. Toko-toko juga
banyak yang baru buka jam sembilan. Meskipun tidak semua. Ada beberapa
instansi dan toko yang telah buka sejak jam tujuh. Yang paling disiplin
buka pagi adalah warung penjual roti isy dan ful.53 Mereka telah buka
sejak pagi-pagi sekali.
Kebiasaan tidur setelah shalat shubuh kurang baik ini sering disindir
para Imam. Dalam sebuah khutbah Jum’at, imam muda kami, yaitu Syaikh
Ahmad Taqiyyuddin pernah mengatakan,
‘Seandainya Israel menggempur Mesir pada jam setengah tujuh pagi maka
mereka tidak akan mendapatkan perlawanan apa-apa. Mereka akan sangat
mudah sekali memasuki kota Cairo dan membunuh satu per satu penduduknya.
Karena pada saat itu seluruh rakyat Mesir sedang terlelap dalam
tidurnya dan baru akan benar-benar bangun pukul sembilan.’
Kata-kata itu mungkin tidak seratus persen benar, tapi cukup mewakili
untuk menggambarkan kelengangan kota Cairo pada jam setengah tujuh di
musim
53 Roti Isy dan Ful adalah makanan pokok orang Mesir. AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
51
panas. Padahal pada saat yang sama, di Jakarta sedang sibuk-sibuknya orang berangkat kerja, dan kemacetan terjadi di mana-mana.
Aku termasuk orang yang anti tidur langsung setelah shalat shubuh. Aku
tidak mau berkah yang dijanjikan baginda Nabi di waktu pagi lewat begitu
saja. Hal ini juga kutanamkan pada teman-teman satu rumah. Jadi
seandainya semalam begadang dan mata sangat lelah, tetaplah diusahakan
shalat shubuh berjamaah, membaca Al-Qur’an, dan sedikit tadabbur. Semoga
yang sedikit itu menjadi berkah. Barulah tidur. Jika bisa tahan dulu
sampai waktu dhuha datang, shalat dhuha baru tidur.
Kunyalakan komputer untuk kembali menerjemah. Baru setengah halaman bel
berbunyi. Ada tamu. Ternyata Tuan Boutros dan Maria. Kupersilakan
keduanya duduk.
“Fahri, maaf menganggu. Ada yang perlu kita bicarakan,” kata Tuan Boutros.
“Apa itu Tuan?”
“Noura.”
Maria langsung menyahut,
“Begini Fahri. Aku sudah berusaha keras. Tapi Noura tidak mau
menceritakan segalanya. Dia hanya bilang telah diusir oleh ayah dan
kakaknya karena tidak bisa melakukan hal yang ia tidak bisa
melakukannya.”
“Hal yang ia tidak bisa melakukan itu maksudnya apa?” tanyaku.
“Ia tidak mau mengaku. Hanya itu yang bisa kudapat. Kami sekeluarga hanya bisa membantu sampai di sini.”
“Terus terang sebelum Si Bahadur bangun, Noura harus sudah meninggalkan rumah kami?” sahut Tuan Boutros.
“Bukannya kami tidak peduli. Kau tentu tahu sifat Si Bahadur itu. Di
samping itu Noura memang ingin pergi untuk sementara. Ia kelihatan
ketakutan dan cemas sekali. Ia tidak mau ayahnya tahu kalau ia ada di
rumah kami,” sambung Maria.
“Lantas apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.
“Untuk itulah kami berdua kemari. Mau tidak mau, pagi ini Noura memang
harus pergi. Untuk kebaikan dirinya, dan untuk kebaikan seluruh
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
52
penghuni apartemen ini. Jika sampai ia masih ada di sini, ayahnya akan
kembali membuat keributan. Noura akan jadi bulan-bulanan. Masalahnya,
semua orang sudah bosan. Yang jadi pikiran kami adalah Noura harus pergi
ke mana. Kami tidak tega dia pergi tanpa tujuan dan tanpa rasa aman,”
jelas Tuan Boutros.
“Anda benar Tuan Boutros. Dia harus pergi ke suatu tempat yang aman dan
tinggal di sana beberapa waktu sampai keadaan membaik. Hmm..apakah dia
tidak punya sanak saudara. Paman, bibi, atau nenek misalnya?”
“Di Cairo ini dia tidak memiliki siapa-siapa selain keluarga yang telah
mengusirnya. Dia masih punya paman dan bibi. Tapi sangat jauh di Mesir
selatan, dekat Aswan sana. Tepatnya di daerah Naq El-Mamariya yang
terletak beberapa puluh kilo di sebelah selatan Luxor. Bahadur dan
isterinya yaitu Madame Syaima berasal dari sana. Tapi Noura tidak bisa
ke sana. Katanya, seingatnya ia baru dua kali ke sana dan tidak tahu
jalannya. Ia tidak bisa sendirian ke sana,” jawab Maria.
“Teman sekolahnya?” tanyaku.
“Kami sudah memberikan saran itu padanya. Tapi Noura tidak mau. Ia ingin
pergi ke tempat yang tidak akan ditemukan ayah dan kedua kakaknya
sementara waktu. Seluruh rumah temannya telah diketahui ayahnya. Dia
pernah diseret ayahnya saat tidur di rumah salah seorang temannya di
Thakanat Maadi. Itu akan membuatnya malu pada setiap orang. Begitu
katanya.”
Aku mengerutkan kening.
“Bagaimana dengan saudara atau kenalan kalian? Pasti kalian punya
saudara dan kenalan yang tidak akan terlacak oleh ayahnya Noura. Dan itu
bisa membantu Noura,” selorohku.
Tuan Boutros dan Maria sedikit kaget mendengar usulku. Keduanya berpandangan.
“Fahri, mohon kau mengertilah posisi kami. Sungguh kami ingin menolong
Noura. Tapi menempatkan Noura di rumah kami, atau rumah saudara dan
kenalan kami itu tidak mungkin kami lakukan. Karena ini akan menambah
masalah?”
“Maksud Tuan Boutros?”
“Fahri, sebetulnya bisa saja kami membawa Noura ke tempat saudara kami.
Tapi kalau nanti sampai ketahuan Bahadur masalahnya akan runyam. AYAT
AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
53
Bahkan kalau ada orang tidak bertanggung jawab yang suka memancing ikan
di air keruh masalahnya bisa berkembang tidak hanya antara kami dan
Bahadur. Bisa lebih gawat dari itu. Kau ‘kan tahu, kami sekeluarga ini
penganut Kristen Koptik. Bahadur sekeluarga adalah muslim. Seluruh sanak
saudara dan kolega kami yang paling dekat adalah orang-orang Koptik.
Jika Noura bersembunyi di rumah kami atau rumah saudara kami bisa
mendatangkan masalah. Meskipun kami tidak melakukan apa-apa kecuali
menyediakan tempat dia berlindung. Kami nanti bisa dianggap merekayasa
meng-Kristen-kan Noura. Kami harus menjaga perasaan Noura sendiri dan
perasaan semuanya. Kau tentu tahu Noura siswi Ma’had Al Azhar. Dia tentu
akan merasa asing di rumah orang yang bukan satu keyakinan dengannya.
Dia akan merasa canggung untuk shalat, membaca Al-Qur’an dan lain
sebagainya. Di rumah kami saja yang tetangganya, yang kenal baik
dengannya, dia merasa canggung. Untuk shalat dia merasa tidak enak. Tadi
kami yang mempersilakan dia untuk shalat. Kami tidak ingin ini terjadi
pada Noura. Apa pun alasannya, yang paling bijak adalah menempatkan
Noura di tempat orang yang satu keyakinan dengannya. Yang bisa mengerti
keadaannya. Terus terang untuk ini kami minta bantuanmu. Meskipun kamu
bukan orang Mesir tapi kamu tentu punya kenalan orang Mesir yang muslim.
Menurut kami semua orang muslim itu baik kecuali Si Bahadur itu,” jelas
Maria panjang lebar.
Aku merenungkan penjelasan Maria. Sungguh bijak dia. Kata-kata adalah
cerminan isi hati dan keadaan jiwa. Kata-kata Maria menyinarkan
kebersihan jiwanya. Sebesar apa pun keikhlasan untuk menolong tapi
masalah akidah, masalah keimanan dan keyakinan seseorang harus dijaga
dan dihormati. Menolong seseorang tidak untuk menarik seseorang
mengikuti pendapat, keyakinan atau jalan hidup yang kita anut. Menolong
seseorang itu karena kita berkewajiban untuk menolong. Titik. Karena
kita manusia, dan orang yang kita tolong juga manusia. Kita harus
memanusiakan manusia tanpa menyentuh sedikit pun kemerdekaannya meyakini
agama yang dianutnya. Tak lebih dan tak kurang. Ah, andaikan umat
beragama sedewasa Maria dalam memanusiakan manusia, dunia ini tentu akan
damai dan tidak ada rasa saling mencurigai. Diam-diam aku bersimpati
pada sikap Maria.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
54
Aku lalu berpikir sejenak mencari jalan keluar. Sebenarnya aku bisa ke
tempat Syaikh Ahmad. Tapi masalahnya, waktu sangat mendesak. Noura harus
segera pergi sebelum keluarganya bangun. Dan dia harus pergi sendiri,
agar tidak ada yang disalahkan, atau terseret ke dalam pusaran
masalahnya dengan keluarganya. Aku teringat sesuatu.
“Oh ya aku ada ide,” kataku.
“Apa itu?” tuan Boutros dan Maria menyahut bareng.
“Bagaimana kalau sementara waktu Noura tinggal di salah satu rumah mahasiswi Indonesia di Nasr City.”
“Saya kira ini usul yang bagus. Mungkin mahasiswi Indonesia itu bisa
mendekatinya dan Noura bisa menceritakan semua derita yang dialaminya.
Setelah itu bisa dicarikan pemecahan bersama yang lebih baik. Sebab dia
kelihatannya sudah benar-benar dimusuhi keluarganya. Noura berkata,
bahkan ibunya sendiri yang dulu sering membelanya kini berbalik ikut
memusuhinya. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada Noura sebenarnya,”
ujar Maria.
“Baiklah aku akan menghubungi seorang mahasiswi Indonesia di Nasr City.”
“Lebih cepat lebih baik. Waktunya semakin sempit.”
Aku langsung bergegas mengambil gagang telpon dan memutar nomor rumah
Nurul, Ketua Wihdah, induk organisasi mahasiswi Indonesia di Mesir.
Seorang temannya bernama Farah yang menerima, memberitahukan Nurul baru
sepuluh menit tidur, sebab tadi malam ia bergadang di sekretariat
Wihdah.
“Tolong, ini sangat mendesak!” paksaku.
Akhirnya beberapa menit kemudian Nurul berbicara,
“Ada apa sih Kak. Tumben nelpon kemari?”
Aku lalu mengutarakan maksudku, meminta bantuannya, agar bisa menerima
Noura bersembunyi di rumahnya beberapa hari. Mula-mula Nurul menolak. Ia
takut kena masalah. Di samping itu, tinggal bersama gadis Mesir belum
tentu mengenakkan. Aku jelaskan kondisi Noura. Akhirnya Nurul menyerah
dan siap membantu.
“Begini saja Kak Fahri. Si Noura suruh turun di depan Masjid Rab’ah. Aku
dan Farah akan menjemputnya tepat pukul setengah sembilan.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
55
“Baiklah.”
Hasil pembicaraanku dengan Nurul aku jelaskan pada Tuan Boutros dan
Maria. Mereka tersenyum lega. Mereka mengajakku ke atas ke flat mereka
untuk menjelaskan segalanya pada Noura. Di ruang tamu rumah Tuan
Boutros, Noura menunduk dengan wajah sedih. Ada bekas biru lebam di
pipinya yang putih. Matanya memerah karena terlalu banyak menangis. Aku
meyakinkan, dia akan aman di tempat Nurul. Mereka semua mahasiswi Al
Azhar dari Indonesia yang halus perasaannya dan baik-baik semua. Noura
mengucapkan terima kasih atas pertolongan dan meminta maaf karena
merepotkan. Kujelaskan di mana dia akan dijemput Nurul dan Farah.
“Biar cepat, kau naik metro sampai Ramsis. Setelah itu naik Eltramco
jurusan Hayyul Asyir atau Hayyu Sabe’ yang lewat masjid Rab’ah. Turun di
masjid Rab’ah dan cari dua mahasiswi Indonesia. Kau tentu tahu ‘kan
muka orang Indonesia. Nurul memakai kaca mata jilbabnya panjang. Farah
tidak pakai kaca mata, dia suka jilbab kecil. Ditunggu setengah sembilan
tepat. Ini nomor telpon rumahnya,” kataku sambil menyerahkan selembar
kertas bertuliskan nomor telpon dan selembar uang dua puluh pound.
“Terimalah untuk ongkos perjalanan dan untuk menelpon kalau ada
apa-apa.”
Noura terlihat ragu.
“Jangan ragu. Aku tidak bermaksud apa-apa. Kita ini satu atap dalam
payung Al Azhar. Sudah selayaknya saling menolong,” kataku meyakinkan.
“Noura, terimalah. Fahri ini orang yang baik. Dia hafal Al-Qur’an. Apa
kamu tidak percaya dengan orang yang hafal Al-Qur’an?” ucap Maria
meyakinkan Noura.
Akhirnya Noura mau menerima kertas dan uang dua puluh pound itu dengan
mata berlinang. Bibirnya bergetar mengucapkan rasa terima kasih. Pagi
itu juga Noura pergi ke Nasr City dengan langkah gontai. Saat menatap
Maria ia mengucapkan rasa terima kasih dan berusaha tersenyum.
* * *
Pukul sembilan Nurul menelpon, Noura sudah berada di tempatnya. Dia
minta saya datang, sebab ada seorang anggota rumahnya yang belum bisa
menerima Noura tinggal di sana. Terpaksa saat itu juga aku meluncur ke
Nasr
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
56
City. Sampai di sana aku menjelaskan panjang lebar apa yang menimpa
Noura. Aku jelaskan penderitaannya seperti yang telah berkali-kali aku
lihat. Tentang ayahnya, ibunya dan kakak perempuannya yang tiada henti
menyiksa fisik dan batinnya. Tentang betapa baiknya keluarga Maria dan
betapa dewasanya mereka menyarankan agar Noura tinggal di rumah orang
yang seiman dengannya agar lebih at home. Mendengar itu semua mereka
menitikkan air mata dan siap menerima Noura.
Dari Nasr City aku langsung ke kampus Al Azhar di Maydan Husein.
Langsung ke syu’un thullab dirasat ulya.54 Mereka mengucapkan selamat
atas kelulusanku. Aku diminta segera mempersiapkan proposal tesis.
Setelah itu aku ke toko buku Dar El-Salam yang berada di sebelah barat
kampus, tepat di samping Khan El-Khalili yang sangat terkenal itu. Untuk
melihat buku-buku terbaru Dar El-Salam adalah tempat yang paling tepat
dan nyaman. Buku terbaru Prof. Dr. M. Said Ramadhan El-Bouthi menarik
untuk dibaca. Kuambil satu.
Keluar dari Dar El-Salam matahari sudah sangat tinggi mendekati pusar
langit. Udara sangat panas. Tak jauh dari Dar El-Salam ada penjual tamar
hindi. Aku tak bisa mengekang keinginanku untuk minum. Satu gelas saja
rasanya luar biasa segarnya. Aku pulang lewat Attaba. Aku teringat
jadwal belanja. Kusempatkan mampir di pasar rakyat Attaba. Dua kilo
rempelo ayam, satu kilo kibdah55 dan dua kilo suguq56 kukira cukup untuk
lauk beberapa hari.
Begitu masuk mahattah metro, azan zhuhur berkumandang. Dalam perjalanan,
panas matahari kembali memanggang. Sampai di rumah pukul dua kurang
seperempat. Aku masuk kamar dengan ubun-ubun kepala terasa mendidih.
Musim panas memang melelahkan. Sampai di flat aku langsung teler.
Telentang di karpet dengan dada telanjang menikmati belaian hawa sejuk
yang dipancarkan kipas angin kesayangan yang membuatku terlelap sesaat.
Dalam lelap, aku melihat Noura di pucak Sant Catherin, Jabal Tursina. Ia
melepas jilbabnya, rambutnya pirang, wajahnya bagai pualam, ia
tersenyum padaku. Aku kaget, bagaimana mungkin Noura berambut pirang,
padahal ayah dan ibunya mirip orang Sudan. Hitam dan rambutnya negro.
Aku menatap Noura
54 Syuun thullab dirasat ulya: Bagian yang mengurusi mahasiswa pascasarjana.
55 Hati.
56 Semacam sausage, bentuknya bundar memanjang.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
57
dengan heran. Lalu Nurul datang. Ia menangis padaku, lalu marah-marah
pada Noura. Aku terbangun membaca ta’awudz dan beristighfar
berkali-kali. Jam setengah tiga. Aku belum shalat. Setan memang suka
memanfaatkan kelemahan manusia. Tak pernah merasa kasihan. Untung waktu
zhuhur masih panjang. Aku beranjak untuk shalat.
Usai shalat aku kembali menelentangkan badan. Kali ini di atas tempat
tidur, entah kenapa kepalaku terasa nyut-nyut. Atau mungkin karena
kelelahan dua hari ini. Mimpi bertemu Noura masih ada dipikiran. Juga
Nurul, kenapa ia menangis dan marah. Apakah ini hanya kebetulan, atau
jangan-jangan betulan. Aku jarang sekali bermimpi yang bukan-bukan.
Mimpi bertemu perempuan bagiku adalah mimpi yang bukan-bukan. Aku masih
bisa menghitung berapa kali aku bermimpi bertemu perempuan. Tak ada
sepuluh kali. Semuanya bertemu perempuan yang satu, yaitu ibuku. Kali
ini aku bertemu Noura yang memperlihatkan rambutnya yang pirang dan
Nurul yang menangis dan marah. Yang kupikirkan adalah Nurul. Apakah
Nurul sejatinya menerima kehadiran Noura dengan terpaksa. Hatiku tidak
tenang. Aku bangkit. Tidak jadi tidur lagi. Kutelpon Nurul.
“Tidak ada acara Nur?”
“Sore ini tidak ada Kak. Jadwalnya istirahat.”
“Bagaimana dengan Noura?”
“Baik. Dia sekarang sedang tidur di kamarku. Benar katamu Kak, dia memang patut di kasihani. Punggungnya penuh luka cambuk.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Apa dia sudah bercerita banyak pada kalian?”
“Belum. Masih dalam taraf mencoba saling kenal. Tapi dia tidak tahan
merasakan sakit di punggungnya akhirnya dia sedikit bercerita kalau
ayahnya suka mencambuknya dengan ikat pinggang. Ayah yang kejam!”
“Sudah dibawa ke dokter?”
“Belum, rencananya nanti sore.”
“Nur, boleh aku tanya sedikit. Ini soal pribadi.”
“Apa itu Kak?”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
58
“Apa kau sedang marah?”
“Marah kenapa?”
“Karena Noura. Apa kalian menerimanya dengan terpaksa?”
“Jangan suudhan pada saya dan teman-teman Kak. Keberadaan Noura di sini
tidak ada masalah kok. Kenapa sih Kakak terlalu berprasangka begitu?”
“Ya aku kuatir saja kalian merasa terganggu dan direpotkan.”
“Nggak. Nggak apa-apa. Sure nggak apa-apa. Jangan kuatir!”
“Syukran kalau begitu.”
“Afwan.”
Benar, tadi itu yang datang dalam lelapku dari setan.
Nurul tidak apa-apa.
Suaranya juga bening ceria seperti biasa. Tidak ada rasa jengkel atau
marah sedikit pun. Sekarang Noura berambut pirang. Benarkah? Selama ini
aku tidak pernah melihat Noura lepas jilbab. Dari mana aku akan cari
info. Tanya pada ibu atau kedua kakaknya, gila apa. Tanya Maria. Ya
Maria, mungkin dia tahu. Aku balik ke kamar. Mengambil handphone dan
mengirim pesan pada Maria.
“Maria boleh tanya?”
Lima menit kemudian,
“Boleh. Tanya apa?”
“Jangan kaget ya? Mungkin pertanyaan aneh.”
“Apa itu?”
“Apa Noura berambut pirang?”
“Pertanyaanmu memang aneh. Jawabnya ya, dia berambut pirang. Kenapa kau tanyakan itu?”
“Ingin tahu saja. Tapi jika dia berambut pirang memang aneh.”
“Aneh bagaimana? Orang Mesir biasa berambut pirang.”
“Bukan itu maksudku. Bukankah ayah dan ibunya seperti orang Sudan? Hitam dan berambut negro?”
“Kau ingin mengatakan Noura bukan anak mereka.”
“Entahlah. Ini hanya firasat.”
“Tapi firasatmu mungkin ada benarnya.”
“Hanya Tuhan yang tahu.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
59
Aku kembali menelentangkan badan di atas kasur. Saatnya tidur. Baru dua
detik mata terpejam, handphoneku menjerit. Nomor tak kukenal. Siapa ya?
Kuangkat,
“Assalamu’alaikum.”
Suara bening perempuan. Logatnya agak aneh. Siapa ?
“Wa ‘ailakumussalam. Ini siapa ya?” jawabku balik bertanya.
“Sind Sie Herr Fahri?”57 Dia malah balik bertanya dengan bahasa Jerman.
Aku langsung teringat perempuan bercadar biru muda yang kemarin bertemu
di dalam metro. Dia pasti Aisha.
“Ja. Sie Aisha?” jawabku dengan bahasa Jerman.
“Ja. Herr Fahri, haben Sie zeit?58” Pertanyaannya mengandung maksud mengajak bertemu.
“Heute?”59
“Ja. Heute, ba’da shalat el ashr.”60
Aku ingin tertawa mendengar dia mencampur bahasa Jerman dengan bahasa
Arab. Tapi memang tepat. Kata-kata shalat sejatinya susah diterjemahkan
ke dalam bahasa lain secara pas.
“Nein danke, heute ba’da shalat el ashr habe ich leider keine Zeit! Ich
habe schon eine verabredung!” 61 Maksudku adalah janji pada jadwal untuk
menerjemah.
Aisha lalu menjelaskan ia ingin bertemu denganku secepatnya. Ia minta
aku bisa meluangkan sedikit waktu. Karena sangat penting. Berkaitan
dengan Alicia yang katanya ingin berbincang seputar Islam dan ajaran
moral yang dibawanya. Alicia ingin sekali bertanya banyak hal padaku
sejak kejadian di atas metro itu. Aisha memohon dengan sangat, sebab
menurutnya ini kesempatan yang baik untuk menjelaskan Islam yang
sebenarnya pada orang Barat. Aisha mengatakan Alicia seorang reporter
berita. Ia wartawan dan ini kesempatan emas. Mau tak mau aku mengiyakan
dan menawarkan bagaimana jika bertemu besok. Ia senang sekali
mendengarnya. Kami membuat kesepakatan bertemu di mahattah
57 Apakah Anda Tuan Fahri.
58 Tuan Fahri, apakah kau punya waktu?
59 Hari ini?
60 Ya. Hari ini setelah shalat ashar.
61 Tidak, terima kasih, sayang aku tidak ada waktu selepas shalat ashar! Aku punya janji.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
60
metro bawah tanah Maydan Tahrir tepat jam setengah sebelas. Aku minta
padanya untuk datang tepat waktu. Ia tertawa. Sedikit ia meledek,
bukankah seharusnya dia yang meminta padaku untuk datang tepat waktu.
Aku tersenyum kecut. Memang orang Indonesia terkenal jam karetnya. Aku
tidak sangka kalau orang seperti Aisha tahu akan hal itu. Aku tidak
perlu bertanya padanya dari mana ia tahu itu. Sebuah pertanyaan bodoh di
dunia global seperti sekarang ini. Bukankah dengan kecanggihan
teknologi jarum jatuh di pelosok Merauke sana bisa terdengar sampai ke
New York dan ke seluruh penjuru dunia?
Aku langsung menulis janji bertemu Aisha pada planning kegiatan esok
hari. Ternyata padat. Besok jadwal khutbah di masjid Indonesia. Berarti
nanti malam mempersiapkan bahan khutbah. Pagi diketik dan langsung
di-print. Lantas istirahat. Tidak ke mana-mana. Tidak juga sepak bola.
Untak stamina khutbah. Kalaupun ingin melakukan sesuatu lebih baik
menerjemah beberapa halaman. Jam sembilan berangkat. Sampai di Tahrir
kira-kira jam sepuluh. Kalau misalnya metro sedikit terlambat, aku bisa
tetap datang tepat waktu. Lantas berbincang dengan Aisha dan Alicia
sampai jam sebelas. Setelah itu pergi ke Dokki untuk khutbah. Aku harus
datang di awal waktu biar tidak gugup. Begitu rencananya. Jika tidak
dibuat outline yang jelas seperti itu akan membuat hidup tidak terarah
dan banyak waktu terbuang percuma.
Kulihat kalender. Melihat kalender adalah hal yang paling kusuka. Karena bagiku dengan melihatnya optimisme hidup itu ada.
Jum’at tanggal sembilan dan Sabtu tanggal sepuluh. Ada tanda pada
tanggal sepuluh. Hmm..kapan aku memberi tanda dan untuk apa?
Jangan-jangan aku ada janji dengan seseorang. Aku berusaha
mengingat-ingat. Rancangan kegiatan satu bulan aku lihat. Juga tidak ada
janji khusus. Terus itu tanda apa ya? Hari Minggunya, tanggal sebelas
juga ada tanda yang sama. Dua hari berturut-turut. Aku teringat sesuatu.
Ya itu tanda yang aku bubuhkan tiga bulan lalu begitu tahu tanggal
lahir seluruh keluarga Tuan Boutros. Aku berniat memberikan hadiah untuk
mereka, tepat di hari ulang tahun mereka. Madame Nahed, ibunya Maria,
ulang tahun tanggal 10 Agustus. Si Yousef adik lelaki Maria tanggal 11
Agustus, satu hari setelah ibunya. Sedangkan Tuan Boutros 26 Oktober,
dan Maria 24 Desember. Tanggal-tanggal itu telah aku beri tanda. Aku
paling suka memberi
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
61
kejutan pada teman atau kenalan. Teman satu rumah sudah mendapatkan
hadiah mereka pada hari istimewa mereka. Berarti besok kegiatannya
bertambah satu, mencarikan hadiah untuk Madame Nahed dan Yousef. Hadiah
yang sederhana saja. Sekadar untuk memberikan rasa senang di hati
tetangga. Tiba-tiba aku berpikir ingin memberikan hadiah pada Si Muka
Dingin Bahadur, ayah Noura yang mirip orang Sudan itu. Apa reaksinya
kira-kira?
* * *
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
62
5. Pertemuan di Tahrir
Jam 10.10 aku sampai di mahattah metro bawah tanah Maydan Tahrir. Sesuai
dengan janji, kami akan bertemu di jalur metro menuju Giza Suburban.
Tempatnya lebih nyaman. Lebih indah. Aku mencari tempat duduk yang
paling mudah dilihat. Janjinya tepat setengah sebelas. Aku datang dua
puluh menit lebih awal. Sambil menunggu aku membaca kembali bahan
khutbah yang telah kupersiapkan. Keadaan mahattah tidak terlalu ramai.
Menjelang shalat Jum’at seperti ini biasanya memang agak lengang.
Seorang polisi bersiaga dengan senjata di pinggang. Petugas kebersihan
berseragam menyapu pelan-pelan. Seorang perempuan berjubah hitam
bercadar hitam datang. Kukira dia Aisha, ternyata bukan. Perempuan itu
tidak melihat ke arahku sama sekali. Begitu metro datang, ia langung
naik dan hilang.
Sudah pukul sebelas Aisha belum juga datang. Aku akan menunggu sampai
seperempat jam ke depan jika ia tidak datang aku akan langsung pergi ke
Dokki. Pukul sebelas lima menit ada seorang perempuan berabaya cokelat
tua dengan jilbab dan cadar di kepalanya. Ia melangkah tergesa ke
arahku. Ia mengucapkan salam dan aku menjawabnya.
“Nehmen Sie platz!” 62 kupersilakan dia duduk.
“Danke schon.”63 Selorohnya sambil bergerak duduk di samping kananku.
“Bitte.”64
Aisha melihat jam tangannya. Dia minta maaf datang terlambat. Aku hanya
tersenyum. Kami lalu mulai berbincang-bincang. Aisha memilih pakai
bahasa Jerman.
“Wo ist Alicia?”65 Tanyaku karena aku tidak juga melihat bule Amerika itu datang.
“Insya Allah, dia akan datang sepuluh menit lagi. Dia sedang dalam
perjalanan dari wawancara dengan Ibrahem Nafe’, Pemimpin Redaksi Harian
Ahram.”
62 Silakan duduk.
63 Terima kasih banyak.
64 Kembali.
65 Di mana Alicia? AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
63
Aku bisa memaklumi, namun aku perlu menjelaskan padanya bahwa tepat
setengah dua belas aku harus meninggalkan Tahrir. Sekali lagi Aisha
minta maaf atas keterlambatannya dan keterlambatan Alicia. Dalam hati
aku senang, bahwa memang perlu sekali-kali orang Barat minta maaf pada
orang Indonesia, karena mereka datang tidak tepat waktu. Makanya, jangan
main-main dengan murid Syaikh Utsman yang terkenal disiplin.
“Semoga lima belas menit cukup bagi Alicia untuk mendapatkan jawaban
atas ketidaktahuannya akan Islam,” kata Aisha dengan nada sedikit
menyesal.
“Sebetulnya saya senang diajak berbincang untuk menjelaskan keindahan
Islam. Tapi kali ini saya ada jadwal khutbah. Maafkan saya.”
“Kalau waktunya tidak cukup, anggaplah ini pertemuan pengantar saja.
Semoga Anda tidak keberatan seandainya Alicia minta waktu lagi, entah
kapan.”
“Insya Allah. Dengan senang hati.”
Aisha lalu bertanya-tanya tentang saya. Tentang Indonesia. Tentang Jawa.
Dia pun sempat sedikit mengenalkan dirinya. Dia baru empat bulan di
Cairo. Tujuannya untuk belajar bahasa Arab dan memperbaiki bacaan
Al-Qur’annya. Di Jerman ia sudah tingkat akhir Fakultas Psikologi.
Ayahnya asli Jerman. Ibunya asli Turki. Dari ibunya ia memiliki darah
Palestina. Sebab neneknya atau ibu ibunya adalah wanita asli Palestina.
Ibunya bilang, neneknya lahir di Giza. Aku bertanya sejak kapan memakai
jilbab dan cadar. Ia menjawab memakai jilbab sejak SMP dan memakai cadar
sejak tiba di Mesir, mengikuti bibinya. Sementara ia memang tinggal di
Maadi bersama bibi dan pamannya. Bibinya sedang S.2. di Kuliyyatul Banat
Universitas Al Azhar, beliau adik bungsu ibunya. Sedangkan pamannya
sedang S.3., juga di Al Azhar. Aku mengenal beberapa orang Turki yang
ada di program pascasarjana. Aku teringat sebuah nama.
“Aku kenal seorang mahasiswa Turki. Dia cukup akrab denganku. Dia pernah
bilang tinggal di dekat Kentucky Maadi, mungkin pamanmu kenal,” kataku.
“Dekat Kentucky? Siapa namanya? Coba nanti aku tanyakan pada paman,” Aisha penasaran.
“Namanya Eqbal Hakan Erbakan?”
“Siapa?” AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
64
“Eqbal Hakan Erbakan.”
“La ilaaha illallah!”
“Kenapa?”
“Itu pamanku.”
“So ein zufall!66 ”
“Dunia begitu sempit bukan? Tak kukira kau kenal pamanku.”
“Sampaikan salamku untuknya. Katakan saja dari Fahri Abdullah Shiddiq,
teman i’tikaf di masjid Helmeya Zaitun tahun lalu. Juga sampaikan
salamku pada bibimu dan kedua puteranya yang lucu; Amena dan Hasan.”
“Insya Allah dengan senang hati.
Dari kejauhan aku melihat seorang perempuan bule datang.
“Apakah dia Alicia?”
“Kelihatannya.”
Penampilannya memang berbeda dengan waktu aku melihatnya di metro dua
hari yang lalu. Sekarang tampak lebih sopan. Memakai hem lengan panjang.
Tidak kaos ketat dengan bagian perut terlihat. Ia menyapa kami dengan
tersenyum. Aisha menjelaskan waktu yang ada sangat sempit, karena jam
setengah dua belas aku harus cabut ke Masjid Indonesia di Dokki. Alicia
bisa mengerti dan minta maaf atas keterlambatan. Ia langsung membuka
dengan sebuah pertanyaan,
“Begini Fahri, di Barat ada sebuah opini bahwa Islam menyuruh seorang
suami memukul isterinya. Katanya suruhan itu terdapat dalam Al-Qur’an.
Ini jelas tindakan yang jauh dari beradab. Sangat menghina martabat kaum
wanita. Apakah kau bisa menjelaskan masalah ini yang sesungguhnya?
Benarkah opini itu, atau bagaimana?”
Aku menghela nafas panjang. Aku tidak kaget dengan pertanyaan Alicia
itu. Opini yang sangat mendiskreditkan itu memang seringkali dilontarkan
oleh media Barat. Dan karena ketidakmengertiannya akan ajaran Islam
yang sesungguhnya banyak masyarakat awam di Barat yang menelan
mentah-mentah opini itu. Dengan kemampuan yang ada aku berusaha
menjelaskan sebenarnya. Aku berharap Alicia bisa memahami bahasa
Inggrisku dengan baik,
66 Sungguh suatu kebetulan.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
65
“Tidak benar ajaran Islam menyuruh melakukan tindakan tidak beradab itu.
Rasulullah Saw. dalam sebuah haditsnya bersabda, ‘La tadhribu
imaallah!’67 Maknanya, ‘Jangan kalian pukul kaum perempuan!’ Dalam
hadits yang lain, beliau menjelaskan bahwa sebaik-baik lelaki atau suami
adalah yang berbuat baik pada isterinya.68 Dan memang, di dalam
Al-Qur’an ada sebuah ayat yang membolehkan seorang suami memukul
isterinya. Tapi harus diperhatikan dengan baik untuk isteri macam apa?
Dalam situasi seperti apa? Tujuannya untuk apa? Dan cara memukulnya
bagaimana? Ayat itu ada dalam surat An-Nisa, tepatnya ayat 34:
“Sebab itu, maka Wanita yang saleh ialah yang ta'at kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu kuatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi
lagi Mahabesar.”
Jadi seorang suami diperbolehkan untuk memukul isterinya yang telah terlihat tanda-tanda nusyuz.”
Alicia menyela, “Nusyuz itu apa?”
“Nusyuz adalah tindakan atau perilaku seorang isteri yang tidak
bersahabat pada suaminya. Dalam Islam suami isteri ibarat dua ruh dalam
satu jasad. Jasadnya adalah rumah tangga. Keduanya harus saling menjaga,
saling menghormati, saling mencintai, saling menyayangi, saling
mengisi, saling memuliakan dan saling menjaga. Isteri yang nusyuz adalah
isteri yang tidak lagi menghormati, mencintai, menjaga dan memuliakan
suaminya. Isteri yang tidak lagi komitmen pada ikatan suci pernikahan.
Jika seorang suami melihat ada gejala isterinya hendak nusyuz, hendak
menodai ikatan suci pernikahan, maka Al-Qur’an memberikan tuntunan
bagaimana seorang suami harus bersikap untuk mengembalikan isterinya ke
jalan yang benar, demi menyelamatkan keutuhan rumah tangganya. Tuntunan
itu ada dalam surat An-Nisaa ayat 34 tadi. Di situ Al-Qur’an memberikan
tuntunan melalui tiga tahapan,
67 Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah.
68 Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
66
Pertama, menasihati isteri dengan baik-baik, dengan kata-kata yang
bijaksana, kata-kata yang menyentuh hatinya sehingga dia bisa segera
kembali ke jalan yang lurus. Sama sekali tidak diperkenankan mencela
isteri dengan kata-kata kasar. Baginda Rasulullah melarang hal itu.
Kata-kata kasar lebih menyakitkan daripada tusukan pedang.
Jika dengan nasihat tidak juga mempan, Al-Qur’an memberikan jalan kedua,
yaitu pisah tempat tidur dengan isteri. Dengan harapan isteri yang
mulai nusyuz itu bisa merasa dan interospeksi. Seorang isteri yang
benar-benar mencintai suaminya dia akan sangat terasa dan mendapatkan
teguran jika sang suami tidak mau tidur dengannya. Dengan teguran ini
diharapkan isteri kembali salehah. Dan rumah tangga tetap utuh harmonis.
Namun jika ternyata sang isteri memang bebal. Nuraninya telah tertutupi
oleh hawa nafsunya. Ia tidak mau juga berubah setelah diingatkan dengan
dua cara tersebut barulah menggunakan cara ketiga, yaitu memukul.
Yang sering tidak dipahami oleh orang banyak adalah cara memukul yang
dikehendaki Al-Qur’an ini. Tidak boleh sembarangan. Suami boleh memukul
dengan syarat:
Pertama, telah menggunakan dua cara sebelumnya namun tidak mempan. Tidak
diperbolehkan langsung main pukul. Isteri salah sedikit main pukul. Ini
jauh dari Islam, jauh dari tuntunan Al-Qur’an. Dan Islam tidak
bertanggung jawab atas tindakan kelaliman seperti itu.
Kedua, tidak boleh memukul muka. Sebab muka seseorang adalah segalanya bagi manusia. Rasulullah melarang memukul muka.
Ketiga, tidak boleh menyakitkan. Rasulullah Saw. bersabda, ‘Bertakwalah
kepada Allah dalam masalah perempuan (isteri). Mereka adalah orang-orang
yang membantu kalian. Kalian punya hak pada mereka, yaitu mereka tidak
boleh menyentuhkan pada tempat tidur kalian lelaki yang kalian benci.
Jika mereka melakukan hal itu maka kalian boleh memukul mereka dengan
pukulan yang tidak menyakitkan (ghairu mubrah). Dan kalian punya
kewajiban pada mereka yaitu memberi rizki dan memberi pakaian yang
baik.’69 Para ulama ahli fiqih dan ulama tafsir menjelaskan kriteria
‘ghairu mubrah’ atau ‘tidak menyakitkan’ yaitu tidak
69 Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
67
sampai meninggalkan bekas, tidak sampai membuat tulang retak, dan tidak di bagian tubuh yang berbahaya jika kena pukulan.
Dengan menghayati benar-benar kandungan ayat suci Al-Qur’an itu dan
makna hadits-hadits Rasulullah itu akan jelas sekali seperti apa
sebenarnya ajaran Islam. Apakah seperti yang dituduhkan dan diopinikan
di Barat yang menghinakan wanita? Apakah tuntunan mulia seperti itu,
yang bertujuan menyelamatkan bahtera rumah tangga karena ada gejala
isteri hendak nusyuz, tidak lagi bersahabat pada suaminya, hendak
menodai ikatan suci pernikahan dianggap tiada beradab?
Kapan seorang suami diperbolehkan memukul? Pada isteri macam apa?
Syaratnya memukulnya apa saja? Tujuannya apa? Itu semua haruslah
diperhatikan dengan seksama. Memukul seorang isteri jahat tak tahu diri
dengan pukulan yang tidak menyakitkan agar ia sadar kembali demi
keutuhan rumah tangga, apakah itu tidak jauh lebih mulia daripada
membiarkan isteri berbuat seenak nafsunya dan menghancurkan rumah
tangga?
Ya inilah ajaran Islam dalam mensikapi seorang isteri yang berperilaku
tidak terpuji. Islam sangat memuliakan perempuan, bahwa di telapak kaki
ibulah surga anak lelaki. Hanya seorang lelaki mulia yang memuliakan
wanita. Demikian Islam mengajarkan.”
Rasanya sudah cukup panjang aku menjelaskan. Alicia tampak
mengangguk-anggukkan kepala. Sekilas kulihat mata Aisha berkaca-kaca.
Entah kenapa. Sebenarnya aku ingin memaparkan ratusan data tentang
perlakuan tidak manusiawi orang-orang Eropa pada isteri-isteri mereka.
Namun kuurungkan. Biarlah suatu saat nanti sejarah sendiri yang
membeberkan pada Alicia dan orang-orang seperti Alicia. Di Inggris,
beberapa abad yang lalu isteri tidak hanya boleh dipukul tapi boleh
dijual dengan harga beberapa poundsterling saja. Ada seorang Perdana
Menteri Jepang yang mengatakan bahwa cara terbaik memperlakukan wanita
adalah dengan menamparnya. Dengan bangga Perdana Menteri itu mengaku
sering menampar isteri dan anak perempuannya. Ia bahkan menasihati suami
puterinya agar tidak segan-segan menampar isterinya. Untungnya Inggris
dan Jepang bukan negara yang mayoritas penduduknya muslim. Jika mereka
negara Islam atau mayoritas penduduknya muslim pastilah protes keras
atas
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
68
perlakuan tidak beradab pada perempuan itu akan datang bagaikan gelombang badai.
Aku menengok jam tangan. Pukul 11.35.
“Maaf. Aku harus pergi sekarang. Aku sudah terlambat lima menit dari
rencana,” ucapku pada Alicia dan Aisha sambil bangkit dari duduk.
“Dari jawaban yang kau berikan aku mendapatkan masukan yang sama sekali
baru aku mengerti. Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin aku
tanyakan kepadamu.Tentang Islam memperlakukan perempuan. Tentang Islam
memperlakukan non-Islam. Tentang Islam dan perbudakan dan lain
sebagainya. Dan aku berharap akan mendapatkan jawaban yang baik dalam
perspektif yang adil,” Alicia mengungkapkan harapannya.
“Saya senang berjumpa dengan orang seperti Anda Nona Alicia. Sebisa
mungkin saya akan memenuhi harapan Anda itu, insya Allah. Tapi terus
terang, bulan ini saya sangat sibuk. Saya harus komitmen dengan jadwal
yang telah ada. Anda tentu bisa memaklumi. Apalagi saya sedang
menyelesaikan magister saya. Jadi terus terang saya akan berusaha
mencuri-curi waktu. Saya ada ide. Bagaimana kalau semua pertanyaan yang
ingin Anda sampaikan, Anda tulis saja dalam sebuah kertas. Anda print.
Dan nanti serahkan pada saya. Saya akan menjawabnya di sela-sela waktu
senggang saya. Jika sudah terjawab semua akan saya serahkan kembali pada
Anda. Lalu kita bertemu dalam suatu tempat dan kita diskusikan masalah
yang belum clear. Bagaimana?”
“Saya kira ini ide yang bagus. Saya akan tuliskan pertanyaan saya
secepatnya. Dalam dunia jurnalistik wawancara tertulis lazim juga
digunakan. Terus bagaimana kita bisa bertemu lagi. Meskipun cuma
sebentar untuk menyerahkan pertanyaan-pertanyaan saya itu?”
Aku berpikir sesaat. Mengingat jadwal aku keluar.
“Anda sekarang tinggal di mana?” tanyaku setelah aku ingat jadwal keluar dari Hadayek Helwan dalam waktu dekat.
“Saya menginap di Nile Hilton Hotel.”
“Sampai kapan?”
“Kira-kira masih sembilan hari di Mesir.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
69
“Baik. Bagaimana kalau kita berjumpa besok Senin, tepat pukul sebelas pagi?”
“Okey. Di mana?”
“Di kafetaria National Library. Letaknya di Kornes Nil Street tak jauh
dari hotel Anda. Semua orang Mesir di hotel Anda, yang Anda tanya pasti
tahu.”
“Baiklah.”
“Aku boleh datang ‘kan?” sela Aisha.
“Tentu saja,” jawabku dan Alicia hampir bersamaan.
“Kalau begitu aku pamit dulu. Bye!”
Aku beranjak pergi meninggalkan keduanya tepat pada saat sebuah metro
dari Shubra El-Khaima datang. Perlahan berhenti. Perlahan-lahan terbuka.
Kutunggu orang-orang yang turun habis. Baru aku naik. Ada banyak tempat
duduk kosong. Aku pilih paling dekat. Duduk melihat ke arah jendela.
Masinis membunyikan tanda. Ding dung...ding dung! Tanda metro sebentar
lagi berjalan.
Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang perempuan menyapaku dengan bahasa Arab minta izin duduk, “Hal tasmahuli an ajlis!”
Aku menengok ke asal suara. Perempuan bercadar. Aisha! Aku sedikit
kaget. Aku menggeser tempat dudukku. Aisha duduk di sampingku.
“Mau ke mana?” tanyaku. Kali ini kami berbincang dalam bahasa Arab. Aku
berusaha menggunakan kalimat-kalimat fusha yang mudah dipahami olehnya.
Kuhindari bahasa ‘amiyah sama sekali.
“Aku perlu ikut kamu ke Masjid Indonesia,” jawabnya.
“Untuk apa?”
Metro mulai berjalan. Dua menit lagi metro akan melintas di bawah sungai
Nil. Sayangnya pemandangan di luar jendela hanya gelap berseling cahaya
lampu neon menempel di dinding terowongan.
“Aku ingin tahu komunitas orang Indonesia di Mesir. Siapa tahu aku bisa
dapat bahan untuk tesis psikologi sosial S.2.-ku kelak. Aku lagi
melengkapi data tentang masyarakat Jawa. Jadi mumpung ada kesempatan.
Aku tidak akan melewatkan begitu saja. Siapa tahu nanti di masjid ada
mahasiswi atau muslimah Indonesia, aku bisa kenalan. Dan besok-besok
jika aku ada perlu, bisa datang sendiri.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
70
“O, begitu. Kalau ingin bertemu mahasiswi Indonesia, seandainya di
masjid nanti tidak ada, namun semoga ada, insya Allah aku bisa bantu.”
“Terima kasih. Aku dengar dari paman, di Nasr City banyak mahasiswi Indonesia.”
“Benar. Mahasiswa Asia Tenggara mayoritas tinggal di sana.”
“Tadi kau bilang mau buat proposal tesis. Boleh tahu rencananya tema apa yang hendak kau garap?”
“Mungkin Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.”
“Ulama pembaru dari Turki itu?”
“Benar.”
“Pasti akan sangat menarik. Kebetulan keluarga kami di Turki adalah pengikut setia jamaah Syaikh Said An-Nursi rahimahullah.”
“Aku tahu, Eqbal Hakan pernah cerita padaku.”
“Di rumahnya banyak buku-buku karangan Syaikh An-Nursi.”
“Ya. Suatu saat aku akan ke sana jika aku perlu data tambahan.”
“Apa kau yakin sekarang tidak perlu data tambahan?”
“Untuk sekadar proposal mengajukan judul, konsepnya sudah matang dan
tinggal saya ketik. Saya sudah punya empat ratus referensi. Jika
diterima oleh tim penilai, barulah perlu bahan selengkap-lengkapnya
untuk penyusunan tesis.”
“Semoga diterima. Jika kelak tesismu jadi siapa tahu bisa diterbitkan di Turki.”
“Amin.”
Metro sampai di mahattah Dokki. “Kita turun?” tanya Aisha.
“Tidak, mahattah depan. Tapi tidak ada salahnya siap-siap.”
Kami beranjak ke dekat pintu. Kami berdiri berdekatan. Di kaca pintu
metro aku melihat bayanganku sendiri. Sama tingginya dengan Aisha.
Mungkin aku lebih tinggi sedikit. Satu atau dua sentimeter saja. Metro
berjalan lagi. Tak lama kemudian sampai di mahattah El-Behous. Antara
mahattah Dokki dan mahattah El-Behous jaraknya memang tidak terlalu
jauh. Keduanya masih dalam satu kawasan, yaitu kawasan Dokki.
Metro berhenti. Kami turun. Mahattah El-Behous berada sekitar dua puluh
lima meter di bawah tanah. Dengan eskalator kami naik ke atas. Kami
keluar ke
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
71
permukaan seperti vampire keluar dari sarangnya di siang bolong. Sinar
matahari terasa sangat menyilaukan. Panasnya menyengat dan menyiksa.
Cepat-cepat kuambil kaca mata hitam dari tas cangklongku. Lumayan, untuk
menyejukkan kornea mata. Aku berjalan dengan langkah cepat menuju
Mousadda Street. Aisha mengimbangi langkah dua meter di belakangku. Kami
diam seribu bahasa.
11.30.14 waktu Cairo, kami tiba di Masjid Indonesia yang tak lain adalah
lantai dasar sebuah gedung yang disebut Sekolah Indonesia Cairo atau
biasa disebut SIC. Lantai dasar itu cukup luas dan benar-benar layak
disebut masjid. Beberapa kali Bapak Duta Besar Indonesia di Cairo
mengundang diplomat negara lain yang muslim untuk shalat Jum’at di
masjid ini. Dari gerbang masjid aku menangkap suara riuh anak-anak
mengeja Al-Qur’an. Mereka adalah putera-puteri para pejabat KBRI yang
belajar mengaji dibimbing oleh mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang
sedang belajar di Al Azhar. Kupersilakan Aisha masuk.
Kulihat ada dua kelompok anak-anak mengaji. Di sebelah selatan dekat
mihrab, kelompok putera dibimbing oleh Fathurrahman dan Hasyim, keduanya
mahasiswa Al Azhar yang mengabdikan diri menjadi takmir. Di sebelah
utara, kelompok puteri dibimbing oleh seorang perempuan bercadar, aku
tidak tahu namanya dan seorang mahasiswi yang aku kenal yaitu Nurul,
Ketua Wihdah. Diam-diam aku salut pada Nurul. Meskipun ia jadi ketua
umum organisasi mahasiswi Indonesia paling bergengsi di Mesir, tapi ia
tidak pernah segan untuk menyempatkan waktunya mengajar anak-anak
membaca Al-Qur’an. Setelah bersalaman dengan Fathurrahman dan Hasyim,
kuajak Aisha menemui Nurul yang sedang mengajar, dan beberapa kali
melihat ke arah kami. Mungkin ia heran melihat aku datang bersama
seorang perempuan bercadar. Selama ini aku dikenal tidak pernah jalan
bersama seorang perempuan mana pun.
Kukenalkan Aisha pada Nurul dan Nurul pada Aisha. Kujelaskan siapa Aisha
pada Nurul dan kujelaskan siapa Nurul pada Aisha. Nurul menyambut Aisha
dengan senyum mengembang. Setelah mereka berbincang beberapa kalimat,
barulah aku minta diri pada mereka untuk mempersiapkan khutbah.
Sebelumnya aku jelaskan pada Aisha jika masih ingin berbincang, selepas
shalat Jum’at ada waktu, meskipun sebentar.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
72
Meskipun telah mandi, aku merasa perlu mandi lagi agar segar kembali.
Musim panas selalu membuatku ingin mandi berkali-kali. Aku langsung ke
ruang takmir yang tidak asing lagi bagiku. Melepas pakaian ganti sarung
dan mandi. Masjid ini bisa dikatakan sangat lengkap peralatannya. Mulai
dari peralatan ibadah, sound system, dan lain sebagainya. Bahkan
peralatan dapur pun ada. Masjid memiliki dapur yang integral dengan
dapur SIC. Memang kelebihan materi jika dialirkan untuk ibadah membuat
segalanya jadi indah. Usai mandi aku kembali ke kamar takmir. Hasyim
meminjamkan sarung baru, jas, serban dan kopiah putih. Aku memang sudah
memesannya Jum’at yang lalu. Hasyim sudah paham, di antara sekian banyak
mahasiswa yang mendapat jadwal khutbah hanya aku yang paling aneh.
Datang memakai pakaian santai. Mandi dan merapikan diri di masjid. Sebab
perjalanan dari Hadayek Helwan sampai Dokki cukup memakan waktu. Aku
tidak mau ribet.
Pukul 12.00 pengajian anak-anak selesai. Pukul 12.20 Hasyim membaca
Al-Qur’an dengan mujawwad menunggu jamaah datang. Pukul 12.35 ritual
ibadah shalat Jum’at di mulai. Bapak Duta ada di barisan ketiga. Beliau
datang agak terlambat. Tema khutbah yang diberikan takmir kepadaku
adalah ‘Indahnya Cinta Karena Allah.’ Selesai pukul 13.20. Kami lalu
makan bersama di belakang masjid. Menunya adalah Coto Makasar dan Es
Buah.
Usai makan aku mendekati Aisha dan Nurul untuk pamitan. Kutanyakan pada
Aisha apa masih ada yang bisa kubantu. Sebuah pertanyaan basa-basi. Dia
bilang tidak. Kutanyakan apa mau pulang bersama. Sebab jalurnya sama.
Sekali lagi sebuah pertanyaan basa-basi. Dia jawab masih ada yang
dibicarakan dengan Nurul. Lalu Aku teringat Noura.
“Nur, bagaimana kabar Noura?”
“Dia sudah mulai dekat dengan kita-kita dan bisa tertawa.”
“Dia cerita tentang dirinya nggak?”
“Ya. Tapi baru sebatas sekolahnya.”
“Tentang perlakuan keluarganya padanya?”
“Belum.”
“Tolong dekati dia. Sepertinya dia memendam masalah serius. Perlakuan
keluarganya selama ini tidak wajar. Kata Tuan Boutros, kita tidak akan
bisa
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
73
membantu kalau dia tidak jujur menjelaskan masalahnya. Kenapa
malam-malam sampai dicambuk dan diusir ayahnya. Dia cerita pada Maria,
ayah dan dua kakak perempuan menyuruh dia melakukan suatu pekerjaan yang
dia tidak bisa melakukannya. Pekerjaan apa itu? Dan kenapa dia tidak
bisa melakukannya? Apa masalah dia sesungguhnya. Kalau ayahnya menuntut
dia harus kerja untuk dapat uang, Madame Nahed, ibunya Maria menawarkan
dia bisa kerja di kliniknya sore hari. Tolong Nur, kau dekati dia dan
bicaralah dari hati ke hati. Aku paling tidak tahan kalau melihat ada
orang tertindas dan menderita di depan mataku.”
“Insya Allah Kak.”
“Oh ya, ini, untuk biaya makan Noura satu bulan. Semoga cukup,” aku mengulurkan amplop yang baru kuterima dari takmir.
“Tidak usah Kak.”
“Sudah jangan pakewuh. Kita sama-sama mahasiswa. Kita makan juga iuran.
Kalau uang dapur ngepres kita juga ketar-ketir. Ayo terimalah! Apalagi
Noura orang Mesir, dia tidak bisa selalu makan masakan kalian. Dia harus
makan makanan Mesir dan itu perlu biaya ‘kan? Terimalah!”
Akhirnya Nurul mau menerimanya.
Bagaimana mungkin aku yang sudah merepotkan mereka masih juga
membebankan biaya pada mereka. Dakwah ya dakwah. Ibadah ya ibadah. Tapi
elokkah ongkos dakwah dan ibadah dibebankan orang lain?
Aku jadi teringat sepenggal episode perjalanan hijrah Nabi. Ketika akan
berangkat hijrah ke Madinah beliau diberi seekor onta oleh Abu Bakar.
Namun beliau tidak mau menerimanya dengan cuma-cuma. Beliau mau menerima
dengan syarat onta itu beliau beli. Abu Bakar inginnya memberikan
secara cuma-cuma untuk perjalanan hijrah Nabi. Tapi baginda Nabi tidak
mau beban sarana dakwah dipikul oleh Abu Bakar yang tak lain adalah
umatnya. Baginda Nabi tidak mau menggunakan kesempatan pengorbanan orang
lain. Abu Bakar punya keluarga yang harus dihidupi. Dakwah harus
berjalan profesional meskipun pengorbanan-pengorbanan tetap diperlukan.
Dan Nabi mencontohkan profesional dalam berdakwah. Beliau tidak mau
menerima onta Abu Bakar kecuali dibayar harganya. Mau tak mau Abu Bakar
pun mengikuti keinginan Nabi. Onta itu dihargai sebagaimana umumnya dan
Baginda Nabi membayar harganya. Barulah
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
74
keduanya berangkat hijrah. Itulah pemimpin sejati. Tidak seperti para
kiai di Indonesia yang menyuruh umat mengeluarkan shadaqah jariyah,
bahkan menyuruh santrinya berkeliling daerah mencari sumbangan dana
dengan berbagai macam cara termasuk menjual kalender, tapi dia sendiri
cuma ongkang-ongkang kaki di masjid atau di pesantren.
Ketika seseorang telah disebut ‘kiai’ dia lalu merasa malu untuk turun
ke kali mengangkat batu. Meskipun batu itu untuk membangun masjid atau
pesantrennya sendiri. Dia merasa hal itu tugas orang-orang awam dan para
santri. Tugasnya adalah mengaji. Baginya, kemampuan membaca kitab
kuning di atas segalanya. Dengan membacakan kitab kuning ia merasa sudah
memberikan segalanya kepada umat. Bahkan merasa telah menyumbangkan
yang terbaik. Dengan khutbah Jum’at di masjid ia merasa telah paling
berjasa. Banyak orang lalai, bahwa baginda Nabi tidak pernah membacakan
kitab kuning. Dakwah nabi dengan perbuatan lebih banyak dari dakwah
beliau dengan khutbah dan perkataan. Ummul Mu’minin, Aisyah ra. berkata,
“Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an!” Nabi adalah Al-Qur’an berjalan. Nabi
tidak canggung mencari kayu bakar untuk para sahabatnya. Para sahabat
meneladani apa yang beliau contohkan. Akhirnya mereka juga menjadi
Al-Qur’an berjalan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia Arab untuk
dicontoh seluruh umat. Tapi memang, tidak mudah meneladani akhlak Nabi.
Menuntut orang lain lebih mudah daripada menuntut diri sendiri.
“Nanti kalau ada apa-apa, atau ada yang kurang bilang saja. Juga kalau
Noura sudah menceritakan masalahnya, langsung kontak secepatnya!” kataku
pada Nurul.
Nurul mengangguk. Aku minta diri. Aku berdoa semoga masalah Noura segera
selesai dan gadis malang itu tidak lagi menanggung derita yang
mengenaskan. Bagaimana mungkin seorang ayah tega menyambuk anak gadisnya
sampai mengelupas punggungnya. Di mana rasa kasih sayangnya? Apakah dia
tiada pernah mendengar sabda nabi, siapa yang tidak memiliki rasa kasih
sayang dia tidak akan disayang oleh Allah?
* * *
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
75
Dari El-Behous aku langsung ke Attaba. Aku harus mencari hadiah untuk
Madame Nahed dan Yousef menyambut hari istimewa mereka. Meskipun
sederhana, pasti akan jadi kejutan tersendiri, bahwa tetangganya dari
Indonesia memberikan hadiah yang tiada disangka.
Aku ingat acara dunia wanita yang ditayangkan Nile TV. Di antara
benda-benda yang disukai wanita adalah tas tangan. Kurasa tidak salah
kalau aku menghadiahi Madame Nahed dengan tas tangan. Dan untuk Yousef
aku akan belikan kaset percakapan bahasa Perancis dan kamusnya. Kuharap
dia senang. Sebab dia pernah bilang jika kuliah nanti ingin mengambil
sastra Perancis.
Attaba adalah pasar rakyat terbesar di Mesir. Semua ada. Harganya
relatif lebih murah dibandingkan tempat yang lain. Meskipun begitu, seni
menawar dan bergurau tetap penting untuk memperoleh harga miring. Orang
Mesir paling suka dengan lelucon dan guyonan. Teater rakyat di Mesir
sampai sekarang masih eksis, penontonnya selalu penuh melebihi gedung
bioskop. Itu karena sandiwara humornya. Film Shaidi Fi Jamiah Amrika
atau ‘Orang Kampung di Universitas Amerika’ adalah film yang sukses
besar karena kocaknya. Mona Zaki bintang Lux Mesir itu tampil kocak di
film itu. Aku sering mengumpulkan pepatah-pepatah kocak Mesir yang
membuat orang Mesir akan terkaget dan tertawa saat kuajak bicara. Mereka
akan terheran-heran aku dapat pepatah itu dari mana. Universitas Al
Azhar tidak mungkin mengajarkannya. Pernah, seorang pedagang gendut yang
kelihatannya enak diajak guyon kusapa dengan ‘Ya Kapten, kaif hal waz
zaman syurumburum!” 70 Ia kaget dan terheran-heran. Aku tertawa dia pun
tertawa. Kata-kata syurumburum adalah kata-kata aneh. Cara menyapa aneh
ini aku dapat dari seorang pemilik qahwaji71di Sayyeda Zaenab.
Ohoi, sebetulnya hidup di Mesir sangat menyenangkan. Penuh seni dan hal-hal mengejutkan.
Di toko tas dan sepatu milik seorang lelaki muda bermuka bundar aku
berhasil membawa tas tangan putih cantik dengan harga 50 pound. Padahal
di tiga toko sebelumnya tas yang sama merk dan bentuknya tidak boleh 70
pound. Itu karena guyonan renyah. Ketika berbincang-bincang aku tahu dia
penggemar aktor komedi legendaris Ismael Yaseen. Kubilang padanya aku
ini cucu Ismael Yaseen.
70 Hei Kapten, apa kabar, zaman kok syurumburum (nggak jelas begini).
71 Kedai kopi.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
76
Lalu aku perlihatkan tingkah, mimik dan gaya bicara seperti Ismael
Yasin. Dia terpingkal. Dan tas itu pun kena. Setelah dapat tas aku
mencari kaset dan kamus untuk Yousef. Kutemukan yang murah di toko kaset
Sono Cairo. Dalam perjalanan pulang di dalam metro ada anak kecil
berjualan koran. Aku ambil dua, Ahram dan Akhbar El-Yaum.
Menjelang Ashar aku tiba di flat dengan tenaga yang nyaris habis dan
darah menguap kepanasan. Benar-benar lemas. Rudi tahu aku pulang dan
sangat kelelahan. Ia membawakan segelas karikade dingin. Rasanya sangat
segar. Meskipun Rudi orang Medan yang kalau berbicara tidak bisa sehalus
orang Jawa, tapi hatinya halus dan penuh pengertian. Melihat bungkusan
yang aku bawa dia penasaran. Ia minta izin membukanya. Dia kaget aku
beli tas wanita.
“Untuk siapa ini Mas? Sudah punya calon rupanya? Diam-diam
menghanyutkan. Tapi memang sudah saatnya. Oh iya, tadi Nurul nelpon.
Jangan-jangan dia nih calonnya. Terus ini beli kaset percakapan bahasa
Perancis segala, memangnya mau S.3. ke Sorbonne apa? Aku jadi ingat
wawancara di bulletin Citra bulan lalu, Si Ketua Wihdah itu katanya juga
sedang kursus bahasa Perancis di Ain Syams. Pas buanget. Benarlah kata
orang Inggris, love and a cough cannot be hid. Cinta dan batuk tidak
dapat disembunyikan!”
“Sudahlah Akhi. Aku lagi capek sekali. Nanti habis maghrib aku jelaskan semua. Tidak usah berprasangka yang bukan-bukan.”
Anak muda di mana-mana sama.
Mataku sudah liyer-liyer. Rudi bangkit, “Akh, aku istirahat sebentar. Jam lima seperempat dibangunkan ya?”
“Kalau ada telpon dari Nurul bagaimana?”
“Sudah jangan terus menggoda.”
“Congratulation Mas. She is the star, she is the true coise, she will be a good wife!”
Anak ini kalau menggoda tak ada habisnya. Agak keterlaluan sebenarnya.
Tapi aku malas meladeninya. Aku memejamkan mata. Tak perlu kutanggapi
sekarang, nanti juga dia akan tahu yang sesungguhnya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
77
6. Hadiah Perekat Jiwa
Senja musim panas sungguh indah meskipun tetap tidak seindah musim semi.
Aku membuka jendela kamar lebar-lebar. Semburat mega kemerahan
menghiasi langit. Bau uap pasir masih terasa. Angin bertiup semilir
seolah menghapus hawa panas. Jendela Maria kelihatannya juga terbuka.
Habis maghrib paling enak memang membuka jendela. Membiarkan angin
semilir mengalir. Sayup-sayup aku mendengar Maria bernyanyi.
Kalimatin laisat kal kalimaat!
Ia melantunkan lagu Majida Rumi dengan sangat indah. Suara Maria memang seindah suara penyanyi tersohor dari Lebanon itu.
Di kamar sebelah Saiful masih membaca An-Naml. Spontan aku menangkap
makna ayat-ayat yang dibaca Saiful. Seekor semut berseru pada
teman-temannya, “Hai semut-semut sekalian cepat masuklah ke dalam liang
kalian. Sebentar lagi Sulaiman dan bala tentaranya akan lewat, kalian
bisa terinjak kaki mereka dan mereka sama sekali tidak merasa menginjak
kalian!” Nabi Sulaiman ternyata mendengar dan mengerti apa yang
diucapkan semut itu. Nabi Sulaiman tersenyum. Aku pun tersenyum.
Aku duduk di depan meja belajar. Menulis beberapa baris kalimat indah
untuk Yousef dan Madame Nahed dalam dua kertas berbeda. Masing-masing
kumasukkan amplop. Dan kumasukkan dalam dua kardus kecil yang siap
kubungkus. Hamdi dan Rudi masuk.
“Katanya mau membuat konferensi pers Mas?” canda Hamdi. Rudi cengar-cengir.
“Panggil Saiful sekalian!” sahutku tenang. Agaknya Saiful mendengar
pembicaraan kami. Dia menyudahi bacaan Al-Qur’annya dan menyahut, “I’m
coming!”
“Rud, tolong sambil kau bantu membungkus yang satu! Kau ‘kan jagonya membungkus kado,” pintaku pada Rudi.
“Beres Mas.”
Sambil membungkus kado aku menjelaskan untuk siapa kado ini sebenarnya.
“Kita mengamalkan hadits Nabi, Tahaadu tahaabbu! Salinglah kalian
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
78
memberi hadiah maka kalian akan saling mencintai! Ini waktu yang tepat
untuk memberikan kejutan pada tetangga kita yang baik itu. Mereka sering
sekali memberi makanan dan minuman kepada kita. Mereka juga perhatian
pada kita. Jadi begitu sesungguhnya. Bukan untuk calon isteri. Jangan
berprasangka sebab sebagian prasangka itu dosa!”
Mereka semua menganggukkan kepala. Rudi minta maaf. Kubalas dengan senyum.
“Kapan kado ini akan disampaikan Mas?” tanya Saiful.
“Insya Allah nanti menjelang mereka tidur,” jawabku.
“Bagaimana kita tahu mereka mau tidur?” sahut Hamdi.
“Jika aku mendengar Maria menutup jendela, biasanya dia siap untuk
tidur. Dan Maria bilang mamanya selalu tidurnya lebih lambat darinya.”
* * *
Kira-kira pukul sebelas kudengar suara jendela ditutup. Itu Maria. Dua menit kemudian kukirim pesan ke nomor handphone-nya:
“Kalau mau tidur jangan lupa doa! Semoga mimpi bertemu Al-Masih.”
Tak lama kemudian datang balasan,
“Bagaimana kamu tahu aku akan tidur?”
Kujawab,
“Firasat orang beriman banyak benarnya.”
“Kau benar. Selamat malam.”
Saatnya telah tiba.
Kuajak teman-teman semua ke atas. Ke rumah Maria. Aku yakin Yousef dan
Madame Nahed belum tidur. Tuan Boutros mungkin baru akan tidur. Kami
menekan bel dua kali. Yousef membuka pintu dan melongok.
“Oh kalian. Ada perlu?” tanya Yousef. Ia belum melihat hadiah yang kami bawa.
“Mama ada? Kami perlu bicara dengan beliau,” tukasku.
“Ayo masuk.”
Yousef ke dalam memanggil mamanya. Tak lama kemudian Madame Nahed keluar
dengan sedikit kaget. Biasanya kami selalu berurusan dengan Tuan
Boutros atau Maria. Jarang sekali dengan beliau.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
79
“Malam-malam begini mencari saya ada apa ya? Apa ada yang sakit?” tanya
beliau yang memang seorang dokter, tapi tidak praktek di rumah.
“Maafkan kami Madame, jika kedatangan kami mengganggu. Kami datang untuk
mengungkapkan rasa cinta dan hormat kami pada keluarga ini. Kebetulan
kami telah menyiapkan hadiah ala kadarnya. Ini untuk Madame dan yang
satunya untuk Yousef. Hadiah sederhana untuk ulang tahun Madame dan
Yousef. Kami mendoakan semoga Madame dan Yousef bahagia dan berjaya.”
Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan teman-teman.
Madame Nahed benar-benar terkejut. Ia menerima hadiah itu dengan mata
berkaca-kaca. Yousef mengucapkan terima kasih tiada terhingga. Setelah
itu kami mohon diri meskipun Madame Nahed ingin kami minum kopi dulu.
“Kami tahu sudah saatnya istirahat. Kami tidak ingin istirahat Madame dan Yousef terganggu.”
Madame Nahed tidak bisa mengucapkan apa-apa kecuali terima kasih
berkali-kali. Saat kami menuruni tangga, kami mendengar Madame Nahed
berteriak-teriak senang memanggil Maria dan Tuan Boutros. Selanjutkan
kami tidak tahu apa yang terjadi dalam rumah Madame Nahed itu.
Ketika aku bersiap untuk tidur, handphone-ku memekik. Ada pesan masuk. Kubaca. Dari Maria,
“Apa yang kalian lakukan sampai membuat Mama menangis haru?”
Aku merasa tidak perlu menjawab. Hatiku mengucapkah puji syukur kepada
Tuhan berkali-kali. Tidak sia-sia rasanya panas-panas ke Attaba.
Maria kembali mengirim pesan,
“Hai orang Indonesia, kenapa tidak dijawab? Kau sudah tidur ya?”
Aku jawab, “Ya.”
Apa pesan masuk lagi. Tidak kulihat. Aku harus istirahat. Tiba-tiba
mataku berkaca-kaca aku belum pernah memberikan kado pada ibuku sendiri
di Indonesia. Sebelum kenal Kairo aku adalah orang desa yang tidak kenal
yang namanya kado. Di desa hadiah adalah membagi rizki pada tetangga
agar semua mencicipi suatu nikmat anugerah Gusti Allah. Jika ada yang
panen mangga ya semua tetangga dikasih biar ikut merasakan. Ulang tahun
tidak pernah diingat-ingat oleh orang desa. Yang diingat adalah netu,
atau hari lahir menurut hitungan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
80
Jawa, misalnya Kamis Pon, Jum’at Wage dan seterusnya. Pada hari itu,
seperti yang kuingat waktu kecil dulu, ibu akan membuat bubur merah atau
makanan lengkap dengan lauk-pauknya di letakkan di atas tampah yang
telah dialasi dengan daun pisang. Tampah adalah wadah seperti nampan
bundar besar yang terbuat dari bambu Di bawah daun pisang ibu meletakkan
uang recehan banyak sekali. Setelah siap semua teman-temanku dipanggil
untuk makan bersama.
Sebelum makan ibu mengingatkan agar kami tidak lupa membaca basmalah
bersama. Jika Mbah San kebetulan ada, ibu akan minta Mbak Ehsan berdoa
dan kami, anak-anak, mengamininya. Barulah kami makan berramai-ramai.
Setelah makanannya habis kami akan membuka daun pisang yang tadi dibuat
alas makan. Lalu kami berebutan mengambil uang receh dengan serunya.
Semua kebagian. Sebab jika ada yang dapat uang lebih dan ada yang tidak
dapat maka sudah jadi kewajiban yang dapat lebih untuk membaginya pada
yang tidak dapat. Biasanya ibu sudah menghitung jumlah anak yang akan
diundang dan uangnya sesuai dengan jumlah anak itu. Jadi semuanya dapat
jatah sama. Sebenarnya kami tahu jatah uang logamnya satu-satu. Tapi
selalu saja dibuat rebutan dahulu. Masa kecil yang seru. Begitulah cara
ibu-ibu di desaku menyenangkan hati anak-anak kecil. Kenangan indah yang
tiada terlupakan. Lebih indah dari pesta meniup lilin dan bernyanyi
happy bird day to you.
Pernah ada kiai muda dalam suatu pengajian di surau melarang ibu-ibu
membuat pesta untuk anak-anak seperti itu. Katanya itu bid’ah. Ibu-ibu
bingung dan lapor pada Mbah Ehsan. Mbah Ehsan yang pernah belajar di
Pesantren Mambaul Ulum Surakarta itu hanya tersenyum dan bilang tidak
apa-apa, tidak bid’ah, malah dapat pahala menyenangkan anak kecil.
Kanjeng Nabi adalah teladan. Beliau paling suka menyenangkan hati anak
kecil.
Ketika aku sudah sampai Mesir, dan setelah membaca kitab Al I’tisham
karangan Imam Syathibi dan kitab As-Sunnah Wal Bid’ah yang ditulis
Syaikh Yusuf Qaradhawi aku merenungkan kembali jawaban Mbah Ehsan.
Sungguh suatu jawaban yang sangat arif. Sungguh tidak mudah untuk
membid’ahkan suatu perbuatan terpuji yang tiada larangan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah. Sungguh tidak bijak bertindak sembarangan menghukumi orang.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
81
Pada kenyataannya, ibu-ibu di desa tidak pernah menganggap pesta pada
netu anaknya sebagai suatu kewajiban agama yang harus dilakukan. Yang
jika dilakukan dapat pahala jika tidak dapat dosa. Atau sebagai ibadah
sunah, jika dilakukan dapat pahala jika ditinggal tidak apa-apa. Tidak
ada anggapan itu masuk bagian dari ajaran agama. Apa yang dilakukan
ibu-ibu di desa tak lebih dari ungkapan rasa sayangnya pada anaknya. Ia
ingin anaknya merasa senang. Dan teman anak-anaknya juga senang. Itu
saja.
Orang desa adalah orang yang hidupnya susah dan pas-pasan. Jika punya
kelebihan rizki sedikit saja ingin berbagi kepada sesama. Ibu-ibu ingin
menanamkan hal itu dalam jiwa anak-anaknya. Ketika seorang ibu di desa
memiliki rizki ia ingin membahagiakan anaknya. Membuatkan sesuatu yang
istimewa untuk anaknya. Tapi ia juga ingin anaknya membagi kebahagiaan
dengan teman-temannya. Maka dibuatlah makanan yang agak banyak untuk
dibancak bersama-sama. Adapun itu dipaskan dengan hari netu anaknya
adalah agar anaknya merasa memiliki sesuatu istimewa. Ia merasa
dihormati, dicintai dan disayangi. Hari itu ia merasa memiliki rasa
percaya diri. Ia merasa ada sebagai manusia. Ia didoakan oleh
teman-temannya yang mengamini doa Mbah Ehsan. Atau ia merasa ketika
seluruh teman-temannya membaca basmalah bersama-sama, itu adalah doa
mereka untuk dirinya. Pada hari itu anak orang paling miskin di suatu
desa sekalipun akan tumbuh rasa percaya dirinya. Sebab anak orang kaya
ikut serta makan satu nampan dengan seluruh anak-anak yang ada. Anak
orang kaya makan pada nampan yang dibuat ibunya untuk dirinya pada hari
istimewanya. Ia tidak merasa rendah diri. Seluruh anak-anak desa merasa
sama. Makan bersama. Cuil mencuil tempe. Saling tarik menarik secuil
rambak. Dan tertawa bersama. Lalu rebutan uang receh dan saling berbagi.
Orang-orang desa adalah orang-orang susah dan mereka kaya akan cara
menutupi kesusahan mereka dan menyulapnya menjadi kebahagian yang bisa
dirasakan bersama-sama.
* * *
Pagi usai shalat shubuh ada orang menekan bel. Ternyata Yousef. Ia
datang untuk sekali lagi mengucapkan terima kasih dan mengabarkan kami
sesuatu,
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
82
“Mama ingin membuat pesta ulang tahun kami berdua di sebuah Villa di
Alexandria. Kalian satu rumah kami undang. Semua ongkos perjalanan
jangan dipikirkan Mama sudah siapkan,” ucapnya dengan mata
berbinar-binar. Kulihat wajah teman-teman cerah. Wisata gratis ke
Alexandria siapa tidak mau. Lain dengan diriku. Bulan ini jadwalku padat
sekali. Terjemahan belum selesai. Proposal tesis. Mengaji dengan Syaikh
Utsman yang sangat sayang jika aku tinggalkan, meskipun cuma satu hari.
Dan lain sebagainya. Aku merasa tidak bisa ikut. Tapi aku pura-pura
bertanya,
“Kapan?”
“Minggu depan. Menurut ramalan cuaca sudah tidak terlalu panas.
Rencananya berangkat Sabtu, setengah dua siang. Menginap di sana
semalam. Minggu sore sebelum maghrib baru pulang. Bagaimana, kalian bisa
‘kan? Kalian ‘kan masih libur?” kata Yousef.
Meskipun wajah teman-teman tampak cerah, tapi mereka tidak spontan
menjawab. Mereka sangat menghargai diriku sebagai kepala rumah tangga
dan sebagai yang tertua.
“Kurasa teman-teman bisa ikut. Tapi mohon maaf, saya tidak bisa. Sebab
jadwal saya padat sekali. Terus terang saya sedang menyelesaikan proyek
terjemahan dan sedang menggarap proposal tesis. Sampaikan hal ini pada
Mama ya?” jawabku.
“Mas, kenapa tidak diluangkan satu hari saja sih. Kasihan mereka ‘kan?” sahut Rudi.
“Rud, semua orang punya skala prioritas. Banyak hal penting di hadapan
kita, tapi kita tentu memilih yang paling penting dari yang penting. Aku
punya kewajiban menyelesaikan kontrak. Itu yang harus aku dahulukan
daripada ikut ke Alex. Jika ada rencana yang tertunda dua hari saja,
maka akan banyak rencana yang rusak. Tolonglah pahami aku. Silakan
kalian ikut aku tidak apa-apa. Sungguh!” jelasku mohon pengertian
teman-teman satu rumah. Yousef mengerti semua yang aku katakan sebab
Rudi dan aku mengatakannya dalam bahasa Arab.
“Baiklah. Akan aku sampaikan ini pada Mama,” ujar Yousef sambil bangkit
minta diri. Aku beranjak ke kamar untuk menyalakan komputer.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
83
Sementara Saiful ke dapur untuk piket masak. Rudi dan Hamdi tetap di ruang tamu membaca-baca koran yang kemarin kubeli.
Baru saja aku mengetik tujuh baris. Bel kembali berbunyi.
“Mas Fahri, Yousef!” teriak Hamdi.
Aku bergegas ke depan.
“Begini Fahri. Setelah aku beritahukan semuanya, Mama memutuskan untuk
membatalkan rencana ke Alex,” ucap Yousef dengan kerut muka sedikit
kecewa.
“Kenapa?”
“Karena kau tidak bisa ikut.”
“Kan acara tetap bisa berjalan dengan baik tanpa keikutsertaanku.”
“Pokoknya itu keputusan mama.”
“Ana asif jiddan! Wallahi, ana asif jiddan!72” ucapku sedih. Sebetulnya aku tidak ingin mengecewakan siapapun juga.
“Tak apa-apa. Mama ingin menggantinya dengan sebuah acara yang tidak
akan menyita waktu banyak. Dan untuk acara ini mama minta dengan sangat
kalian bisa ikut semua. Sekali lagi dengan sepenuh permohonan, tidak
boleh ada yang tidak bisa.”
“Acaranya apa, dan kapan?”
“Kami sekeluarga akan mengajak kalian sekeluarga ke sebuah restaurant di
Maadi untuk makan malam. Kalian tidak boleh menolak. Begitu pesan
mama.”
Aku berpikir sejenak.
“Sudahlah Mas. Untuk yang ini sedikit toleranlah. Masak jadwal menerjemahnya ketat buanget sih!” desak Hamdi.
“Baiklah. Insya Allah, kami sekeluarga bisa. Jam berapa kita berangkat?” kulihat wajah Yousef lebih cerah. Ia tersenyum.
“Setelah kalian shalat maghrib kita langsung berangkat. Biar tidak kemalaman,” ucapnya senang.
“Waktu yang tepat sekali,” gumamku.
“Kalau begitu aku naik dulu. Terima kasih atas kesediaannya.”
“Terima kasih atas ajakannya.”
72 Aku menyesal sekali. Demi Allah, saya sangat menyesal.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
84
Hamdi, Rudi, dan Saiful tersenyum riang.
“Wah lumayan. Pengiritan uang dapur,” kata Saiful.
“Sekali-kali kita makan di restaurant mewah, masak cuma bisa makan qibdah 35 piaster,” sahut Rudi.
“Memang enaknya punya tetangga baik,” tukas Hamdi.
“ Hei, jangan lupa sama teman. Si Mishbah diberi tahu suruh pulang.
Harus sampai rumah sebelum maghrib.” Selorohku sambil berjalan masuk
kamar untuk kembali menerjemah. Tak lama kemudian kudengar Si Hamdi
berbicara di telpon. Mishbah akan pulang selepas shalat ashar.
Baru lima halaman Rudi berteriak, “Mas Fahri telpon from the true
coise!” Rudi itu masih meledek aku rupanya ia menyebut Nurul “the true
coise”. The true coise bagi siapa? Aku mendesah panjang. Pagi-pagi mau
tenang sedikit saja tidak bisa. Kuangkat gagang telpon, “Halo. Siapa
ya?”
“Alah, udah tahu pura-pura tanya pula!” celetuk Rudi dengan logat
Medannya yang membuat telingaku terasa gatal. Anak ini resek sekali.
“Ini Nurul. Ini dengan Kak Fahri ya?” suara di seberang sana.
“Ya. Kemarin katanya nelpon ya?Ada apa?”
“Ah enggak. Kemarin sebetulnya ada yang ingin Nurul tanyakan, tapi jawabannya sudah ketemu.”
“Lha ini nelpon ada apa?”
“Tentang Noura.”
“Ada apa dengan Noura?”
“Tadi malam dia sudah menceritakan semuanya pada saya. Dia memang gadis yang malang. Ceritanya sangat mengenaskan.”
“Bagaimana ceritanya?”
“Maaf Kak, aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Sangat panjang.”
“Oh aku paham. Kau tutup saja telponmu. Biar aku yang telpon.”
“Bukan pulsa masalahnya Kak.”
“Terus enaknya bagaimana?”
“Sore nanti kami, pengurus Wihdah diundang Pak Atdikbud di rumahnya yang dekat SIC. Kakak bisa nggak ke SIC jam lima?”
“Sayang nggak bisa Nur.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
85
“Terus bagaimana?”
“Minggu-minggu ini jadwalku padat. Susah meluangkan waktu buat
appoinment baru. Bagaimana kalau segala yang diceritakan Noura kau tulis
saja semuanya. Pakai tulisan tangan tidak apa-apa. Kulihat cerpenmu
pernah nampang di bulletin Citra. Kayaknya lebih praktis. Lebih enak.
Tapi kalau bisa secepatnya.”
“Akan Nurul usahakan. Kapan Kakak ingin mengambilnya?”
Aku berpikir sejenak. Kapan aku akan keluar ke Nasr City. Satu minggu
lagi. Terlalu lama. Oh ya, aku ingat, Mishbah masih di wisma dia akan
pulang selepas shalat ashar. Dan Rudi setelah makan pagi nanti akan
pergi ke Wisma untuk diskusi.
“Kalau kau bisa menulisnya sekarang juga, habis zhuhur aku bisa minta teman untuk mengambilnya.”
“Insya Allah bisa. Siapa nanti yang mengambil Kak?”
“Kalau tidak Mishbah ya Rudi.”
“Bilang jangan lebih jam tiga. Aku sudah tidak dirumah. Itu saja Kak ya.”
“Terima kasih Nur.”
“Kembali.”
Aku menutup gagang telpon dengan hati penasaran. Apa sesungguhnya yang
dialami oleh gadis Mesir yang lemah lembut bernama Noura itu. Aku
berharap nanti sore atau nanti malam sudah mengetahuinya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
86
7. Di Cleopatra Restaurant
“Dia benar-benar anak pelacur sial! Dia benar-benar anak setan! Anak tak
tahu diuntung. Kalau sampai tampak batang hidungnya akan kurajah-rajah
mukanya biar tahu rasa!”
Kami mendengar Si Muka Dingin Bahadur menyumpah serapah dari dalam
flatnya dengan suara seperti guntur. Entah ada apa lagi. Lalu kami
mendengar suara perempuan membentak tak kalah sengitnya. Ia menyalahkan
Si Muka Dingin dan memakinya habis-habisan. Itu mungkin suara Madame
Syaima, isteri Si Muka Dingin. Madame Syaima tidak terima dibilang
pelacur. Lalu terdengar tamparan dan jeritan. Beberapa barang pecah.
Kami berlima sudah sampai di halaman. Baru Yousef yang turun menyusul.
Pakaiannya fungky betul. Tuan Boutros, Madame Nahed dan Maria belum
turun.
“Maaf ya agak terlambat. Biasa, perempuan dandan dulu,” kata Yousef.
Kami manggut-manggut saja. Tak lama kemudian Tuan Boutros, Madame Nahed
dan Maria tampak menuruni tangga apartemen satu persatu. Mereka berjalan
mendekati kami. Tuan Boutros tampak lebih muda dari biasanya. Ia
memakai kemeja warna krem dengan lengan dilingkis. Madame Nahed
berpenampilan seperti aristokrat Perancis. Pafumnya menyengat. Ini yang
aku tidak suka. Wanita Mesir kalau memakai parfum seolah harus tercium
dari jarak seratus meter. Yang paling menawan tentu saja Maria. Dengan
gaun malam merah tua dan menggelung rambutnya ia terlihat sangat cantik.
Wajah pualamnya seperti bersinar di kegelapan malam. Mereka benar-benar
siap ke pesta. Kami berlima berpakaian biasa saja. Si Rudi malah
memakai celana trening warna biru muda. Trening yang terkadang buat main
sepak bola. Memang benar-benar seadanya.
Tuan Boutros mengatur siapa yang ikut mobilnya dan siapa yang ikut mobil
Yousef. Keluarga itu memang memiliki dua mobil. Jeep Cheroke hijau
metalik yang biasa dibawa Tuan Boutos kerja dan sedan forsa hitam yang
seringkali dibawa Yousef. Empat orang dari kami ikut mobil Yousef.
Madame Nahed dan Maria ikut Tuan Boutros. Aku melangkah ke arah mobil
Yousef. Namun Tuan Boutros memanggil, “Fahri, kau ikut aku!”
“Ya, kau naik sini Fahri!” seru Madame Nahed.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
87
Terpaksa aku belok ke mobil Cheeroke. Madame Nahed naik di depan dan
duduk di samping Tuan Boutros. Maria di belakang. Masak aku harus duduk
di samping Maria. Dan parfumnya itu. Nuraniku tidak setuju. Satu mobil
tak apa, tapi selama tempat duduk bisa di atur lebih aman di hati kenapa
tidak. Aku mendekati Madame Nahed dan berbicara dengan halus,
“Maaf Madame, boleh saya duduk di depan. Saya ingin berbincang-bincang dengan Tuan Boutros selama dalam perjalanan.”
Madame Nahed tersenyum, “Oh ya, dengan senang hati.”
Dia lalu turun dan pindah ke belakang duduk di samping puterinya. Aku
naik dan duduk di samping Tuan Boutros. Belum sempat Tuan Boutros
menyalakan mesin terdengar suara Si Muka Dingin memanggil dengan suara
mengguntur,
“Hai Boutros tunggu!”
Kami semua menoleh ke asal suara. Si Muka Dingin datang dengan tergopoh.
“Di mana Noura kau sembunyikan, Boutros!”
Kami berpandangan. Si Muka Dingin telah berdiri di dekat Tuan Boutros.
Dengan tenang Tuan Boutros menjawab, “Apa saya tidak memiliki urusan
yang lebih penting dari mengurusi anakmu, heh?”
“Kau pasti tahu di mana Noura berada?”
“Siapa yang peduli dengan anakmu?”
“Malam itu sebelum tidur Mona melihat Maria turun menghibur Noura di jalan. Kalian pasti tahu sekarang di mana Noura berada!”
“Malam itu malam itu apa? Aku tidak tahu! Kalau begitu tanya saja sama Maria. Jangan tanya aku!”
“Hai Maria bicara kau! Kalau tidak kusumpal mulutmu dengan sandal!” si Muka Dingin menyalak keras seperti anjing.
Dadaku panas sekali mendengar kalimat Si Muka Dingin yang tidak tahu
sopan santun ini. Tuan Boutros kulihat menggerutukkan giginya, ia tentu
marah puterinya dibentak kasar begitu, tapi mukanya tetap tenang
memandang ke depan. Ia tidak menjawab sepatah kata pun.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
88
“Tuan Bahadur, memang benar, malam itu aku turun menghibur Noura. Tapi
Noura tidak bisa dihibur. Ia menangis terus dan tidak berbicara sepatah
kata pun padaku. Aku jengkel, lalu ya kutinggal dia. Setelah itu aku
tidak tahu kemana dia. Kukira dia kembali ke rumah Anda.”
“Hmm...jadi begitu. Anak itu memang keras kepala dan menjengkelkan
bukan? Kau saja dibuat jengkel. Aku ayahnya dibuat jengkel setiap hari.
Kalau ketemu akan kubunuh anak itu biar tidak membuat jengkel lagi!”
“Sudah cukup bicaramu Bahadur? Kami ada urusan!” Kata Tuan Boutros.
Si Muka Dingin tidak menjawab. Ia hanya pergi begitu saja sambil
mengepalkan tinjunya, ia mendesis “Kalau kembali anak itu akan kukuliti
biar tahu rasa!”
“Puji pada Tuhan, Si Brengsek itu tidak macam-macam.” Madame Nahed
mendesah lega. Tuan Boutros cepat-cepat menyalakan mesin. Lalu perlahan
menjalankan mobil meninggalkan halaman apartemen dibuntuti oleh Yousef.
Selama dalam perjalanan Tuan Boutros banyak bercerita tentang hal
menjengkelkan Si Muka Dingin. Aku meminta beliau tidak usah meneruskan.
Aku minta topik pembicaraan yang menarik, yang mengasyikkan, yang
menyenangkan seirama dengan malam kebahagiaan Madame Nahed. Maria memuji
usulku. Madame Nahed lalu bercerita tentang Maria kecil. Hal-hal kecil
yang Maria lakukan. Maria sesekali menjerit manja minta mamanya tidak
meneruskan. Ia malu katanya. Tapi Madame Nahed malah seperti tertantang
untuk menceritakan semakin banyak. Tuan Boutros sekali menimpal kisah
yang diceritakan isterinya. Maria jadi lakon. Aku diam saja. Hanya
sesekali bertanya, benarkah? Maria akan langsung menyahut, tidak benar,
mama bohong! Madame Nahed dan Tuan Boutros akan menyahutnya dengan tawa
terpingkal-pingkal.
“Maria ini waktu kecil sampai umur empat tahun masih menetek. Umur lima
tahun masih ngompol apa nggak menyebalkan!” kata Madame Nahed memperolok
puterinya.
“Benarkah itu?” sahutku santai sambil memandang sinar purnama yang
keperakan di atas riak sungai Nil yang memanjang di samping kiri jalan.
“Ah itu bohong. Tak mungkin itu terjadi!” tukas Maria cepat setengah teriak.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
89
“Itu benar. Kalau tidak percaya nanti kalau bibinya yang bernama Latefa
datang tanyakan padanya,” kata Tuan Boutros membela isterinya.
“Itu bukan sesuatu yang tidak baik. Tidak apa-apa. Menetek pada ibu
dalam waktu yang lama malah membuat cerdas. Begitu yang kubaca pada
sebuah majalah,” sahutku.
Maria berterima kasih padaku karena aku membelanya.
Akhirnya Tuan Boutros memarkir mobilnya di halaman sebuah restaurant
mewah. Cleopatra Restaurant. Terletak di pinngir sungai Nile.
Bersebelahan dengan Good Shot dan Maadi Yacht Club. Pantas saja mereka
berpakaian dan berpenampilan serius. Kami berlima berpandang-pandangan.
“Santai saja. Kita ini turis. Turis ‘kan biasa berpakaian santai?” bisik Hamdi dalam bahasa Indonesia.
“Tapi masak pakai trening yang sudar pudar warnanya begitu?” lirih
Saiful sambil meringis memandang Rudi. Aku tersenyum. Baru kali ini
kulihat Rudi tidak percaya diri. Muka anak Medan ini seperti kepiting
rebus. Di antara kami berlima yang berpakaian paling mengenaskan memang
dia. Hamdi lumayan necis, tapi sandal kulit bututnya membuat hati yang
melihatnya tidak tahan. Sudah berkali-kali aku mengingatkan agar
keduanya membuang jauh-jauh adat klowor yang mereka bawa dari pesantren
tradisional. Tapi mereka masih saja suka klowor, padahal baginda Nabi
mencontohkan kerapian, kebersihan dan penampilan yang meyakinkan. Memang
tidak mudah merubah watak dan gaya hidup. Namun Rudi dan Hamdi jauh
lebih baik dari saat pertama kali aku mengenal dan serumah dengannya.
Sekarang sudah mulai bisa membagi waktu dan disiplin. Kalau mau diskusi
mau menyeterika baju biar sedikit rapi. Tapi aku sangat menyayangkan
mereka tadi tidak mau mendengar nasihatku agar berpenampilan sedikit
necis. Mereka hanya menyahut, “Alah cuma mau makan saja kok
repot-repot!”
Untung Saiful dan Mishbah mengerti nasihatku. Aku sendiri berpakaian
tidak bagus sekali namun juga tidak akan memalukan. Kaos katun hijau
muda dan rompi santai hijau tua, warna kesayangan. Tak kalah fungkynya
dengan Yousef .
Tuan Boutros membawa kami masuk restoran dan memilihkan tempat duduk
yang paling menjorok ke sungai Nil seperti dek kapal. Terbuka tanpa
atap,
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
90
bintang-bintang kelihatan. Restauran ini ada dua bagian. Bagian tertutup
dan bagian terbuka. Mejanya juga beraneka. Namun warnanya sama. Ada
yang untuk dua orang. Empat orang. Dan ada yang bundar untuk enam orang.
Kami memilih dua meja bundar yang berdekatan. Tuan Boutros, Madan
Nahed, dan Maria telah duduk satu meja terlebih dahulu. Aku mengajak
Yousef duduk di meja yang satunya. Teman-teman mengikuti aku. Pas enam
orang. Tuan Boutros meminta satu di antara kami duduk satu meja dengan
mereka. Kusuruh Rudi. Dia tidak mau. Kupaksa Saiful. Dengan agak
ragu-ragu akhirnya dia beranjak juga. Kulihat para pengunjung yang ada.
Mereka berpakaian bagus-bagus. Ada sepasang orang bule. Yang lelaki
pakai jas yang perempuan pakai gaun malam resmi. Di pojok kanan orang
Mesir gemuk botak dengan isterinya. Keduanya rapi. Yousef berbisik
kepadaku, “Ini restauran orang besar. Para diplomat dan bisnisman sering
kemari. Lihat siapa yang ada di meja dekat lampu hias itu, kau pasti
mengenalnya!”
Aku melihat ke arah yang ditunjukkan Yousef. Aku nyaris tidak percaya
dengan apa yang kulihat. Di sana ada Adel Imam dan Yusra sedang
menyantap makanan dan berbincang. Dua artis Mesir itu makan malam di
restauran ini. Teman-teman melongok ke arah keduanya. Yousef
mengingatkan, “Jangan terlalu kelihatan heboh! Restauran ini menjaga
ketenangan dan kenyamanan pelanggannya.”
Seorang pelayan menanyakan menu. Madame Nahed berkata kepada kami,
“Silakan pilih sendiri menunya. Jangan malu-malu. Hai Hamdi, kau pilih
apa?”
Hamdi bingung. Ini baru pertama kalinya dia makan di restauran elite. Menunya juga asing semua.
“Semua masakan khas Timur Tengah ada,” bisik Yousef.
Tiba-tiba Saiful beranjak mendekati aku dan berbisik, “Mas, tolong kau
saja yang satu meja dengan Tuan Boutros, aku tidak enak. Aku tidak bisa
bicara banyak.”
Wajahnya kulihat pucat. Aku merasa kasihan juga melihatnya. Kalau dia
sampai malu, dan pulang masih lapar padahal baru saja dari restauran
besar, apa tidak kasihan. Aku jadi teringat dengan cerita teman satu
pondok dulu. Namanya Bayu. Pakdenya dari ibu dapat isteri kalangan
keraton Kasunanan dan tinggal di kawasan elite Jakarta. Suatu kali ia
liburan ke tempat Pakdenya itu. Di sana semua AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
91
serba teratur. Waktu tidur, waktu belajar, waktu istirahat, baju tidur,
baju santai, dan makannya juga teratur waktu dan tata caranya. Saat itu
dia kelas tiga SMP. Dia yang biasa di desa serba tidak teratur jadi
grogi. Biasa makan tanpa sendok tanpa meja makan, tanpa garpu dan lain
sebagainya jadi serba grogi. Dia sebenarnya ingin tambah karena masih
lapar, tapi tidak berani. Padahal menunya sangat nikmat. Menu yang
jarang sekali ia makan di desanya. Ia takut untuk tambah. Ketika hendak
tidur ia merasa masih lapar. Ia tidak bisa tidur dengan perut lapar.
Akhirnya ia minta izin pada Pakdenya untuk keluar rumah sebentar. Ia
pergi ke warteg dan makan sampai kenyang. Ternyata anak pakdenya yang
paling besar melihatnya saat baru pulang dari rumah temannya. Ia pun
ditanya sama budenya kenapa jajan padahal telah tersedia banyak makanan,
apa makanan di rumah budenya tidak enak? Ia tidak bisa menjelaskan,
malah menangis. Aku tidak mau teman-teman mengalami nasib tragis seperti
Bayu kecil itu.
Sebelum beranjak ke meja Tuan Boutros, aku berpesan pada teman-teman
dengan bahasa Indonesia, “Nanti makan yang banyak santai saja. Jika
masih ingin tambah ya tambah saja seperti di rumah sendiri.”
Tuan Boutros heran Saiful pindah tempat duduk. Kubilang ia ingin berbincang dengan Yousef. Tuan Boutros menganggukkan kepala.
Pelayan restauran beralih mendekati aku dan bilang,
“Anda pesan apa? Teman-teman Anda ikut Anda?”
Madame Nahed tersenyum. Maria kelihatannya ingin tahu aku suka menu apa.
Untung aku pernah diajak makan malam ke sebuah restauran tak kalah
elitenya di Mohandesen oleh Bapak Atdikbud yang jadi ketua takmir masjid
Indonesia di Cairo. Jadi, aku tidak merasa asing sekali dengan menu
yang tertulis.
“Minumnya Seasonal Fresh Fruits. Makannya Chicken Mugharabieh with
Valanciane Rice dan menu penutupnya minta Pineapple Gateau,” kataku
mantap. Itu adalah menu yang dipilih Ibu Atdikbud yang waktu itu tidak
aku rasakan. Sebab waktu itu aku memilih menu utama Onion and Cheese
Omelette yang tak jauh beda dengan telur dadar, cuma lebih besar dan
tebal. Waktu itu aku sedikit menyesal memilih menu yang keliru. Ih jadi
geli mengingatnya. Sekarang aku yakin sekali, aku tidak keliru pilih
menu.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
92
“Fathi, kau memilih menu kesukaanku,” komentar Maria, ia lalu bilang
pada pelayan, “aku sama dengan dia.” Tuan Boutros pilih Lamb Stew
sedangkan Madame Nahed pesan Chicken Kofta with Tomato Sauce dan Yousef
suka Kabab Lahmul Ghanam73. Begitu hidangan tersedia kami menyantap
dengan tenang sambil menikmati semilir angin sungai Nil dan sesekali
melihat riang gelombangnya yang keperakan diterpa sinar rembulan. Ketika
kami sedang asyik makan seorang lelaki berdasi menghampiri Tuan
Boutros. Tuan Boutros berdiri dan berjabat tangan.
“Fahri, this is Mr. Rudolf from German, and Mr. Rudolf, this is Fahri
from Indonesia!” Tuan Boutros memperkenalkan kenalannya dengan
pengucapan yang sangat berlogat Arab.
Mr. Rudolf menjabat tanganku erat.
“Pleased to meet you Mr. Rudolf.” Sapaku pada bule di hadapanku dengan
tersenyum. Lalu aku berbasa-basi padanya dengan bahasa Jerman, “Sin Sie
Tourist?”74
Mr. Rudolf agaknya terkejut mendengar pertanyaanku.
“Nein. Sprechen Sie Deutsch?”75 Mr. Rudolf balik bertanya dengan nada heran apa aku bisa berbahasa Jerman.
“Ja.” Jawabku sambil tersenyum. Lalu kami berbincang sesaat lamanya
dengan bahasa Jerman. Ia menerangkan dirinya adalah staf ahli atase
perdagangan Jerman di Kairo. Dia bertanya apa aku seorang diplomat.
Kujelaskan statusku di Mesir. Tuan Boutros menawarkan pada Mr. Rudolf
untuk duduk bersama kami. Mr. Rudolf mengucapkan terima kasih, ia
ditunggu isterinya di meja yang lain, lalu beranjak pergi. Madame Nahed
menanyakan di mana aku belajar bahasa Jerman. Dan menyayangkan Tuan
Boutros yang tidak bisa berbahasa Jerman padahal banyak koleganya yang
berasal dari Jerman. Maria mengusulkan agar ayahnya belajar bahasa
Jerman padaku saja. Tuan Boutros hanya tersenyum mendengar celoteh
isteri dan puterinya.
Usai makan kami tidak langsung pulang. Madame Nahed memesan koktail dan
mengajak kami semua ke bagian dalam, di sana ada hiburan musik
73 Sate kambing.
74 Apakah Anda turis?
75 Tidak, kau bisa bicara bahasa Jerman? AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
93
klasik. Aku sebenarnya ingin langsung pulang. Tapi Madame Nahed dan Tuan Boutros memaksa, “Kita lihat sebentar saja.”
Di bagian dalam, di tengah ruangan ada panggung kecil setinggi setengah
meter. Bentuknya bundar. Di atas panggung bundar itu ada seorang
perempuan muda berambut pirang menggesekkan biola dengan penuh
penghayatan.
“Yang ia mainkan sekarang ini karya Bedhoven. Perempuan itu pemain biola
terkenal dari Rumania.” Seorang pelayan restoran berkata pada seorang
wanita setengah baya yang berada tak begitu jauh dariku.
Satu lagu selesai. Pengunjung bertepuk tangan. Pemain biola perempuan
itu kembali menggesek biolanya. Kali ini bernada riang. Beberapa orang
pengunjung berdiri dari kursinya menuju ke dekat panggung. Mereka
berdansa. Orang Mesir botak yang tadi kulihat juga berdansa dengan
isterinya.
Tuan Boutros meraih tangan Madame Nahed. Madame Nahed tersenyum dan
menengok pada Maria, “Maria, ayo cobalah kau berdansa. Sekali ini saja.
Coba ajak Fahri atau siapa terserah!”
Aku terkejut mendengarnya. Tuan Boutros menimpal, “Ya Fahri, Maria itu
tidak pernah mau berdansa. Coba kau ajak dia! Mungkin kalau kau yang
mengajak dia mau.”
Aku diam. Kulirik teman-teman. Mereka senyam-senyum. Tuan Boutros dan
Madame Nahed sudah larut dalam irama musik dan berdansa mesra. Maria
mendekatiku.
“Fahri, mau coba berdansa denganku? Ini kali pertama aku mencoba
berdansa,” lirihnya malu. Aku harus berbuat apa. Apakah aku harus ikut
budaya Eropa. Aku teringat kisah awal-awal Syaikh Abdul Halim Mahmud
muda saat belajar di Perancis. Beliau juga mendapat godaan yang tidak
jauh berbeda dengan aku saat ini. Dan Syaikh Abdul Halim Mahmud muda
mampu melewati ujian itu dengan baik. Beliau yang dikenal sebagai ulama
sufi modern yang arif billah itu akhirnya dipilih sebagai Grand Syaikh
Al Azhar. Jika ada ahli ibadah dan wali di puncak gunung tanpa godaan
itu bukan sesuatu yang mengagumkan. Tapi jika ada ahli ibadah bisa
berinteraksi dengan baik di tengah kota metropolitan dengan segala hiruk
pikuk budaya hedonisnya itu mengagumkan. Begitu Syaikh Ahmad berkata
padaku. Tawaran Maria bagi seorang pemuda adalah tawaran menarik.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
94
Siapa tidak suka bergandeng tangan dan berdansa dengan gadis secantik dia. Di sinilah letak ujiannya.
“Maaf aku tidak bisa,” jawabku sambil tersenyum dan menangkupkan dua tangan di depan dada.
“Sama, aku juga tidak bisa. Kita belajar bersama pelan-pelan. Mari kita
coba!” sahut Maria yang belum memahami sepenuhnya penolakanku.
“Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran
Al-Qur’an dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali
dia isteri atau mahramku. Kuharap kau mengerti dan tidak kecewa!”
terangku tegas. Dalam masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang
keraguan yang membuat setan masuk ke dalam aliran darah.
“Oh begitu. Maaf, aku tidak tahu. Kalau tahu, aku tak mungkin menawarkan
hal ini kepadamu. Aku salut atas ketegasanmu menjaga apa yang kau
yakini,” kata Maria. Tak ada gurat kecewa di wajahnya.
“Maria aku keluar dulu. Aku mau menikmati keindahan sungai Nil. Jika
ayahmu sudah selesai panggil saja aku di luar,” pesanku pada Maria
sebelum aku melangkah keluar. Yousef dan teman-teman membuntutiku. Lima
belas menit kemudian Maria memanggil kami untuk pulang. Pukul 22.45 kami
sampai di halaman apartemen. Teman-teman memuji menu yang kupilihkan.
Aku yakin mereka kenyang.
* * *
Sampai di flat teman-teman tidak langsung tidur, mereka berbincang di
ruang tamu. Sementara aku masuk kamar dan membaca surat Nurul yang
mengisahkan apa yang dialami oleh Noura yang malang.
Nurul menulis, bahwa Noura mengaku sampai berumur delapan tahun sangat
bahagia dan disayang ayah ibunya yaitu Si Muka Dingin Bahadur dan Madame
Syaima. Keduanya bahkan sangat menyayanginya melebihi dua kakaknya. Dia
memang berbeda dengan kedua kakaknya. Sejak kecil dikenal cerdas,
berkulit putih bersih, berambut pirang, lincah dan cantik. Tidak seperti
dua kakaknya yang hitam seperti orang Sudan. Petaka itu datang ketika
kakak sulungnya Mona pulang dari sekolah dan menangis sejadi-jadinya.
Setelah dibujuk ayah dan ibunya Mona mengaku dihina oleh teman satu
bangkunya di
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
95
sekolah. Mona dihina sebagai anak syarmuthah. Hinaan itu disebar ke
seluruh kelas. Temannya itu mengatakan, ‘Tidak mungkin ibumu itu tidak
melacur. Buktinya adik bungsumu berkulit putih bersih dan berambut
pirang. Dari mana bisa begitu kalau tidak melacur dengan orang lain.
Ayahmu ‘kan kulitnya hitam dan negro seperti kamu dan ibumu!” tak ayal
itu adalah penghinaan yang sangat menyakitkan. Pada hari yang sama
ayahnya sedang dipecat dari kerjanya di pabrik baja. Dan pecahlah
prahara itu. Malam harinya ayahnya memaki-maki ibunya dan mencelanya
sebagai pelacur. Ayahnya sejak itu tidak lagi menyayanginya. Apalagi
sebelumnya memang seringkali orang heran dengan ketidaksamaan Noura
dengan kedua orang tua dan kakaknya. Sejak itu Noura jadi bulan-bulanan
kedua kakaknya dan ayahnya. Ibunya seringkali melindungi dirinya. Namun
ketika ayahnya membawa perempuan lain yang cantik dan tidak hitam ke
rumah, ibunya menjadi terganggu pikirannya. Ia jadi seperti orang tidak
waras. Kadang menangis, marah, ngomel sendiri dan lain sebagainya.
Kadang menyayangi Noura dan terkadang tidak jarang ikut menyakitinya.
Ayahnya akhirnya dapat pekerjaan sebagai tukang pukul di sebuah Nigh
Club yang mengapung di atas sungai Nil. Mona, kakak sulungnya ikut kerja
di sana. Sedangkan Suzan katanya kerja di sebuah losmen di Sayyeda
Zaenab. Berangkat menjelang maghrib dan pulang sekitar jam dua dini
hari. Menurut bisik-bisik para gadis tetangga kedua kakak Noura itu
kerjanya tak lain adalah menjual diri. Beberapa kali Noura melihat Mona
membawa teman lelaki ke rumah dan diajak tidur di kamarnya. Ayahnya
malah senang, sedangkan ibunya sudah semakin buruk ingatannya meskipun
sesekali datang kesadarannya dan menatapi nasib dirinya dan nasib Noura.
Di rumah itu Noura diperlakukan layaknya pembantu rumah tangga.
Memasak, mencuci, mengepel semua tanggung jawab Noura. Untungnya Noura
masih dibolehkan ayahnya sekolah di Ma’had Al Azhar, itu pun karena
sekolah di sana gratis dan kalau pulang agak terlambat akan mendapatkan
hukuman dari ayah dan kedua kakaknya. Beragam bentuk siksaan ia terima
dari orang yang ia anggap keluarganya. Puncak derita Noura adalah enam
bulan terakhir ini, ketika ayahnya memaksanya dia agar ikut bekerja di
Night Club seperti kakaknya. Bahkan ayahnya dapat tawaran dari
manajernya agar Noura mau jadi penari perut tetap di Night Clubnya. Bos
ayahnya memang pernah ke rumahnya sekali dan melihat AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
96
Noura. Ayahnya pada waktu itu cerita pada bosnya kalau Noura saat TK
dulu pernah menang lomba menari. Jelas Noura tidak bisa memenuhi
keinginan ayahnya itu. Sejak itu ia sangat menderita. Puncaknya adalah
malam itu. Sore sebelum berangkat kerja, ayahnya memaksanya untuk ikut
Mona berangkat setelah maghrib, ada turis asing yang memesan perawan
Mesir. Noura dihargai sepuluh ribu pound. Harga yang menurut ayah dan
kedua kakaknya sangat tinggi. Ia menolak. Ayahnya lalu mencambuk
punggungnya berkali-kali. Ia tidak tahan, akhirnya ia pura-pura mau.
Ayahnya berangkat. Tapi begitu shalat maghrib ia mengurung diri di
kamar. Tidak mau keluar. Tidak mau membukakan pintu. Bagaimana mungkin
dia yang muslimah dan sekolah di Al Azhar akan melakukan perbuatan dosa
besar itu. Mona tidak bisa berbuat apa-apa. Tengah malam ayahnya pulang
dan terjadilah penyiksaan dan pengusiran itu. Ayah menyumpahinya sebagai
anak setan, anak haram, anak tidak tahu diuntung. Mona menampar mukanya
dengan sandal berkali-kali sambil berkata, “Kau ini siapa? Kau anak
siapa hah? Kau bukan adik kami dan bukan keluarga kami? Aku akan
buktikan nanti lewat test DNA kau bagian dari keluarga kami!”
Aku menitikkan air mata membaca kisah penderitaan yang dialami Noura.
Aku tidak melihat bekas-bekas cambukan di punggungnya, tapi aku bisa
merasakan sakitnya. Aku tidak melihat wajahnya saat itu tapi hatiku bisa
menangkap rintihan batinnya yang remuk redam. Aku seolah ikut merasakan
kecemasan, ketakukan dan kesendiriannya selama ini dalam neraka yang
dicipta Si Muka Dingin Bahadur. Aku tiba-tiba merasa Noura itu seperti
adik kandungku sendiri. Entah bagaimana aku bisa merasakan begitu,
padahal aku tidak memiliki adik. Aku anak tunggal. Tapi aku seperti
merasakan apa yang dirasakan Noura. Seandainya dia adikku tentu tidak
akan aku biarkan ada orang jahat menyentuh kulitnya. Akan aku korbankan
nyawaku untuk melindunginya.
Aku kembali menitikkan air mata. Oh Noura, semoga Allah menjagamu di
dunia dan di akhirat. Gadis berwajah putih dan innocence itu selalu
berjalan menunduk. Jika berpapasan kami hanya bersapa dengan tatapan
mata sekilas. Tanpa kata-kata. Tapi kami merasa dekat dan saling kenal.
Aku tidak mungkin membiarkan Noura terus jadi bulan-bulanan para
serigala berkepala manusia. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Dan
sampai sejauh mana langkahku? Aku
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
97
adalah orang asing di sini. Aku menarik nafas panjang. Diam memejamkan
mata dengan pikiran terus mengembara mencari jalan keluar. Aku tidak
bisa, dan tidak akan mampu bertindak sendiri. Akan aku serahkan masalah
ini pada Syaikh Ahmad, dia adalah intelektual muda yang sangat peduli
pada siapa saja. Beliau pasti mau membantu Noura.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
98
8. Getaran Cinta
Setelah shalat shubuh aku tidak langsung pulang, tapi menemui Syaikh
Ahmad. Kukabarkan pada beliau kelulusanku dan rencanaku membuat proposal
tesis. Imam muda berhati lembut itu mengecup kepalaku berkali-kali.
Begitulah cara orang Arab memberikan tanda penghormatan yang tinggi.
Penghormatan orang yang dianggap sangat dekat. Dari bibirnya keluar
ucapan selamat dan doa tiada henti. Beliau bahkan menawarkan agar jika
naskah proposal selesai kususun diserahkan terlebih dahulu padanya untuk
dilihat bahasanya. Jika ada gaya bahasa yang mungkin kurang tepat
beliau akan mentashihnya. Aku sangat senang mendengarnya. Barulah aku
jelaskan padanya kisah derita Noura panjang lebar dan mendetail seperti
yang aku lihat dan aku ketahui. Beliau menitikkan air mata mendengarnya.
“Di Mesir ini, banyak sekali orang mengakui muslim tapi akhlaknya tidak
muslim. Mengaku Islam tapi sangat jauh dari cahaya Islam. Bagaimana
mungkin seorang ayah yang mengaku umat Muhammad bisa begitu kejam pada
anaknya, pada seorang gadis yang semestinya dia lindungi dan dia
sayangi. Fahri, menghantarkan kesejukan ruh Islam ke dalam hati semua
pemeluknya memang tidak semudah membalik kedua telapak tangan. Tapi kita
tidak boleh berpangku tangan, apalagi berputus asa. Sebisa kita, kita
harus terus berusaha,” kata Syaikh Ahmad sambil menarik nafas.
“Tidak hanya di Mesir saja Syaikh, di Indonesia juga ada. Bahkan di
Indonesia lebih parah. Ada lelaki yang meniduri anak gadisnya dengan
paksa. Lebih parah lagi ada yang tega menjual isteri dan anak gadisnya
pada lelaki hidung belang. Setan memang ada di mana-mana. Dengan segala
tipu dayanya, setan selalu berusaha membutakan hati manusia sehingga
mereka beranggapan tindakan yang keji menjadi terpuji.”
“Laa haula wa laa quwwata illa billah!” ucap Syaikh Ahmad sambil
memejamkan mata. Beliau lalu menepuk pundakku dan mengatakan dirinya
akan terjun langsung membantu Noura secepatnya. Sebelum musim masuk
sekolah tiba derita Noura harus diakhiri. Syaikh Ahmad berterima kasih
atas segala yang telah kami lakukan. Beliau meminta agar jam sembilan
nanti aku mengantarkan beliau
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
99
menemui Noura di Nasr City. Beliau hendak mengambil Noura dan
menempatkannya di tempat yang aman. Menurut beliau jika sampai nanti
ayahnya tahu Noura berada di tempat mahasiswi Indonesia akan membuat
masalah. Kasihan para mahasiswi jika terganggu belajarnya. Noura harus
secepatnya dipindahkan ke tempat yang tepat. Kami sepakat untuk bertemu
di depan mahattah Hadayek Helwan.
Aku segera pulang dan menelpon Nurul, memberitahukan rencana Syaikh
Ahmad. Aku minta padanya untuk tidak pergi. Sekitar pukul sepuluh, kami
insya Allah, sampai. Tepat pukul sembilan aku sampai di tempat yang
dijanjikan. Syaikh Ahmad telah menunggu di dalam mobil Fiat tuanya.
Seorang wanita berjilbab panjang duduk di samping beliau. Syaikh Ahmad
memang hidup sederhana meskipun kata masyarakat beliau orang berada.
Isteri beliau seorang dokter yang membuka praktek di Helwan dan membantu
orang tidak mampu dengan membuka praktek di klinik masjid. Syaikh Ahmad
mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Pukul sepuluh lebih sepuluh kami sampai di kediaman Nurul dan
kawan-kawannya yang berada di tingkat enam. Para mahasiswi itu dipeluk
oleh isteri Syaikh Ahmad dengan penuh kehangatan. Ketika memeluk Noura,
isteri Syaikh Ahmad menangis tersedu-sedu. Berkali-kali ia mencium pipi
gadis innocent itu. Syaikh Ahmad menjelaskan maksud kedatangan dia dan
isterinya. Semuanya mengerti termasuk Noura. Noura akan dibawa ikut
serta ke kampung halaman Syaikh Ahmad. Ke rumah orang tua Syaikh Ahmad
di desa Tafahna El-Ashraf, Zaqaziq. Noura menurut. Setelahlah Noura siap
terjadilah perpisahan yang mengharukan. Nurul dan teman-temannya
terisak dan bergantian memeluk Noura. Noura juga menangis sambil
mengucapkan terima kasih tak terhingga. Nurul bilang pada Noura, “Noura
kau juga harus mengucapkan terima kasih tiada terhingga pada Akh Fahri.”
Noura menatapku sekilas dengan mata berkaca lalu menunduk dan dengan
suara lirih dia menyampaikan rasa terima kasih dari hati yang terdalam.
Kalau dia adikku pasti sudah kupeluk dengan penuh rasa sayang. Aku hanya
mengangguk dan membesarkan hatinya bahwa Syaikh Ahmad dan isterinya
akan membukakan jalan yang baik baginya. Mereka berdua orang-orang yang
baik dan berhati
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
100
lembut. Agar tidak mencurigakan, Noura diminta Syaikh Ahmad memakai
cadar. Nurul dan teman-temannya diminta tidak turun ke bawah. Cukup
melihat dari jendela saja. Kami berempat turun. Syaikh Ahmad masuk mobil
diikuti isteri dan Noura. Aku mengucapkan salam dan selamat jalan. Kali
ini Noura memandang diriku agak lama. Aku tidak tahu apa yang ada di
dalam hatinya. Aku terus berdoa semoga ia terbebas dari derita yang
membelenggunya. Aku kembali ke Hadayek Helwan dengan hati lega. Syaikh
Ahmad akan mengurus segalanya.
* * *
Sampai di rumah aku langsung melihat jadwal. Aku harus talaqqi ke
Shubra. Aku mencela diriku sendiri kenapa setelah dari Rab’ah El-Adawea
tadi tidak langsung ke Shubra saja. Namanya juga lupa. Telpon berdering.
Nurul menelpon menanyakan bagaimana dengan uang yang telah aku berikan
padanya. Padahal Noura hanya beberapa hari tinggal di rumahnya dan uang
yang aku berikan padanya nyaris belum digunakan untuk apa-apa. Aku
bilang tidak usah dipikirkan dan dikembalikan, terserah mau diapakan
yang penting untuk kebaikan. Nurul dan teman-temannya orang yang jujur
dan amanah. Keuangan negara tidak akan bocor jika ditangani oleh
orang-orang seperti mereka. Aku salut padanya. Tiba-tiba aku teringat
ledekan Si Rudi kemarin, ‘Jangan-jangan dia orangnya!.... Congratulation
Mas. She is the star, she is the true coise, she will be a good wife!’.
Ah, tidak mungkin! Kutepis jauh-jauh pikiran yang hendak masuk. Memiliki
isteri shalihah adalah dambaan. Tapi..ah, aku ini punguk dan dia adalah
bulan. Aku ini gembel kotor dan dia adalah bidadari tanpa noda. Aku
melangkah mengambil air wudhu. Tadi pagi aku baru membaca seperempat
juz, aku harus menyelesaikan wiridku. Nanti habis zhuhur aku harus ke
Shubra. Syaikh Utsman kurang berkenan jika ada hafalan yang salah,
meskipun satu huruf saja.
Aku membukal mushaf. Handphone-ku berdering. Ternyata Aisha. Dia
mengingatkan janji bertemu dengan Alicia di National Library. Aku
mengucapkan terima kasih telah diingatkan. Dan siang itu aku kembali
menantang panas sahara untuk mengaji Al-Qur’an di Shubra yang jauhnya
kira-kira lima puluh kilo dari apartemenku. Hadayek Helwan tempat aku
tinggal ada di ujung selatan kota Cairo sementara Shubra ada di ujung
utara. Menjelang maghrib aku baru pulang dengan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
101
ubun-ubun kepala seperti kering tanpa ada darah mengalir di sana, telah
menguap sepanjang siang. Aku benar-benar capek. Satu hari ini melakukan
perjalanan hampir sejauh seratur kilo meter. Pagi bolak-balik Hadayek
Helwan-Nasr City. Habis zhuhur bolak-balik Hadayek Helwan-Shubra.
Ba’da shalat maghrib aku merasa kepalaku tak bisa diangkat. Terasa berat
dan sakit. Aku panggil Saiful, aku minta padanya untuk mengompres
kepalaku. Saifu menempelkan telapak tangannya ke keningku, “Panas sekali
Mas.”
Ia lantas bergegas memenuhi permintaanku. Saiful duduk disampingku
sambil memijat kedua kakiku. Dia tahu persis apa yang kulakukan seharian
ini. Hamdi ikut serta memijat-mijat. Teman-teman memang sangat baik dan
perhatian. Kami sudah seperti saudara kandung. Seandainya Mishbah dan
Rudi datang keduanya pasti juga ikut menunggui atau membelikan buah yang
kusuka. Mishbah kembali ke Wisma untuk urusan pelatihannya. Dan Rudi
pergi ke sekretariat Kelompok Studi Walisongo atau KSW dia mewakili
Himpunan Mahasiswa Medan atau HMM untuk membicarakan kerjasama
mengadakan tour ke tempat-tempat bersejarah di Mesir.
Bel berbunyi. Yousef mencari aku. Hamdi membawanya masuk ke kamarku.
Yousef menyentuh tanganku. Ia ragu mengatakan sesuatu. Ia tersenyum dan
mendoakan semoga tidak apa-apa dan segera pulih lalu kembali ke
rumahnya. Tak lama kemudian bel kembali berbunyi. Hamdi beranjak
membukanya. Hamdi melongok di pintu kamar dan bilang, “Tuan Boutros
sekeluarga Mas. Bagaimana? Apa mereka boleh masuk kemari?”
Kalau kepalaku tidak seberat ini aku pasti keluar menemui mereka. Aku
mengisyaratkan pada Hamdi agar mempersilakan mereka masuk. Pak Boutros
masuk membawa satu botol madu. Madame Nahed membawa peralatan dokternya.
Dan Maria membawa nampan entah apa isinya. Tuan Boutros menyentuh
pipiku.
“Panas. Nahed, coba kau periksa!” katanya pada isterinya.
Madame Nahed meminta izin padaku untuk memeriksanya. Sambil memasang
tekanan darah di lengan kananku, dia menanyakan apa yang kurasakan.
Kujelaskan semua dengan pelan. Saiful memberitahukan diriku melakukan
perjalanan panjang di tengah terik siang, dari pagi sampai sore.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
102
“Agaknya kau terlalu memforsir dirimu. Banyak-banyaklah istirahat. Ada
gejala heat stroke. Kau harus minum yang banyak dan makan buah-buahan
yang segar. Istirahatlah dulu, jangan bepergian menantang matahari!”
kata Madame Nahed lembut.
“Heat stroke itu apa, Madame?” tanya Saiful.
“Heat stroke adalah sengatan panas, yaitu penyakit yang terjadi akibat
penumpukan panas yang berlebihan di dalam badan yang ditimbulkan oleh
keadaan cuaca panas. Tapi tidak usah kuatir baru gejala,” jawab Madame
Nadia. Dia lalu menulis resep dan minta puteranya Yousef untuk keluar
membelinya. “Cepat ya. Sama ashir mangga!”
“Yousef, sebentar!” ujarku. Kepalaku semakin berat. “Tolong Saif
ambilkan uang di dompetku. Ada di lemari. Saiful mengambil uang seratus
pound dan menyerahkan pada Yousef. Tapi Tuan Boutros mencegahnya. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Yousef keluar. Maria mendekat.
“Fathi, ini aku buatkan ruz billaban untukmu,” lirih Maria.
“Lha untuk kami mana? Masak untuk Akh Fahri saja,” sahut Hamid.
“Maksudku juga untuk kalian,” ucap Maria agak tersipu. Maria meletakkan
nampan berisi ruz billaban di atas meja belajarku. Saat itu kulihat dia
memandang dua lembar kertas karton besar yang menempel di depan meja
belajar.
“Oi Farhi, apa ini? Rancangan hidupmu? Sepuluh tahun ke depan. Dan planning tahun ini,” katanya setengah kaget.
“Maria, jangan kau baca! Aib!” Madame Nahed mengingatkan.
“Biarkan. Nggak apa-apa!” kataku.
Yang kutempel memang arah hidup sepuluh tahun ke depan. Target-target
yang harus kudapat dan apa yang harus kulakukan. Lalu peta hidup satu
tahun ini. Ku tempel di depan tempat belajar untuk penyemangat. Dan
memang kutulis dengan bahasa Arab.
“Wow. Targetmu dua tahun lagi selesai master. Empat tahun berikutnya
selesai doktor dan telah menerjemah lima puluh buku serta memiliki karya
minimal lima belas karya. Dan empat tahun berikutnya atau sepuluh tahun
dari sekarang targetmu adalah guru besar. Fantastik. Hai Fahri kapan
rencanamu
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
103
kawin. Kenapa tidak kau tulis dalam peta hidupmu?” celoteh Maria. Madame Nahed geleng-geleng kepala.
“Baca yang teliti!” lirihku.
Maria membaca dengan teliti, tak lama kemudian ia berkata, “Okey aku
setuju. Ketika kau menulis tesis magister. Ya, untuk menemani
perjuanganmu yang melelahkan!”
“Berarti sudah dekat. Mungkin tahun ini mungkin tahun depan. Karena dia
sudah lulus ujian dan sudah diminta universitas membuat proposal tesis.”
sahut Saiful. Serta merta Tuan Boutros, Madame Nahed, dan Maria
mengucapkan selamat. Mereka senang mendengar aku mulai menulis tesis.
Madame Nahed menanyakan apa aku sudah ada calon. Kepalaku nyut-nyut.
Kupaksakan untuk tersenyum. Lalu aku bergurau, “Kebetulan tidak ada
gadis yang mau dekat denganku. Tak ada yang mau mengenalku dan baik
denganku. Yang baik padaku malah Maria. Bagaimana Madame, kalau calonnya
Maria?”
Madame Nahed tersenyum, “Boleh saja. Tapi kusarankan tidak sama dia, dia
gadis yang kaku. Beda dengan dirimu yang kulihat bisa romantis, bisa
membuat kejutan-kejutan yang menyenangkan. Kemarin dalam perjalanan
pulang kami mendapat cerita yang banyak tentang dirimu dari Rudi. Dia
bercerita tentang kesan-kesannya padamu. Dia juga menjelaskan
sesungguhnya yang merancang dan membelikan hadiah ulang tahun untukku
dan untuk Yousef itu kamu. Aku takut kau kecewa dapat Maria. Dia gadis
manja dan kaku. Saya tak tahu dia bisa romantis apa tidak. Dia itu gadis
yang tidak pernah jatuh cinta. Tak suka dikunjungi teman lelaki. Tak
suka diajak pergi kencan. Kau harus mendapatkan gadis yang bisa
mengimbangi kelembutan hatimu dan kekuatan visimu mengarungi hidup.
Kulihat kau pemuda yang sangat berkarakter dan kuat memegang prinsip
namun penuh toleransi. Kau jangan sembarangan memilih pasangan hidup,
itu saran dari Madame.”
“Terima kasih Madame atas sarannya, doakan saja.” jawabku. Kulirik
Maria. Sesaat mukanya merona tapi ia segera dapat menguasai dirinya.
“Fahri, kenapa sih kau buat peta hidup ke depan segala, bukankah hidup ini enaknya mengalir bagaikan air?” tanya Maria.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
104
Kepalaku sebenarnya semakin nyut-nyut tapi aku selalu tidak bisa membiarkan kecewa orang yang bertanya padaku.
“Maaf, setiap orang berbeda dalam memandang hidup ini dan berbeda
caranya dalam menempuh hidup ini. Peta masa depan itu saya buat terus
terang saja berangkat dari semangat spiritual ayat suci Al-Qur’an yang
saya yakini. Dalam surat Ar Ra’ad ayat sebelas Allah berfirman,
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu
sendiri yang mengubah nasibnya. Jadi nasib saya, masa depan saya, mau
jadi apa saya, sayalah yang menentukan. Sukses dan gagalnya saya,
sayalah yang menciptakan. Saya sendirilah yang mengaristeki apa yang
akan saya raih dalam hidup ini.”
Belum selesai aku bicara Maria menyela, “Kalau begitu di mana takdir Tuhan?”
“Takdir Tuhan ada di ujung usaha manusia. Tuhan Mahaadil, Dia akan
memberikan sesuatu kepada umat-Nya sesuai dengan kadar usaha dan
ikhtiarnya. Dan agar saya tidak tersesat atau melangkah tidak tentu arah
dalam berikhtiar dan berusaha maka saya membuat peta masa depan saya.
Saya suka dengan kata-kata bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan
tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang
sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun
ia berada di jalan yang mulus!’ Peta hidup ini saya buat untuk
mempertegas arah tujuan hidupku sepuluh tahun ke depan. Ini bagian dari
usaha dan ikhtiar dan setelah itu semuanya saya serahkan sepenuhnya
kepada Tuhan.”
Maria mengangguk-anggukkan kepala.
“Apa kubilang, Fahri seorang visioner yang tegas. Tidak seperti dirimu
Maria, hidup manja tanpa visi. Kau ini sudah berada di jalan yang mulus.
Dikaruniai otak yang cerdas, hidup berkecukupan, disayang keluarga.
Tapi kau tidak akan membuat kemajuan tanpa visi yang jelas.” sahut
Madame Nahed.
Aku tidak enak mendengarnya. Aku tidak tahu seperti apa wajah Maria,
mungkin memerah karena malu mendapat teguran dari ibunya yang
ceplas-ceplos seperti itu. Aku memejamkan kepala merasakan rasa nyeri di
dalam tempurung kepalaku.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
105
Tuan Boutros menanyakan kemana Rudi dan Mishbah, keduanya tidak
kelihatan. Hamdi menjelaskan dengan rinci. Pembicaraan lalu beralih
kepada Hamdi dan Saiful. Aku mendengarkan dengan mata terpejam. Tangan
Saiful masih memijit kakiku. Tak lama kemudian Yousef datang membawa
obat dan satu botol ashir mangga. Madame Nahed memberikan petunjuk cara
meminum obatnya. Berapa hari sekali. Dia berpesan agar aku istirahat
dulu sampai pulih kembali. Mereka lalu pamitan. Saat mau pergi Maria
berkata,
“Syukran Fahri, aku mendapatkan ilmu yang mahal sekali. Benar kata
pepatah dekat dengan penjual minyak akan mendapatkan wanginya.”
Setelah mereka kembali ke flatnya, aku makan ruz billaban pemberian
Maria. Enak. Lalu minum obat dan bersiap tidur. Aku telah meminta Hamdi
menyetel beker jam tiga. Aku bersyukur memiliki teman-teman yang baik
dan tetangga yang baik. Saiful memijat-mijat diriku sampai aku terlelap.
Dalam tidur aku mendengar Maria menangis. Air matanya membasahi kakiku.
Jam tiga aku terbangun. Heran dengan mimpiku. Sebelum tidur aku sudah
baca shalawat dan doa. Aku tak tahu mimpi itu tafsirnya apa. Kalau Ibnu
Sirin masih hidup tentu aku tanyakan padanya. Aku beristighfar
berkali-kali memohon ampunan kepada Allah jika guyonanku pada Madame
Nahed tadi tidak semestinya aku lakukan. Jangan-jangan menyakiti hati
Maria. Aku bangkit. Kepalaku terasa lebih ringan. Aku tadi memang
kepanasan dan kelelahan. Ya Allah, kulihat Saiful tidur di karpet. Ia
begitu setia menunggui aku. Ana uhibbuka fillah ya Akhi!76 Aku harus
shalat Isya. Malam terasa sunyi. Aku teringat ayah bunda di kampung
sana, di tanah air tercinta. Terbayang mata bening bunda.
selalu saja kurindu
abad-abad terus berlalu
berjuta kali berganti baju
nun jauh di sana mata bening menatapku haru
penuh rindu
mata bundaku
yang selalu kurindu
76 Aku mencintaimu karena Allah, Saudaraku! AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
106
Dalam sujud kumenangis kepada Tuhan, memohonkan rahmat kesejahteraan
tiada berpenghabisan untuk bunda, bunda, bunda dan ayahanda tercinta.
Usai shalat Isya dan Witir aku tidur lagi. Aku bermimpi lagi. Bertemu
ayah ibu, berpelukan dan menangis haru.
* * *
Pagi hari aku merasa segar kembali. Aku melihat jadwal. Ada janji di
National Library. Kalau tak ada janji sebenarnya aku ingin istirahat
saja. Kasihan tubuh ini, kepanasan setiap hari. Tapi janji harus
ditepati. Meskipun harus merangkak akan aku jalani. Janjinya jam
sebelas. Aku harus berangkat jam sepuluh masih ada tiga jam. Lumayan
untuk mengejar terjemahan.
Pukul sepuluh aku berangkat. Matahari sudah mulai menyengat. Sampai di
halaman Maria memanggil namaku dari jendelanya. Ia mengingatkan agar aku
tidak pergi. Kukatakan padanya aku ada janji. Aku harus menepatinya
meskipun untuk itu aku harus mati. Untung aku dapat tempat duduk. Lebih
baik daripada berdiri. Di tengah perjalanan seorang pemuda Mesir memakai
jubah lusuh naik. Ia membawa karung. Entah apa isinya. Sampai di dalam
metro membuka karungnya. Mengeluarkan boneka panda. Ia menawarkan pada
penumpang barang dagangannya. Boneka dan mainan anak-anak. Ia menawarkan
dari ujung ke ujung. Ia bilang harga promosi jauh lebih murah dari yang
di toko resmi. Tak ada yang beli. Ia mendekatiku dan menawatkan boneka
panda itu padaku. Kukatakan padanya aku belum punya anak. Penjual mainan
itu menjawab,
“Belilah, kudoakan kau mendapatkan isteri yang shalihah dan cantik
seperti bidadari dan memiliki anak yang shalih shalihah, juga kudoakan
umurmu berkah rizkimu melimpah sehingga kau dan anak cucumu tidak akan
perlu berjualan di jalan seperti diriku. Belilah untuk penyemangat
hidupku!”
Siapa yang tidak terenyuh mendengar kata-kata penuh muatan doa seperti
itu. Hatiku luluh. Aku akhirnya membeli boneka panda dan pistol air.
Cuma sepuluh pound. Boneka enam pound dan pistol airnya empat pound.
Pemuda itu tampak berbinar matanya, ia mengucapkan terima kasih. Setelah
aku membeli ada seorang ibu setengah baya tertarik dan membeli.
Aku memandangi boneka panda warna coklat dan putih di tanganku. Boneka
yang cantik. Kepada siapa akan kuberikan? Aku tersenyum sendiri. Biar
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
107
nanti kugantung di atas tempat tidur. Pemuda itu masih di dalam metro ia
belum turun. Mungkin turun di mahatah depan. Keringatnya bercucuran.
Aku teringat masa kecilku ketika aku masih SD. Kami keluarga susah.
Kakek hanya mewariskan sepetak sawah, kira-kira luasnya setengah bahu.
Dibagi dua dengan adil untuk ayah dan paman. Ayah tidak sekolah, dia
hanya sampai kelas tiga sekolah SR. Hanya bisa baca dan menulis saja.
Demikian juga dengan ibu. Lain dengan paman. Dia disekolahkan oleh kakek
dengan bantuan ayah sampai SPG. Dia jadi guru. Karena paman sudah
disekolahkan maka rumah kakek diberikan kepada ayah. Selama paman
sekolah ayahlah yang menggarap sawah untuk membiayai paman. Dan paman
sangat pengertian, sebenarnya dia tidak minta apa-apa. Apa yang dia
punya sudah cukup. Dia kebetulan mendapatkan isteri teman sekolahnya,
anak penilik sekolah jadi lebih tercukupi. Tapi ayah tetap meminta
kepada paman agar sawah sepetak itu dibagi dua. Paman tidak boleh
menolaknya. Akhirnya yang kami punya adalah rumah peninggalan kakek yang
sangat sederhana dan sawah seperempat bahu. Apa yang bisa diharapkan
dari sawah setengah bahu. Ayah tetap menggarap sawah itu dengan menanam
padi. Hasilnya di makan sendiri. Untuk keperluan lain ibu jualan
gorengan di pasar dan ayah jualan tape77 dengan berkeliling dari kampung
ke kampung. Jika hari minggu aku diajak ayah ikut serta. Berjalan
berkilo-kilo. Jika telah dekat dengan rumah penduduk ayah akan
berteriak, ‘Pe tape! Pe tape! Pe tape!’
Jika ayah lelah maka akulah yang bergantian berteriak menawarkan tape.
Jika ada yang beli hati senangnya bukan main. Rasa lelah seperti hilang
begitu saja. Apalagi jika ada yang memborong sampai belasan bungkus,
kami akan merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Mataku basah
mengingat itu semua.
Pukul sebelas kurang lima menit aku sampai di National Library. Aku
langsung menuju kafetaria. Alicia dan Aisha sudah ada di sana. Alicia
tersenyum padaku entah Aisha aku tidak tahu sebab ia bercadar. Mereka
telah memesan minuman. Aku pesan segelas karikade dingin. Alicia
menyerahkan dua lembar kertas berisi pertanyaannya. Kubaca sekilas.
Pertanyaan yang sangat serius. Aku menjanjikan akan menyerahkan
jawabannya hari Sabtu, di tempat dan waktu yang
77 Makanan dibuat dari singkong rebus yang telah di beri ragi. Sangat mirip dengan payem Bandung.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
108
sama. Alicia setuju. Kami lalu berbincang-bincang. Alicia banyak
bertanya tentang studiku. Aisha bercerita tentang pamannya yang senang
sekali mendapatkan salam dariku, dan mengirim salam balik, juga dua
keponakannya yang masih ingat padaku. Katanya si Amena menyebutku “Ammu
Fahri Al Andonesy!”78 Aisha juga bertanya apakah aku telah berkeluarga?
Setelah selesai master apa yang akan aku kerjakan di Indonesia? Apakah
aku akan melanjutkan S3? Aku menjawab apa yang bisa kujawab. Sebelum
berpisah aku teringat boneka dan pistol air yang aku beli di dalam
metro. Kutitipkan pada Aisha untuk keponakannya, Si Amena dan Hasan yang
lucu dan menggemaskan. Melihat boneka panda yang cantik mata Aisha
membesar dan berkata, “Wow cantik sekali, Amena pasti senang menerimanya
dan dia akan terus mengingat pamannya dari Indonesia.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Sudah setengah tahun aku tidak bertemu
dua jundi kecil itu. Amena mungkin sudah hafal juz dua puluh sembilan.
Dan Si Hasan sudah bisa membaca tulisan. Aku tidak tahu sama sekali
bahwa boneka panda yang aku beli tanpa sengaja itu suatu saat nanti akan
membawaku ke kaki langit cinta yang tiada tara indahnya. Kaki langit
cinta orang-orang yang bercinta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
78 Paman Fahri dari Indonesia.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
109
9. Merancang Peta Hidup
Dari National Library aku langsung pulang. Di dalam metro aku memaksakan
diri membaca dengan seksama pertanyaan-pertanyaan yang diajukan nona
Alicia dari Amerika itu. Rasa penasaran mengalahkan perut lapar belum
sarapan dan badan yang terasa meriang. Lembar pertama berisi pertanyaan
tentang bagaimana Islam memperlakukan wanita. Tentang beberapa hadits
yang dianggap merendahkan wanita. Tentang poligami, warisan dan lain
sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak asing namun terus menerus
ditanyakan. Pertanyaan yang seringkali memang dipakai oleh mereka yang
tidak bertanggung jawab untuk mendiskreditkan Islam. Di Barat masalah
poligami dalam Islam dipertanyakan. Mereka menganggap poligami
merendahkan wanita. Mereka lebih memilih anak puterinya berhubungan di
luar nikah dan kumpul kebo dengan ratusan lelaki bahkan yang telah
beristeri sekalipun daripada hidup berkeluarga secara resmi secara
poligami. Menurut mereka pelacur yang memuaskan nafsu biologisnya secara
bebas dengan siapa saja yang ia suka lebih baik dan lebih terhormat
daripada perempuan yang hidup berkeluarga baik-baik dengan cara
poligami.
Untuk semua pertanyaan tentang bagaimana Islam memperlakukan perempuan
aku sudah membayangkan semua jawaban yang aku akan tulis, lengkap dengan
sejarah perlakuan manusia terhadap perempuan. Sejak zaman Yunani kuno
sampai zaman postmo. Aku ingat bahwa para pendeta di Roma sebelum Islam
datang, pernah sepakat untuk menganggap perempuan adalah makhluk yang
najis dan boneka perangkap setan. Mereka bahkan mempertanyakan,
perempuan sebetulnya manusia apa bukan? Punya ruh apa tidak? Sementara
Baginda Nabi sangat memuliakan makhluk yang bernama perempuan, beliau
pernah bersabda bahwa siapa memiliki anak perempuan dan mendidiknya
dengan baik maka dia masuk surga.
Aku tinggal meringkas jawaban yang telah banyak ditulis para sejarawan,
cendekiawan dan ulama Mesir. Pertanyaan yang berkaitan dengan perempuan
aku anggap selesai. Nanti malam akan aku jawab lengkap dengan data dan
dalil-dalil utama dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hadits yang ditanyakan
Alicia yang mengatakan katanya Nabi pernah bersabda perempuan adalah
perangkap setan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
110
adalah bukan hadits. Itu adalah perkataan seorang Sufi namanya Basyir Al
Hafi. Sebagaimana dijelaskan dengan seksama dalam kitab Kasyful Khafa.
Itu adalah pendapat pribadi Basyir Al Hafi yang kemungkinan besar
terpengaruh oleh perkataan para pendeta Roma. Itu bukan hadits tapi
disiarkan oleh orang-orang yang tidak memahami hadits sebagai hadits.
Bagaimana mungkin Islam akan menghinakan perempuan sebagai perangkap
setan padahal dalam Al-Qur’an jelas sekali penegasan yang berulang-ulang
bahwa penciptaan perempuan sebagai pasangan hidup kaum lelaki adalah
termasuk tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dalam surat Ar Ruum ayat dua puluh
satu Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Jika perempuan adalah perangkap setan atau panah setan bagaimana mungkin
baginda nabi menyuruh memperlakukan perempuan dengan baik. Bahkan
beliau bersabda dalam hadits yang shahih, “Orang pilihan di antara
kalian adalah yang paling berbuat baik kepada perempuan (isteri)nya.”79
Baginda nabi juga menyuruh umatnya untuk mengutamakan ibunya daripada
ayahnya. Ibu disebut nabi tiga kali. Ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu!.
Pada lembaran kedua, Alicia bertanya bagaimana Islam memperlakukan
nonmuslim? Bagaimana Islam memandang Nasrani dan Yahudi? Apa sebetulnya
yang terjadi antara umat Islam dan umat Koptik di Mesir, sebab media
massa Amerika memandang umat Islam berlaku tidak adil? Bagaimana
pandangan Islam terhadap perbudakan? Dan lain sebagainya.
Aku teringat sebuah buku yang menjawab semua pertanyaan Alicia ini. Buku
apa, dan siapa penulisnya? Aku terus mengingat-ingat. Otakku terus
berputar, dan akhirnya ketemu juga. Buku itu ditulis oleh Prof. Dr.
Abdul Wadud Shalabi yang pernah menjadi sekretaris Grand Syaikh Al
Azhar, Syaikh Abdul Halim Mahmud. Aku merasa sebaiknya menerjemahkan
buku berjudul Limadza
79 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, beliau berkata: Hadits
hasan shahih. Juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Imam Baihaqi dan
Thabrani.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
111
yakhaafunal Islam80 itu ke dalam bahasa Inggris untuk menjawab
pertanyaan Alicia. Supaya Alicia dan orang-orang Barat tahu jawabannya
dengan jelas dan gamblang. Supaya mereka lebih tahu begaimana sebenarnya
Islam memuliakan manusia.
Untuk pertanyaan, apa sebetulnya yang terjadi antara umat Islam dan umat
Koptik di Mesir, yang paling tepat sebenarnya, biarlah umat koptik
Mesir sendiri yang menjawabnya. Dan Pope Shenouda pemimpin tertinggi
umat kristen koptik Mesir sudah membantah semua tuduhan yang bertujuan
tidak baik itu. Pope Shenouda tidak akan bisa melupakan masa kecilnya.
Dia adalah anak yatim di sebuah pelosok desa Mesir yang disusui oleh
seorang wanita muslimah. Dan wanita muslimah itu sama sekali tidak
memaksa Shenouda untuk mengikuti keyakinannya. Wanita muslimah itu
mengalirkan air susunya ke tubuh si kecil Snouda murni karena panggilan
Ilahi untuk menolong bayi tetangganya yang membutuhkan air susunya.
Adakah toleransi melebihi apa yang dilakukan ibu susu Pope Shenouda yang
muslimah itu?
Dalam sejarah pemerintahan Mesir, pada tanggal 10 Mei 1911 ada laporan
kolonial Inggris ke London yang menjelaskan hasil sensus di Mesir. Dari
sensus penduduk waktu itu jumlah umat Islam 92 persen, umat kristen
koptik hanya 2 persen, selebihnya Yahudi dan lain sebagainya. Pada waktu
itu jumlah pegawai yang bekerja di kementerian seluruhnya 17.569 orang.
Dengan komposisi 9.514 orang dari kaum muslimin yang berarti 54,69
persen, dan selebihnya dari kaum koptik, yaitu 8.055 orang dan berarti,
45,31 persen. Bagaimana mungkin jumlah umat koptik yang cuma 2 persen
itu mendapatkan jatah 45,31 persen di departemen-departemen kementerian.
Dan umat Islam mesir tidak pernah mempesoalkan komposisi yang sangat
menganakemaskan umat kristen koptik ini. Apakah tidak wajar jika para
pendeta koptik ebih dahulu bersuara lantang menolak tuduhan Amerika
sebelum Al Azhar bersuara?
Ulama-ulama besar dan terkemuka Mesir tidak pernah menyapa umat kristen
koptik sebagai orang lain. Mereka dianggap dan disapa sebagai ‘ikhwan’
sebagai saudara. Saudara setanah air, sekampung halaman, sepermainan
waktu kecil, bukan saudara dalam keyakinan dan keimanan. Syaikh Yusuf
Qaradhawi
80 Kenapa mereka takut kepada Islam? AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
112
menyapa umat koptik dengan ‘ikhwanuna al Aqbath’, saudara-saudara kita
umat koptik. Sebuah sapaan yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an.
Al-Qur’an mengakui adanya persaudaraan di luar keimanan dan keyakinan.
Dalam sejarah nabi-nabi, kaum nabi Nuh adalah kaum yang mendustakan para
rasul. Mereka tidak mau seiman dengan nabi Nuh. Meskipun demikian,
Al-Qur’an menyebut Nuh adalah saudara mereka. Tertera dalam surat Asy
Syuara ayat 105 dan 106: ‘Kaum Nuh telah mendustakan para rasul. Ketika
saudara mereka (Nuh) berkata pada mereka, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa?’
Apakah ajaran yang indah dan sangat humanis seperti ini masih juga
dianggap tidak adil? Kalau tidak adil juga maka seperti apakah keadilan
itu? Apakah seperti ajaran Yahudi yang menganggap orang yang bukan
Yahudi adalah budak mereka. Atau ajaran yang diyakini ratu Isabela yang
memancung jutaan umat Islam di Spayol karena tidak mau mengikuti
keyakinannya?
Aku merasa isi buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi harus dibaca
masyarakat Amerika, Eropa, dan belahan dunia lainnya yang masih sering
tidak bisa memahami ruh ajaran Islam. Termasuk juga masyarakat
Indonesia. Tapi aku bimbang, apakah aku punya waktu yang cukup untuk
menerjemahkan buku itu. Kontrak terjemahan harus segera aku tuntaskan.
Jakarta sedang menunggu naskah yang aku kerjakan. Proposal tesis juga
harus segera kuajukan ke universitas. Dan kondisi kesehatan yang sedikit
terganggu.
* * *
Metro yang kutumpangi sampai di Hadayek Helwan pukul dua. Panas sengatan
matahari semakin kurang ajar dan kurang ajar. Aku keluar mahattah
dengan memakai langkah cepat. Di perempatan jalan dekat rental dan toko
peralatan komputer Pyramid Com, aku mendengar seseorang memanggil
namaku. Suara yang tidak terlalu asing. Aku menengok ke kanan, ke arah
Pyramid Com. Seorang gadis Mesir sambil memegang payung berjalan cepat
ke arahku. Aku terus saja berjalan tak begitu mempedulikan dirinya.
Sebab udara panas menyengat muka.
“Hai Fahri, tunggu, baru pulang ya? Kepanasan? Ini pakai saja payungku nanti kau sakit lagi?” AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
113
Gadis Mesir berpipi lesung kalau tersenyum itu telah berhasil mengejar
langkahku. Ia berjalan sejajar denganku dan menawarkan payungnya padaku.
“Sudahlah Maria, kau jangan berlaku begitu!” sahutku sambil mempercepat
langkah. Maria terus berusaha mengimbangi kecepatan langkahku. Ia
berusaha memayungi diriku dari sengatan matahari. Beberapa orang Mesir
yang berpapasan dengan kami melihat kami dengan pandangan heran. Maria
melakukan sesuatu yang tidak biasanya dilakukan gadis Mesir. Juga tidak
akan pernah ada lelaki di Mesir memakai payung untuk melindungi dari
sengatan matahari.
“Maria, please, hormatilah aku. Jangan bersikap seperti itu!”
Maria menarik payungnya dan menggunakan untuk melindungi dirinya. Aku
heran sendiri dengan perlakuan puteri Tuan Boutros ini padaku. Mamanya
bilang Maria tidak suka didatangi teman-teman lelakinya. Juga tidak suka
pergi atau kencan dengan mereka. Tidak suka menerima telpon dari
mereka. Tidak bisa mesra katanya, tapi kenapa dia bersikap sedemikian
perhatian padaku. Aku merasa ia seolah-olah menunggu kepulanganku di
jalan yang pasti kulewati.
“Janji sama siapa Fahri, kalau aku boleh tahu?” tanyanya. Aku
mempercepat langkah. Jarak apartemen dan mahattah metro sekitar seratus
dua puluh lima meter.
“Sama teman. Kau panas-panas begini ke Pyramid Com ada apa? Kau ‘kan
paling malas keluar di tengah panas yang menggila seperti ini?” tanyaku
tanpa memandang kepadanya. Itu tidak mungkin kulakukan kecuali terpaksa
misalnya ketika berjumpa begitu saja. Atau reflek menengok karena dia
memanggil namaku.
“Terpaksa. Tinta printku habis. Padahal aku harus ngeprint banyak saat
ini. Sialnya stok Pyramid Com juga habis. Aku mau ke Helwan malas
sekali?” jawabnya dengan nada kecewa.
“Kebetulan tintaku masih penuh. Baru beli. Pakai saja milikku.”
“Terima kasih Fahri. Kebetulan sekali kalau begitu. Aku perlu sekali. Kalau aku tahu itu aku tidak akan capek-capek begini.”
“Kelihatannya kau sangat sibuk minggu dan banyak tugas minggu ini, Maria?”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
114
“Iya, sejak empat hari kemarin aku sibuk mengedit kumpulan tulisanku
yang tersebar di beberapa media selama satu tahun ini. Hari ini juga
harus aku print. Sebab habis maghrib nanti akan diambil Wafa untuk
dimintakan kata pengantar pada Anis Mansour, lalu diterbitkan. Setelah
itu sampai kuliah aktif kembali aku kosong. Ada apa kau tanya seperti
itu. Ada yang bisa aku bantu?”
“Ya. Kalau kau berkenan. Aku perlu bantuanmu.”
“Apa itu? Kalau aku mampu, dengan senang hati.”
Aku lalu menjelaskan pertemuanku dengan Alicia dan segala pertanyaannya.
Aku menjelaskan keinginanku menyampaikan isi buku yang ditulis Prof.
Dr. Abdul Wadud Shalabi. Tapi kelihatannya aku tidak punya waktu yang
cukup. Buku itu setebal 143 halaman. Dan Maria bahasa Inggrisnya sangat
bagus. Selama di sekolah menengah ia kursus di British Council, dan
pernah terpilih pertukaran pelajar ke Skotlandia selama setengah tahun.
“Kapan dead linenya?”
“Jawaban harus aku sampaikan pada Alicia hari Sabtu depan. Kalau bisa
malam Jum’at sudah selesai diterjemahkan sehingga aku juga ada
kesempatan membacanya?”
“Baiklah. Nanti berikan buku itu padaku. Aku berjanji Kamis pagi selesai.”
“Thank’s, Maria.”
“Forget it.”
Tak terasa kami telah sampai di halaman apartemen. Aku mempercepat
langkah. Aku tidak mau naik tangga di belakang Maria. Aku harus di
depan, aku teringat kisah nabi Musa dan dua gadis muda pencari air. Nabi
Musa tidak mau berjalan di belakang keduanya demi menjaga pandangan dan
menjaga kebersihan jiwa.
Sampai di dalam flat, Saiful menyambutku dengan segelas ashir mangga.
Aku langsung meminumnya. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuh. Aku
langsung masuk kamar dan menyalakan kipas angin. Maria mengirim sms agar
tinta dan buku yang hendak diterjemah segera kusiapkan. Lima menit lagi
ia akan menurunkan keranjang. Aku langsung mencari buku itu di rak.
Ketemu. Jendela kubuka. Angin panas masuk serta merta. Maria telah
menunggu dengan keranjang
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
115
kecilnya. Tinta dan buku kumasukkan ke dalamnya. Dan ia mengangkatnya. Aku langsung shalat dan istirahat sampai ashar tiba.
* * *
Mishbah pulang dari Nasr City jam enam sore. Ketika aku sedang asyik
membaca beberapa buku untuk menjawab pertanyaan Alicia. Ia membawa pesan
dari Nurul yang secara tidak sengaja bertemu di depan Wisma agar aku
menelpon dia sebelum maghrib tiba. Kembali Rudi menggodaku, “Tidak salah
lagi. Pasti ada sesuatu. She is the true coise!” Aku beristighfar dalam
hati. Semoga Allah melindungi dari godaan setan yang terkutuk yang
menyesatkan manusia dengan berbagai macam cara. Dalam hati aku
menegaskan, aku tidak akan menelponnya.
Setengah tujuh telpon berdering. Dari Nurul. Ia minta padaku agar ke
rumah Ustadz Jalal, katanya Ustadz Jalal ingin minta tolong dan
membicarakan sesuatu yang penting padaku. Kukatakan minggu ini aku tidak
bisa. Ia bilang tidak apa-apa, tapi minta diusahakan kalau ada
kesempatan langsung ke sana. Ustadz Jalal masih ada hubungan kerabat
dengan Nurul, meskipun agak jauh. Mereka bertemu di ayah kakek alias
buyut. Sudah lama aku tidak bertemu Ustadz Jalal. Beliau dosen Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga yang mengambil S3 di Sudan, dan selama
menulis disertasi doktoralnya beliau tinggal di Kairo bersama isteri dan
ketiga anaknya. Aku akrab dengan beliau dimulai sejak kami umrah
bersama dua tahun yang lalu. Kami mengarungi laut merah untuk mencapai
Jeddah dengan kapal Wadi Nile. Saat itu beliau baru setengah tahun di
Cairo. Anak beliau baru dua. Anaknya yang bungsu lahir di Cairo tujuh
bulan yang lalu. Apa yang beliau inginkan dariku? Apakah beliau akan
meminta tolong untuk ikut mentakhrij hadits lagi? Aku tak tahu pasti.
Jawabnya adalah ketika aku bertemu dengannya. Sebenarnya yang membuatku
sedikit heran, kenapa Ustadz Jalal tidak langsung menelponku, kenapa
berputar lewat Nurul. Benar, rumahnya tidak ada telponnya, tapi dia
tentunya bisa menelpon lewat Minatel yang tersebar di setiap sudut kota
Cairo. Keadaan dan jalan berpikir seseorang terkadang memang susah
dimengerti.
Usai mengangkat telpon aku tidak meneruskan pekerjaanku sebelumnya,
yaitu membaca. Tapi aku merasa perlu meninjau kembali planning bulan
ini. Utamanya adalah minggu yang sedang aku jalani ini. Aku melihat
jadwal keluar
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
116
rumah. Ada lima kegiatan. Kurasa harus aku pangkas semua. Aku harus
istirahat dan mengejar terjemahan. Pengajian ibu-ibu KBRI hari Selasa.
Pembanding dalam diskusi yang diadakan FORDIAN, Forum Studi Ilmu
Al-Qur’an, di Buuts, hari Rabu pagi. Pergi ke warnet. Dan rapat Dewan
Asaatidz Pesantren Virtual, di mahattah Shurthah, Nasr City, Kamis malam
Jum’at. Semuanya harus aku batalkan. Yang perlu pengganti harus aku
carikan ganti. Bahkan untuk talaqqi pada Syaikh Utsman hari Rabu aku
ingin izin, sekali ini. Aku benar-benar ingin di rumah minggu ini,
menghindari perjalanan panjang yang membuat ubun-ubun terasa mendidih.
Sore itu juga aku telpon takmir masjid Indonesia yang mengurusi
pengajian ibu-ibu KBRI agar mengganti jadwalku dan memundurkan satu
bulan ke belakang. Pada koordinator FORDIAN aku minta diganti,
kutawarkan sebuah nama. Pada Gus Ochie El-Anwari sang penggagas rapat
Dewan Asaatidz aku minta izin, aku sampaikan beberapa ide dan pokok
pikiran yang mengganjal di kepala. Setelah semua beres aku merasa lega.
Langsung kusambung dengan menulis jawaban atas pertanyaan Alicia seputar
Islam dan Perempuan. Aku hanya istirahat untuk shalat, makan malam, dan
minum air putih. Tekadku bulat harus tuntas malam ini. Tak ada bedanya
dengan membuat karya ilmiah. Jawaban dengan bahasa Inggris itu selesai
juga. Tepat pukul tiga malam. Dengan bahasa Inggris. Setebal empat puluh
satu halaman spasi satu Microsoft Word, Times New Roman, Font 12.
Seandainya tidak memakai bahasa Inggris kurasa pukul satu malam sudah
selesai. Beberapa kali aku harus membuka kamus Al Maurid untuk sebuah
kosa kata yang aku kurang yakin ketepatannya.
Sejak itu aku tidak keluar rumah kecuali untuk shalat berjamaah. Waktuku
habis di dalam kamar, di depan komputer. Aktifitasku adalah menerjemah,
menyelesaikan proposal, sesekali makan, ke kamar mandi dan tidur. Hari
Selasa sore Maria memberi tahu buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi telah
selesai ia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hanya saja ia tidak
berani menerjemahkan hadits dan ayat suci Al-Qur’an takut salah. Maria
memberikan disket berisi terjemahannya. Kekurangannya kutambal.
Jawabanku dan hasil terjemahan Maria langsung aku print dan ketika
shalat shubuh aku berikan kepada Syaikh Ahmad untuk diperiksa. Kebetulan
bahasa Inggris beliau bagus tidak seperti Imam masjid
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
117
lainnya. Beliau bahkan pernah diutus oleh Al Azhar ke Australia untuk
menjadi Imam di masjid Malik Faishal yang terletak di Common Wealth
Street, Surry Hills, Sidney selama satu tahun. Aku jelaskan pada beliau
pertemuanku dengan Miss. Alicia dari Amerika dan kapan jawaban itu harus
aku serahkan. Aku ingin beliau mengoreksi dengan seksama. Beliau sangat
senang dengan apa yang aku lakukan. Beliau menjanjikan malam Jum’at
ba’da shalat Isya bisa aku ambil sehingga bisa diedit lagi dan diprint
ulang.
Kekejaman pada diri sendiri untuk bekerja keras menampakkan hasilnya.
Hari Jum’at terjemahan selesai. Tinggal menunggu diedit saja. Proposal
tesis juga selesai, siap untuk diajukan ke tim penilai. Jika layak nanti
pihak fakultas akan mencarikan promotor yang sesuai. Dan jawaban untuk
semua pertanyaan Alicia yang telah dikoreksi dan diberi tambahan Syaikh
Ahmad sudah aku print, aku fotocopy dan aku jilid jadi empat. Untuk
Alicia, untuk Aisha, untuk Maria, dan untuk arsip pribadiku. Aku menatap
peta hidup bulan ini. Aku tersenyum penuh rasa syukur. Kukatakan pada
diriku sendiri, “Man jadda wajad!”81
Aku merasa bersyukur kepada Allah yang mengilhamkan untuk merubah
strategi perangku minggu ini. Memang terkadang kita harus kejam pada
diri sendiri. Dan sedikit tegas pada orang lain. Aktifitas yang penting
tetapi tidak terlalu penting bisa dibuang atau di-pending.
* * *
Ketika aku mengambil naskah yang dikoreksi Syaikh Ahmad, beliau
bercerita sedikit tentang Noura. Gadis innocent itu senang di Tafahna.
Kebetulan satu hari sebelumnya, Ummu Aiman, isteri Syaikh Ahmad
menjenguk ke sana. Syaikh Ahmad sedang melacak sebenarnya siapa Si Muka
Dingin Bahadur itu. Apakah benar ayahnya atau bukan? Syaikh Ahmad
mendapatkan informasi Noura dilahirkan di klinik bersalin Heliopolis.
Bagaimana sejarahnya Noura bisa terlahir di klinik elite di kawasan
elite itu? Syaikh Ahmad sedang menyelidikinya dengan bantuan Ridha
Shahata, sepupunya yang menjadi staf intelijen Dewan Keamanan Negara
atau yang disebut “Mabahits Amn Daulah”. Aku yakin tak lama lagi Noura
kembali hidupnya yang penuh ketenteraman. Sebelum aku pulang beliau
81 Pepatah Arab terkenal, artinya: “Siapa bersungguh-sungguh dia mendapat!”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
118
menyerahkan sepucuk surat kepadaku, beliau bilang, “Surat ini yang
membawa Ummu Aiman, dari Noura, katanya ucapan terima kasih padamu!”
Inilah untuk pertama kalinya aku mendapatkan surat dari orang Mesir.
Asli. Dari gadis Mesir lagi. Meskipun cuma ucapan terima kasih. Aku
penasaran ingin tahu kata-kata apa yang ditulis oleh gadis innocent itu.
Seperti apa tulisannya. Ingin rasanya kubuka seketika itu, tapi pada
Syaikh Ahmad aku merasa malu. Kumasukkan surat itu begitu saja ke dalam
saku.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
119
10. Sepucuk Surat Cinta
Ini malam Sabtu. Besok pagi aku harus pergi. Memasukkan proposal tesis
ke kampus. Menemui Alicia dan Aisha di National Library. Dan mengirimkan
naskah terjemahan ke redaksi sebuah penerbit di Jakarta melalui email.
Perjalanan yang agak melelahkan kelihatannya. Semua telah siap, kecuali
naskah terjemahan. Belum selesai di edit. Aku ingin besok pagi semuanya
berjalan seperti rencana. Sekali melakukan perjalanan banyak yang
diselesaikan. Malam ini mau tidak mau aku harus sedikit keras pada
diriku sendiri. Aku harus kerja lembut mengedit hasil terjemahanku
sampai benar-benar matang.
Untuk persiapan lembur ini, aku telah menyiapkan dopping andalan. Madu
murni, susu kambing murni yang dibelikan oleh Hamdi dari para
penggembala kambing yang biasa lewat di Wadi Hof, dan telur ayam
kampung. Agar suasana segar aku membuka jendela dan pintu kamar terbuka
lebar-lebar. Pelan-pelan kusetel nasyid Athfal Filistin. Semangat
bocah-bocah cilik Palestina yang membara dengan celoteh mereka yang
menggemaskan menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan intifadhah membuat
diriku bersemangat dan tidak mengantuk. Aku sudah minta izin teman-teman
untuk membunyikan nasyid ini sampai tengah malam. Aku minta mereka
menutup pintu kamar masing-masing agar tidak terganggu tidurnya.
Ternyata mereka malah asyik meminjam film Ashabul Kahfi dari seorang
teman di Nasr City. Dan menontonnya di kamar Rudi. Mereka memerlukan
waktu 16 jam untuk menonton film yang dibuat Iran dan Lebanon itu. Sebab
film Ashabul Kahfi adalah film yang diputar bersambung oleh stasiun TV
Lebanon selama bulan Ramadhan tahun kemarin. Hanya yang memiliki
parabola yang bisa menontonnya. Malam ini mereka menyediakan waktu
khusus untuk menontonnya. Aku belum pernah menontonnya, sebetulnya
sangat ingin. Tapi apakah semua keinginan harus dipenuhi? Komentar
teman-teman yang sudah menontonnya, film Ashabul Kahfi luar biasa
indahnya, mampu menambah keimanan dan memperhalus jiwa. Lain kali semoga
ada kesempatan menontonnya. Malam ini adalah malam kerja.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
120
Malam ini, sementara teman-teman terbang ke zaman Ashabul Kahfi, mereka
berdialog dengan pemuda-pemuda pilihan itu, aku malah berlayar di lautan
kata-kata yang disusun Ibnu Qayyim. Aku harus membaca dengan teliti dan
mengedit tulisan sebanyak 357 halaman. Tengah malam aku kelelahan. Aku
istirahat dengan melakukan shalat. Ketika sujud kepala terasa enak.
Darah mengalir ke kepala. Syaraf-syarafnya menjadi lebih segar. Kudengar
teman-teman bertasbih atas apa yang mereka lihat di film itu. Aku
melemaskan otot-otot dengan menelentangkan badan di atas kasur. Menarik
nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Aku bangkit hendak
meneruskan pekerjaan. Tak sengaja aku melihat sepucuk surat permintaan
mengisi pelatihan terjemah dari sebuah kelompok studi. Aku jadi teringat
dengan sepucuk surat dari Noura yang masih berada di saku baju koko
yang tergantung di dalam almari. Aku belum membacanya. Segera kuambil
surat itu dan kubaca.
Kepada
Fahri bin Abdillah, seorang mahasiswa
dari Indonesia yang lembut hatinya dan berbudi mulia
Assalamu’alaikum warahmatullah wa barakatuh.
Kepadamu kukirimkan salam terindah, salam sejahtera para penghuni surga.
Salam yang harumnya melebihi kesturi, sejuknya melebihi embun pagi.
Salam hangat sehangat sinar mentari waktu dhuha. Salam suci sesuci air
telaga Kautsar yang jika direguk akan menghilangkan dahaga
selama-lamanya. Salam penghormatan, kasih dan cinta yang tiada pernah
pudar dan berubah dalam segala musim dan peristiwa.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Entah dari mana aku mulai dan menyusun kata-kata untuk mengungkapkan
segala sedu sedan dan perasaan yang ada di dalam dada. Saat kau baca
suratku ini anggaplah aku ada dihadapanmu dan menangis sambil mencium
telapak kakimu karena rasa terima kasihku padamu yang tiada taranya.
Wahai orang yang lembut hatinya,
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
121
Sejak aku kehilangan rasa aman dan kasih sayang serta merasa sendirian
tiada memiliki siapa-siapa kecuali Allah di dalam dada, kaulah orang
yang pertama datang memberikan rasa simpatimu dan kasih sayangmu. Aku
tahu kau telah menitikkan air mata untukku ketika orang-orang tidak
menitikkan air mata untukku.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Ketika orang-orang di sekitarku nyaris hilang kepekaan mereka dan masa
bodoh dengan apa yang menimpa pada diriku karena mereka diselimuti rasa
bosan dan jengkel atas kejadian yang sering berulang menimpa diriku, kau
tidak hilang rasa pedulimu. Aku tidak memintamu untuk mengakui hal itu.
Karena orang ikhlas tidak akan pernah mau mengingat kebajikan yang
telah dilakukannya. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang saat ini
kudera dalam relung jiwa.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Malam itu aku mengira aku akan jadi gelandangan dan tidak memiliki
siapa-siapa. Aku nyaris putus asa. Aku nyaris mau mengetuk pintu neraka
dan menjual segala kehormatan diriku karena aku tiada kuat lagi menahan
derita. Ketika setan nyaris membalik keteguhan imanku, datanglah Maria
menghibur dengan segala kelembutan hatinya. Ia datang bagaikan malaikat
Jibril menurunkan hujan pada ladang-ladang yang sedang sekarat menanti
kematian. Di kamar Maria aku terharu akan ketulusan hatinya dan
keberaniannya. Aku ingin mencium telapak kakinya atas elusan lembut
tangannya pada punggungku yang sakit tiada tara. Namun apa yang terjadi
Fahri?
Maria malah menangis dan memelukku erat-erat. Dengan jujur ia
menceritakan semuanya. Ia sama sekali tidak berani turun dan tidak
berniat turun malam itu. Ia telah menutup kedua telinganya dengan segala
keributan yang ditimbulkan oleh ayahku yang kejam itu. Dan datanglah
permintaanmu melalui sms kepada Maria agar berkenan turun menyeka air
mata dukaku. Maria tidak mau. Kau terus memaksanya. Maria tetap tidak
mau. Kau mengatakan pada Maria: ‘Kumohon tuturlah dan usaplah air mata.
Aku menangis jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon.
Andaikan aku halal baginya tentu aku akan turun mengusap air matanya dan
membawanya ke tempat yang
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
122
jauh dari linangan air mata selama-lamanya. Maria tetap tidak mau.” Dia
menjawab: “Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa.”
Kemudian dengan nama Isa Al Masih kau memaksa Maria, kau katakan,
“Kumohon, demi rasa cintamu pada Al Masih.” Lalu Maria turun dan kau
mengawasi dari jendela. Aku tahu semua karena Maria membeberkan semua.
Ia memperlihatkan semua kata-katamu yang masih tersimpan dalam
handphone-nya. Maria tidak mau aku cium kakinya. Sebab menurut dia
sebenarnya yang pantas aku cium kakinya dan kubasahi dengan air mata
haruku atas kemuliaan hatinya adalah kau. Sejak itu aku tidak lagi
merasa sendiri. Aku merasa ada orang yang menyayangiku. Aku tidak
sendirian di muka bumi ini.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Anggaplah saat ini aku sedang mencium kedua telapak kakimu dengan air
mata haruku. Kalau kau berkenan dan Tuhan mengizinkan aku ingin jadi
abdi dan budakmu dengan penuh rasa cinta. Menjadi abdi dan budak bagi
orang shaleh yang takut kepada Allah tiada jauh berbeda rasanya dengan
menjadi puteri di istana raja. Orang shaleh selalu memanusiakan manusia
dan tidak akan menzhaliminya. Saat ini aku masih dirundung kecemasan dan
ketakutan jika ayahku mencariku dan akhirnya menemukanku. Aku takut
dijadikan santapan serigala.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Sebenarnya aku merasa tiada pantas sedikit pun menuliskan ini semua.
Tapi rasa hormat dan cintaku padamu yang tiap detik semakin membesar di
dalam dada terus memaksanya dan aku tiada mampu menahannya. Aku
sebenarnya merasa tiada pantas mencintaimu tapi apa yang bisa dibuat
oleh makhluk dhaif seperti diriku.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Dalam hatiku, keinginanku sekarang ini adalah aku ingin halal bagimu.
Islam memang telah menghapus perbudakan, tapi demi rasa cintaku padamu
yang tiada terkira dalamnya terhunjam di dada aku ingin menjadi budakmu.
Budak yang halal bagimu, yang bisa kau seka air matanya, kau belai
rambutnya dan kau kecup keningnya. Aku tiada berani berharap lebih dari
itu. Sangat tidak pantas bagi gadis miskin yang nista seperti diriku
berharap menjadi isterimu. Aku
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
123
merasa dengan itu aku akan menemukan hidup baru yang jauh dari cambukan,
makian, kecemasan, ketakutan dan kehinaan. Yang ada dalam benakku
adalah meninggalkan Mesir. Aku sangat mencintai Mesir tanah kelahiranku.
Tapi aku merasa tidak bisa hidup tenang dalam satu bumi dengan
orang-orang yang sangat membenciku dan selalu menginginkan kesengsaraan,
kehancuran dan kehinaan diriku. Meskipun saat ini aku berada di tempat
yang tenang dan aman di tengah keluarga Syaikh Ahmad, jauh dari ayah dan
dua kakakku yang kejam, tapi aku masih merasa selalu diintai bahaya.
Aku takut mereka akan menemukan diriku. Kau tentu tahu di Mesir ini
angin dan tembok bisa berbicara.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Apakah aku salah menulis ini semua? Segala yang saat ini menderu di
dalam dada dan jiwa. Sudah lama aku selalu menanggung nestapa. Hatiku
selalu kelam oleh penderitaan. Aku merasa kau datang dengan seberkas
cahaya kasih sayang. Belum pernah aku merasakan rasa cinta pada
seseorang sekuat rasa cintaku pada dirimu. Aku tidak ingin mengganggu
dirimu dengan kenistaan kata-kataku yang tertoreh dalam lembaran kertas
ini. Jika ada yang bernuansa dosa semoga Allah mengampuninya. Aku sudah
siap seandainya aku harus terbakar oleh panasnya api cinta yang pernah
membakar Laila dan Majnun. Biarlah aku jadi Laila yang mati karena
kobaran cintanya, namun aku tidak berharap kau jadi Majnun. Kau orang
baik, orang baik selalu disertai Allah.
Doakan Allah mengampuni diriku. Maafkan atas kelancanganku.
Wassalamu’alaikum,
Yang dirundung nestapa,
Noura
Tak terasa mataku basah. Bukan karena inilah untuk pertama kalinya aku
menerima surat cinta yang menyala dari seorang gadis. Bukan karena
kata-kata Noura yang mengutarakan apa dirasakannya terhadapku. Aku
menangis karena betapa selama ini Noura menderita tekanan batin yang
luar biasa. Ia sangat ketakutan, merasa tidak memiliki tempat yang aman.
Ia merasa berada dalam kegelapan yang berkepanjangan. Tanpa cahaya
cinta dan kasih dari keluarganya. Ia merasa tidak ada yang peduli
padanya. Ia telah kehilangan kepercayaan dirinya sebagai manusia merdeka
tanpa belenggu nestapa. Sesungguhnya tekanan psikis
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
124
yang menderanya selama ini lebih berat dari siksaan fisik yang ia
terima. Maka ketika ada sedikit saja cahaya yang masuk ke dalam hatinya,
ada rasa simpati yang diberikan orang lain kepadanya, ia merasa cahaya
dan rasa simpati itu adalah segalanya baginya. Ia langsung memegangnya
erat-erat dan tidak mau kehilangan cahaya itu, tidak mau kehilangan
simpati itu dan ia sangat percaya dan menemukan hidupnya pada diri orang
yang ia rasa telah memberikan cahaya dan rasa simpati.
Aku menyeka air mata kulipat kertas surat itu dan kumasukkan ke dalam
amplopnya. Setelah shalat shubuh aku harus menyampaikan hal ini pada
Syaikh Ahmad. Gadis itu perlu terus diberi semangat hidup dan dikokohkan
ruhaninya. Gadis itu perlu diyakinkan bahwa dia akan mendapatkan rasa
aman dan kasih sayang selama berada di tengah-tengah orang yang beriman.
Aku mengambil air wudhu untuk menenangkan hati dan pikiran. Aku harus
kembali menyelesaikan pekerjaan. Ketika azan shubuh berkumandang seluruh
terjemahan telah selesai aku edit. Langsung kupecah menjadi empat file.
Kumasukkan ke dalam disket. Mataku terasa berat dan perih. Seperti ada
kerikil mengganjal di sana. Aku belum memicingkan mata sama sekali. Aku
bangkit kuajak teman-teman untuk turun ke masjid.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
125
11. Dijenguk Sahabat Nabi
Kepada Syaikh Ahmad aku berikan surat Noura untuk beliau baca. Jamaah
shalat shubuh sudah banyak yang pulang. Kecuali beberapa kakek-kakek
yang beri’tikaf dan membaca Al-Qur’an menunggu sampai waktu dhuha tiba.
Aku diajak Syaikh Ahmad masuk ke dalam kamar imam. Aku memohon kepada
beliau untuk memperlakukan gadis itu dengan lebih baik dan bijak. Aku
memohon kepada beliau agar gadis itu jangan dicela atas apa yang ditulis
dan dilakukannya. Gadis itu memang sedikit berbohong ketika mengatakan
surat itu ucapan terima kasih semata. Gadis itu perlu dikokohkan
semangat hidupnya dan diyakinkan dia tidak akan mendapatkan perlakuan
buruk lagi. Dia akan aman di Mesir. Syaikh Ahmad membaca surat itu dan
menitikkan air mata. “Akan aku minta kepada Ummu Aiman untuk mencurahkan
perhatian yang lebih padanya. Dia memang memerlukan rasa aman dan kasih
sayang yang selama ini hilang. Dan dia sepertinya belum merasa yakin
dia akan mendapatkan rasa aman dan kasih sayang di sini.” Syaikh Ahmad
berjanji akan menyelesaikan masalah Noura sebaik-baiknya dan meminta
diriku agar tidak terganggu dan konsentrasi pada tesis. Dan surat Noura
itu aku berikan pada Syaikh. Aku tidak mau menyimpannya. Baru aku
pulang.
Sampai di rumah aku baca Al-Qur’an satu halaman. Aku ingin memejamkan
mata setengah jam saja. Aku pesan pada Saiful agar membangunkan aku
sampai aku benar-benar bangun pada pukul setengah tujuh.
Pukul setengah tujuh aku dibangunkan. Kerikil di mata belum sepenuhnya
hilang. Aku mandi. Sarapan belum jadi. Aku mempersiapkan segalanya untuk
pergi. Jawaban untuk Alicia. Proposal tesis. Dan disket berisi naskah
terjemahan. Karena perjalanan panjang aku harus berangkat pagi. Di metro
aku tidak dapat tempat duduk. Metro penuh oleh orang-orang yang
berangkat kerja. Turun di Tahrir aku langsung mencari Eltramco menuju
Hayyu Sabe. Tujuanku adalah @lfenia. Warnet yang dikelola teman-teman
mahasiswa dari Indonesia. Pukul delapan aku sampai di sana. Bertemu
Furqon, penjaga warnet yang sudah seperti saudara sendiri. Furqon
memelukku dan berkata, “Pucat sekali sampean Mas. Begadang ya?”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
126
Aku menganggukkan kepala. Furqon mempersilakan aku memilih sendiri
tempat yang kuinginkan. Hanya ada tiga orang yang sedang berlayar di
dunia maya. Aku memilih yang paling dekat dari tempatku berdiri. Membuka
Yahoomail. Mengirim naskah terjemahan dengan attachment. Membuka
beberapa message di mailist Mutarjim, Qahwaji, dan Indonesia Cinta
Damai. Melihat Ahram, Time, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka
dan Islam-online. Satu jam aku di @lfenia. Furqan menyuguhkan segelas
teh Arousa. Teh paling merakyat di Mesir. Jika dibuat kental dan minum
masih dalam keadaan agak panas pelan-pelan. Sruput demi sruput. Teh
Arousa mampu meringankan kepala yang berat dan menyegarkan pikiran. Dari
@lfenia aku langsung naik bis 926 menuju kampus Al Azhar di Maydan
Husein. Kuserahkan proposal tesiskepada Syuun Thullab Dirasat Ulya
Fakultas Ushuluddin. Aku merasa aku akan terlambat sampai di National
Library. Aku kontak Aisha memberitahukan posisi keberadaanku dan meminta
mereka menunggu jika aku terlambat.
Benar aku terlambat sepuluh menit. Aku minta maaf. Kukeluarkan jawaban atas pertanyaan Alicia yang telah kujilid.
“Semua pertanyaan tentang perempuan dalam Islam saya jawab dalam empat
puluh halaman. Pertanyaan lainnya saya jawab dengan menerjemahkan buku
yang ditulis oleh Prof.Dr. Abdul Wadud Shalabi.”
Alicia dan Aisha berdecak kaget dan gembira atas keseriusanku. Aku
jelaskan siapa sebenarnya yang menerjemahkan buku Prof. Shalabi ke dalam
bahasa Inggris. Sahamku dalam terjemahan itu hanyalah membaca ulang dan
mengoreksinya serta menerjemahkan hadits dan melengkapi terjemahan
Al-Qur’an yang ditinggalkan Maria. Korektor akhir atas semuanya adalah
Syaikh Ahmad Taqiyyuddin. Lalu kami berdiskusi selama dua jam setengah.
Saat berdiskusi aku merasa badanku terasa meriang sekali. Kepalaku berat
tapi aku tahan dan aku kuat-kuatkan. Alicia minta data diriku dan
alamat lengkapku. Dua hari lagi rencananya ia akan kembali ke Amerika.
Aisha berkata suatu saat nanti akan mengajak diriku untuk berdiskusi
lagi. Kami berpisah. Di luar gedung terik panas benar-benar menggila.
Aku naik metro. Sampai di Maadi setengah tiga.Aku belum shalat. Terpaksa
aku turun untuk shalat di masjid yang ada di luar mahattah.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
127
Aku meneruskan perjalanan. Ubun-ubun kepalaku terasa sangat nyeri. Di
Tura El-Esmen badai panas bergulung menebar debu ke dalam metro. Sangat
tidak nyaman. Turun di Hadayek Helwan aku merasa tidak kuat untuk
berjalan ke apartemen. Aku panggil taksi. Kepalaku nyeri sekali. Tubuh
seperti remuk. Aku lupa belum sarapan sejak pagi. Sampai di halaman
apartemen aku sempat melihat jam tangan. Pukul tiga seperempat. Kepalaku
seperti ditusuk tombak berkarat. Sangat sakit. Begitu membuka pintu
rumah aku merasa tidak kuat melangkahkan kaki. Kepala terasa seperti
digencet palu godam. Lalu aku tidak tahu apa yang terjadi. Mataku
menangkap kilatan cahaya putih lalu gelap.
* * *
Dalam keremangan gelap aku melihat ada cahaya. Perlahan aku membuka
mata. Aku melihat langit-langit berwarna putih. Bukan langit-langit
kamarku. Langit-langit kamarku biru muda. Kepalaku masih berat.
“Alhamdulillah. Kau sudah tersadar Mas,” suara Saiful serak. Aku memandang wajahnya.
“A..aku di...di mana?” lidahku terasa kelu sekali.
“Di rumah sakit Mas,” lirih Saiful.
“Kenapa?”
“Sudah lah Mas istirahat dulu. Jangan memikirkan apa-apa dulu.”
Kepalaku terasa nyeri kembali. Aku berusaha berpikir, mengingat-ingat
apa yang terjadi padaku sehingga ada di rumah sakit ini. Perjalanan
melelahkan, kepanasan dengan perut kosong. Membuka pintu dengan kepala
sakit luar biasa seperti dihantam palu godam. Lalu gelap. Saiful
menatapku dengan mata berkaca.
“Jam be..berapa?” tanyaku padanya.
“Setengah tiga malam Mas.”
Aku teringat belum shalat Ashar, Maghrib dan Isya. Aku ingin bangkit
tapi seluruh tubuhku terasa lumpuh. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit
sekali.
“Aduuh! Astaghfirullah!” aku menahan sakit tiada terkira.
“Kenapa Mas?”
Semuanya kembali terasa gelap. Aku berlayar dalam gelap dan keheningan.
Mengarungi dunia yang tiada aku tahu namanya. Aku mendengar suara magic
Syaikh Utsman Abdul Fattah. Fahri, baca surat Al Anbiya! Kubaca
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
128
surat Al Anbiya. Teruskan Surat Al Hajj, pakai qiraah Imam Warasy.82 Aku
membaca dengan qiraah Warasy sampai selesai. Semuanya gelap kembali.
Aku tidak mendengar apa tidak melihat apa-apa. Aku kembali mendengar
suara Syaikh Utsman, beliau membaca surat Al Furqan dengan qiraah Imam
Hamzah aku mendengar dengan seksama kefasihan tajwidnya. Sampai ayat
enam puluh lima beliau membaca dengan menangis tersedu-sedu. Aku ikut
menangis. Beliau tiada kuasa untuk melanjutkannya. Aku membacanya dan
melanjutkannya dengan qiraah yang sama. Selesai. Syaikh Utsman meminta
aku meneruskan satu surat lagi. Aku memenuhi titah beliau, kubaca surat
Asy Syuara. Sampai pada ayat seratus delapan puluh empat daun telingaku
menangkap suara isak tangis sayup-sayup. Aku merasa ada sentuhan halus
di pipiku. Aku mengerjapkan mataku.
“Fahri, kau sudah sadar Fahri. Kau bangun Fahri. Ini aku,” suara halus
perempuan. Aku coba membuka mata lebih lebar. Semakin terang. Aku
melihat wajah putih bersih. Dia duduk di kursi dekat dengan dadaku
“Ma..Maria?!” aku memanggil namanya, tapi cuma bibirku yang kurasa bergerak tanpa suara.
“Ya aku Maria,” ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
.“Astaghfirullah!” lirihku.
“Ada apa Fahri?”
“Ma..mana Saiful?”
“Sedang keluar, dia kusuruh sarapan.”
“Jam berapa?”
“Jam delapan pagi.”
Maria tiada berkedip memandangi diriku yang terbujur tiada berdaya
seperti bayi. Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah dan pipinya basah.
“Kenapa kau kemari, Maria?”
“Aku ingin tahu keadaanmu. Aku mencemaskanmu.”
“Kau menangis Maria?”
82 Imam Warasy, seorang Imam Qiraah yang terkenal, mengambil qiraahnya
dari Imam Nafi bin Abdurrahman Al-Madani yang mengambil qiraah dari Imam
Abu Ja’far Al-Qari dan tujuh puluh tabiin. Dan mereka semua mengambil
qiraah dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dari Ubay bin Kaab dari
Rasulullah Saw.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
129
“Kau membuatku menangis Fahri. Kau mengigau terus dengan bibir bergetar
membaca ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matamu meleleh tiada hento.
Melihat keadaanmu itu apa aku tidak menangis,” serak Maria sambil tangan
kanannya bergerak hendak menyentuh pipiku yang kurasa basah.
“Jangan Maria tolong, ja..jangan sentuh!”
“Maaf, aku lupa. Keadaan haru sering membuat orang lupa.”
Aku melihat di samping kiriku ada tiang besi putih, ada tabung infus
tergantung di sana. Di bawah tabung ada selang kecil mengalirkan air
infus ke dalam nadi tangan kiriku. Air infus terus menetes seperti embun
di musim penghujan. Aku kembali merasakan nyeri dalam tempurung
kepalaku. Seperti ada ratusan paku menacam. Aku berusaha menahan dengan
memejamkan mata dan otot rahang menegang. Tak kuat juga aku mengaduh,
meskipun lirih.
“Ada apa Fahri, apa yang kau rasakan?” suara Maria serak.
“Kepalaku nyeri sekali.”
“Biar kupanggilkan petugas,” telingaku menangkap suara langkah kaki
Maria. Tak lama kemudian ia datang dengan seorang dokter lelaki. Dokter
itu memasang menempelkan tangannya di keningku. Memeriksa tekanan
darahku. Memasang termometer sebesar pena di ketiakku. Dan dengan suara
yang lembut menanyai apa yang kurasakan serta membesarkan hatiku. Ia
mengambil termometer dan melihatnya. Lalu menuliskan sesuatu di dalam
berkas yang di bawanya. Kemudian menyuntikkan sesuatu lewat jarum selang
infus yang menancap di tangan kiriku.
“Suntikan untuk meredakan rasa sakit. Kau akan cepat sembuh,” kata
dokter itu. Maria mengamati dengan seksama apa yang dilakukan dokter itu
padaku. Ia berdiri di samping ranjang. Rambutnya yang hitam terkucir
rapi. Setelah mendapat suntikan itu rasa sakit di kepalaku terasa mulai
berkurang. Saiful datang tepat saat dokter setengah baya yang
mengenalkan dirinya bernama Ramzi Shakir itu hendak pergi. Saiful
menyalami dokter Ramzi dan berbincang sebentar dengannya. Maria duduk di
kursi di samping ranjang. Saiful mendekat. Ia mengucapkan salam dan
tersenyum.
“Maria, boleh aku bicara empat mata dengan Saiful?” lirihku pada Maria.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
130
Maria mengangguk dan melangkah keluar. Ia tidak membawa serta tas kecilnya.
“Saif, kenapa kau tinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang
menunggui aku? Dia bukan mahramku.” Aku memaksakan diri untuk bersuara
agak keras. Saiful sepertinya tahu kalau aku marah dan tidak berkenan.
“Maafkan saya Mas. Keadaannya darurat. Aku belum tidur sama sekali
semalam dan perutku perih sekali. Kebetulan Maria datang,” jawabnya.
“Teman-teman yang lain mana?”
Saiful lalu menceritakan kejadian itu.
“Saat Mas pulang dan terjatuh tak sadarkan diri di pintu, yang ada di
rumah cuma saya seorang. Saya langsung mengontak Mishbah yang saat itu
ada di Wisma agar pulang. Sedangkan Hamdi dan Rudi, hari itu sedang
dalam perjalanan ikut rihlah83 ke Luxor yang diadakan Majlis A’la.
Mereka tidak mungkin dihubungi. Saya bingung, saya naik ke atas. Untung
saat itu Yousef dan Maria ada. Maria langsung menelpon mamanya, Madame
Nahed, yang sedang kerja di Rumah Sakit Maadi. Madame Nahed meminta pada
Maria agar seketika itu juga membawa Mas Fahri ke rumah sakit. Madame
Nahed mengurusi semuanya dan memilihkan kamar kelas satu. Dia juga yang
memilihkan dokter. Madame Nahed tidak bisa langsung menanganimu sebab
dia dokter spesialis anak. Mas tak sadarkan diri dalam waktu yang lama
sekali. Mas baru sadar jam setengah tiga malam. Setelah itu tak sadarkan
diri lagi. Mishbah sampai di rumah sakit jam lima sore ikut menunggui
sampai jam satu malam. Saya dan Mishbah sepakat membuat jadwal. Malam
itu saya minta Mishbah istirahat di rumah, karena dia terlihat sangat
kelelahan. Dan saya minta dia datang pukul sembilan pagi untuk gantian
jaga. Pukul setengah delapan tadi Maria datang tepat ketika saya
merasakan perut ini sedemikian perih karena sejak sore kemarin belum
kemasukan apa-apa. Melihat wajah saya pucat Maria minta saya keluar
keluar untuk makan dan membersihkan badan. Jadilah Maria menjaga Mas
sendirian.”
Mendengar cerita itu aku maklum adanya. Saiful berjanji akan menjaga
diriku sebaik-baiknya bergantian dengan Mishbah. Dan tidak akan
membiarkan diriku dijaga oleh orang lain.
83 rekreasi.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
131
Maria mengetuk pintu minta izin masuk. Aku minta Saiful untuk
mempersilakan dia masuk. Maria datang dengan menenteng kantong plastik
putih. Ia duduk dan mengeluarkan isinya; satu botol air mineral, satu
kotak susu Juhayna isi satu kilo, satu kotak ashir mangga, sebungkus
roti tawar, satu kaleng vitrac rasa strawberry, satu kaleng cokelat,
sekotak keju president, dan satu kotak tissue meja. Ia menatanya di atas
meja yang masih kosong tidak ada apa-apa. Maria menawariku makan atau
minum. Aku sama sekali tidak berselera. Ia mengambil selembar roti
tawar, mengoleskan keju dan cokelat dan menutupnya dengan selembar roti
tawar di atasnya dan menyerahkan pada Saiful. Saiful tidak bisa
menolaknya. Maria kembali mengambil roti tawar. Kali ini untuk dirinya.
Lalu ia mengambil dua gelas dan bertanya pada Saiful mau minum apa.
Saiful menjawab, air putih saja. Maria menuangkan air mineral ke dalam
gelas dan menyerahkan pada Saiful. Ia sendiri menuangkan ashir mangga.
Kudengar mereka berdua berbincang sambil makan roti. Saiful mengucapkan
rasa terima kasih atas kebaikan Maria. Dengan sangat hati-hati ia
menjelaskan masalah mahram kepada Maria. Dengan bahasa halus ia meminta
agar jika bisa Maria datang bersama ayah atau adiknya. Jadi seandainya
berbincang atau berada dalam satu ruangan seperti itu ada mahram yang
menemaninya. Bukan karena tidak percaya pada Maria tapi demi kedamaian
jiwa. Aku diam saja. Sebab perlahan aku kembali merasakan kepalaku mulai
bersenut-senut. Aku masih bisa mendengar Saiful menyitir beberapa sabda
Rasul yang memberikan tuntunan cara berinteraksi pria dengan wanita.
Batasan boleh dan tidaknya.
Aku juga mendengar pertanyaan Maria tentang boleh tidaknya perempuan
menjenguk pria yang dikenalnya yang sakit. Aku mendengar Saiful menjawab
boleh, mendasarkan jawabannya bahwa Imam Bukhari dalam kitab shahihnya
secara khusus menulis “Bab Perempuan Membesuk Lelaki”. Beliau
mengatakan, “Ummu Darda’ menjenguk seorang lelaki ahli masjid dari
kalangan Anshar.” Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa ketika
Ka’ab bin Malik Al Anshari sakit keras dan dekat dengan kematiannya,
Ummu Mubasyir binti Al Barra bin Ma’rur Al Anshariyyah menjenguknya.
Maka tidak ada masalah seorang
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
132
perempuan menjenguk saudaranya yang lelaki selama masih menjaga adab kesopanan yang diajarkan Rasulullah.
Setelah itu aku tidak mendengar lagi apa yang mereka bicarakan. Aku
kembali merasakan nyeri yang luar biasa dalam tempurung kepalaku. Aku
mengaduh. Lalu semuanya terasa gelap.
* * *
Ketika aku sadar, aku tidak menemukan Saiful dan Maria. Yang ada di
sisiku adalah Mishbah dan beberapa teman dari Nasr City yang kukenal
baik. Ada Mas Khalid, Kang Kaji, Mas Junaedi, Sofwan, Iswan, Khalil,
Bimo dan Chakim. Mereka semua tersenyum padaku meskipun aku menangkap
guratan sedih dalam wajah mereka. Mereka mendekat satu persatu dan
memelukku pelan sambil berbisik, “Syafakallah syifaan ajilan, syifaan la
yughadiru ba’dahu saqaman.”84
Kutanyakan pada Mishbah jam berapa sekarang. Mishbah menjawab jam satu
siang. Apakah ini hari Ahad? Mishbah menjawab iya. Aku minta pada
Mishbah untuk menghubungi Syaikh Utsman. Rabu lalu aku sudah tidak
datang. Aku minta Mishbah menjelaskan kondisiku pada beliau dan memohon
agar beliau memberikan doanya. Mishbah keluar. Aku mencoba mengangkat
tanganku. Tidak bisa juga. Rasanya seperti lumpuh. Aku meneteskan air
mata. Aku belum berani bertanya sakit apa aku sebenarnya.
Aku minta pada Mishbah dan teman-teman agar tidak mengabarkan sakitku
ini ke Indonesia. Aku merasa ingin buang air kecil. Aku katakan itu pada
Mas Khalid. Mas Khalid mengambilkan pispot. Teman-teman yang lain
keluar. Mas Khalid memasukkan pispot ke balik selimutku. Tangannya
meraba tanpa membuka auratku dan berusaha aku bisa buang air kecil di
dalam pispot. Aku tidak bisa membayangkan kalau dalam keadaan seperti
ini yang ada di sampingku hanyalah Maria seperti tadi pagi. Apakah aku
harus buang air kecil begitu saja di atas kasur seperti waktu aku masih
bayi dulu, ataukah aku akan meminta tolong padanya untuk memasangkan
pispot. Selesai buang air kecil, aku minta pada Mas Khalid mentayamumi
aku.85 Tanganku sama sekali tidak bisa digerakkan. Lalu
84 Semoga Allah menyembuhkanmu secepatnya, dengan kesembuhan yang tiada sakit setelahnya.
85 Tayamum adalah bersuci dengan menggunakan debu sebagai ganti wudhu.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
133
aku shalat dengan menggunakan isyarat mata dan tubuh terlentang tiada berdaya seperti seorang balita.
Teman-teman menemani sampai jam besuk habis. Tinggal Mishbah seorang
yang tetap menunggui diriku. Mishbah memberi tahu habis maghrib, insya
Allah, Syaikh Utsman Abdul Fattah akan datang. Aku meneteskan air mata,
diriku telah menyusahkan banyak orang. Mishbah mengusap air mata yang
meleleh dipipiku dengan tissue yang dibeli Maria, baunya wangi. Sambil
menghiburku bahwa semuanya akan kembali seperti sedia kala, aku akan
sembuh dan sehat kembali serta bisa main bola lagi. Saiful datang
membawa bantal. Ia bilang sejak sekarang ia dan Mishbah akan menjagaku
berdua. Tidur dan istirahat bergantian di dalam kamar kelas satu ini.
Memang di kamar yang tidak terlalu luas ini hanya aku seorang pasiennya.
Aku tidak tahu bagaimana nanti membayar ongkosnya. Kepalaku terasa
berat lalu nyeri dan semuanya kembali terasa gelap.
Dalam gelap aku tidak tahu berada di alam apa. Tiba-tiba aku berjumpa
dengan orang yang kurus dan bercahaya wajahnya, orang yang belum pernah
aku berjumpa dengannya. Dia mengenalkan dirinya sebagai Abdullah bin
Mas’ud. Aku tersentak kaget. Abdullah bin Mas’ud adalah satu-satunya
sahabat, yang Baginda Nabi ingin mendengar bacaan Al-Qur’an darinya.
Abdullah bin Mas’ud adalah Guru Besar Tafsir dan Qiraah di kota Kufah.
Imam-imam besar dari kalangan tabiin banyak yang belajar membaca
Al-Qur’an darinya. Abdullah bin Mas’ud tersenyum padaku serta merta aku
mencium tangannya, ia menyambutku dan memeluk diriku. Aku bisa berdiri,
aku tidak lumpuh. Ibnu Mas’ud membisikkan syafakallah ke telingaku. Aku
mencium bau harum dari jubah dan tubuhnya.
Beliau melepaskan pelukannya dan memintaku membaca Al Baqarah. Aku
membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali dia membetulkan bacaanku.
Aku membaca sampai akhir Al Baqarah. Abdullah bin Mas’ud memintaku
berhenti. Abdullah bin Mas’ud mencium keningku dan hendak pergi. Aku
menahannya. Aku katakan aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Beliau
tersenyum dan menyilakan aku bertanya.
Aku tanyakan padanya, “Apakah benar riwayat yang mengatakan Anda tidak mengakui mushaf Utsmani?”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
134
Abdullah bin Mas’ud tersenyum padaku dan berkata dengan suara yang sangat berwibawa,
“Yang tidak mengakui mushaf Utsmani dan tidak suka dengannya adalah
orang-orang munafik dan orang-orang yang memusuhi agama Allah. Mereka
mencatut namaku untuk membela tujuan-tujuan mereka yang jahat. Apa yang
ada di dalam mushaf Utsmani dari Al Fatihah sampai An Naas adalah wahyu
yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Baginda Nabi.
Tertulis utuh dan sempurna. Tidak berkurang dan tidak bertambah meskipun
cuma satu huruf. Dan apa yang ada dalam mushaf Utsmani itulah yang aku
ajarkan pada para tabiin dan mereka mengajarkan pada murid-muridnya.
Begitu seterusnya hingga sampai kepadamu dan kepada jutaan umat Muhammad
di seluruh penjuru dunia. Al-Qur’an terjaga keasliannya. Memang akan
selalu ada orang-orang jahat yang berusaha meragukan kebenaran dan
merusak kesucian Al-Qur’an. Namun ketahuilah usaha mereka akan sia-sia.
Sebab Allah sendiri yang akan menjaga keutuhan dan kesuciannya sampai
hari akhir. Dan orang-orang pilihan Allah di dunia ini adalah mereka
yang disebut Ahlul Quran. Orang-orang yang hatinya selalu terpatri pada
Al-Qur’an, mengimani Al-Qur’an, dan berusaha mengajarkan dan mengamalkan
isi Al-Qur’an dengan penuh keikhlasan.”
Sahabat nabi, Abdullah bin Mas’ud tersenyum. Aku pun tersenyum. Aku
ingin ikut dengannya, tapi beliau tidak memperbolehkannya. Aku lalu
titip padanya salam sejahtera, rasa cinta dan rasa rindu tiada terkira
untuk Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat nabi itu lalu
meninggalkan diriku. Semakin lama semakin jauh. Mengecil. Menjadi titik.
Dan hilang. Aku merasa kehilangan dan sedih. Mataku basah.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
135
12. Siapa Malaikat Itu?
Wajah itu Nurul. Ya Nurul. Ketika aku terbangun dari ketidaksadaran, aku
melihatnya, tak jauh dari kakiku bersama teman-temannya. Kulihat
sekilas wajahnya sendu. Ada juga ketua dan pengurus PPMI, Persatuan
Pelajar dan Mahasiswa Indonesia. Saiful duduk di dekat kepalaku. Ia
paling dekat denganku. Tangannya mengusap pipiku yang basah.
“Alhamdulillah, Mas Fahri sadar.” Aku mendengar mereka memuji Allah.
“Sabar Mas Ya? Insya Allah segera sembuh,” lirih Saiful dengan mata berkaca-kaca.
“Aku sakit apa katanya Saif?”
“Dokter belum menjelaskannya Mas.”
Zaimul Abrar, Ketua PPMI, mendekat, mendoakan, dan atas nama seluruh
mahasiswa ikut merasa sedih atas sakit yang menimpaku. Lalu gantian
Nurul mewakili teman-temannya, ketika dekat dengan diriku ia menatapku
dengan penuh iba dan sorot mata yang aku tidak tahu maknanya. Kedua
matanya berkaca-kaca dan sendu. “Cepat sembuh Kak. Cepat selesaikan
masternya dan cepat mengabdi di tanah air tercinta,” katanya
terbata-bata. Aku mendengarnya dengan sesekali memejamkan mata.
“Mas kami pamit. Kami sudah lama di sini. Syafakallah!” ucap Zaim.
“Kami juga minta diri Kak,” ikut Nurul.
Mereka pun pulang. Aku merasa wujudku benar-benar ada dan berarti. Aku merasa diperhatikan, disayang, dan dicintai semua orang.
Dua menit setelah mereka keluar, Syaikh Ahmad datang bersama Ummu Aiman.
Syaikh Ahmad berusaha tersenyum padaku. Beliau memelukku pelan sambil
mendoakan kesembuhanku. Ia tahu aku sakit dari Mishbah yang ketika
shalat shubuh mengabarkan padanya. Syaikh Ahmad memberikan sedikit
tadzkirah yang membesarkan hatiku dan menguatkan jiwaku.
“Pintu-pintu surga terbuka lebar untuk orang yang sabar menerima ujian dari Allah!”
Syaikh Ahmad tidak lama berada di sisiku. Tak lebih dari seperempat jam.
Setelah itu pamitan. Beliau membawa dua kilo anggur yang sangat segar.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
136
* * *
Menjelang maghrib Dokter Ramzi Shakir memberi tahu setelah melihat hasil
foto rontgen kepalaku, aku harus dioperasi. Ada gumpalan darah beku
yang harus dikeluarkan. Rencananya operasi besok pagi pukul delapan. Aku
diminta untuk puasa malam ini. Aku mungkin akan tinggal di rumah sakit
sekitar satu bulan lamanya. Aku menitikkan air mata. Saiful dan Mishbah
menghibur, meskipun kulihat mereka berdua juga menitikkan air mata.
Menjelang Isya, Syaikh Utsman Abdul Fattah benar-benar datang bersama
beberapa teman Mesir yang mengaji qiraah sab’ah pada beliau. Syaikh
Utsman mengusap kepalaku, persis seperti ayahku mengusap kepalaku.
Beliau tersenyum padaku. Beliau meminta kepada semuanya untuk keluar
sebentar. Beliau ingin berbicara hanya berdua denganku. Saiful, Mishbah
dan teman-teman Mesir keluar meninggalkan kami. Syaikh Utsman duduk di
kursi dekat dadaku.
Sambil mengelus rambut kepalaku beliau berkata,
“Anakku, ceritakan padaku apa yang dilakukan sahabat nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud padamu?”
Aku kaget bukan main. Bagaimana Syaikh Utsman tahu kalau aku bertemu sahabat nabi Abdullah bin Mas’ud dalam pingsanku.
“Tadi malam jam tiga saat aku tidur setelah tahajjud aku didatangi
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu. Aku hanya sempat bersalaman saja.
Beliau bilang akan menjengukmu sebelum aku menjengukmu.” Syaikh Utsman
seperti mengerti keherananku, beliau menjelaskan bagaimana beliau tahu
aku kedatangan Abdullah bin Mas’ud.
“Bagaimana Syaikh bisa yakin aku benar-benar di datangi Abdullah bin
Mas’ud?” tanyaku dengan suara serak untuk lebih meyakinkan diriku.
“Seperti keyakinan Rasulullah ketika bermimpi akan berhaji dan membuka kota Makkah.”
Jawaban singkat Syaikh Utsman menyadarkan diriku akan kekuatan mimpi
orang-orang shaleh yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Untung aku
sudah membaca dan menelaah Kitab Ar Ruuh yang ditulis oleh Imam Ibnu
Qayyim Al Jauzi. Murid utama Imam Ahmad bin Hambal dan ulama terkemuka
pada zamannya itu membahas masalah ruh dengan tuntas disertai
dalil-dalil yang
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
137
tidak bisa diragukan. Bahwa ruh orang yang telah wafat bisa bertemu
dengan ruh orang yang masih hidup. Semuanya atas izin dan kekuasaan
Allah Swt. Kisah para sahabat dan ulama salafush shalih menjadi bukti
dan kenyataan yang terang tiada keraguan seperti terangnya cahaya
matahari di waktu siang.
Di antaranya, Imam Ibnu Qayyim menuliskan kisah nyata, dengan sanad yang
shahih, dari Imam Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Shahr bin
Hausyab:
Bahwa dua orang sahabat nabi yaitu Sha’b bin Jitsamah dan Auf bin Malik adalah bersaudara. Sha’b berkata kepada Auf,
‘Saudaraku, jika salah satu di antara kita mati dahulu maka harus berusaha datang menemui dalam mimpi.’
Auf berkata, ‘Apakah itu mungkin?’
Sha’ab menjawab, ‘Ya.’
Kemudian meninggallah Sha’b. Dan Auf melihatnya di dalam mimpi seolah Sha’b mengunjunginya. Auf menyapa, ‘Wahai Saudaraku!’
‘Ya.’ Jawab Sha’b.
‘Apa yang terjadi denganmu?’ tanya Auf.
‘Beberapa dosaku telah diampuni.’ Jawab Sha’b.
Auf melihat ada noda hitam di lehar Sha’b. Ia langsung bertanya, ‘Saudaraku, ini apa?’
Sha’b menjawab, ‘Ini adalah sepuluh dinar yang aku pinjam dari lelaki
Yahudi (dan belum aku kembalikan). Sepuluh dinar itu ada di dalam tanduk
milikku, berikanlah padanya. Ketahuilah Saudaraku, semua kejadian yang
menimpa keluargaku setelah kematianku telah kuketahui kabarnya, termasuk
kucing yang meninggal beberapa hari yang lalu. Dan ketahuilah, puteriku
akan meninggal enam hari lagi, maka berwasiatlah yang baik untuknya.’
Ketika bangun Auf berkata, ‘Dalam mimpi ini ada pemberitahuan.’
Auf lalu mendatangi keluarga Sha’b. Mereka menyambutnya dengan hangat
dan berkata, ‘Selamat datang Auf, apakah seperti ini perlakuanmu pada
keluarga yang ditinggal saudaramu? Kau tidak mendatangi kami sejak dia
meninggal.’ Auf memberikan alasan seperti orang-orang memberi alasan.
Lalu
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
138
melihat tanduk dan menurunkan dari tempatnya. Dan menemukan kantung
berisi dinar di dalamnya. Lalu membawanya ke tempat orang Yahudi.
Auf bertanya pada orang Yahudi, ‘Apakah Sha’b punya hutang padamu?’
Orang Yahudi menjawab, ‘Semoga Allah merahmati Sha’b. Dia termasuk sahabat nabi yang utama. Hutangku kuikhlaskan untuknya.’
Auf mendesak, ‘Katakanlah padaku berapa dia berhutang padamu?’
Orang Yahudi menjawab, ‘Sepuluh dinar.’
Auf lalu menyerahkan kantong berisi sepuluh dinar itu pada orang Yahudi. Auf berkata, ‘Ini yang pertama!’
Kemudian Auf kembali menemui keluarga Sha’b dan bertanya, ‘Apakah ada suatu kejadian di rumah kalian setelah kematian Sha’b?’
Mereka menjawab, ‘Ya, kucing kami mati beberapa hari yang lalu!’
Auf berkata, ‘Ini yang kedua!’
Lantas Auf bertanya, ‘Mana anak perempuan Saudaraku?’
“Dia sedang bermain.’ Jawab mereka.
Auf lalu mendatanginya dan mengusap-usapnya, anak puteri itu ternyata
sedang demam. Auf berkata pada mereka, ‘Berwasiat baiklah untuknya.’ Dan
anak perempuan itu meninggal enam hari kemudian.
Kisah serupa sangat banyak terjadi di zaman sahabat nabi dan zaman
tabiin. Imam Ibnu Abdul Bar yang mengarang kitab ‘Al Tamhid’ penjelas
kitab Muwatta’ Imam Malik menuturkan kisah tsabit bin Qaish bin Syamas
yang mati syahid dan mendatangi Abu Bakar dalam mimpinya karena punya
hutang. Abu Bakar pun menjalankan wasiat Tsabit.
Syaikh Utsman masih menunggu jawabanku.
“Anakku, apa yang kau dapat dari Abdullah bin Mas’ud yang mendatangimu.
Ceritakanlah pelan-pelan, aku ingin tahu?’ Syaikh Utsman kembali
mengulangi pertanyaannya. Aku lalu menceritakan semuanya. Syaikh Utsman
menitikkan air mata dan berkata, ‘Allah yubarik fik ya bunayya!’86 Lalu
beliau berpesan agar aku tidak menceritakan mimpi ini kepada
siapa-siapa, kecuali orang-orang yang bisa dipercaya. Mimpi seperti ini
tidak semua orang suka mendengarnya, dan tidak semua orang
mempercayainya.
86 Allah memberkahimu, Anakku.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
139
Syaikh Utsman lalu mengeluarkan botol kecil dari saku jubahnya.
‘Ini aku bawakan air zamzam. Tidak banyak, namun semoga bermanfaat.
Minumlah dengan terlebih dahulu membaca shalawat nabi dan berdoa minta
kesembuhan dan ilmu yang manfaat.’ Ucap beliau.
Aku belum bisa menggerakkan tanganku. Syaikh Utsman agaknya tahu. Beliau
sendiri yang meminumkan air zamzam itu ke mulutku. Setelah itu beliau
berpesan agar aku memperbanyak istighfar dan shalawat. Agar aku
mengikuti semua petunjuk dokter dan minum obat yang teratur. Aku
beberkan semua kecemasanku pada beliau, terutama tentang kepalaku yang
mau dioperasi. Beliau menenangkan diriku. Beliau minta kepadaku agar
besok pagi minta kepada dokter untuk memfoto rontgen sekali lagi. Jika
tidak ada perubahan dan memang harus dioperasi ya harus dijalani. Beliau
akan berdoa semoga Allah memberikan jalan kesembuhan yang lebih mudah.
Beliau mencium keningku seperti seorang kakek mencium cucunya. Setelah
itu memanggil kembali teman-teman untuk masuk. Teman-teman Mesir
berusaha menghibur. Si Mahmoud bercerita tentang Juha yang lucu, aku
tersenyum mendengarnya. Pukul setengah sepuluh Syaikh Utsman dan
teman-teman Mesir pamitan.
Menjelang tidur Himam datang. Ia bersama Hamim dan Mahmudi. Himam pernah
satu bulan satu rumah denganku di Hayyul Asyir sebelum aku pindah ke
Hadayek Helwan. Ia punya buku pijat refleksi dan suka mencoba-coba pada
teman-teman satu rumah yang kelelahan. Itu pula yang dilakukan Himam
terhadapku. Ia menyibak selimut di kakiku dan mencoba-coba mencari
syaraf yang ia rasa ganjil di telapak kaki. Himam memijat dan aku
menahan sakit. Begitu berulang-ulang. Lalu Himam memijit dengan santai
ke seluruh kakiku, sampai aku tertidur.
* * *
Pagi hari aku merasa badanku lebih enak. Kepalaku lebih ringan. Jam enam
pagi, aku minta Mishbah memberi tahukan pada dokter atau petugas bahwa
aku minta dirontgen ulang. Aku tidak akan menandatangani surat kesediaan
operasi sebelum dirontgen ulang dan hasilnya dilihat kembali dengan
teliti.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
140
Dengan senang hati, Dokter Ramzi memenuhi permintaanku. Aku digeledek ke
ruang rontgen. Dua orang perawat mengangkatku ke meja yang menyatu
dengan alat foto berukuran besar itu. Seorang petugas mengepaskan titik
fokus di kepalaku. Aku di foto dalam tiga posisi. Lalu dibawa kembali ke
kamar.
Sampai di kamar sudah ada Maria dan keluarganya. Maria menatapku dengan
wajah sedih, juga Yousef, Tuan Boutros dan Madame Nahed. Mereka tahu
kalau pagi ini aku akan dioperasi maka mereka datang untuk melihatku
sebelum masuk ke ruang operasi. Maria menitikkan air mata ia takut
terjadi apa-apa padaku. Aku bilang pada mereka semua, insya Allah, tidak
akan terjadi apa-apa dan aku akan sembuh seperti sedia kala.
Pukul setengah sembilan Dokter Ramzi datang dengan wajah cerah. Beliau
menyerahkan hasil rontgen dan membawa kabar gembira, “Entah ini mukjizat
atau apa, gumpalan darah beku di bawah tempurung kepalanya itu telah
tiada.” Dokter Ramzi minta aku mencoba menggerakkan tanganku, meskipun
sangat pelan aku bisa. “Tak perlu operasi, kau akan sembuh seperti sedia
kala. Tinggal perawatan medis secara intensif untuk penyembuhan.”
Aku mengucapkan syukur berkali-kali kepada Allah atas anugerah ini.
Kudengar Tuan Boutros memuji tuhannya; Bapa, Yesus dan Roh Kudus.
Kuminta kepada Saiful dan Mishbah untuk sujud syukur. Madame Nahed masih
melihat foto rontgen. Dia membandingkan foto pertama dan foto kedua.
Bibirnya berdesis, “Mahabesar kekuasaan Tuhan, ini mukjizat!”
Dokter Ramzi bilang aku telah melewati masa kritis, dia mengucapkan
selamat kepadaku. Sejak itu keadaanku semakin membaik. Teman-teman
mahasiswa Indonesia banyak yang berdatangan menjenguk. Beberapa staf
KBRI yang kenal baik juga menjenguk. Teman-teman dari Malaysia, Patani
dan Singapura juga.
Hari kelima aku sudah bisa bangkit dari tempat tidur. Aku sudah bisa
makan sendiri dengan kedua tanganku. Dari hari ke hari perkembangan
kesehatanku terus membaik. Hari ke sembilan aku sudah bisa ke toilet
sendiri. Hari ke sebelas aku sudah bisa jalan-jalan keluar kamar, ke
taman dan duduk-duduk di sana ditemani Saiful dan Mishbah. Hari itu juga
Rudi, dan Hamdi pulang dari Luxor. Mereka sangat terkejut dan menyesal
tidak berada di sisiku melewati
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
141
masa kritis. Aku minta kepada Saiful untuk bertanya kapan aku boleh
pulang dan kira-kira biaya semuanya berapa? Saiful memberi tahu dua hari
lagi bisa pulang dan biaya semuanya sekitar seribu dua ratus dollar.
Aku mengerutkan kening. Dalam tabunganku hanya ada lima ratus dollar.
Aku bertanya mereka berempat ada uang berapa. Hamdi kosong, tinggal dua
puluh lima pound saja. Rudi ada cadangan seratus dollar. Saiful lima
puluh dollar. Dan Mahmoud juga lima puluh dollar. Berarti semua baru ada
enam ratus dollar. Masih kurang enam ratus dollar. Dan bisa jadi
totalannya nanti lebih dari itu. Mau tidak mau harus mencari pinjaman.
Aku minta pada Rudi untuk menemui Pak Jayid Hadiwijaya, Atase Pendidikan
yang baik hatinya, agar meminjam uang secukupnya dari beliau untuk
biaya perawatan rumah sakit. Siang Rudi berangkat, sore kembali dengan
membawa uang seribu dollar.
Pagi hari H aku boleh pulang ke rumah sakit Saiful mengurusi semua administrasi. Ia kembali ke kamar dengan wajah heran.
“Mas, biayanya semua sudah dilunasi seseorang,” lapornya dengan wajah ceria bercampur bingung.
“Siapa yang melunasinya?” tanyaku heran.
“Pihak rumah sakit tidak mau menyebutkan namanya,” jawabnya.
Rudi yang bertugas mencari mobil kembali bersama Tuan Boutros dan
keluarganya. “Tak usah repot cari mobil, kami datang untuk menjemputmu
pulang,” demikian Tuan Boutros. Aku tak menjawab apa-apa. Mereka sangat
baik, seperti keluarga sendiri, seperti bukan orang lain. Aku teringat
biaya yang sudah dilunasi, jangan-jangan mereka.
“Sebelum pulang aku mohon kejujuran kalian. Apakah kalian yang telah
melunasi seluruh biaya perawatan saya?” tanyaku sambil memandang Tuan
Boutros dan Madame Nahed bergantian.
“Tidak. Bukan kami,” jawab Madame Nahed.
“Kumohon demi kasih Isa Al Masih, kalian harus berterus terang, aku tidak akan tenang,” desakku.
“Kami benar-benar tidak melunasinya. Kami memang berniat melunasinya
tapi sudah terlambat. Sudah ada yang mendahului kami. Kukira kalian
sendiri yang telah melunasinya. Kami berkata yang sebenarnya,” terang
Madame Nahed.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
142
“Semoga Allah membalas dia dengan pahala yang tiada hentinya,” lirihku
mendoakan orang yang telah membayar seluruh biaya perawatanku.
* * *
Hari itu kami pulang ke Hadayek Helwan. Selama perjalanan Madame Nahed memberi tahu sakit apa aku sebenarnya.
“Dokter Ramzi mengatakan kau terkena Heat Stroke dan Meningitis sekaligus. Tapi sekarang sudah sembuh.”
Aku sudah tahu heat stroke itu apa. Madame Nahed pernah menerangkannya.
Tapi meningitis, aku belum tahu jenis penyakit apa itu. “Apa itu
meningitis, Madame?”
“Meningitis, adalah penyakit radang selaput otak yang menular disebabkan
oleh kuman meningokoccal. Kuman penyakit ini cepat menular pada suhu
tinggi atau rendah. Cara penularan penyakit Meningitis Meningokoccal
adalah melalui kontak langsung, terkena percikan air ludah, dahak,
ingus, cairan bersin dan cairan dari tenggorokan penderita penyakit
Meningitis Meningokoccal. Tanda-tanda orang yang terkena meningitis
adalah panas mendadak, sakit kepala luar biasa, kemerahan di kulit dan
kaku kuduk. Tapi kau tidak usah kuatir. Kau sudah sembuh dan terbebas
dari kuman meningokoccal. Dokter Ramzi mengatakan begitu. Kau sudah
diterapi dengan pengobatan propilaksis memakai cyproflovacin terbaik.
Yang sekarang harus kau lakukan adalah menjaga kesehatanmu. Jangan
keluar rumah dulu. Jaga kondisi tubuh supaya tetap segar. Istirahat yang
cukup 6-8 jam sehari semalam. Jangan menantang panas. Minum yang cukup.
Jangan sekali-kali minum dari kran air minum umum di pinggir jalan
seperti orang-orang, sebab kebersihannya kurang. Gelasnya cuma satu
untuk minum bergantian. Sangat riskan terjadi penularan kuman. Banyak
makan buah-buahan segar seperti anggur, jeruk, apel, mangga, semangka,
dan lain sebagainya.” Madame Nahed memberi penjelasan yang cukup dan
sangat berguna bagi diriku.
* * *
Sejak pulang dari rumah sakit, aku merubah peta hidup yang telah
kurancang satu bulan ke depan. Aku lebih banyak di rumah. Kegiatan
menerjemah sementara aku tinggal dulu. Waktuku kuhabiskan untuk
buku-buku
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
143
yang berkaitan dengan materi penulisan tesis. Syaikh Utsman memberiku
izin tidak ikut mengaji sampai musim panas benar-benar reda.
Aku masih penasaran siapa yang melunasi biaya rumah sakit itu. Aku dan teman-teman meraba-raba beberapa kemungkinan.
Saiful menduga yang membayar Syaikh Utsman, bisa murni dari saku beliau
bisa juga beliau menyalurkan zakat mal para dermawan. Beliau adalah
tokoh yang memiliki banyak koneksi dan akses.
Sedangkan Hamdi berpendapat yang melunasi mungkin Syaikh Ahmad. Karena
beliau dan isterinya dikenal kaya, dermawan, dan suka menolong orang.
Rudi lain lagi, dia menduga yang melunasi adalah pihak KBRI. Mungkin
diam-diam Pak Atase Pendidikan mengucurkan dana dari anggaran
kemasyarakatan.
Mishbah tidak berpendapat apa-apa, tapi dia berkomentar yang paling
tidak mungkin adalah pendapat Rudi. Bagaimana mungkin Atase Pendidikan
mengeluarkan dana untuk biaya seorang mahasiswa yang sakit sedangkan
diminta dana untuk pelatihan ekonomi Islam saja seretnya bukan main. Itu
alasan Mishbah yang sedikit kecewa dengan KBRI.
Entahlah siapa sebenarnya dia yang berhati putih itu. Mata hatiku
berkata, yang membayar bukan yang disebut teman-teman itu. Tapi orang
lain. Dan orang lain itu adalah orang yang berhati ikhlas, mengenalku,
sangat perhatian padaku, dan aku tidak tahu siapa dia. Aku tidak bisa
menduga sebuah nama. Aku hanya berdoa, agar suatu saat nanti Allah
membuka rahasia siapa malaikat itu sebenarnya. Aku berharap bisa
membalas kebaikannya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
144
13. Ketika Hati Berdesir-desir
Tak terasa sudah memasuki pertengahan September. Suhu musim panas mulai
turun. Paling tinggi 32 derajat celcius. Bulan Oktober nanti adalah
bulan peralihan dari musim panas ke musim dingin. Si Musthafa Fathullah
Said, teman Mesir satu kelas di pascasarjana yang juga sedang mengajukan
proposal tesis memberitahukan, bahwa dua hari lagi aku harus ke kampus
untuk ujian proposal tesis yang kuajukan. Aku terfokus pada ujian yang
sangat menentukan itu. Jika proposalku ditolak maka aku harus menunggu
setengah tahun lagi untuk mengajukan proposal baru.
As you sow, so will you reap! Demikian pepatah Inggris mengatakan.
Seperti apa yang anda tanam, sebegitu itulah yang akan anda petik.
Rasanya tidak sia-sia apa yang telah kukerjakan selama ini. Membuat
jadwal ketat, bolak-balik ke National Library, ke perpustakaan IIIT di
Zamalek, dan mengumpulkan bahan. Membaca literatur-literatur klasik
berkaitan Ilmu Quran, berdiskusi dengan teman-teman pascasarjana. Kerja
yang melelahkan. Mengantuk. Pusing. Mual. Kurang tidur. Semuanya terasa
bagaikan simponi hidup yang indah setelah tim penilai yang terdiri para
guru besar menerima proposal tesis yang aku ajukan. Aku jadi menulis
tentang ‘Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi’. Aku
memang pengagum ulama terbesar Turki abad 20 itu. Dia termasuk tokoh
dunia Islam yang menurut Syaikh Yusuf Al Qaradhawi layak disebut
mujaddid umat Islam abad 20 disamping Hasan Al Banna. Pembimbingku juga
telah ditentukan yaitu Syaikh Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far. Aku seperti
mendapat durian runtuh sebab beliau memang profesor idolaku. Terkenal
paling mudah ditemui dan paling senang dengan mahasiswa dari Asia
Tenggara. Aku belum dikenal oleh beliau, tapi aku akan berusaha menjadi
muridnya yang baik sehingga beliau akan mengenalku dengan baik
sebagaimana Syaikh Utsman mengenalku.
Dan sebagai rasa syukur aku harus kembali memeras otak dan bekerja keras
untuk menyelesaikan tesis ini. Pekerjaan yang tidak ringan, sebab aku
juga harus menerjemah. Tanpa menerjemah dari mana sumber penghidupan
akan aku dapatkan. Aku kembali menata peta hidup dua tahun ke depan. Aku
teliti dan aku kalkulasi dengan seksama. Target-target dan cara
pencapaiannya. Ada satu target
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
145
yang masih mengganjal. Yaitu menikah. Aku mentargetkan saat menulis tesis aku harus menikah. Umurku sudah 26 tahun menginjak 27.
Aku mengkalkulasi kemampuan mencari dana setiap bulan. Sebelum menulis
tesis aku sanggup merampungkan buku setebal 200-300 halaman setiap
bulan. Itu berarti aku akan mendapat masukan sekitar 250 dollar
perbulan. Dan aku hanya bisa menyisakan 100 dollar dan terkadang malah
cuma 50 dollar. Setiap kali masuk toko buku aku tidak bisa menahan diri
untuk membeli buku atau kitab. Ketika konsentrasiku terpusat pada
menulis tesis maka kemampuanku menerjemah akan berkurang. Mungkin aku
hanya akan mampu menerjemah 150-200 halaman saja perbulan. Uang yang aku
terima dari bayaran menerjemah hanya cukup untuk memenuhi biaya
sehari-hari. Bagaimana? Apakah akan tetap nekad menikah?
Tunggu dulu! Bang Aziz yang mengais nafkah dengan membuat tempe dan
mendistribusikannya ke rumah-rumah mahasiswa itu berani menikah. Bang
Aziz bercerita dengan pemasukan 150 dollar perbulan sudah berani
menikah. Hidup sederhana dan menyewa rumah sederhana di kawasan Hayyu
Thamin, atau jauh di Zahra sana. Apalagi jika mencari isteri mahasiswi
yang kebetulan dapat beasiswa. Meskipun beasiswa tak seberapa tapi
sangat membantu karena datangnya tetap.
Akhirnya kupikir dengan matang, bahwa umur tidak bisa dihargai dengan
materi. Jika menemukan perempuan shalihah dan mau menerima diriku
seutuhnya dan siap hidup berjuang bersama, dalam suka dan duka, maka aku
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menyempurnakan separo agama.
Kutetapkan tahun ini bisa menikah, tapi tidak mencari. Lho bagaimana?
Siapa tahu ada yang menawari. Kalau sampai selesai magister tidak ada
yang menawari ya berarti memang nasibku tidak menikah di Cairo dengan
mahasiswi Al Azhar. Mungkin nasibku adalah menikah di Indonesia, dengan
seorang akhwat berjilbab yang ghirah keislamannya bagus, yang ada di UI,
atau di UGM, atau di UNDIP, atau di UNS. Atau malah gadis dari
pesantren yang masih sangat virgin. Atau, tak tahunya anak tetangga
sendiri, teman gebyuran di sungai waktu kecil. Jadi tidak asing lagi,
sejak kecil sudah sama-sama tahu.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
146
Aku jadi teringat puisiku sendiri, yang kutulis jelek sekali di buku harian suatu malam di musim semi setahun yang lalu:
Bidadariku,
Namamu tak terukir
Dalam catatan harianku
Asal usulmu tak hadir
Dalam diskusi kehidupanku
Wajah wujudmu tak terlukis
Dalam sketsa mimpi-mimpiku
Indah suaramu tak terekam
Dalam pita batinku
Namun kau hidup mengaliri
Pori-pori cinta dan semangatku
Sebab
Kau adalah hadiah agung
Dari Tuhan
Untukku
Bidadariku
Seorang perempuan shalihah yang akan jadi bidadariku, yang akan aku
cintai sepenuh hati dalam hidup dan mati, yang akan aku harapkan jadi
teman perjuangan merenda masa depan, dan menapaki jalan Ilahi, itu
siapa? Aku tak tahu. Ia masih berada dalam alam ghaib yang belum
dibukakan oleh Tuhan untukku. Jika waktunya tiba semuanya akan terang.
Hadiah agung dari Tuhan itu akan datang.
* * *
Di layar TV Channel 2 ada pengumuman nama-nama orang hilang, lengkap
dengan data singkat, ciri-ciri dan fotonya. Nama yang terakhir di
tampilkan adalah Noura binti Bahadur Gonzouri, lengkap dengan fotonya.
Saat itu pukul setengah sepuluh malam. Kami satu rumah kaget.
Si Muka Dingin Bahadur rupanya masih mencari Noura untuk ia jual kepada
serigala-serigala berwajah manusia. Kami satu rumah cemas jika urusannya
akan sampai kepada polisi dan menyeret Syaikh Ahmad. Jika Si Muka AYAT
AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
147
Dingin Bahadur punya hubungan dengan seorang pembesar di bagian
intelijen keamanan negara urusannya benar-benar bisa merepotkan. Saat
itu juga aku menelpon Syaikh Ahmad. Beliau minta aku tenang saja dan
tidak usah kuatir. Noura sedang berada di pintu gerbang kemerdekaan dan
kebahagiaannya. Besok pagi setelah shalat shubuh beliau akan menjelaskan
semuanya.
Usai shalat shubuh, Syaikh Ahmad menjelaskan kepadaku bahwa masalah
Noura sedang ditangani diam-diam oleh Ridha Shahata, saudara sepupunya
yang bertugas di bagian intelijen keamanan negara. Ridha Shahata
menemukan informasi berharga bahwa Noura dilahirkan di sebuah rumah
sakit elite di kawasan elite Heliopolis. Pada minggu yang sama Noura
dilahirkan hanya ada lima bayi. Dan pada hari yang sama Noura lahir cuma
ada dua bayi di sana. Yaitu dia dan bayi satunya bernama Nadia. Setelah
dilacak. Nadia kini tinggal di Heliopolis, ayah dan ibunya dosen di
Universitas Ains Syams. Yang sedikit aneh Nadia berkulit hitam sementara
ayah dan ibunya berkulit putih. Kolonel Ridha Shahata sedang menyiapkan
surat pemanggilan untuk tes DNA pada Si Muka Dingin Bahadur dan
isterinya. Juga pada Nadia dan kedua orang tuanya. Sebab memang sangat
mencurigakan dua bayi itu tertukar. Jika benar tertukar nanti akan
dicari siapa saja perawat yang bertugas waktu itu. Tertukarnya sengaja
atau tidak. Tes DNA itulah yang akan jadi bukti kuat kejelasan kasus
Noura. Namun seandainya tidak terbukti ada pertukaran bayi, Noura akan
tetap dilindungi. Kolonel Ridha Shahata juga telah menyiapkan bukti
untuk menyeret Si Muka Dingin Bahadur ke penjara. Kolonel Ridha Shahata
adalah intelijen yang sangat profesional, dia pernah menangkap seorang
turis Spanyol yang ternyata adalah mata-mata Mossad.
Syaikh Ahmad meminta saya tenang. Wa man yattaqillaha yaj’al lahu
makhraja. Siapa yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan
untuknya jalan keluar. Aku lega.
Begitu sampai dirumah, aku mendapat telpon dari Nurul. Ia rupanya juga
melihat tayangan nama orang hilang tadi malam. Ia cemas kalau Noura
tertangkap dan urusannya melebar. Aku lalu menjelaskan apa yang
dijelaskan Syaikh Ahmad kepadaku. Nurul merasa lega. Sebelum mengakhiri
pembicaraannya dia bertanya apakah aku sudah ke tempatnya Ustadz Jalal.
Kubilang sejak sakit aku belum ke
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
148
mana-mana. Aku minta pada Nurul agar menyampaikan pada Ustadz Jalal
permohonan maafku belum bisa ke sana. Dan aku titip pesan seandainya
beliau ada waktu supaya menghubungi aku langsung. Biar aku tahu
sebenarnya beliau mau minta tolong apa. Aku juga menjelaskan pada Nurul
saat ini sudah konsentrasi menulis tesis. Alhamdulillah judul tesisnya
sudah diterima. Nurul menyatakan rasa gembira dan senangnya.
* * *
Aku teringat ini hari Ahad. Sudah lama aku tidak tidak mengaji pada
Syaikh Utsman. Aku benar-benar rindu pada beliau. Ramalan cuaca siang
ini Cairo tidak terlalu panas. Hanya 30 derajat celcius. Aku berangkat
setengah sebelas. Aku ingin shalat zhuhur di Shubra. Baru keluar sampai
di halaman apartemen, aku dicegah oleh Maria dari atas, dari jendelanya.
Dia minta agar aku tidak pergi dulu, di rumah dulu. Aku heran apa
haknya melarang aku. Aku jelaskan padanya aku harus belajar qiraah
sab’ah. Akhirnya dia menyuruh adiknya, Si Yousef untuk mengantar aku ke
tempat aku ngaji. Aku merasa heran dengan diri sendiri, keluarga Tuan
Boutros begitu baik dan besar perhatiannya kepada kami. Hari itu Yousef
mengantar aku sampai di depan masjid Abu Bakar Shiddiq, Shubra. Ia juga
berjanji akan menjemputku pukul setengah lima sore. Aku mengucapkan
terima kasih padanya.
Syaikh Utsman dan teman-teman menyambutku dengan penuh kehangatan. Kami
mempraktekkan qiraah Imam Warasy dengan membaca surat Al Mujaadilah, Al
Hasyr, Al Mumtahanah, Ash Shaf dan Al Jumu’ah. Selesai mengaji Syaikh
Utsman mengajakku masuk ke kamar beliau yang khusus disedikan oleh
takmir masjid. Beliau ingin berbicara masalah khusus.
“Anakku, kau sudah sehat betul?” tanya beliau lembut.
“Alhamdulillah, Syaikh,” jawabku dengan menundukkan kepala, aku tidak berani memandang beliau. Segan.
“Alhamdulillah. Terus bagaimana dengan kuliahmu?”
“Alhamdulillah. Judul tesis magister sudah diterima Syaikh. Sekarang sedang mengumpulkan bahan lebih lengkap untuk menulis.”
“Alhamdulillah. Kau menulis tentang apa?”
“Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
149
“Bagus sekali. Said An-Nursi memang ulama luar biasa yang harus dikaji
kelebihan yang diberikan Allah kepadanya. Lantas siapa pembimbingmu?”
“Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far.”
“Yang tinggal di dekat masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City itu?”
“Benar Syaikh.”
“Alhamdulillah. Kau insya Allah akan mendapat bimbingan dan kemudahan
dari beliau. Beliau adalah salah seorang muridku angkatan pertama.
Beliau mengambil sanad dan ijazah qiraah sab’ah dariku. Nanti akan aku
telpon beliau agar memberikan bimbingan terbaik kepadamu. Dan agar kamu
benar-benar menjadi pembela dan penyebar agama Allah di tanah airmu
kelak.” Suara Syaikh Utsman bernada optimis dan bahagia. Diam-diam aku
sangat kagum pada beliau yang sangat memperhatikan semua muridnya.
Beliau memang tidak mau mengambil murid terlalu banyak. Tapi yang
sedikit itu benar-benar beliau curahi perhatian yang luar biasa.
“Anakku. Aku mau bertanya masalah penting padamu. Apakah kau mau menikah?”
Pertanyaan Syaikh Utsman itu bagaikan guntur yang menyambar gendang
telingaku. Aku kaget. Hatiku bergetar hebat. Jika yang bertanya orang
semacam Rudi, Hamdi, dan Saiful aku akan menjawabnya dengan santai,
bahkan aku bisa menjawabnya dengan guyon. Tapi ini yang bertanya adalah
ulama terkemuka, gurunya para guru besar di Mesir.
“Maksud Syaikh bagaimana?”
“Apakah kau mau menikah dalam waktu dekat ini. Kalau mau, kebetulan ada
orang shalih datang kepadaku. Ia memiliki keponakan yang shalihah yang
baik agamanya dan minta dicarikan pasangan yang tepat untuk
keponakannnya itu. Aku melihat kau adalah pasangan yang tepat untuknya.”
Keringat dinginku keluar.
“Tapi aku mahasiswa miskin Syaikh, tidak punya biaya.”
“Baginda nabi dulu menikah dalam keadaan miskin. Sayyidina Ali bin Abi
Thalib juga menikah dalam keadaan miskin. Aku sendiri menikah dalam
keadaan miskin. Begini Anakku, kau pikirkanlah dengan matang. Lakukanlah
shalat istikharah. Gadis shalihah ini benar-benar shalihah, dia mencari
pemuda yang
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
150
shalih bukan pemuda yang kaya. Sekarang pulanglah, pikirlah dengan
matang. Jika kau mantap dengan jawabanmu siap menikah atau tidak
secepatnya datanglah kau menemuiku. Jika kau mantap, maka akan aku
pertemukan kau dengan walinya dahulu, jika tidak, maka aku akan
mencarikan yang lain.” Kata-kata Syaikh Utsman yang berwibawa itu
merasuk dan mendesir hebat dalam jiwaku.
Sampai di rumah hatiku masih terasa bergetar atas pertanyaan sakral yang
diajukan Syaikh Utsman. Jiwaku masih terasa berdesir. Apa yang beliau
tawarkan bukan sembarang tawaran. Yang beliau tawarkan adalah
sebaik-baik rizki bagi seorang pemuda. Adakah rizki lebih agung dari
seorang gadis shalihah yang jika dipandang menyejukkan jiwa bagi seorang
pemuda? Aku belum bisa mempercayai apa yang aku alami hari ini. Baru
saja target dan peta hidup dibuat, tawaran untuk menikah datang
sedemikian cepat. Siap. Atau tidak. Aku harus minta penerang dari Allah
Swt.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
151
14. Badai Kegelisahan
Tiga hari berturut-turut aku shalat istikharah. Yang terbayang adalah
wajah ibu yang semakin menua. Sudah tujuh tahun lebih aku tidak berjumpa
dengannya. Oh ibu, jika engkau adalah matahari, aku tak ingin datang
malam hari. Jika engkau adalah embun, aku ingin selalu pagi hari. Ibu,
durhakalah aku, jika ditelapak kakimu tidak aku temui sorga itu.87
Maka kuputuskan untuk minta persetujuan ibu. Ibu adalah segalanya
bagiku. Jika beliau meridhai maka aku akan melangkah maju. Jika tidak
maka aku pun tidak.
Aku telpon ke Indonesia. Ayah dan ibu tinggal jauh di desa. Tak ada
telpon di sana. Aku menelpon ke rumah Pak Zainuri, mertua paman yang
penilik sekolah dan tinggal di kota kecamatan. Rumah paman tak jauh dari
beliau. Selama ini, jika aku ingin menghubungi ayah dan ibu caranya
memang lewat Pak Zainuri dulu. Pak Zainuri akan menghubungi paman dan
paman akan menghubungi ayah ibu. Kalau aku mengirim surat pun aku lebih
suka mengalamatkannya ke rumah Pak Zainuri lebih cepat sampainya. Sebab
jika dialamatkan ke desa, suratku bisa bertapa dulu di balai desa, atau
di rumah Pak RW dalam waktu tak tentu. Masalah transportasi dan
komunikasi global memang agak susah jika hidup di desa.
Kepada paman aku jelaskan semuanya. Siapa Syaikh Utsman dan apa yang
beliau tawarkan kepada diriku. Paman adalah orang yang wawasannya luas,
ia guru SMP teladan se kabupaten. Paman banyak bertanya tentang
seandainya benar-benar menikah dengan muslimah yang bukan dari
Indonesia. Aku jelaskan, jika dia gadis yang shalihah semuanya akan
mudah. Aku jelaskan pada paman, tidak semua orang mendapatkan tawaran
sedemikian terhormatnya dari Syaikh Utsman. Di Indonesia, kalau
mendapatkan tawaran untuk menikah dengan anak seorang kiai mushalla saja
dianggap suatu keberuntungan yang luar biasa. Juga kujelaskan hasil
istikharahku. Aku minta pada paman agar mengajak musyawarah ayah dan
ibu. Disamping itu aku juga minta ayah ibu juga melakukan shalat
istikharah. Apa pun hasilnya itulah keputusan yang akan aku ambil. Dua
hari lagi
87 Dari penggambungan dua petikan sajak Fatin Hamama berjudul ‘Aku ingin
ibu’ dan ‘Ibu (3)’ yang terdapat dalam kumpulan puisinya “Papyrus”.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
152
pada jam yang sama aku akan menelpon menanyakan hasilnya. Dan aku ingin langsung mendengar dari lisan ibu.
Dua hari kemudian. Pada waktu yang dijanjikan aku menelpon ke tanah air. Aku mendengar suara ibu,
“Jika isterimu nanti mau diajak hidup di Indonesia, tidak terlalu jauh
dari ibu, maka menikahlah dan ibu merestui, ibu yakin akan penuh berkah.
Tapi jika tidak bisa dibawa ke Indonesia tidak usah, cari saja gadis
shalihah yang dari Indonesia!”
Air mataku meleleh mendengar keputusan ibu. Sebuah keputusan yang sangat
bijaksana. Aku memang tidak mungkin hidup dan berjuang selain di tanah
air tercinta. Hari itu juga aku menemui Syaikh Utsman dan memberitahukan
keputusanku. Beliau berpesan agar hari berikutnya datang ke tempat
beliau lagi, untuk mengetahui kabar selanjutnya. Hari berikutnya aku
datang. Syaikh Utsman menyambutku dengan senyum dan pelukan penuh
kehangatan. Aku seperti seorang cucu yang beliau sayangi.
“Semoga gadis shalihah ini menjadi rizkimu di dunia dan di akhirat. Dia
siap kau bawa berjuang di mana saja dan walinya menyetujuinya. Ini ada
dua album foto dia, kau bawalah pulang! Kau lihat-lihat. Kau istikharah
lagi. Jika kau mantap kau akan aku pertemukan dengan gadis shalihah ini
dan walinya.”
Aku pulang dengan membawa dua album foto yang kumasukkan dalam tas
cangklongku. Aku merasa seperti memikul beban satu ton. Tas cangklong
itu terasa berat sekali.
Sampai di kamar aku memegang album itu dengan tangan gemetar, dan hati
bergetar. Aku akan melihat wajah calon bidadari yang menemani hidupku
selamanya. Aku akan melihat wajah calon belahan jiwa. Tapi entah kenapa
aku tidak berani membukanya sama sekali. Dua album itu cuma aku pegang
dan tanpa kubuka sedikitpun. Aku tersentak, aku belum tahu namanya.
Kenapa tidak aku tanyakan namanya pada Syaikh Utsman? Aku ingin
membukanya, siapa tahu di dalam Album itu ada namanya. Tapi urung. Aku
tidak berani. Entah kenapa. Aku shalat istikharah, yang datang adalah
ibunda tercinta. Beliau berkata singkat, “Menikahlah ibu merestui.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
153
Hari berikutnya aku kembali menemui Syaikh Utsman dan kukatakan kemantapanku untuk menikahi gadis itu. Syaikh Utsman berkata,
“Aku sudah menduga dan aku sangat yakin kau akan mengatakan itu. Aku
memang belum melihat gadis itu, tapi isteriku, Ummu Fathi, yang melihat
foto-foto dalam album itu memuji-muji kecantikannya. Ummu Fathi malah
bilang jika kau sampai tidak mau, maka ia memintaku agar menjodohkan
dengan cucuku yang sedang kuliah di Perancis. Aku geli sekali mendengar
perkataan Ummu Fathi. Dan kau nanti akan kaget karena tadi malam walinya
bilang gadis itu sangat mengenalmu, dan kau mungkin telah mengenalnya.
Kau sudah melihatnya, kau mengenalnya bukan?”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku sama sekali belum melihat album
itu dan aku sama sekali tidak tahu namanya. Aku diam saja. Gadis itu
jadi rasa penasaran dalam hati yang luar biasa. Aku telah menyatakan
kemantapanku tapi aku belum tahu siapa dia. Aku menjadi orang yang
paling penasaran di dunia. Syaikh Utsman minta kepadaku agar besok
datang tepat setelah shalat Ashar, kalau bisa shalat Ashar di Shubra.
Jadwal mengaji qiraah sab’ah diundur hari berikutnya. Besok aku akan
dipertemukan dengan gadis itu bersama walinya. Untuk saling melihat dan
saling mengenal sebelum kata sepakat untuk akad nikah diputuskan.
Malam itu, malam sepulang dari rumah Syaikh Utsman adalah malam paling
menyiksa dalam hidupku. Namun ada kesejukan yang sedemikian lembut
mengaliri relung-relung hatiku. Kesejukan itu apa aku tidak tahu
namanya. Saiful rupanya sangat memperhatikan kesibukkanku selama ini.
Dia bertanya ini itu tapi masalah diriku sedang proses ke gerbang
pernikahan sama sekali tidak aku beritahukan padanya, juga pada siapa
saja. Malam itu aku tidak bisa tidur, aku menutup kamar, dan berada di
kamar seperti orang linglung. Siapa gadis itu? Dia mengenalku dan aku
mengenalnya, siapa dia? Jangan-jangan gadis itu bukan gadis Mesir. Aku
membodoh-bodohkan diriku kenapa tidak melihat dua album yang telah
berada di tanganku. Jangan-jangan dia gadis Indonesia. Walinya tahu aku
mengaji pada Syaikh Utsman dan minta agar menjodohkan keponakannya
denganku. Tapi, siapa gadis Indonesia yang kecantikannya layak dipuji
oleh isteri Syaikh Utsman dan dia memiliki wali di sini?
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
154
Seingatku mahasiswi Indonesia yang disertai kerabatnya hanya ada tiga
orang. Raihana disertai kakak kandungnya. Fauzia disertai adiknya. Dan
Nurul, ia disertai pamannya, tapi paman jauh. Tiba-tiba hatiku berdesir,
jantungku mau copot. Yang paling cantik memang Nurul. Tapi aku merasa
itu tidak akan terjadi. Tidak mungkin. Dia adalah puteri seorang kiai
besar, pengasuh pesantren besar di Jawa Timur. Dan seorang kiai biasanya
telah memilih besan sejak anaknya masih belum bisa berjalan. Tapi
kenapa Ustadz Jalal memintaku datang? Aku semakin didera badai
kegelisahan yang dahsyat. Aku mengumpat diriku sendiri. Seandainya aku
melihat foto dalam album aku tidak akan dirajam penasaran yang menggila
ini. Aku berusaha mengurangi rasa gelisah dan penasaran dengan bersujud
dan menangis kepada Tuhan. Dalam sujud aku berdoa sebagaimana doa nabi
hamba pilihan Allah dalam Al-Qur’an,
“Rabbana hab lana min azwaajina wa dzurriyyatina qurrata a’yun wal’alna
lil muttaqiina imaama! Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa!”88
88 Surat Al-Furqaan: 74 AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
155
15. Pertemuan
Aku sampai di masjid Abu Bakar Shiddiq tepat saat azan Ashar
berkumandang. Seluruh tubuhku bergetar tidak seperti biasanya. Keringat
dinginku keluar. Aku tidak tahu shalatku kali ini khusyuk apa tidak.
Yang jelas mataku basah. Dalam sujud aku menangis memohon kepada Allah
agar diberi umur yang penuh berkah, pertemuan dengan calon belahan jiwa
yang penuh berkah, akad nikah yang penuh berkah, malam zafaf yang penuh
berkah, dan masa depan yang penuh berkah. Selesai shalat aku masih duduk
menitikkan air mata. Aku meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang
bermimpi. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan dia. Dia yang aku belum
tahu namanya dan belum tahu wajahnya seperti apa. Dia yang telah lama
kurindu. Aku minta kekuatan kepada Allah.
Syaikh Utsman menyentuh pundakku beliau tersenyum. Beliau mengajakku
ikut serta dalam mobil beliau. Dari masjid Abu Bakar sampai ke rumah
beliau memang agak jauh. Syaikh Utsman memiliki seorang sopir bernama
Faruq. Selama dalam perjalanan Syaikh Utsman bercerita masa mudanya
dulu. Beliau dan Ummu Fathi asalnya juga tidak saling kenal. Bertemu
dalam majlis khitbah. Dan cinta itu hadir begitu saja setelah akad
nikah, begitu kuatnya.
“Anakku, kau pasti panas dingin sekarang. Iya ‘kan? Aku dulu juga
merasakan hal yang sama. Dalam perjalanan bersama keluarga ke rumah Ummu
Fathi, untuk bertemu pertama kalinya sekaligus khitbah hatiku berdesir,
jantungku berdegup, keringat dingin keluar. Tapi itulah saat-saat yang
tak terlupakan. Dan ketika kami bertemu. Ummu Fathi keluar mengeluarkan
minuman dengan tangan bergetar. Mata kami sekilas bertemu dan hati
diliputi rasa malu yang luar biasa. Itu adalah kenikmatan luar biasa.
Kenikmatan istimewa yang jarang dirasakan anak muda sekarang, kecuali
yang benar-benar menjaga diri dan menjaga hubungan lelaki perempuan
dalam adab-adab syar’i. Kulihat mukamu pias, kau pasti sedang panas
dingin. Anakku, tunggulah nanti sebentar lagi ketika kau sudah duduk di
ruang tamu dan gadis itu masuk bersama walinya kau akan merasakan panas
dingin yang luar biasa. Panas dingin yang belum pernah kau rasakan.
Apalagi kala kau dan dia nanti sesekali mencuri pandang. Suasana hatimu
tidak akan bisa kau lupakan seumur hidupmu. Inilah keindahan Islam.
Dalam Islam
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
156
hubungan lelaki perempuan disucikan sesuci-sucinya namun tanpa
mengurangi keindahan romantisnya.” Kata-kata Syaikh Utsman menambah
tubuhku semakin dingin. Syaikh Utsman seperti masih muda. Beliau juga
menasihatiku agar majelis pertemuan nanti benar-benar dimanfaatkan
sebaik-baiknya untuk mengenalkan diri dan mengenal gadis itu. Syaikh
Utsman dan wali gadis itu hanya akan menjadi pembawa acara.
* * *
Memasuki ruang tamu Syaikh Utsman kakiku seperti lumpuh. Aku hampir
tidak bisa mengangkat kakiku. Tubuhku gemetar. Ruang tamu yang penuh
dengan kitab-kitab klasik ini akan menjadi saksi penting dalam sejarah
hidupku. Syaikh Utsman mempersilakan aku duduk di sofa busa yang
menghadap ke barat. Di sebelah selatan ada sofa panjang menghadap utara
untuk dua orang. Di sebelah barat ada sofa menghadap ke timur untuk satu
orang. Di sebelah utara ada dua sofa menghadap ke selatan. Pintu ada
dekat tempat aku duduk.
Ummu Fathi keluar membawa nampan berisi dua gelas air putih. Untuk kami
berdua. “Anakku, ayo diminum dulu. Kau tampaknya kehausan,” ucap Syaikh
Fathi. Aku meneguk sedikit. “Lima menit lagi, mereka insya Allah
datang!” sambung beliau. Jantungku berdegup kencang. Panas dingin
tubuhku semakin kuat terasa. Aku banyak beristighfar di dalam hati untuk
menenangkan diri.
Bel berbunyi.
“Itu mereka datang. Kau tetaplah duduk di tempatmu!” kata Syaikh Fathi.
Aku tidak bisa lagi menangkap nuansa yang menyergap hatiku.
Berbagaimacam perasaan bercampur menjadi satu; penasaran, rindu, malu,
gugup, takut, cemas, tidak percaya diri, optimis, senang, dan bahagia.
Ummu Fathi mengambil dua gelas berisi air putih itu. Sementara Syaikh
Fathi beranjang membukakan pintu.
Suara pintu di buka. Aku sama sekali tidak berani memandang ke arah pintu yang hanya dua meter di sampingku.
“Assalamu’aikum!” Hatiku berdesir keras. Suara lelaki. Bukan suara orang
Indonesia, tapi suara itu memang sangat khas dan aku sangat
mengenalnya. Aku masih menunduk.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
157
“Wa’alaikumussalam wa rahmatullah. Ahlan wa sahlan. Ayo masuk! Fahri,
berdirilah sambutlah calon pamanmu!” Suara Syaikh Utsman membuatku
tergagap. Aku berdiri. Dan….
Subhanallah!
Lelaki yang berdiri di hadapanku adalah Eqbal Hakan Erbakan. Dia
tersenyum padaku. Hatiku terasa dingin sekali. Aku berusaha tersenyum.
Aku tak tahu seperti apa raut mukaku. Aku sungguh-sungguh terkejut. Kami
berangkulan erat sekali. “Kaif halak ya ‘aris!” Eqbal membisikkan kata
sapaan padaku, yang dalam kata sapaan ada kata-kata yang menggoda. Dia
sudah memanggilku ‘ya ‘aris’, wahai pengantin pria.
“Alhamdulillah,” lirihku.
Di belakang Eqbal ada dua perempuan bercadar dan dua anak kecil yang
lucu. Aku kenal dengan dua anak kecil itu. Amena dan Hasan. Amena
membawa boneka panda. Aku jadi teringat itu boneka yang kutitipkan lewat
Aisha. Dan Hasan membawa pistol air mainan. Dua perempuan bercadar itu
menatapku sekilas, lalu beranjak menyalami Ummu Fathi. Mereka berpelukan
bergantian. Eqbal menarik tangan Amena dan Hasan agar bersalaman
denganku. Aku berjongkok. Melihat Amena dan Hasan yang lucu rasa grogiku
sedikit berkurang. Aku cium kening Amena yang baru berumur lima tahun
itu juga kening Hasan yang baru tiga tahun. Eqbal minta pada Amena untuk
berterima kasih padaku atas hadiahnya.
“Syuklon alal hadieh el jamileh, Am…amu Andonesy.”89 Lirih Amena
terbata-bata dengan suara agak cedal. Kontan Syaikh Utsman tertawa. Aku
tersenyum saja.
Ummu Fathi, isteri Syaikh Utsman mempersilakan yang bernama Aisha agar
duduk di sofa yang menghadap ke timur. Dan mempersilakan isteri Eqbal
duduk di dekat Aisha, sofa yang menghadap ke selatan. Beliau sendiri
duduk tepat di depannya. Syaikh Utsman duduk di sampingnya, dekat
denganku. Dan Eqbal duduk berhadapan dengan Syaikh Utsman, juga
berdekatan denganku. Si kecil Amena duduk di pangkuan ibunya. Dan si
kecil Hasan berdiri di depan ayahnya.
89 Terima kasih atas hadiahnya yang cantik, Paman dari Indonesia.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
158
Pembicaraan di mulai. Jantungku mulai berdegup kencang. Tubuhku panas
dingin. Kini aku tahu gadis itu adalah Aisha. Keponakan Eqbal Hakan
Erbakan. Syaikh Utsman benar, Aisha telah mengenalku dan aku telah
mengenalnya. Perkenalan yang begitu singkat. Aisha mungkin tahu banyak
tentang diriku. Ia mungkin telah mendapat banyak info dari Eqbal. Sebab
selama bersahabat dengan Eqbal dan selama i’tikaf di masjid Helmeya
Zaitun kami sudah seperti keluarga sendiri. Eqbal banyak cerita tentang
dirinya dan keluarganya. Masa kecilnya. Bagaimana bisa ke Mesir.
Bagaimana bisa menikah dengan Sarah yang kini jadi isterinya. Sarah yang
dari keluarga konglomerat Turki namun sangat kuat penghayatannya atas
Islam. Aku pun telah cerita banyak pada Eqbal. Tentang keluargaku yang
miskin. Tentang bagaimana diriku datang ke Mesir dengan menjual sawah
warisan kakek. Harta satu-satunya yang dimiliki keluarga. Tentang
awal-awal di Mesir yang penuh derita. Tak ada beasiswa. Tak ada
pemasukan. Kerja membantu Bang Aziz mendistribusikan tempe ke
rumah-rumah mahasiswa dari Indonesia dan Malaysia. Jualan beras dengan
cara mengambil beras dari pelosok Mesir seperti Zaqaziq dan menjual ke
teman-teman mahasiswa. Dan lain sebagainya. Aisha mungkin telah tahu
banyak tentang diriku, tapi aku apa yang aku ketahui tentang dirinya.
Melihat mukanya saja belum.
Sarah, isteri Eqbal berbicara dengan Ummu Fathi. Sesekali Syaikh Fathi dan Eqbal menimpali. Sarah menceritakan siapa Aisha ini.
Aku memandang ke arah Aisha, pada saat yang sama dua matanya yang bening
di balik cadarnya juga sedang memandang ke arahku. Pandangan kami
bertemu. Dan ces! Ada setetes embun dingin menetes di hatiku. Kurasakan
tubuhku bergetar. Aku cepat-cepat menundukkan kepala. Dia kelihatannya
melakukan hal yang sama. Kukira Aisha tidak setegang diriku, sebab dia
merasa lebih santai. Wajahnya tersembunyi di balik cadarnya. Sementara
diriku, aku tidak tahu seperti apa bentuk mukaku. Aku harus mencari cara
untuk menghilangkan ketegangan ini. Si kecil Hasan memandangi aku. Aku
tersenyum padanya. Kutarik dia ke pangkuanku. Dia menurut.
Dengan adanya Hasan di pangkuanku aku jadi merasa lebih nyaman. Aku bisa
membelai-belai rambutnya. Hasan anak yang penurut. Kelihatannya ia
benar-benar masih ingat padaku. Sesekali ia berceloteh dan aku
menanggapi lirih sambil AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
159
mencium kepalanya gemas. Dan di balik cadar, mata bening Aisha memperhatikan apa yang aku lakukan.
“Ini adalah majelis ta’aruf90 untuk dua orang yang sedang berniat untuk
melangsungkan pernikahan. Menurut ajaran nabi, seorang pemuda boleh
melihat wajah perempuan yang hendak dinikahinya. Untuk melihat daya
tarik dan untuk menyejukkan hati. Maka lebih baiknya Anakku Aisha
membuka cadarnya. Meskipun Fahri sudah melihat wajahmu lewat album foto.
Tetapi dia harus melihat yang asli sebelum melangsungkan akad nikah.
Bukankah begitu Ummu Amena?” Kata-kata Ummu Fathi ini membuat jantungku
berdesir. Sebentar lagi Aisha akan menanggalkan cadarnya, dan aku..masya
Allah..aku akan melihat wajah calon isteriku.
Aku memandang Aisha. Dia memandangku lalu menunduk. Kelihatannya dia sangat malu dan salah tingkah.
“Aisha, bukalah cadarmu! Calon suamimu berhak melihat wajah aslimu,” desak Sarah, bibinya.
Sambil mendekap Hasan aku menyaksikan tangan kanan Aisha perlahan-lahan
membuka cadarnya. Ada hawa sejuk mengalir dari atas. Masuk ke ubun-ubun
kepalaku dan menyebar ke seluruh syaraf tubuhku. Wajah Aisha perlahan
terbuka. Dan wajah putih bersih menunduk tepat di depanku. Subhanallah.
Yang ada di depanku ini seorang bidadari ataukah manusia biasa. Mahasuci
Allah, Yang menciptakan wajah seindah itu. Jika seluruh pemahat paling
hebat diseluruh dunia bersatu untuk mengukir wajah seindah itu tak akan
mampu. Pelukis paling hebat pun tak akan bisa menciptakan lukisan dari
imajinasinya seindah wajah Aisha. Keindahan wajah Aisha adalah karya
seni mahaagung dari Dia Yang Maha Kuasa. Aku benar-benar merasakan
saat-saat yang istimewa. Saat-saat untuk pertama kali melihat wajah
Aisha.
“Bagaimana apakah kalian sudah benar-benar siap membangun rumah tangga
berdua?” Pertanyaan Syaikh Fathi membuat diriku mendongakkan kepala.
Aisha juga melakukan hal yang sama. Pandangan kami bertemu. Dan ces!
Hatiku seperti ditetesi embun dingin dari langit. Entah hati Aisha. Lalu
kami kembali menundukkan kepala. Aku diam tidak menjawab.
90 Perkenalan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
160
“Akh Fahri, bagaimana, kau siap menerima Aisha sebagai isterimu?” tanya Eqbal dengan suara tegas. Aku malah meneteskan air mata.
“Akh Eqbal, semestinya bukan aku yang kau tanya. Tanyalah Aisha, apakah
dia siap memiliki seorang suami seperti aku? Kau tentu sudah tahu siapa
aku. Aku ini mahasiswa yang miskin. Anak seorang petani miskin di
kampung pelosok Indonesia,” jawabku terbata-bata sambil terisak. “Apakah
aku kufu dengannya? Aku merasa tidak pantas bersanding dengan
keponakanmu itu. Aku tidak ingin dia kecewa di belakang hari,” lanjutku.
“Baiklah, biar Aisha sendiri yang menjawabnya. Bicaralah Aisha, jangan malu,” ujar Eqbal.
Aku mencuri pandang melihat Aisha. Ia menundukkan kepalanya. Bulu matanya yang lentik bergerak-gerak.
“Baiklah, aku akan bicara dari hatiku yang terdalam. Fahri, dengan
disaksikan semua yang hadir di sini, kukatakan aku siap menjadi
pendamping hidupmu. Aku sudah mengetahui banyak hal tentang dirimu. Dari
Paman Eqbal, dari Nurul dan orang-orang satu rumahnya. Dari Ustadzah
Maemuna isteri Ustadz Jalal. Dari Ruqoyya, isteri Aziz. Aku tidak akan
sangat berbahagia menjadi isterimu. Dan memang akulah yang meminta Paman
Eqbal untuk mengatur bagaimana aku bisa menikah denganmu. Akulah yang
minta.” Aisha menjawab dengan bahasa Arab fusha yang terkadang masih ada
sususan tata bahasa yang keliru namun tidak mengurangi pemahaman orang
yang mendengarnya. Suaranya terasa lembut dan indah, lebih lembut dari
suaranya saat berkenalan di Metro dan beberapa kali bertemu, di Tahrir
dan di National Library. Aku tidak tahu kenapa. Apakah karena aku kini
telah jatuh cinta padanya? Jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Dan
semoga juga yang terakhir kalinya.
“Bagaimana Fahri, Kau sudah mendengar sendiri dari Aisha, sekarang kau
bagaimana?” ujar Eqbal sambil memandang ke arahku. Semua mata tertuju ke
arahku, kecuali mata si kecil Amena dan Hasan. Aku memberanikan diri
untuk menatap wajah Aisha, agak sedikit lama. Aisha memandangku, ia
menanti jawabanku. Aku merasa tak mampu menahan air mata yang meleleh.
“Jika Aisha sedemikian mantapnya dan percaya padaku, maka, bismillah,
aku pun mantap menerima Aisha untuk jadi isteriku, pendamping hidupku
dan ibu
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
161
dari anak-anakku, aku akan sepenuh hati percaya padanya,” kataku dengan
suara parau bergetar, dengan mata tetap menatap Aisha. Aku melihat mata
Aisha berkaca-kaca. Suasana hening dan haru menyelimuti ruangan itu.
“Aku jadi teringat lima puluh tahun yang lalu, saat mengkhitbah Ummu
Fathi, suasananya tak jauh berbeda. Penuh dengan perasaan cinta dan
nuansa indah yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.” Suara Syaikh
Utsman memecahkan keheningan dan keharuan. Syaikh Utsman lalu bercerita
tentang hari-hari pertamanya membangun rumah tangga. Banyak hal lucu
penuh hikmah yang beliau kisahkan. Terkadang Ummu Fathi yang juga sudah
tua menyela. Suasana jadi lebih hidup.
Pembicaraan terus berlanjut ke masalah kami berdua, masalah diriku dan
masalah Aisha. Syaikh Utsman mampu menggiring kami untuk membuka diri.
Aku berterus terang tentang sakitku sebulan yang lalu. Aisha membuka
dirinya pernah sakit Asma. Aku ungkapkan kembali persyaratan ibuku,
bahwa isteriku mau tidak mau harus hidup dan berjuang di Indonesia.
“Diriku sudah aku wakafkan di jalan Allah. Aku siap hidup dan berjuang
di mana saja mendampingi perjuangan suamiku tercinta.” Tegas Aisha tanpa
ragu sedikitpun.
Kami lalu berbicara tentang harapan masing-masing. Cita-cita dan
idealisme masing-masing. Aku merasa apa yang diharapkan dan
dicita-citakan Aisha tidak ada yang berseberangan jauh dengan apa yang
aku harapkan dan aku cita-citakan. Dia ingin suami yang sepenuh hati
mencintainya, menjadikan dirinya satu-satunya isterinya, setia dalam
suka dan duka, perhatian pada keluarga, dan tidak melalaikan tugas
berjuang di jalan Allah. Itu adalah juga yang aku inginkan dari
isteriku. Aku ingin isteri yang shalihah, setia dan tidak mengkhianati
Allah dan Rasul-Nya.
Setelah pembicaraan berlangsung lama, rasa canggung tidak lagi
penghalang untuk mengungkapkan segala yang ingin diungkapkan. Aku bahkan
tanpa perlu malu, dan dengan penuh keterus-terangan membuka kemampuanku
mencari nafkah saat ini. Andalanku adalah terjemahan. Dan karena sedang
konsentrasi penulisan tesis, aku tidak bisa menerjemah sebanyak yang
kemarin.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
162
Aku jelaskan nominal yang kira-kira masuk tiap bulan. Itu pun terkadang
terlambat pembayarannya. Juga uang yang aku punya saat ini.
Aisha menjawab dengan tenang,
“Alhamdulillah aku sudah mempelajari sifat perempuan Jawa. Aku sangat
kagum pada mereka. Mereka adalah perempuan yang sangat setia, dan peduli
pada keluarga. Di Jawa seorang isteri terlibat sepenuhnya dalam masalah
keluarga. Isteri ikut memikirkan bagaimana dapur mengepul. Perempuan
Jawa bisa hidup sederhana. Seperti Fatimah Zahra puteri Rasulullah bisa
hidup sangat sederhana, yang mengambil air dan membuat roti sendiri.
Padahal dia puteri seorang nabi agung. Aku siap untuk hidup seperti
Fatimah Zahra. Aku sudah meneliti mahasiswa Indonesia, khususnya dari
Jawa yang berkeluarga di Cairo. Mereka hidup sangat sederhana. Mengatur
uang yang ada sebaik-baiknya. Saling melengkapi. Aku siap hidup seperti
mereka. Menurut Ruqoyya isteri seorang mahasiswa bernama Aziz yang
berjualan tempe. Dengan uang 150 dollar ia sudah bisa hidup normal
meskipun sangat sederhana dengan menyewa rumah yang sederhana. Aku
bahkan siap untuk hidup lebih buruk dari itu. Aku siap dalam suka maupun
duka.”
Aku mantap dengan apa dengar dari Aisha. Semoga apa yang ia katakan
adalah apa yang keluar dari hatinya. Kata-kata adalah cermin jiwa.
Lalu aku mengutarakan masalah cadar yang dipakai Aisha. Bukan aku tidak
setuju atau menentangnya. Tapi untuk fiqh dakwah di Indonesia lebih
hikmah tidak pakai cadar. Aku jelaskan kondisi masyarakat di desaku dan
sekitarnya. Perempuan bercadar akan dianggap sangat aneh dan
mencurigakan.
“Jangan kuatir. Aisha dan Sarah isteriku adalah muslimah-muslimah
moderat. Itu tidak akan menjadi masalah. Sarah sendiri kalau pulang ke
Turki tidak memakai cadar. Menurut mayoritas Ulama, menutup wajah bagi
perempuan tidak wajib. Yang wajib adalah menutup seluruh aurat kecuali
telapak tangan dan wajah,” jelas Eqbal.
“Ya. Paman Eqbal benar,” sahut Aisha.
Setelah segala yang bersifat pribadi dirasa cukup, dan kami merasa
benar-benar akan bisa menjadi pasangan hidup yang serasi, bisa saling
mengisi dan melengkapi, pembicaraan berlanjut ke masalah akad nikah dan
pesta walimatul AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
163
‘ursy. Aisha ingin akad dan pesta dilaksanakan secepatnya. Setelah
dikalkulasi dan timbang paling cepat akad dilaksanakan satu minggu lagi
dan pestanya dua hari setelahnya. Akhirnya ditetapkan akad nikah akan
dilaksanakan Jum’at depan, tanggal 27 Sepetember, di masjid Abu Bakar
Shiddiq setelah shalat Ashar. Karena nantinya Aisha akan tinggal di
Indonesia, maka aku harus mengurusi segalanya yang berkaitan dengan
dokumen pernikahan yang diakui di Indonesia. Aku jelaskan itu mudah.
Eqbal akan melengkapi semua dokumen Aisha yang diperlukan untuk Kedutaan
Besar Republik Indonesia. Aisha bilang ia juga akan mencatatkan
pernikahannya ke kedutaan Jerman.
Aisha meminta agar uang yang aku miliki saat ini disiapkan untuk mahar
dan pengurusan surat nikah KBRI. Adapun biaya yang lainnya biar paman
Eqbal yang mengurusi. Tempat pesta walimatul ursy juga ditetapkan saat
itu juga. Yaitu di Darul Munasabat91 masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City.
Itu adalah tempat yang paling cocok. Letaknya strategis. Dekat dengan
tempat tinggal umumnya mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Turki. Jumlah
orang indonesia yang akan diundang sekalian di tentukan. Tentunya
undangan terbatas. Karena di pihak Aisha juga mengundang orang Turki.
Undangan disesuaikan dengan kapasitas tempat duduk. Jenis hidangan yang
disajikan juga ditetapkan. Tidak terlalu mewah tapi juga tidak terlalu
sederhana. Yang dicari adalah barakahnya.
Malam zafaf juga ditentukan. Tidak setelah akad, tapi setelah walimah.
Tempatnya di mana, Aisha dan Sarah yang akan merancangnya. Aku diminta
tinggal menerima jadi saja. Sebab suasana kamar pengantin akan dibuat
suasana Turki. Sarah adalah seorang da’iyah di kalangan mahasiswi Turki,
karenanya aku yakin meskipun di tata ala Turki tapi tidak akan
menyimpang dari sunnah nabi.
Saat itu juga Eqbal mengukur tubuhku untuk mencari pakaian pengantin
yang akan dipakai saat walimah nanti. Sesuai keinginan Aisha, rencananya
kami berdua akan memakai busana pengantin muslim Turki. Hal-hal seperti
itu bagiku tidak ada masalah. Semua panitia akan ditangani oleh
teman-teman dari Turki. Eqbal hanya minta bantuan beberapa orang untuk
penyambut tamu dan penyaji hidangan.
91 Auditorium, balai pertemuan.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
164
Perbincangan selesai tepat saat azan maghrib berkumandang. Sore itu
sejarah baru hidupku telah dirancang dengan matang. Aisha sempat
tersenyum padaku sebelum ia dan keluarganya meninggalkan ruang tamu
Syaikh Utsman. Aku tidak bisa mengungkapkan rasa cintaku yang membuncah
memenuhi segenap ruang hatiku. Aku melangkahkan kaki dengan perasaan
bahagia tiada terkira, meskipun aku tidak mengingkari ada sedikit rasa
cemas. Cemas yang terlahir dari kekurangpercayaan pada apa yang aku
alami. Yang aku alami tadi sungguhkah kejadian nyata ataukah sekadar
mimpi belaka? Terkadang orang yang terlalu bahagia melihat apa yang
dialaminya seperti mimpi. Terkadang waktu berjalan sedemikian cepatnya
tanpa memberi kita kesempatan untuk berpikir sebenarnya apa yang sedang
terjadi pada diri kita sendiri.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
165
16. Cobaan
Teladan orang-orang yang bercinta adalah Baginda Nabi. Cinta sejati
adalah cintanya sepasang pengantin yang telah diridhai Tuhan dan
didoakan seratus ribu malaikat penghuni langit. Tak ada perpaduan kasih
lebih indah dari pernikahan, demikian sabda baginda Nabi.
Setelah melihat Aisha yang tiada lain adalah calon bidadariku, belahan
jiwa yang akan mendampingi hidupku, tak bisa kupungkiri aku didera rasa
cinta yang membuncah-buncah. Inilah cintaku yang pertama, dan Aisha
adalah gadis pertama yang menyentuh hatiku dan menjajahnya.
Waktu di Aliyah dulu, aku pernah naksir pada seorang gadis tapi tak
pernah sampai menyentuh hati. Tak pernah sampai merindu dendam. Aku
bahkan tak punya keberanian untuk sekadar menyapanya atau mengingat
namanya. Diriku yang saat itu hanya berstatus sebagai khadim romo kiai,
batur para santri, tak berani sekadar mendongakkan kepala kepada seorang
santriwati.
Juga selama di Kairo, sampai Aisha membuka cadarnya di rumah Syaikh
Utsman. Kuakui ada satu nama yang membuatku selalu bergetar bila
mendengarnya, namun tak lebih dari itu. Aku merasa sebagai seekor punguk
dan seluruh mahasiswi Indonesia di Kairo adalah bulan. Aku tidak pernah
berusaha merindukannya. Dan tak akan pernah kuizinkan diriku
merindukannya. Karena aku merasa itu sia-sia. Aku tak mau melakukan hal
yang sia-sia dan membuang tenaga.
Aku lebih memilih mencurah seluruh rindu dendam, haru biru rindu dan
deru cintaku untuk belajar dan menggandrungi Al-Qur’an. Telah
kusumpahkan dalam diriku, aku tak akan mengulurkan tangan kepada seorang
gadis kecuali gadis itu yang menarik tanganku. Aku juga tak akan
membukakan hatiku untuk mencintai seorang gadis kecuali gadis itu yang
membukanya. Bukan suatu keangkuhan tapi karena rasa rendah diriku yang
selalu menggelayut di kepala. Aku selalu ingat aku ini siapa? Anak
petani kere. Anak penjual tape. Aku ini siapa?
aku adalah lumpur hitam
yang mendebu
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
166
menempel di sepatu dan sandal
hinggap di atas aspal
terguyur hujan
terpelanting
masuk comberan
siapa sudi memandang
atau mengulurkan tangan?
tanpa uluran tangan Tuhan
aku adalah lumpur hitam
yang malang
Tuhan telah mengucapkan kun! Lumpur hitam pun dijelma menjadi makhluk
yang dianugerahi kenikmatan cinta yang membuncah-buncah dan rindu yang
berdebam-debam. Seorang bidadari bermata bening telah disiapkan
untuknya. Fa bi ayyi alaai Rabbikuma tukadziban! Maka nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu dustakan.
Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari
yang baik-baik lagi cantik-cantik.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.
Bidadari-bidadari yang jelita, putih bersih dipingit dalam rumah.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.92
Belum juga masuk surga, Tuhan telah begitu pemurah memperlihatkan
seorang bidadari yang baik dan cantik, bidadari yang putih bersih
bernama Aisha. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakan yang kamu dustakan?
Maka tiada henti menangis kepada Tuhan, merasa terlalu agung anugerah
yang dilimpahkan oleh-Nya kepadaku yang lumpur hitam. Mengiba-iba
kepadaNya kiranya anugerah ini bukan bentuk istidraj, bukan bentuk
nikmat yang sejatinya azab. Dalam sujud tangis di keheningan malam
kuisakkan seribu doa dari ratapan jiwa. Doa Adam, doa Ibrahim, doa
Ayyub, doa Ya’qub, doa Daud, doa Sulaiman, doa Zakariya, doa Muhammad,
doa seribu nabi, doa seribu wali,
92 Surat Ar-Rahman: 70-73. AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
167
dan doa seribu sufi yang telah mereguk cinta hakiki dan melahirkan sejuta generasi rabbani.
* * *
Dua hari menjelang hari H, barulah teman-teman satu rumah aku beritahu.
Semua urusan di KBRI sudah selesai. Mahar telah aku beli; seuntai
kalung, sebuah cincin dan mushaf mahar. Aku juga telah membeli satu stel
jas yang pantas. Aku meminta kepada teman-teman untuk mengundang
teman-teman terdekat. Tak lebih dari empat puluh orang. Mohon kesediaan
datang di acara akad nikah Jum’at depan, di masjid Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Shubra El-Khaima.
Seperti biasa Rudi nyeletuk, “Nurul dkk. diundang nggak Mas?”
“Untuk akadnya tidak usah. Tapi walimahnya ya,” jawabku dengan tegas.
Sebagai kabar gembira kuberitahukan pada teman-teman bahwa Bapak Atase
Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) secara khusus telah kuminta untuk
menjadi saksi, dan beliau telah menyatakan kesediaannya. Aku juga minta
pada teman-teman untuk mengundang dua ratus orang. Seratus lima puluh
putera dan lima puluh puteri untuk datang di acara walimatul ‘ursy.
Teman-teman satu rumah sepertinya masih tidak percaya pada apa yang aku
kabarkan. Namun mereka mau tidak mau harus percaya sebab aku tidak
pernah main-main untuk urusan serius.
Aku datangi rumah Tuan Boutros. Kosong.
Saiful bilang, saat aku dua hari tidak di rumah, Tuan Boutros sekeluarga
pergi rekreasi ke Pantai Hurgada. Dua hari yang lalu aku memang sibuk
di Nasr City membantu teman-teman Turki mempersiapkan segalanya. Aku
merasa tidak lengkap jika sampai pesta walimatul ursy nanti keluarga
Tuan Boutros tidak menyaksikan. Mereka adalah orang terdekat selama tiga
tahun ini. Aku mencoba menghubungi nomor handphone Maria. Jawabannya,
nomor yang anda hubungi sedang berada di luar area! Sedih! Aku minta
pada Rudi agar terus mencoba menghubungi Maria, memberitahukan acara
paling bersejarah dalam hidupku ini pada keluarganya. Mohon mereka bisa
datang pada saat pesta walimah.
Yang aku belum bisa mengerti adalah di manakah nanti aku setelah
menikah? Aku telah berusaha menyewa rumah di Hayyu Tsamin tapi Eqbal
tidak mengizinkannya. Katanya rumahnya telah disiapkan oleh Aisha. Aku
ingin tahu rumahnya di mana dan sewanya perbulan berapa, tapi dia juga
tidak mau
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
168
memberitahukannya, katanya biar surprise sesuai permintaan Aisha. Yang
jelas, kata dia, rumah itu memang sangat layak untuk tinggal memadu
kasih bersama Aisha. Aku pasrah saja, aku tidak meragukan ketulusan
mereka.
Satu hari menjelang akad nikah Eqbal dan dua orang Turki datang dengan
membawa mobil pick up. Dia bilang akan mengangkut barang-barangku untuk
di tata di rumah baru. Aisha yang memintanya. Komputer, beberapa stel
pakaian, dan puluhan jilid buku dan kitab penting diangkut. Aku tidak
boleh ikut.
“Insya Allah, semuanya akan beres dan aman. Saat ini kau adalah raja
yang tidak boleh susah. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk
kalian berdua. Dan jangan lupa selesai shalat Jum’at kau langsung ke
rumahku di Maadi. Kita akan berangkat ke Shubra bersama,” kata Eqbal
yang sebentar lagi harus kupanggil paman.
Ketika melihat kamarku yang berubah dan kehilangan banyak isinya aku
menitikkan air mata. Waktu terus berjalan. Manusia tidak bisa menentang
perubahan. Tak lama lagi aku akan meninggalkan kamar tercinta ini. Aku
akan meninggalkan teman-teman dan membuka lembaran hidup baru bersama
seorang isteri bernama Aisha.
berjalan di titian kodrat
(apa yang harus kita katakan)
jika berharap Dia menentukan93
* * *
Ketika fajar Jum’at merekah di ufuk timur, aku berkata dalam hati,
“Inilah hariku.” Tiada sabar rasanya menunggu ashar tiba. Matahari
seperti diganduli malaikat. Hari terasa berat. Waktu sepertinya berjalan
begitu lambat.
Usai shalat shubuh teman-teman telah bersiap. Mereka kubagi tugas. Rudi
shalat Jum’at di Masjid Indonesia menjadi petunjuk jalan bagi Pak
Atdikbud. Mishbah ke Wisma Nusantara menjadi petunjuk jalan bagi bus
yang disediakan untuk teman-teman undangan. Jarak Nasr City-Shubra tidak
dekat. Sedangkan Hamdi dan Saiful nanti begitu selesai shalat Jum’at
langsung ke Shubra. Aku sendiri usai shalat Jum’at langsung ke rumah
Eqbal Hakan Erbakan.
93 Dipetik dari sajak berjudul ‘Tuhan dan Titahnya’ karya Fatin Hamama.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
169
Pukul delapan tepat telpon berdering, kukira dari Eqbal. Ternyata tidak.
Dari Ustadz Jalal. Katanya beliau dan isterinya telah sampai di
mahattah metro Hadayek Helwan. Beliau datang untuk membicarakan masalah
yang dulu pernah beliau pesankan melalui Nurul. Kuminta Saiful untuk
menjemput Ustadz Jalal. Aku jadi merasa tidak enak tidak mengundang
beliau secara langsung untuk menghadiri akad nikah. Kutanyakan pada
teman-teman apakah undangan walimah untuk beliau sudah sampai. Tidak
tahu, mungkin belum, sebab undangan itu dititipkan pada Mas Khalid. Dan
rencananya Mas Khalid akan menyampaikannya usai shalat Jum’at nanti.
Meskipun terkesan sangat mepet dan mendadak terpaksa nanti Ustadz Jalal
akan kumohon untuk datang ke acara akad nikah.
Ustadz Jalal dan ustadzah Maemuna, isterinya, sampai dengan wajah cerah.
Mereka datang cuma berdua, tidak membawa ketiga anak mereka.
“Mana keponakan-keponakanku Ustadz? Kenapa tidak dibawa serta?” tanyaku basa-basi.
Hamdi datang dengan nampan berisi tiga gelas teh Arousa panas dan satu piring roti bolu. Entah dapat bolu dari mana anak itu.
“Sekali-kali kami ingin bepergian berdua tanpa diganggu anak-anak. Biar
bisa sedikit mesra. Pagi ini kami benar-benar menikmati perjalanan
dengan metro. Dari Ramsis sampai Hadayek Helwan sepi, hawanya juga
sejuk,” jawab Ustadz Jalal.
“Mereka ditinggal sendirian di rumah?” heranku.
“Tidak. Kebetulan Nurul dan teman-temannya usai shalat shubuh tadi
datang ke rumah. Jadi mereka yang menjaga,” sahut Ustadzah Maemuna.
“O begitu, syukurlah. Ngomong-ngomong Ustadz dan Ustadzah menyempatkan
untuk berkunjung kemari ada yang bisa saya bantu?” ucapku.
Ustadz Jalal memberi tahu ada masalah sangat penting dan rahasia yang
ingin beliau bicarakan denganku. Beliau minta tempat yang aman. Kubawa
beliau dan Ustadzah Maemuna ke dalam kamarku yang berantakan. Pintu
kututup rapat.
“Kok berantakan begini. Komputermu dan kitab-kitabmu tidak ada. Mau
pindahan nih, atau malah sedang pindahan?” komentar Ustadz Jalal.
“Nanti setelah masalah Ustadz selesai akan aku ceritakan, insya Allah. Silakan Ustadz bicara,” jawabku.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
170
“Kami berdua datang kemari memohon bantuanmu menyelesaikan suatu masalah
serius. Tidak masalah kami sebenarnya, tapi masalah seseorang yang
dekat dengan kami. Dan yang paling tepat untuk kami minta pertolongan
adalah engkau, Fahri. Kami sangat berharap engkau bisa membantu,” kata
Ustadz Jalal.
“Kau saya diberi kemampuan untuk itu. Insya Allah. Masalah apa itu Ustadz?”
“Ini masalah serius yang mengancam jiwa Nurul?”
Mendengar hal itu pikiranku langsung tertuju pada buntut peristiwa Noura
bersembunyi di rumah Nurul. Jangan-jangan Si Muka Dingin Bahadur tahu
itu dan memperkarakannya, tapi kalau itu masalahnya kenapa diriku tidak
ikut diperkarakan?.
“Bagaimana jiwa Nurul bisa terancam Ustadz? Apa yang terjadi padanya, dan apa yang bisa saya lakukan untuk membantunya?”
“Kau tahu Nurul adalah puteri tunggal Bapak KH. Ja’far Abdur Razaq,
pengasuh pesantren besar di Jawa Timur. Selain cantik dia juga cerdas
dan halus budi. Sejak masih kelas satu aliyah sudah banyak kiai besar
yang melamar Nurul untuk puteranya. Nurul tidak mau. Ketika akhirnya
Nurul belajar di Al Azhar pinangan itu justru semakin banyak. Kiai
Ja’far ayah Nurul berkali-kali menelpon Nurul agar segera menentukan
pilihan pendamping hidupnya. Beliau merasa sangat tidak enak menolak
pinangan terus menerus. Apalagi jika pinangan itu datangnya jadi kiai
yang lebih senior dari beliau atau dari guru beliau. Jika Nurul sudah
tunangan atau menikah dengan seseorang yang dipilihnya tentu kedua orang
tua Nurul akan lebih tenang. Dan jika berjumpa dengan para kiai-kiai di
Jawa Timur tidak akan terbebani oleh sindiran-sindiran halus dari para
kiai yang meminang puterinya. Dua bulan yang lalu ayahnya menelpon ada
pinangan dari Kiai Rahmad untuk puteranya Gus Anwar. Kiai Rahmad ini
adalah gurunya ayah Nurul waktu mondok di Bandar Kidul Kediri. Ayah
Nurul tidak bisa menolaknya kecuali Nurul sudah memiliki seorang calon
di Mesir. Jika tidak, maka Nurul terpaksa harus menerima pinangan itu.
Inilah masalahnya.”
“Nurul sendiri bagaimana? Saya mendengar ada beberapa mahasiswa yang suka dengannya.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
171
“Memang ada beberapa mahasiswa yang mendekati dia secara baik-baik. Ada
yang secara langsung. Ada juga yang lewat kami atau teman satu rumahnya.
Tapi tak ada yang cocok di hatinya. Ternyata sejak dua tahun yang lalu
diam-diam Nurul telah kagum dan jatuh hati pada seseorang. Tapi
sayangnya Nurul tidak berani mengungkapkannya karena rasa malunya yang
tinggi. Ia berharap orang yang dicintainya terbuka hatinya dengan dan
meminangnya tapi sepertinya orang yang dicintainya tidak tahu kalau
Nurul mencintainya. Rasa cinta Nurul padanya membuncah dan tak bisa dia
sembunyikan sejak dua bulan yang lalu. Sejak ayahnya menelponnya untuk
menerima Gus Anwar atau mencari calon sendiri di Mesir yang shalih. Saat
itu dia menangis pada isteriku. Ia mengungkapkan seluruh isi hatinya.
Ia minta kepada isteriku untuk membantunya. Isteriku memberi saran untuk
berterus terang saja pada orang yang dicintainya itu. Tapi Nurul tidak
mau, ia sangat malu. Nurul minta pada isteriku agar aku yang bicara
dengan orang itu. Aku sangat sibuk sekali dan aku merasa tidak tepat
untuk bicara pada orang yang dicintai Nurul itu. Akhirnya aku merasa aku
perlu minta bantuanmu. Kau sangat dekat dengan orang itu. Sudah
berkali-kali Nurul bertanya padaku bagaimana hasilnya. Aku tidak bisa
menjawabnya. Sebab aku belum bertemu denganmu. Kau sibuk aku pun sibuk.
Baru kali ini aku bisa bertemu denganmu. Aku sangat berharap kau bisa
membantu.”
“Asal saya mampu, insya Allah Ustadz. Dia mahasiswi yang baik. Saya
salut dan kagum padanya. Meskipun telah menjabat sebagai Ketua Wihdah
tapi dia masih mau meluangkan waktu mengajar anak-anak baca Al-Qur’an di
Masjid Indonsia. Dia juga orang yang mudah diminta tolong. Sangat
kasihan memang kalau orang sebaik dia tidak mendapatkan apa yang
dicintainya. Namanya orang kalau sudah cinta itu susah untuk tidak
dipertemukan. Abu Bakar saja ketika ada seorang budak perempuan merana
karena mencintai Muhammad bin Qasim bin Ja’far bin Abi Thalib hati
beliau luluh. Beliau langsung menemui tuan pemilik budak itu dan
membelinya, lalu mengirimnya ke Muhammad bin Qasim bin Ja’far bin Abi
Thalib. Hal serupa juga dilakukan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Cinta memang tidak mudah. Orang Inggris bilang, Love is a sweet
torment. Cinta adalah siksaan yang mengasyikkan. Tapi jika orang terus
tersiksa
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
172
karena cinta, ia bisa binasa seperti Laila dan Majnun. Kebinasaan paling tragis adalah yang disebabkan oleh cinta,” jawabku.
Ustadzah Maemuna menyahut,
“Dan kami tak ingin melihat Nurul binasa karena cintanya pada pujaan hatinya.”
“Memangnya rasa cinta Nurul sampai seperti itu?” heranku.
“Sejak dua bulan yang lalu. Sejak ia menangis di pangkuanku, Nurul
sering menangis sendiri. Berkali-kali dia cerita padaku akan hal itu. Ia
ingin sekali orang itu tahu bahwa dia sangat mencintainya, lalu orang
itu membalas cintanya dan langsung melaksanakan sunnah Rasulillah. Nurul
anti pacaran. Tapi rasa cinta di dalam hati siapa bisa mencegahnya. Aku
tahu benar Nurul siap berkorban apa saja untuk kebaikan orang yang
dicintainya itu. Bantulah kami membuka hati orang itu?” kata Ustadzah
Maemuna.
“Insya Allah. Saya paling tak tahan melihat seseorang tersiksa batinnya.
Jadi siapakah orang yang sangat beruntung itu, orang yang dipuja dan
dicintai gadis shalihah seperti Nurul?” tukasku tenang. Dalam hati aku
merasa bersyukur bahwa aku mendapatkan seorang biadadari yang kucintai
tanpa harus melalaui siksaan batin serumit Nurul. Tenyata menjadi
seorang gadis tidak semudah menjadi seorang pemuda.
“Kau sangat mengenalnya kuharap kau tidak kaget mendengar namanya kusebut,” kata Ustadz Jalal.
“Santai saja Ustadz, insya Allah saya akan biasa saja,” jawabku santai.
“Orang yang dicintai Nurul, yang namanya selalu dia sebut dalam
doa-doanya, yang membuat dirinya satu minggu ini tidak bisa tidur entah
kenapa, adalah FAHRI BIN ABDULLAH SHIDDIQ!”
Mendengar namaku yang disebut aku bagaikan mendengar gelegar petir
menyambar telingaku. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku
dengar dari lisan ustadz Jalal.
“Siapa Ustadz, mungkin ustadz salah ucap?” tanyaku meyakinkan apa yang aku dengar.
“Aku tidak salah ucap Fahri. Kaulah orangnya. Nurul sangat mencintaimu.
Berkali-kali dia bicara denganmu langsung atau lewat telpon tapi dia
tidak berani
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
173
mengatakan itu. Dan sudah berkali-kali dia minta kami menemuimu
mengungkapkan isi hatinya padamu, tapi baru kali ini aku sempat.
Bagaimana Fahri kau bisa membantu Nurul bukan?”
Aku meneteskan air mata. Tetesan itu makin lama makin deras. Akupun
tergugu. Kenapa jalan takdirnya seperti ini? Kenapa berita yang
sebenarnya sangat membahagiakan hatiku ini datang terlambat. Satu-satu
nama seorang gadis yang bila kudengar hatiku bergetar adalah Nurul.
Nurul Azkiya. Berita yang seharusnya membuat hatiku berbunga-bunga itu
kini justru membuat hatiku terasa pilu. Dalam hati aku menyumpahi
kebiasaan buruk orang Jawa. Alon-alon waton kelakon! Jadinya selalu
terlambat. Jika dua bulan yang lalu Nurul mengucapkan tiga kata saja:
maukah kamu menikahi aku? Tak akan ada kepedihan ini. Sejak bertemu muka
dengan Aisha hatiku sepenuhnya dipenuhi rasa cinta kepadanya. Dan
beberapa jam lagi ikatan suci yang menyatukan cinta kami akan terjadi,
insya Allah.
Dengan terisak-isak kukatakan pada Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemunah,
“Oh, andaikan waktu bisa diputar kembali. It is no use crying over spilt
milk . Tak ada gunanya menangisi susu yang telah tumpah!”
Lalu kucoba menenangkan diri dan kujelaskan semuanya yang telah terjadi
atas diriku. Aku tak bisa menyembunyikan tangisku saat menceritakan
semuanya. Pertemuan dengan Aisha di Metro, diskusi dengan Alicia,
tawaran Syaikh Utsman, pertemuan dengan Aisha dan keluarganya, sampai
rencana akad nikah dan walimah yang tinggal menunggu jam D nya.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk Nurul Ustadz, apa. Seandainya Ustadz
jadi diriku apa yang bisa Ustadz lakukan?” kataku sambil tergugu, hatiku
merasa pilu. Seandainya Nurul dan Aisha datang bersamaan, aku tak perlu
istikharah untuk memilih Nurul. Aku lebih mengenal Nurul daripada
Aisha. Tapi siapa bisa menarik mundur waktu yang telah berjalan.
Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna menangis terisak-isak. Ustadz Jalal
merasa sangat menyesal dan sangat bersalah pada Nurul. Sudah
berkali-kali Nurul mendesaknya untuk menemui aku dan menjelaskan masalah
itu tapi Ustadz Jalal selalu mengulur waktu karena konsentrasi
memperbaiki disertasi doktoralnya. Yang ia sesalkan adalah kenapa beliau
tidak menyempatkan sepuluh menit saja
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
174
untuk menilpunku memberikan sekadar isyarat ada seorang yang
mencintaiku. Ustadzah Maemuna menangis tersedu-sedu, ia tak bisa
membayangkan pilunya hati Nurul. Hanya karena sebuah keterlambatan
sesuatu yang paling berharga bagi jiwanya tidak ia dapatkan.
Dalam tangisku aku merasa masalah Nurul ini adalah cobaan besar bagi
komitmenku atas semua kata-kataku di rumah Syaikh Utsman. Cobaan atas
cinta dan kesetiaanku pada Aisha. Bisa saja aku nekad membatalkan
kesepakatan dan semua rencana yang telah ditetapkan seperti dalam film
India. Akad Nikah toh belum terjadi. Mahar belum aku bayarkan. Aku juga
sama sekali belum pernah menyentuh Aisha. Melihat wajahnya juga baru
satu kali. Tapi jika aku melakukan hal itu, namaku akan ditulis dengan
lumpur hitam berbau busuk oleh sejarah. Aku akan menjadi orang munafik
paling menyakitkan hati orang-orang yang kucintai dan kuhormati seperti
Syaikh Utsman, Ummu Fathi, Eqbal Hakan Erbakan dan isterinya, dan
tentunya paling sakit dan terzalimi adalah Aisha. Kemudian seluruh
mahasiswa Turki di Mesir akan melaknat perbuatanku. Dan kelak ketika aku
berjumpa dengan Baginda Nabi beliau akan murka padaku karena aku telah
menyakiti perasaan sekian banyak umatnya. Aku tak mau itu terjadi. Lebih
dari itu aku tidak tahu seberapa panjang umurku ini. Jika aku
membatalkan pernikahan yang telah dirancang matang, aku tidak tahu
apakah Allah masih akan memberikan kesempatan padaku untuk mengikuti
sunnah Rasul. Ataukah aku justru tidak akan punya kesempatan
menyempurnakan separo agama sama sekali. Tidak selamanya perasaan harus
dituruti. Akal sehat adalah juga wahyu Ilahi.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
175
17. Ikatan Suci
Apa yang terjadi antara diriku dan Nurul adalah tragedi yang sangat
memilukan. Aku tak memungkiri, di dalam taksi selama perjalanan menuju
rumah Eqbal Hakan Erbakan, hatiku menangis. Aku ini siapa? Nurul sungguh
terlalu. Apakah dia bukan orang Jawa? Aku ini orang Jawa. Di Jawa,
seorang khadim kiai dan batur santri, anak petani kere, mana mungkin
berani mendongakkan kepala apalagi mengutarakan cinta pada seorang
puteri kiai. Dia sungguh terlalu menunggu hal itu terjadi padaku.
Semestinya dialah yang harus mengulurkan tangannya. Dia sungguh terlalu
berulang kali ketemu tidak sekalipun mengungkapkan perasaannya yang
mungkin hanya membutuhkan waktu satu menit. Atau kalau malu hanya dengan
beberapa baris tulisan tangannya tragedi ini tidak akan terjadi.
Menyatakan cinta untuk menikah di jalan Allah bukanlah suatu perbuatan
tercela. Dia sungguh terlalu. Tapi dia tidak keliru. Dia telah menempuh
jalan yang benar. Dia benar-benar gadis shalihah yang pemalu. Yang
terlalu sesungguhnya adalah Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna. Mereka
berdua sungguh terlalu. Atau justru aku yang terlalu dan begitu dungu.
rinai tangis dalam hatiku
bagai rintik hujan di kota
apa gerangan makna lesu
yang menyusup masuk kalbuku?94
Sampai di halaman rumah Eqbal aku melihat tiga mobil mewah berjajar.
Rumahnya ada di lantai tiga sebuah villa mewah tak jauh dari KFC Maadi.
Sebelum masuk kuhapus air mata, kutata hati dan jiwa. Aku berusaha
tersenyum. Aku disambut hangat oleh Eqbal dan tiga lelaki Turki.
Rumahnya tidak terlalu ramai. Eqbal memperkenalkan tiga lelaki Turki
yang berpakaian rapi itu.
“Ini Ismael Akhtar, Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Turki di Mesir, ini
sekjennya Ali Naar, sedangkan ini yang baru tiba dari Turki tadi pagi
adalah calon pamanmu Akbar Ali Faroughi, adik kandung ibunya Aisha.”
94 Dari penggalan puisi “Lagu Hujan” karya penyair Perancis Paul
Verlaine (1844-1896) terdapat dalam Puisi Dunia, Balai Pustaka, 1952,
hal. 88.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
176
Akbar Ali yang gagah itu memelukku erat dan berbisik, “Senang memiliki
keponakan seperti dirimu. Aisha sudah banyak bercerita tentangmu padaku.
Selamat datang di keluarga besar Ali Faroughi.”
Di ruang tamu itu kami berbincang-bincang sambil menunggu Aisha yang
sedang berdandan. Akbar Ali menceritakan silsilah keluarga besarnya agar
aku tahu jelasnya. Ali Faroughi ayahnya dan juga kakek Aisha adalah
asli Turki. Beliau lahir di kota Izmir dari keluarga pedagang kain.
Lulus sekolah menengah langsung diminta ayahnya merantau ke Istambul dan
membuka toko kain di sana. Beliau menuruti anjuran ayahnya. Bakat
bisnisnya luar biasa besar. Tokonya maju pesat sampai akhirnya bisa
membuat pabrik tekstil kecil-kecilan. Akhir tahun 1948 beliau menikah di
Yordan dengan seorang gadis pengungsi Palestina sebatang kara yang
seluruh keluarganya telah tewas dibantai Israel dan harta kekayaannya
juga dirampas. Gadis Palestina itu beliau bawa ke Istanbul. Enam tahun
kemudian, yaitu tahun 1954, lahirlah anak mereka yang pertama diberi
nama Alia Ali Faroughi. Alia itulah ibu kandung Aisha. Empat tahun
kemudian lahirlah Akbar Ali Faroughi dan jauh setelah itu, lima bekas
tahun kemudian baru lahir Sarah Ali Faroughi yang sekarang menikah
dengan Eqbal Hakan Erbakan. Ali Faroughi adalah pengikut setia Al-Imam
Asy-Syaikh Al-Mujaddid Badiuz Zaman Sa’id An-Nursi. Ali Faroughi wafat
pada tahun 1993 pada usia 73 tahun, meninggalkan tiga buah perusahaan
besar. Di antara ketiga anaknya itu yang paling cerdas dan ulet adalah
Alia. Dia selalu terbaik di sekolah menengah. Dia dokter terbaik lulusan
Istanbul University tahun 1976 dan langsung mendapat beasiswa ke Jerman
tahun itu juga. Di Jerman Alia mengambil spesialis jantung. Setelah
tiga tahun di Jerman ia menikah dengan seorang muallaf Jerman namanya
Rudolf Greimas, seorang pemilik swalayan. Tahun 1981 Aisha lahir. Dan
tahun 1982 Alia memperoleh gelar doktornya dengan predikat summa
cumlaude dan mengambil keputusan untuk tinggal dan bekerja di Jerman.
Yang menyedihkan tujuh tahun yang lalu, Alia tewas dalam sebuah
kecelakaan lalu lintas di sebuah jalur cepat yang berada pinggir kota
Munchen, meninggalkan Aisha yang masih belia. Aku baru tahu sebenarnya
Aisha telah lama kehilangan seorang ibu.
Kira-kira setengah jam sebelum azan ashar berkumandang, Sarah Ali
Faroughi, memberi tahu semuanya telah siap. Aku minta tolong pada Eqbal
agar
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
177
bisa melihat wajah Aisha sebelum berangkat. Aku ingin mengisi kembali
energi cintaku. Aku ingin menghilangkan segala galau dan melenyapkan
segala pilu yang masih terasa menyelimuti hatiku. Aku tak mau tragedi
Nurul menorehkan noda dalam hatiku. Aku harus melihat wajah Aisha yang
sinarnya akan menerangi semua kisi dan relung hatiku. Kesejukannya akan
menyiram jiwaku.
Eqbal tersenyum padaku dan menarik lenganku. Dia membawaku masuk ke
sebuah kamar di sana hanya ada tiga perempuan Turki semuanya telah
memaki cadar. Eqbal minta agar Aisha membuka cadarnya. Seorang perempuan
yang memakai abaya paling indah perlahan membuka cadar kuning
keemasannya. Perlahan wajah yang bercahaya itu tampak dan tersenyum
padaku. Aku memandangnya lekat-lekat. Aku tersihir oleh pesonanya. Tanpa
sadar hatiku bertasbih dan berpuisi:
alangkah manis gadis ini
bukan main elok dan ayu
calon isteriku
matanya berbinar-binar
alangkah indahnya
Setelah kurasa cukup, aku meminta Aisha memakai kembali cadarnya. Kami
pun berangkat dengan menggunakan tiga sedan Mercy. Aku bersama Eqbal dan
isterinya. Aisha bersama pamannya Akbar dan isterinya. Ketua Persatuan
Mahasiswa Turki bersama sekjennya. Selama dalam perjalanan aku lebih
banyak mengucapkan istighfar. Aku berharap saat ini keluarga di
Indonesia mengirimkan selaksa doa untukku. Mereka sudah aku beri tahu
detik-detik ini aku akan membuka lembaran hidup baru. Dalam perjalanan
sempat aku keluarkan pertanyaan yang mengganjal pada Eqbal, “Ayah Aisha,
Tuan Rudolf Greimas, bukankah masih hidup. Apakah beliau akan datang?”
“Beliau memang masih hidup tapi tidak akan datang dan Aisha juga tidak
terlalu menginginkan dia datang. Yang jelas dia sudah tahu puterinya
akan menikah dengan mahasiswa Indonesia. Tentang Rudolf Greimas nanti
tanyakanlah sendiri pada Aisha, kenapa sampai dia tidak mengharapkan
kedatangannya,” jawab Eqbal Hakan.
* * *
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
178
Tepat saat adzan ashar berkumandang kami sampai di masjid tempat akad
nikah akan dilangsungkan. Sudah banyak teman-teman mahasiswa Indonesia
dan mahasiswa Turki yang sampai di sana. Aisha dan dua bibinya langsung
menuju lantai dua tempat jamaah wanita. Aku menyalami teman-teman.
Mereka semua tersenyum dan mengucapkan selamat padaku. Usai shalat ashar
acara akad nikah dimulai.
Acara dilangsungkan di depan mihrab masjid. Syaikh Ustman, Syaikh
Prof.Dr. Abdul Ghafur Ja’far, Bapak Atdikbud, Eqbal Hakan Erbakan, Akbar
Ali dan beberapa syaikh Mesir yang diundang Syaikh Ustman duduk dengan
khidmat tepat di depan mihrab menghadap ke arah jamaah dan hadirin yang
memenuhi masjid. Rupanya saat shalat Jum’at tadi telah diumumkan akan
ada acara akad nikah antara mahasiswa Indonesia dan muslimah Turki,
sehingga orang Mesir yang ada di sekitar masjid penasaran dan masjidpun
penuh. Aku duduk di sebelah kanan Akbar Ali. Di barisan depan hadirin
tampak ketua PPMI dan pengurusnya, teman-teman satu rumah, Syaikh Ahmad
Taqiyyuddin, teman-teman Mesir di program pasca dan Bapak M. Saeful Anam
dari bagian Konsuler KBRI yang akan mencatat kejadian penting ini untuk
mengeluarkan surat nikah resmi. Rudi yang paling suka pegang tustel
sibuk membidikkan kameranya. Dua orang mahasiswa Turki juga sibuk
mengabdikan peristiwa bersejarah ini dengan handycam dan kamera.
Yang menjadi pembawa acara adalah Ismael Akhtar, Ketua Umum Persatuan
Mahasiswa Turki di Mesir. Bahasa Arab fushanya indah. Acara dibuka
dengan basmalah dan pembacaan kalam Ilahi. Lalu sambutan singkat dari
keluarga mempelai perempuan yang disampaikan Eqbal. Sambutan singkat
dari keluarga mempelai pria oleh Syaikh Utsman. Barulah akad nikah.
Pihak wali perempuan mewakilkan Syaikh Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far
untuk menikahkan Aisha.
Syaikh Abdul Ghafur Ja’far, yang tak lain adalah pembimbingku menulis
tesis itu maju dan duduk di tengah lingkaran. Akbar Ali dan Eqbal Hakan
menuntunku maju dan duduk di hadapan Syaikh. Mereka berdua mendampingku.
Pak Atdikbud juga maju, duduk di samping Syaikh sebagai saksi. Ismael
Akhtar juga maju sebagai saksi. Saiful ikut maju membawakan mahar. Aku
sempat AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
179
melirik ke lantai dua. Aisha dan kedua bibinya serta ratusan muslimah di
sana memandang ke bawah. Ke arah prosesi sakral ini dilangsungkan.
Sebelum memulai mengakad Syaikh Abdul Ghafur meminta kepada semua
hadirin untuk beristighfar, mensucikan hati dan jiwa. Lalu meminta
kepada semuanya untuk bersama-sama membaca dua kalimat syahadat. Aku
meneteskan air mata, hatiku basah. Aku belum pernah merasakan suasana
sedemikian sakralnya. Syaikh Abdul Ghafur menjabat tanganku erat, lalu
mewakili wali menikahkan diriku dengan Aisha. Dan dengan suara
terbata-bata namun jelas aku menjawab dengan penuh kemantapan hati:
“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur, ala manhaji kitabillah
wa sunnati Rasulillah! Aku terima nikah dan kawin dia (Aisha binti
Rudolf Kremas) dengan mahar yang telah disebut, di atas manhaj kitab
Allah dan sunnah Rasulullah!”
Spontan dari lantai dua terdengar wanita-wanita Mesir melantunkan
zaghrudah95 yang melengking indah. Dan Syaikh Abdul Ghafur membimbing
seluruh hadirin untuk mengucapkan doa yeng telah diajarkan oleh
Rasulullah Saw.:
“Baralallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fi khair!”96
Masjid pun berdengung-dengung oleh doa seluruh hadirin. Hatiku terasa
sejuk sekali. Air mataku terus melelah tiada henti. Aku tiada henti
mengucapkan hamdalah dalam hati. Setelah itu disambung khutbah nikah
yang dibawakan Syaikh Ahmad. Khutbah yang singkat, padat, namun membuat
hatiku bergetar hebat. Diakhiri dengan doa yang dipimpin Syaikh Utsman,
doa yang membuat diriku lebur dalam keagungan tanda-tanda kekuasaan
Tuhan.
Selesai doa, Syaikh Utsman membimbing hadirin untuk melantunkan thalaal
badru, lagu kebahagiaan yang dinyanyikan kaum Anshar saat menyambut
kedatangan Nabi Muhammad Saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq di madinah
setelah menempuh perjalanan hijrah yang panjang dan melelahkan. Para
hadirin berdiri, menyalami dan merangkulku satu persatu sambil
membisikkan doa
95 Siulan khas wanita Arab sebagai ungkapan kegembiraan.
96 Semoga berkah Allah tetap untukmu, dan semoga berkah Allah tetap ke
atasmu dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.
(Hadits diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad)
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
180
barakah diiringi lantunan thalaal badru. Gerimis di hatiku tidak mau
berhenti. Air mata terus saja meleleh. Aku kini telah memiliki seorang
isteri. Subhanallah, wal hamdulillah, wa laa ilaaha illallah, Allahu
akbar!
* * *
Seperti kesepakatan setelah akad nikah kami tidak langsung zafaf. Malam
zafaf adalah setelah walimah. Dua hari lagi. Sampai rumah teman-teman
menggodaku habis-habisan. Aku tanyakan pada mereka apa sudah bisa
menghubungi keluarga Tuan Boutros. Belum bisa. Tidak enak rasanya jika
mereka tidak menghadiri walimah nanti. Meskipun berbeda agama mereka
sudah seperti keluarga sendiri.
Pukul dua belas malam teman-teman sudah tidur. Tapi aku sama sekali
tidak bisa memejamkan mata. Aku ingat banyak hal. Aku menelusuri kembali
perjalanan hidupku. Sejak masih SD, jualan tape. Lalu masuk pesantren
menjadi khadim Romo Kiai sambil melanjutkan sekolah di Tsanawiyah dan
Aliyah milik pesantren. Dan akhirnya dengan susah payah bisa sampai
Mesir. Aku menangis sendiri ditemani sepi.
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Kulihat ada yang memanggil. Aisha!
Hatiku berdegup kencang. Aku menyeka air mata dan menata perasaan.
Kuangkat:
“Fahri?”
“Ya.”
“Kasihku, aku yakin kau belum tidur. Kau tidak bisa tidur. Kau pasti
sedang memikirkan aku. Ya ‘kan?” Dan klik. Diputus. Aku belum sempat
menjawab.
Aku gemes sekali padanya. Pada Aisha. Ia menggodaku. Kukirim sms padanya. Sebab jika kutelpon takut tidak dia angkat. Percuma.
“Aisha, aku sangat merindukanmu.” Tulisku.
“Aku sudah tahu. Bersabarlah. Allah mencintai orang-orang yang
bersabar.” Jawab Aisha. Aku menghela nafas panjang. Aku ingin shalat
malam.
* * *
Pagi hari, usai shalat shubuh, di masjid Al Fath Al Islami, seluruh
jamaah yang mengenalku mengucapkan selamat. Rupanya Syaikh Ahmad telah
memberi
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
181
tahu mereka. Dan Syaikh Ahmad mengajakku ke kamarnya di belakang mihrab. Beliau memberikan kabar bahagia mengenai Noura.
Alhamdulillah kebenaran itu terkuat juga. Dari tes DNA, gen Noura tidak
sama dengan gen Si Muka Dingin Bahadur dan isterinya yaitu Madame
Syaima. Gen Noura justru sama dengan milik suami isteri bernama Tuan
Adel dan Madame Yasmin yang kini jadi dosen di Ains Syam University yang
saat itu melahirkan bayinya bersamaan harinya dengan Madame Syaima. Dan
Nadia gadis yang selama ini mereka besarkan dengan penuh kasih sayang
sama gennya dengan Si Muka Dingin Bahadur dan Madame Syaima. Dua bayi
itu tertukar. Noura memang mirip sekali dengan Madame Yasmin dan Si
Nadia mirip dengan Madame Syaima. Mereka telah menemukan orang tua
masih-masing. Noura bahagia dan Nadia nelangsa. Untungnya Tuan Adel dan
Madame Yasmin tetap meminta Nadia tinggal bersama mereka. Sebab Nadia
telah dianggap sebagai anaknya sendiri. Si Muka Dingin Bahadur sedang
diproses atas segala kejahatannya. Mendengar kabar bahagia itu aku
merasa sangat bahagia. Gadis innocent yang lembut itu akhirnya
benar-benar menemukan taman kebahagiaan yang selama ini hilang.
Usai dari masjid aku mengajak musyawarah teman-teman satu rumah. Tak
lama lagi aku akan meninggalkan mereka. Iuran sewa rumah bulan depan aku
bayar sekalian. Jadi mereka tidak bertambah beban meskipun aku tidak
lagi satu rumah dengan mereka. Namun aku minta tolong kepada mereka agar
bulan berikutnya sudah ada yang menggantikan aku. Teman-teman rela
melepaskan aku dan mendoakan semoga hidup bahagia. Mereka minta agar aku
tidak segan dan masih sering main ke Hadayek Helwan. Mereka bertanya
aku akan tinggal di mana. Aku menjawab, “Belum tahu. Semua yang mengurus
isteri tercinta!” Kontan mereka menyahut bareng, “Enaknya punya isteri
gadis Turki yang shalehah seperti Aisha!” Aku tersenyum mendengarnya.
Pukul sembilan Paman Eqbal—setelah akad nikah aku harus memanggilnya
paman—dan tiga mahasiswa Turki datang kembali dengan pick up. Hendak
mengangkut semua barangku yang tersisa. Dia belum juga mau mengatakan
rumah yang akan kami tempati itu di mana. “Nanti kau akan tahu juga!”
jawabnya enteng.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
182
Hari berikutnya adalah pesta walimatul ursy di Darul Munasabat Masjid
Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Sejak ashar aku telah berada di rumah
mahasiswa Turki yang telah berkeluarga di Hadidar Toni Street. Namanya
Subhan Tibi. Isterinya bernama Laila Belardi. Mereka teman baik Paman
Eqbal dan Bibi Sarah. Di rumah mereka yang letaknya kira-kira satu
kilometer dari lokasi walimah, aku dan Aisha dirias ala pengantin Turki.
Aisha benar-benar seperti bidadari. Tapi elok wajahnya tersembunyi di
balik cadar tipis keemasan. Dan inilah untuk pertama kali kami duduk
bersanding di dalam mobil mewah. Selama dalam perjalanan menuju tempat
walimah aku tak berani menyentuhnya. Kelihatannya Aisha gemes melihat
ketidakberanianku. Ia meletakkan tangannya di atas telapak tanganku.
Dengan ragu-ragu aku memegang tangannya. Dan hatiku berdesir hebat.
Itulah untuk pertama kalinya aku memegang tangan halus seorang gadis.
Pesta walimah sangat meriah. Di mulai tepat setelah ashar. Ada panggung
di depan. Tempat lelaki dan wanita di pisah dengan satir. Pengantin
lelaki berbaur dengan undangan lelaki dan pengantin wanita berbaur
bersama pengantin wanita. Panggung yang indah itu rupanya untuk hiburan.
Tim Shalawat Turki menunjukkan kebolehannya. Juga tim nasyid Indonesia.
Ada juga pantomim, sumbangan dari teman-teman KSW. Tadzkirah di
sampaikan oleh Dr. Akram Ridha, pakar psikologi yang juga seorang dai
terkemuka di Kairo. Semua berjalan dengan sangat mengesan bagi siapa
saja yang hadir malam itu.
Setelah acara berakhir, dan tamu undangan telah banyak yang pulang,
Paman Eqbal membawaku ke tempat pengantin wanita. Di sana ternyata ada
pelaminan yang telah dihias indah. Aisha sudah duduk manis duduk di
sana. Aku diminta untuk duduk di sampingnya untuk diabadikan dalam foto
dan video.
Aisha minta dipangku dan disuapi kue. Lalu minta dibopong dan digendong.
Ia juga minta difoto dalam gaya-gaya dansa. Ada-ada saja. Ia sangat
mesra dan manja. Tapi ia sangat tahu menjaga diri, ia tidak minta dicium
saat itu. Kemesraan kami yang tak lama itu tidak ada yang melihat
kecuali beberapa muslimah, Paman Eqbal dan Paman Akbar Ali. Saat adzan
maghrib berkumandang dari menara masjid. Aku dan Aisha telah berada di
dalam Limousin meluncur menuju tempat untuk malam zafaf. Menjadi sopir
kami adalah Paman Eqbal Hakan Erbakan, isterinya Sarah duduk
disampingnya dengan si
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
183
kecil Hasan di pangkuannya. Di belakang kami mobil Paman Akbar Ali
membuntuti. Ia bersama isterinya dan si kecil Amena. Selama dalam
perjalanan kami diam tanpa bicara apa-apa namun tangan kami erat
berpegangan.
Mobil kami terus melaju. Lampu-lampu telah menyala seperti
bintang-bintang. Langit merah bersemburat indah. Mobil melaju diatas
jalan layang yang membelah Ramsis. Terus ke Barat. Apakah Paman Eqbal
akan membawa kami ke hotel? Aku tidak tahu. Semua mahasiswa Indonesia
yang menikah di Cairo tidak ada yang menghabiskan malam pertama di
hotel. Semuanya menghabiskan malam pertama di rumah kontrakan yang
sederhana. Di depan sudah tampak sungai Nile. Kami melewati Ramses
Hilton. Mobil terus melaju. Aisha menyandarkan kepalanya di pundakku.
Aku merasakan suasana yang sangat indah. Kami berada di atas Jembatan
6th Oktober yang menyeberangi sungai Nil. Restauran dan nigh club
terapung telah menyalakan lampunya. Di depan sana agak ke selatan di
tengah daratan seperti pulau di tengah sungai Nil tampak Cairo Tower
menjulang tinggi. Daratan yang dikelilingi sungai Nile itu disebut
daerah El-Zamalik. Kawasan yang sangat elite dan indah. Eqbal
membelokkan mobil dan turun dari jembatan ke El-Gezira Street. Kami
berada di daerah El-Zamalik. Mobil terus berjalan ke utara menyusuri
pinggir sungai Nil. Melewati Cairo Marriot Hotel. Melewati Kedutaan
Swedia. Akhirnya sampai di Muhamad Mazhar Steet. Di sebuah gedung
bertingkat dua belas yang berada tepat di pinggir sungai Nile kami
berhenti.
Paman Eqbal membawa kami masuk. Di dalam gedung dekat tangga naik dan
lift ada dua penjaga berdasi dan membawa senapan otomatis. Paman Eqbal
berbincang dengan mereka sebentar lalu menarik lenganku.
“Ini saudara saya, Fahri Abdullah dari Indonesia, dia nanti yang akan
menempati flat nomor 21 bersama isterinya. Mereka berdua akan
menggantikan Mr. Edward Minnich yang telah pindah bulan yang lalu.”Kata
Paman Eqbal memperkenalkan diriku. Dua penjaga itu tersenyum dan
menjabat tanganku sambil berkata, “Selamat datang di apartemen ini
pengantin baru!” Penampilanku dan Aisha memang mudah sekali ditebak.
Kami lalu masuk lift dan naik ke lantai tujuh. Tiap lantai ada tiga
flat. Flat nomor, 19, 20 dan 21 berada dalam satu lantai. Paman Eqbal
membuka pintu flat
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
184
nomor 21. Kami masuk. Paman Eqbal menyalakan lampu. Dan tampaklah sebuah
ruangan tamu yang mewah. Lebih mewah dari rumah Bapak Atase Pendidikan
di Dokki. Kami duduk di sofa yang empuk. Tak lama kemudian Paman Akbar
Ali dan isterinya masuk. Mereka langsung duduk.
“Gimana pengantin baru, kalian sudah siap?” tanya Paman Eqbal sambil tersenyum.
Aku diam tidak menjawab kecuali dengan senyum.
“Baiklah Fahri, kau berbahagialah malam ini bersama isterimu. Kami tidak
akan lama-lama di sini. Ini kuncinya peganglah. Dua penjaga itu yang
hitam namanya Hosam dan yang kuning namanya Magdi. Kau sudah lama di
Mesir jadi kau tidak akan asing berada di sini. Jika ada apa-apa telpon
aku. Kami pamit dulu. Semoga umur kalian penuh berkah.” Pamit Paman
Eqbal sambil berdiri dari duduknya.
“Aisha dan kau Fahri, kami juga pamit. Malam ini juga kami akan terbang
ke Istanbul. Sudah tiga hari kami di sini. Nanti kalau ada waktu kami
akan mengunjungi kalian,” kata Akbar Ali Faraughi, paman Aisha. Aisha
memeluk pamannya dengan mata berkaca-kaca. Lalu gantian aku memeluknya,
dan dia berbisik, “Jaga dia baik-baik Fahri, aku percaya padamu!”
“Insya Allah, paman. Doanya. Salam buat seluruh keluarga di Turki.”
jawabku. Kulihat Aisha lalu berpelukan dengan Elena Hashim, isteri Akbar
Ali. Setekah itu ia memeluk bibinya, Sarah Ali Faraughi dengan tangis
pecah.
“Aisha kau sudah hidup di dunia baru. Kuatkanlah dirimu dengan takwa.
Minta tolonglah kepada Allah dengan shalat dan kesabaran. Dan layanilah
suamimu dengan sebaik-baiknya. Ridha suamimu adalah surgamu,” suara Bibi
Sarah terdengar parau.
Mereka lalu beranjak keluar. Satu persatu meninggalkan pintu. Kami
mengantar sampai di pintu. Terakhir Paman Eqbal memeluk diriku sambil
berkata, “Fahri, kau tentu ingat pelajaran hadits di kuliah, Rasulullah
bersabda, ‘Orang pilihan di antara kalian adalah yang paling berbuat
baik kepada perempuan (isteri)nya.’ Kumohon, muliakanlah isterimu.
Bawalah dia hidup di jalan yang diridhai Allah!’
“Insya Allah, doakanlah kami,” jawabku.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
185
Tak lama kemudian mereka hilang di telah pintu lift. Kami masuk kembali ke dalam flat dan menutup pintu.
* * *
Mereka telah pergi meninggalkan kami berdua. Kami salah tingkah. Wajah
Aisha merona. Tubuhku panas dingin. Kami merasa sama-sama canggung mau
berbuat apa. Tapi kami merasa itulah indahnya.
“Kita belum shalat maghrib,” lirih Aisha. Ia masih berdiri tak jauh di
depanku dengan wajah menunduk. Aku tersadar, waktu sudah mepet, aku
harus segera memberanikan diri melakukan sesuatu. Ada sunnah Rasulullah
yang harus aku amalkan ketika untuk pertama kalinya berada dalam satu
kamar atau satu rumah dengan pengantinku. Aku bergerak mendekati Aisha
dan menggamit tangannya.
“Kamar kita di mana, Sayang?” tanyaku pelanku.
“Sini,” jawab Aisha sambil melangkah ke sebuah kamar.
Pintu kubuka. Gelap. Lampu kunyalakan, tampaklah kamar pengantin yang
berhias indah, wangi dan sangat romantis. Kuajak Aisha duduk di ranjang.
Aku membaca basmalah dengan segenap penghayatan akan ke-MahaRahman-an
dan ke-Maharahim-an Allah. Lalu kupegang ubun-ubun kepala Aisha dengan
penuh kasih sayang sambil berdoa seperti yang diajarkan baginda Nabi,
“Allaahumma, inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa
a’udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha! Ya Allah, sesungguhnya
aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon
perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya. Amin.”97
Kulihat Aisha memejamkan kedua matanya dan dari mulutnya terdengar
amin..amin..amin, berkali-kali. Ia sudah mengerti bagaimana memasuki
malam zafaf agar pernikahan penuh berkah. Setelah itu kulanjutkan dengan
doa yang diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkaar,
“Baarakallaahu likulli waahidin minna fi shaahibihi. Semoga Allah
membarakahi masing-masing di antara kita terhadap teman hidupnya.”
97 Sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Ibnu Sinni.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
186
Lalu kukecup ubun-ubunnya sambil menangis dan mengulang doa itu
berkali-kali. Aisha terus mengucapkan amin..amin..amin, dengan air mata
meleleh di pipinya.
Barulah kuajak Aisha untuk mengambil air wudhu dan shalat maghrib
berjamaah. Setelah shalat maghrib membaca dzikir, shalat sunnah
ba’diyah, membaca wirid dan doa rabithah. Menjelang Isya kuajak Aisha
untuk shalat sunnah bersama sebagaimana dilakukan salafush shalih, agar
pernikahan kami ini penuh barakah. Selesai shalat aku membaca doa
sebagaimana diajarkan baginda nabi dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
Abdullah bin Mas’ud,
“Allaahumma baarik li fi ahli, wa baarik lahum fiyya. Allaahumma ijma’
bainana ma jama’ta bikhair, wa farriq bainana idza farraqta ila khair.
Ya Allah, barakahilah bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah
mereka kepadaku. Ya Allah, kumpulkan antara kami apa yang engkau
kumpulkan dengan kebaikan, dan pisahkan antara kami jika engkau
memisahkan menuju kebaikan. Amin.”
Di belakangku Aisha khusyu mengucapkan amin..amin..amin, kabulkan ya
Allah, kabulkan ya Allah, kabulkan ya Allah, dengan rahmat dan kasih-Mu.
Usai shalat dan berdoa aku berbalik menghadap Aisha, aku hendak mengelus
kepalanya. Aisha malah mencium tanganku sambil terisak-isak. Adzan Isya
berkumandang. Kupegang kepala Aisha dengan kedua tanganku. Kupandangi
lekat-lekat wajahnya yang jelita. Kuseka air mata yang melelah di
pipinya.
“Fahri, aku mencintaimu.” Ia mengucapkannya dengan penuh kesungguhan.
“Aku juga mencintaimu, Aisha,” jawabku sambil mengecup keningnya penuh cinta.
“Kecupan pertama yang tak akan pernah kulupa,” lirih Aisha.
“Aisha, cinta Tuhan memanggil-manggil kita. Saatnya shalat Isya. Aku ke
masjid dulu untuk shalat berjamaah. Kau shalat di rumah saja ya. Dalam
suasana seperti apapun shalat fardhu adalah utama.”
Dia mengangguk.
“Tapi selesai shalat langsung pulang. Jangan lama-lama di masjid. Shalat sunnahnya di rumah saja.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
187
18. Saat-saat Indah di Tepi Sungai Nil
Di masjid aku bertemu Magdi penjaga apartemen. Aku sangat senang ada
polisi yang rajin berjamaah seperti dia. Aku berbincang dengannya
sebentar. Dia ternyata sekolah menengahnya dulu di Ma’had Al Azhar,
Damanhur. Dan dia bukan satpam biasa, tapi polisi khusus yang ditugaskan
untuk menjaga keamanan beberapa diplomat yang tinggal di apartemen itu.
Ketika kukenalkan diriku dia sangat senang sekali. Lalu aku dikenalkan
pada imam masjid yang bernama Syaikh Abdurrahim Hasuna. Beliau senang
sekali berkenalan denganku. Beliau bahkan mempersilakan diriku untuk
melihat perpustakaan pribadinya jika aku memerlukannya. Aku senang
dengan tawarannya.
Selesai shalat berjamaah dan berdzikir secukupnya aku langsung pulang.
Shalat sunnah di rumah saja. Aku tak ingin Aisha menunggu lama. Usai
shalat sunnah Aisha telah siap dengan penampilan yang membuat seorang
suami senang. Penuh pesona. Parfumnya segar. Ia benar-benar mengerti
hukum memakai parfum. Selama memakai gaun pengantin di acara walimah, ia
sama sekali tidak memakai parfum. Justru ketika di rumah berduaan
denganku ia memakainya.
Aisha mengajakku ke balkon. Ia telah mempersiapkan segalanya. Isteri
yang baik. Lampu balkon ia matikan. Kaca riben menutup balkon rapat.
“Ini kaca khusus, aman dari pandangan luar tapi tidak mengurangi
jernihnya kita memandang keluar, bahkan menambah kejernihan pandangan di
malam hari. Kalau mau kita juga bisa membuka kaca ini.” Kata Aisha
sambil seluruh menyibak sebagian gorden yang masih menutupi balkon. Dan
tampaklah panorama sungai Nil malam hari.
Posisi balkon rumah kami sangat strategis. Tepat menghadap ke sungai Nil
Dari ketinggian lantai tujuh kami bisa melihat kerlap-kerlip lampu
gedung-gedung nun jauh di sana. Kami bisa melihat indahnya riak sungai
Nil tertimpa cahaya lampu kota. Gemerlap lampu-lampu hias dari
perahu-perahu kecil yang bergerak pelan. Mobil-mobil yang seperti semut
di sepanjang kornes Nil sana. Pesona Cairo Plaza Tower yang menjulang
megah. Juga Imbaba Brige, salah satu jembatan terpenting yang melintas
di atas sungai Nil.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
188
Apartemen di mana kami berada memang terletak di ujung utara pulau di
tengah sungai Nil. Inilah salah satu keindahan kota Cairo. Kota Cairo
dibelah oleh sungai Nil yang mengalir dari selatan ke utara. Dan di
tengah kota Cairo sungai Nil ini terbelah menjadi dua, di mulai dari
selatan di dekat Tahrir dan kembali menyatu di dekat Imbaba. Daratan
mirip pulau Samosir berbentuk pisang yang berada ditengah belahan sungai
Nil ini terbagi dua kawasan, yang selatan disebut El-Gezira dan yang
utara di sebut El-Zamalik. Di daratan—yang aku lebih suka menyebut pulau
di tengah sungai Nil—ini berdiri bangunan-bangunan penting. Di ujung
selatan berdiri hotel mewah Gezira Sheraton dan El-Burg. Juga Cairo
Opera House, Cairo Tower, Egyptian Civilization Musium, National
Sporting Club dan Nile Aquarium and Grotto ada di pulau ini. Sekali lagi
aku lebih senang menyebutnya pulau. Di dekat 26 July Bridge yang
melintas di atas pulau ini berdiri Cairo Marriott Hotel yang mewah.
Beberapa kedutaan negara asing seperti Jerman, Belanda, Swedia, Albania,
Argentina, Pakistan dan lain sebagainya ada di pulau ini. Di ujung
utara, tak terlalu jauh dari aparteman kami berdiri President Hotel.
Memang sangat nyaman menghabiskan malam di tempat yang nyaman dan
romantis seperti ini.
Di balkon, ada kursi malas khas Mesir yang sangat nyaman untuk
bermesraan berdua. Orang-orang menyebutnya kursi Cleopatra. Ada dua
bantal di atasnya. Di sampingnya ada meja kayu kecil di mana Aisha
meletakkan dua gelas susu. Mula-mula kami berdua duduk biasa. Kami masih
canggung. Kami salah tingkah. Kami tak tahu dari mana kami mulai. Tak
sepatah kata pun keluar menjadi perantara. Tak terasa keringat dingin
malah mulai keluar. Ada rasa gelisah yang entah menyusup dari mana.
Mungkin Aisha mengalami hal yang sama. Tak mungkin dia yang memulai.
Aku mencoba menghilangkan kegelisahan dan kecanggunganku dengan mengambil minuman yang dibuat Aisha. Kucicipi sedikit.
“Kenapa susunya rasanya asin seperti diberi garam ya?” Pelanku pada Aisha.
“Be..benarkah?” Aisha sedikit kaget.
“Iya. Coba kau rasakan!”
Aisha mengambil gelas dari tanganku dan merasakannya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
189
“Ah, manis. Tidak asin,” katanya.
Gelas itu kembali kuminta dan kurasakan.
“Sayang, asin begini kok dibilang manis. Mungkin bukan gula yang kau
masukkan tapi garam. Coba kau rasakan lagi!” Aisha kembali mencicipi.
Dia memandangku dengan sedikit heran.
“Ini manis Fahri, tidak asin!”
“Aishaku sayang ini asin! Cobalah julurkan lidahmu dan masukkan ke dalam
minuman itu. Lalu rasakanlah dengan seksama. Pasti kau akan merasakan
asinnya. Kau terlalu sedikit mencicipinya. Lidahmu mungkin kurang peka.”
Aisha menuruti kata-kataku. Ia menjulurkan lidahnya ke dalam gelas.
Sesaat lidahnya seperti mengaduk-aduk air susu di dalam gelas itu.
“Tidak Fahri, tidak asin! Lidahmu yang mati rasa, bukan lidahku!” Suaranya terdengar lebih tegas.
“Benarkah? Coba!”
“Nih.”
Aku lalu meminumnya sampai tiga teguk.
“Hmm..setelah lidahmu menyentuhnya dan mengaduk-aduknya, minuman ini
jadi manis sekali. Belum pernah aku meminum minuman semanis ini. Memang
benar sabda nabi jika seorang bidadari di surga meludah ke samudera maka
airnya akan jadi tawar rasanya. Dan lidahmu mampu merubah susu yang
asin ini jadi manis, Bidadariku.”
“Sialan kau Fahri, kau mengerjaiku ya!” seru Aisha sambil mencubit pahaku manja.
Suasana jadi cair dan romantis. Rasa canggung pun hilang.
Aisha menyandarkan kepalanya ke dadaku. Aku beringsut merubah posisi
duduk. Kupasang bantal di kepala dan kurebahkan tubuhku ke sandaran
kursi yang dilapisi busa empuk . Kutarik tubuh Aisya rebahan di dadaku.
Aku bebas membelai-belai rambutnya atau memeluknya. Di langit sana
bintang-bintang kedap-kedip seperti mata para bidadari yang mengerling
cemburu kepada kami. Hati terasa sejuk dan bahagia. Inilah yang
membedakan yang halal dan yang haram. Bermesraan dengan perempuan yang
halal, istri yang sah, adalah ibadah
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
190
yang dipuji Tuhan. Sedangkan bermesraan dengan perempuan yang tidak halal adalah dosa yang dilaknat Tuhan.
Tuhan telah membukakan pintu-pintu kenikmatan yang mendatangkan pahala,
maka alangkah bodohnya manusia yang menyia-nyiakannya. Lebih bodoh lagi
yang memilih pintu dosa dan neraka.
Sambil memandang keindahan panorama sungai Nil malam hari, tanpa kuminta
Aisha mulai bercerita tentang dirinya, ibunya dan ayahnya,
“Kurasa ibuku adalah wanita paling mulia di dunia. Ia muslimah sejati
yang menempatkan ibadah dan dakwah di atas segalanya. Dan aku sangat
beruntung terlahir dari rahimnya. Ketika berumur 22 tahun ibuku menjadi
lulusan terbaik fakultas kedokteran Universitas Istanbul. Saat itu
beliau dilamar anak pejabat yang menjanjikannya akan membuatkan rumah
sakit terbesar di Turki. Tapi beliau tolak, sebab anak pejabat itu
sangat sekuler dan sama sekali tidak menghargai ajaran agama. Dalam
padangan beliau, seandainya menikah dengannya sangat sedikit sekali
peluang untuk menariknya ke jalan yang lurus hanya akan membuang tenaga.
Beliau memilih mengambil beasiswa ke Jerman. Dalam keyakinan ibu,
menekuni bidang ilmu dengan serius adalah dakwah. Dalam waktu dua tahun
beliau mampu meraih gelar master untuk spesialis jantung. Padahal master
di Jerman rata-rata empat tahun. Saat itu juga beliau diterima bekerja
di sebuah rumah sakit di Munchen sambil meneruskan program doktor. Di
Turki, pinangan untuk ibu silih berganti berdatangan dari kolega dan
kenalan bisnis kakek. Tapi ibu ingin pernikahannya ada nilai dakwahnya.
Ibu ingin mendapatkan kehormatan yang lebih baik dari terbitnya
matahari, yaitu menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang.
Ibu pernah berkunjung ke Swiss dan berkenalan dengan Wafa Al Banna,
puteri Hasan Al Banna yang saat itu tinggal di sana bersama suaminya Dr.
Said Ramadhan. Sebuah perkenalan yang berarti bagi ibu untuk semakin
mantap menapak di jalan dakwah. Berislam, menurut ibu tidak berarti
harus memusuhi Barat. Tetapi justru memperjuangkan Islam lewat Barat.
Ibu seringkali bertanya pada orang-orang muslim di Eropa, di Jerman
khususnya, ‘Apa kontribusi yang telah diberikan seorang muslim di Barat
untuk dunia?’
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
191
Akhirnya pada tahun 1979 ada seorang konglomerat pemilik swalayan di
beberapa kota besar di Jerman mendatangi Islamic Centre dan menyatakan
ketertarikannya kepada Islam. Ia tertarik kepada Islam karena hukum
keluarga dalam syariat Islam yang indah. Yang mengatur sedemikian detil
hak dan kewajiban suami isteri. Dalam syariat Islam peselingkuhan adalah
dosa besar. Dan syariat telah memberikan pagar yang kuat yang jika
pagar itu tidak dilanggar maka tidak akan ada perselingkuhan yang
merusak tatanan keluarga dan masyarakat. Konglomerat itu sangat tertarik
dengan itu semua. Dia secara materi memang cukup tapi batinnya kering.
Dia telah menikah dengan tiga orang wanita Eropa tapi semuanya
berselingkuh dan perkawinannya dengan mereka selalu gagal. Dia ingin
seorang isteri yang setia. Dia ingin membuktikan apakah benar wanita
muslimah adalah wanita yang setia. Dia siap masuk Islam jika ada seorang
muslimah yang bersedia jadi isterinya yang setia. Mendengar hal itu ibu
langsung menyatakan kesediaannya menikah dengan lelaki setengah baya
itu. Umur ibu saat itu 25 tahun dan umur lelaki itu 45 tahun. Terpaut 20
tahun. Jadi konglomerat itu lebih pantas menjadi ayah ibu. Banyak orang
menyayangkan keputusan ibu. Aku sendiri, seandainya jadi ibu tidak akan
sekuat itu. Keluarga di Turki hampir semua tidak setuju kecuali nenek.
Wanita asli Palestina itu satu-satunya yang justeru setuju. Demi dakwah,
nyawa pun dipertaruhkan, kata nenek saat itu. Akhirnya kakek merestui
juga. Jadilah ibu menikah dengan konlomerat itu. Fahri, apakah kau tahu
siapa konglomerat itu?”
Aku membelai rambut Aisha. Sesekali mengecup kepalanya. Bau rambutnya
yang hitam sangat khas dan wangi. Aku belum pernah mencium bau seperti
rambut Aisha.
“Fahri, kenapa kau diam saja? Kau mendengarkan ceritaku apa tidak?” Aisha merajuk manja.
“Mendengarkan dengan seksama.Konglomerat ibu, kukira adalah ayahmu, Tuan Rudolf Greimas?”
“Benar.”
“Nama ayahmu mengingatkan aku pada seorang tokoh?”
“Siapa dia?”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
192
“AJ. Greimas, filsuf strukturalis Perancis. Ada hubungan darah dengannya?”
“Tidak. Ayah bahkan aslinya berdarah Tunis. Kakek ayah lahir di Tunisia.
Namanya Omar. Jadi nama ayah lengkapnya Rudolf Greimas Omar.”
“Jadi semestinya sebutan untuk ayahmu adalah Rudolf Omar. Omar dijadikan nama keluarga. Bukan Greimas.”
“Semestinya begitu, tapi entahlah ayah tidak mau. Ibu pernah menggugat masalah itu. Tapi ayah tak menanggapinya.”
“Terus bagaimana kisah ibumu dengan ayahmu setelah menikah. Apakah tujuan ibumu untuk berdakwah berhasil?”
“Dalam penilaianku ibu berhasil. Setelah menikah dengan ayah, beliau
memberikan semua yang dimilikinya pada ayah. Dalam diri ibu, ayah
mendapatkan segala yang diinginkan seorang suami pada isterinya, seorang
kekasih pada pacarnya, seorang lelaki pada wanita, dan seorang yang
haus pada penawar dahaganya. Ayah mengakui ibu adalah wanita terbaik,
isteri terbaik dan teman terbaik yang beliau miliki. Akhirnya ayah tekun
beribadah dan tidak malu menampakkan identitas kemuslimanannya. Banyak
pekerja swalayannya yang tertarik kepada Islam dan masuk Islam. Dengan
itu semua ibu mampu menyalurkan dana untuk lembaga dakwah di Jerman.
Tahun 1981, dua tahun setelah menikah, ibu melahirkan aku. Ayah sangat
gembira sekali. Tiga isterinya terdahulu tidak memberinya apa-apa selain
pengkhianatan. Sebagai hadiah ayah membuatkan klinik kesehatan di
sebuah kawasan elite kota Munchen untuk ibu. Ibu tentu saja senang. Dan
beliau meminta agar kepemilikan klinik bersalin itu atas namaku. Ayah
setuju. Tahun berikutnya ibu meraih gelar doktor untuk spesialis jantung
dengan predikat tertinggi. Beliau langsung diminta mengajar di
Universitas Munchen.
Sejak itu, menurut cerita ayah, sejak itu ibu sangat sibuk. Tapi ibu
mampu mengatur waktu dengan baik. Mengasuh aku, mengurus suami, mengurus
klinik, menjadi wakil direktur rumah sakit, dan mengajar di
universitas. Tidak hanya itu ibu masih bisa menyempatkan waktu untuk
mengadakan penelitian di laboratorium. Hasilnya adalah, beliau menemukan
tiga jenis obat yang sangat
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
193
berguna bagi dunia kedokteran. Tiga jenis obat itu telah dipatenkan atas nama ibu dan kini digunakan di seluruh dunia.
Dalam keadaan sesibuk itu, ibu masih sangat perhatian pada ayah. Bagi
ibu ayah adalah segalanya. Ayah adalah cintanya yang pertama dan
terakhir. Ini tentu membuat ayah merasa tersanjung bukan main. Jika
suatu ketika ayah mengadakan pertemuan dengan koleganya, banyak
koleganya yang iri pada ayah yang memiliki seorang isteri yang cantik,
masih muda, berpendidikan tinggi, dan sangat setia. Ayah sendiri yang
menuturkan hal ini padaku. Ibu tidak pernah menuntut atau meminta
sesuatu pada ayah. Dan semua keinginan ayah jika ibu mampu, dan selama
tidak melanggar syariat ibu pasti akan memenuhinya. Bagi ibu memuliakan
suami adalah dakwah paling utama bagi seorang isteri.
Hasilnya, ayah seringkali menjadi pembela kepentingan kaum muslim di
Jerman. Ayah juga memberikan beasiswa untuk mahasiswa muslim yang
belajar di Jerman. Banyak mahasiswa muslim yang meraih doktornya di
Jerman dengan tunjangan beasiswa dari ayah. Dan mereka saat ini memiliki
peran-peran signifikan di negaranya. Kalau boleh aku mengatakan, secara
tidak langsung itu semua adalah atas keikhlasan hati ibu mewakafkan
dirinya di jalan dakwah. Kalau seandainya ibu mau menikah dengan ayah
karena materi, maka ibu sendiri tidak kekurangan materi. Ketika ibu
menikah dengan ayah, perusahaan kakek di Turki telah maju pesat.
Perusahaan garmennya telah mengisi pasar di seluruh penjuru Timur Tengah
dan Asia Selatan. Dan ibu mampu untuk mencari suami yang lebih muda dan
lebih kaya dari ayah di Turki. Tapi pertimbangan ibu pada waktu itu
adalah konstribusinya di jalan dakwah. Itu yang aku kagumi dari ibu dan
aku tidak akan mampu menirunya. Aku tidak mungkin mau menikah dengan
seorang lelaki yang telah tiga kali kawin cerai dan umurnya 20 tahun
lebih tua dariku. Ayah sangat beruntung sekali memperistri ibu.”
“Bagaimana kau tahu begitu banyak tentang ibumu, tentang pikirannya dan
lain sebagainya padahal kau masih belia saat ibumu meninggal?”
“Sebagian aku tahu dari apa yang kulihat dan kudengar dari ibu. Sebagian
dari paman Akbar, dari nenek, dari bibi Sarah, dari ayah, dan dari
beberapa muslimah di Jerman yang menjadi teman baik ibu serta dari
belasan diary ibu. Ibu
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
194
orang yang paling suka mencurahkan isi hatinya, dan hari-hari yang dialaminya ke dalam diarynya.”
“Aku jadi sangat kagum pada ibumu.”
“Seandainya dia masih hidup kau akan sangat bahagia bertemu dengannya.
Dia tumbuh di Turki, memperoleh pendidikan tinggi dan berkiprah di
Jerman, tapi dia tetap titisan perempuan Palestina. Jiwanya jiwa pejuang
sejati.”
“Kalau ayahmu, masih ada?”
“Masih.”
“Kenapa dia tidak datang?”
“Inilah yang ingin aku ceritakan. Ayahku sekarang tidak seperti ayah waktu ibu masih hidup.”
“Maksudmu?”
“Aku sedih setiap kali mengingatnya. Ayah telah rusak kembali seperti
sebelum menikah dengan ibu. Ia telah meninggalkan Islam dan suka
bergonta-ganti pasangan hidup.”
“Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
“Mulanya adalah kecelakaan yang menewaskan ibu pada tahun 1995. Saat itu
hujan lebat, ibu pulang dari mengisi seminar keislaman di pinggir kota
Munchen. Dia mengendarai mobil sendiri. Ada mobil melaju kencang di
belakang ibu. Mobil itu selip dan menambrak mobil ibu. Mobil ibu
terbalik dan terlempar lima meter dari ruas jalan. Ibu meninggal
seketika. Saat itu umurku baru empat belas tahun. Mendengar kabar itu
ayah sangat terpukul. Ayah merasa kehilangan cahaya hidupnya dan
kehilangan segalanya. Berbulan-bulan lamanya ayah linglung. Untung paman
Akbar Ali mengetahui kondisi yang tidak baik bagiku ini. Beliau
akhirnya mengambilku dan menitipkan pada sahabat karib ibu waktu di
Istanbul yang tinggal di Zurich, Swiss. Juga seorang dokter. Namanya
Khaleda. Aku memanggilnya Madame Khaleda. Kebetulan beliau tidak
memiliki anak. Beliau mencurahkan segala kasih sayangnya padaku.
Munchen-Zurich tidak jauh. Ayah sering menengok aku. Dan Madame Khaleda
juga sering mengajakku menengok ayah. Aku melanjutkan pendidikan di
Zurich. Sementara ayah masih belum bisa menerima kenyataan yang
dialaminya sampai dua tahun setelah itu.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
195
Lalu ada sebuah peristiwa kecil yang menggoncang iman ayah. Pada tahun
1997 ayah mengunjungi keluarga di Turki. Saat itu bibi Sarah kebetulan
sedang pulang berlibur dari Mesir. Bibi Sarah memang sangat mirip dengan
ibu. Ayah melihat bibi Sarah seperti melihat ibu. Saat itu umur bibi
Sarah tepat 24 tahun. Dan saat ibu menikah dengan ayah tahun 1979
umurnya 25 tahun. Jadi ayah seolah melihat ibu ketika baru menjadi
isterinya dulu. Seketika itu juga ayah melamar bibi Sarah untuk
dijadikan isteri menggantikan ibu. Sebelumnya ayah memang tidak pernah
melihat bibi Sarah. Waktu ayah sering berkunjung berkunjung ke Turki
awal-awal delapan puluhan bibi Sarah masih ingusan. Dan ketika berjumpa
dengan bibi tahun 1997, bibi telah menjelma menjadi gadis dewasa yang
matang dan telah menyelesaikan Licencenya di Al Azhar. Wajahnya,
suaranya dan lemah lembutnya sangat mirip dengan ibu. Ayah benar-benar
tergila-gila pada bibi Sarah. Ayah menganggap bibi Sarah adalah
reinkarnasi ibu. Saat itu ayah sudah 63 tahun, sama dengan umur baginda
Nabi saat meninggal dunia.
Dengan tegas bibi menjawab tidak bisa menerima lamaran ayah. Dan itu
sangat masuk akal. Bagaimana mungkin bibi mau menikah dengan seorang
kakek-kakek. Jawaban bibi ternyata tidak bisa dimaklumi ayah. Ayah
merasa direndahkan dan tidak dihargai. Ayah merasa orang yang terhormat
di Jerman. Belum pernah ditolak wanita. Menurut ayah seharusnya bibi
Sarah yang telah belajar di Al Azhar seperti ibu. Bersedia menjadi
isteri ayah dan mencari suami tidak memandang umur. Tapi memandang
prospek dakwah dan pengabdian seperti ibu. Bibi membantah anggapan ayah
itu, pintu dakwah terbuka lebar-lebar di mana saja. Prospek dakwah tidak
hanya dengan menikah dengan ayah yang telah renta. Ayah sangat terpukul
dengan jawaban bibi.
Sebagai pelariannya, tanpa pikir panjang, ayah menikah dengan siapa saja
yang mau menikah dengannya. Keislaman ayah ternyata belum kuat meskipun
telah hidup 16 tahun bersama ibu. Lama-lama karena hidup sering
berganti pasangan hidup keislamanannya luntur. Dan tahun 1999 beliau
menikah dengan seorang gadis di sebuah gereja di Yunani. Itu terjadi
tepatnya dua bulan setelah aku kembali ke Jerman. Madame Khalida kembali
ke Turki saat aku selesai sekolah menengahku. Beliau menyarankan agar
aku melanjutkan kuliah di Jerman
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
196
sambil menjaga ayah yang sudah tua. Aku sangat sedih mendapati ayah yang
sangat lain dengan yang kukenal dulu. Beliau tidak lagi menyayangiku
seperti dulu. Beliau lebih bersikap acuh tak acuh. Aku berusaha
mengembalikan ayahku yang hilang. Tapi usaha kerasku kelihatannya tidak
akan membuahkan hasil. Pernikahan itu tidak berumur panjang.
Akhirnya ayah menikahi seorang janda setengah baya berambut pirang
bernama Jeany. Janda ini pandai sekali mengambil hati ayah. Sekuat
tenaga dia mempertahankan perkawinannya dengan ayah. Ia menginginkan
harta ayah. Di luar sepengetahuan ayah Jeany memiliki teman kumpul kebo
di Stuttgart. Setiap kali aku mengingatkan baik-baik hal ini ayah marah
besar. Ia menuduhku hendak merusak hubungannya dengan Jeany. Ayah sudah
melupakan ibu sama sekali sejak ditolak oleh bibi Sarah. Semua
permintaan Jeany dituruti oleh ayah. Ayah bahkan sudah membuat wasiat di
notaris jika ia mati semua aset kekayaan yang tertulis atas namanya
akan menjadi hak Jeany. Ayah memang tergila-gila pada Jeany. Untungnya
klinik, empat swalayan di Munchen dan Hamburg, pabrik farmasi, dan rumah
mewah yang saat ini ditempati ayah telah diatasnamakan diriku oleh
mendiang ibu. Jeany terus berusaha agar semua harta yang telah
teratasnamakan diriku bisa jadi miliknya. Dia menggunakan cara yang
tidak sehat dan sangat memusuhiku. Dalam kondisi yang sedemikian tidak
nyamannya aku tetap berusaha bertahan, demi bakti seorang anak pada
ayahnya. Meskipun ayah tidak lagi satu iman denganku. Aku ingin menjadi
anak ibu yang shalihah yang berbakti pada ayahnya.
Dari perkawinannya dengan suami pertama, Jeany memiliki seorang anak
lelaki bernama Robin. Dia mengajak Robin tinggal di rumah mewah itu. Dan
ayah menyetujuinya meskipun aku tidak setuju. Sejak Robin tinggal satu
rumah denganku aku merasa seperti di neraka. Diam-diam Jeany merancang
agar aku menikah dengan Robin, yang dituju adalah segala aset kekayaan
yang kini atas nama diriku. Aku jelas tidak mau. Tapi Robin terus
mengejarku. Terkadang dia agak keterlaluan. Misalnya tiba-tiba masuk
kamarku saat aku sedang belajar. Tentu saja aku tidak sedang memakai
jilbab. Aku sangat marah padanya. Kelakuannya kuadukan pada ayah. Tapi
ayah sama sekali tidak membelaku. Ayah bukan ayah yang kukenal dulu. Aku
tetap bertahan. Di hari tua ayah, aku ingin
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
197
tetap berada di samping ayah.. Sejak itu aku selalu mengunci kamarku untuk berhati-hati.
Tapi Robin sungguh keterlaluan. Entah bagaimana caranya dia bisa
memasang kamera di kamar mandiku. Suatu malam dia menghadiahkan kaset
itu padaku. Langsung aku putar kaset itu. Betapa terperanjatnya aku
melihat apa yang dilayar kaca. Yang kulihat adalah diriku sedang gosok
gigi dan mandi. Aku sangat marah pada Robin, aku merasa harga diriku
diinjak-injak.
Untungnya, Allah Swt masih menyelamatkan kehormatanku. Dalam rekaman
itu, aurat paling aurat yang kumiliki sama sekali tidak terbuka.
Tertutup rapat. Untuk itu aku sangat berterima kasih kepada ibu dan
nenek. Sejak kecil ibu mengajariku agar memiliki rasa malu kepada Allah
melebihi rasa malu pada manusia. Ibu menanamkan sejak kecil untuk tidak
telanjang bulat di manapun juga. Meskipun sedang sendirian di kamar
tidur atau kamar mandi. Jika mandi ibu mengajarkan untuk tetap memakai
basahan. Orang-orang pilihan, kata ibu, jika mandi tetap memakai
basahan, tidak telanjang bulat. Ibu berkata, ‘Jika kita malu aurat kita
dilihat orang, maka pada Allah kita harus lebih merasa malu.’
Menurut cerita ibu, dan ibu dari dari nenek, di zaman nabi dulu, ketika
nabi tahu ada orang mandi tidak memakai sarung, beliau langsung naik
mimbar dan menyuruh umatnya untuk menutup aurat ketika mandi.
Alhamdulillah sejak sebelum akil baligh aku telah terbiasa untuk mandi
dengan tetap memakai basahan yang menutup aurat atas dan aurat bawah.
Dan memang inilah tradisi perempuan di keluarga kami, keluarga
Palestina. Nenek mendapatkan ajaran seperti itu dari ibunya. Lalu nenek
mengajarkan pada anaknya. Dan anaknya mengajarkan pada anaknya. Nenek,
ibu, bibi Sarah dan aku, tidak akan bisa mandi tanpa basahan. Malu
rasanya.
Yang terekam oleh kamera Robin adalah aku menggosok gigi dan mulai
mandi. Durasinya hanya sepuluh menit setelah itu putus. Mungkin kaset
perekamnya habis. Aku bersyukur kepada Allah atas perlindungannya. Sebab
satu jam setelah mandi itu aku buang air kecil. Jika kegiatan sangat
pribadi seperti itu terekam, aku akan merasa menjadi wanita paling
malang di dunia. Kejahatan Robin aku laporkan ke polisi. Polisi langsung
mengusut dan menahannya. Tindakannya termasuk kriminal serius. Dia
dijebloskan ke dalam penjara. Namun
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
198
satu minggu kemudian dia keluar. Ternyata justru ayah yang membebaskannya dengan tebusan dan jaminan atas permintaan Jeany.
Sejak itu aku sangat marah pada ayah. Jika ayah mencintai mendiang ibu,
semestinya dia melindungi anak gadisnya. Bukan malah membebaskan seorang
bajingan yang mencoba membuka aurat anak gadisnya. Aku merasa sudah
tidak perlu lagi tinggal bersama mereka. Diriku bisa binasa. Aku
hengkang dari rumah dan menyewa flat di dekat kampus dan sejak itu tidak
pernah lagi menginjak rumah itu. Tapi rumah itu tidak mungkin kubiarkan
jatuh ke tangan Jeany. Sebetulnya aku bisa saja mengusir mereka semua.
Tapi itu sama saja aku mengusir ayah. Aku tidak mau itu. Nanti, jika
tiba saatnya rumah itu akan kembali jadi rumah yang enak disinggahi. Aku
menghabiskan masa kecil bersama ibu di sana. Sekarang aku hanya bisa
berdoa semoga Allah kembali memberikan hidayah-Nya kepada ayah.”
Aku mengelus pipi Aisha yang basah.
“Maafkan aku Fahri, suasananya jadi sedih.”
“Sekarang aku ini adalah dirimu Aisha, bukan orang lain. Tapi aku merasa sangat cemburu sekali.”
“Kenapa?”
“Robin itu. Ingin sekali aku menghajarnya.”
“Terima kasih Fahri, love is never without jealousy. Cinta selalu
disertai rasa cemburu. Tanpa rasa cemburu cinta itu tiada. Kau memang
suami yang kuidamkan!”
* * *
Malam merambat begitu cepat.
“Jam berapa sekarang, Sayang?” tanyaku pada Aisha.
“Mungkin jam setengah sebelas,” jawabnya sambil menggeliat dan bangkit.
“Sudah malam sudah waktunya kita masuk ke dalam, yuk!” sambungnya sambil
menarik tanganku. Aku bangkit menuruti ajakan Aisha. Sekilas
kulayangkan pandangan keluar. Kornes Nil masih ramai. Mobil-mobil masih
banyak yang lalu lalang dengan sorot lampu seperti cahaya meteor.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
199
Aisha mengajakku masuk kamar pengantin yang semerbak wangi. Kami di tepi
ranjang. Aku puas-puaskan menikmati keelokan wajahnya. Kedua matanya
sangat indah. Kami berpandangan saling menyelami. Terngiang dalam diri
sabda Nabi,
Sebaik-baik isteri adalah jika kamu memandangnya membuat hatimu senang,
jika kamu perintah dia mentaatimu, dan jika kamu tinggal maka dia akan
menjaga untukmu harta dan dirinya.98I
“Aisha, kau cantik sekali, memandang wajahmu sangat menyenangkan!” lirihku.
Aisha tersenyum sambil melingkarkan kedua tangannya di leherku.
“Fahri, kau pria terbaik yang pernah kutemui, kaulah cinta pertama dan
terakhirku. Aku punya sebuah puisi untukmu. Maukah kau mendengarnya?”
Aku menganggukkan kepala. Kuperhatikan dengan seksama gerak bibirnya.
Apa yang akan diucapkannya. Dia malah diam lama sekali lalu tersenyum.
Aku gemes dibuatnya.
“Dengarlah baik-baik Kekasihku, jangan sampai ada satu huruf yang
terlewatkan. Puisi ini lebih berharga dari dunia ini seisinya.
Kehilangan satu huruf saja kau akan sangat menyesalinya:
agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,
taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu,
ciuman dalam malam yang hidup,
dan deras lenganmu memeluk daku
seperti suatu nyala bertanda kemenangan
mimpikupun berada dalam
benderang dan abadi99
Aisha luar biasa romantisnya. Kupandangi lekat-lekat wajahnya sambil
terus memuji keagungan Tuhan. Hasrat yang terlukis diwajahnya dapat
kubaca dengan jelas. Dengan suara pelan kubalas puisinya:
alangkah manis bidadariku ini
bukan main elok pesonanya
98 Hadits riwayat Ibnu Jarir.
99 Dipetik dari puisi berjudul “Kekasih” karya Paul Eluard, Penyair Perancis abad ke-19 paling terkemuka dari golongan surealis.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
200
matanya berbinar-binar
alangkah indahnya
bibirnya,
mawar merekah di taman surga
Kami lalu memainkan melodi cinta paling indah dalam sejarah percintaan
umat manusia, dengan mengharap pahala jihad fi sabilillah, dan mengharap
lahirnya generasi pilihan yang bertasbih dan mengagungkan asma Allah
Azza wa Jalla di mana saja kelak mereka berada.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Seakan-akan bidadari itu seperti permata Yajut dan marjan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.100
100 Ar-Rahmaan: 57-60.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
201
19. Rencana-rencana
“Aisha, berapa hari kita akan tinggal di flat mewah ini, dan setelah itu
kita akan tinggal di mana?” tanyaku pada Aisha setelah shalat Dhuha.
Dia belum memberi tahu rumah yang disewa untuk hidup berdua.
“Menurutmu, flat di pinggir Nil seperti ini nyaman apa tidak?” Aisha malah balik bertanya.
“Nyaman.”
“Aman tidak?
“Aman.”
“Kondusif tidak untuk belajar, menulis atau menerjemah?”
“Sangat kondusif.”
“Kalau begitu aku ingin tinggal di flat ini selama ada di Cairo, Sayang.”
Mendengar jawaban Aisha itu aku bagaikan disambar geledek. Kaget bukan
main. Dari mana aku akan mendapatkan biaya untuk menyewa flat yang
sangat mewah ini. Meskipun aku baru melihat ruang tamu, kamar utama,
balkon dapur dan kamar mandi dan belum melihat kamar-kamar yang lain
tapi flat ini sangat mewah. Kamar utamanya saja yang kini jadi kamar
pengantin tak kalah mewahnya dengan kamar Sheraton Hotel yang pernah
kulihat saat menemui seorang anggota DPR yang sedang melakukan lawatan
di Cairo. Ruang tamunya lebih mewah dari ruang tamu rumah Bapak
Atdikbud. Berapa sewanya perbulan? Rumah Pak Atdikbud saja yang letaknya
di Dokki harga sewanya katanta tak kurang dari enam ribu pound
perbulan. Dan flat mewah ini yang terletak di pinggir sungai Nil bisa
tiga kali lipat mahalnya. Delapan belas ribu pound atau sekitar lima
ribu dollar perbulan. Bahkan bisa lebih. Itu adalah honor menerjemah
mati-matian selama dua tahun full. Tiba-tiba aku merasa sangat malang.
Aku tidak mungkin bisa memenuhi permintaan Aisha. Aku sangat sedih. Air
mataku meleleh.
“Kenapa kau menangis Sayang?”
Aku menjelaskan semuanya pada Aisha yang bergolak dalam hatiku. Aku
sangat mencintainya. Tapi aku tidak akan mampu menuruti keinginannya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
202
Kujelaskan kembali siapa diriku dan sebatas mana kemampuanku. Aisha malah menangis.
“Suamiku, alangkah celakanya aku kalau sampai aku membuatmu sedih. Kalau
sampai aku meminta sesuatu yang di luar kemampuanmu. Alangkah celakanya
diriku. Suamiku, kita akan tinggal di sini tanpa mengeluarkan biaya
sepeser pun kecuali biaya listrik, gas, air, keamanan, dan kebersihan.
Hanya itu yang akan kita keluarkan perbulan. Tidak lebih?”
“Maksudmu kita tinggal di sini gratis?”
Aisha menganggguk.
“Aku tak bisa kita tinggal atas belas kasih orang lain Aisha.”
“Apakah bagimu aku orang lain suamiku?”
“Jadi kau yang membayar sewanya Aisha. Tidak bisa Aisha, itu akan sangat menyiksa diriku?”
“Bukan aku yang membayarnya suamiku.”
“Lantas siapa?”
“Tak ada yang membayarnya.”
“Itu namanya gratis, dan aku tidak mau kita tinggal di rumah orang lain gratis.”
“Meskipun rumah itu rumah milik isterimu, dan isterimu adalah milikmu?”
“Apa maksudmu Aisha, aku jadi bingung.”
Aisha bangkit dari sajadah dan menarik lenganku. Dia membawaku memasuki
kamar di samping kamar utama. Lihatlah isi kamar ini. Ini adalah
perpustakaan dan ruang kerjamu. Aku melihat kamar dengan kitab-kitab dan
buku-buku yang tersusun rapi. Kitab-kitab itu aku mengenalnya. Itu
kitab-kitabku. Juga ada komputer di dekat jendela. Itu komputer bututku.
Aku mendekati jendela, menyibak gordennya dan melongok. Panorama sungai
Nil di waktu dhuha sangat indahnya.
“Di sinilah insya Allah kau akan menulis tesismu, menerjemah dan
menghasilkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi umat. Dan aku akan
menjadi pendampingmu siang malam. Suamiku, flat ini dibeli oleh ibuku
dua tahun sebelum beliau meninggal. Ketika beliau diminta mengajar di
Fakultas
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
203
Kedokteran Cairo University selama tiga semester. Waktu itu aku baru
berumur sebelas tahun. Selama enam bulan kami tinggal di rumah ini. Dan
kamar yang kita jadikan perpustakaan ini adalah kamar tidurku waktu itu.
Setelah kami kembali ke Jerman, rumah ini disewakan kepada home staff
Kedutaan Jerman. Yang terakhir menyewa adalah Mr. Edward Minnich, Atase
Perdagangan. Apartemen ini memang dihuni oleh orang-orang penting. Tepat
di bawah kita adalah pejabat kedutaan Argentina. Di atas kita sutradara
terkemuka Mesir. Di samping kita, flat nomor 20, pemilik Wadi Nile
Travel.”
Aku baru mengerti. Dan aku tidak tahu apa yang kurasakan dalam hati.
Bagaimana gegernya teman-teman mahasiswa nanti mengetahui di mana aku
tinggal.
“Berapa harga sewa flat ini, Sayang?”
“Mr. Minnich menyewa dengan harga sembilan ribu dollar perbulan.”
“Ha? Sembilan ribu dollar perbulan?” Aku kaget mendengar angka nominal itu.
“Ya. Sembilan ribu dollar perbulan. Dan itu termasuk murah. Sebab
pasaran harganya semestinya sepuluh ribu dollar ke atas. Ini karena kami
sama-sama dari Jerman jadi sedikit di bawah standar.”
“Aisha, isteriku yang kucintai, harga sewa flat ini begitu tinggi. Apa
tidak sebaiknya kita sewakan saja. Lalu kita menyewa flat di Nasr City
yang lebih murah. Dengan seribu dollar saja, kita sudah bisa menyewa
flat yang tak kalah mewahnya di kawasan Abbas El-Akkad. Hanya saja di
sana kita tidak bisa melihat panorama sungai Nil. Tapi kenyamanan dan
ketenangannya tak jauh berbeda. Sisanya bisa kita gunakan untuk bermacam
amal di jalan Allah,” ucapku sambil memandang ke arah sungai Nil.
Kurasakan Aisha memelukku dari belakang. Dagunya ia letakkan di
pundakku. Tingginya memang hampir sama denganku. Aku hanya lebih tinggi
tiga senti darinya.
“Sudah kuduga. Kau akan mengatakan demikian. Suamiku, seandainya bukan
ibuku yang membeli flat ini dan seandainya tidak ada kenangan yang indah
dalam flat ini, tentu sebelum kau sarankan aku sudah melakukannya. Aku
sangat mencintai ibu dan setelah rumah di Jerman itu, flat ini adalah
tempat kedua yang paling indah dalam kenanganku bersama ibu. Aku ingin
kita berdua tinggal di sini
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
204
selama di Cairo. Dan flat ini milik kita, kita lebih tenang daripada
menyewa. Kau tahu sifat orang Mesir ‘kan? Tidak semuanya baik. Tidak
semua tuan rumah baik. Aku tidak mau membuang energi dan ketenangan
karena masalah sepele dengan tuan rumah yang tidak baik. Kau tahu teman
paman Eqbal ada yang diusir tuan rumahnya tengah malam musim dingin,
tanpa sebab yang jelas. Aku tak mau itu terjadi pada kita. Kalau kita
menemukan tuan rumah yang baik alhamdulillah, kalau kebetulan menemukan
tuan rumah yang suka rewel, tentu sangat tidak enak. Tapi kau adalah
imamku, suamiku. Jika kau tetap memutuskan tidak tinggal di flat ini aku
akan menurutimu. Kaulah yang harus memutuskan apa yang menurutmu
terbaik untuk hidup kita berdua, dan untuk anak-anak kita seandainya
kita punya anak. Sebagai isteri aku telah memberikan masukan. Aku yakin
kau akan memutuskan yang terbaik.” Aisha lalu memelukku erat-erat.
“Nanti kita istikharah,” jawabku lirih.
Aisha lalu membawaku melihat-lihat seluruh sisi rumah. Sebuah rumah yang
mewah dan sangat nyaman untuk tempat tinggal. Ruang tamu yang luas
dengan shofa khusus didatangkan dari Perancis. Dua balkon. Ruang santai.
Satu kamar utama dengan kamar mandi di dalamnya. Dua kamar mandi, di
dekat ruang tamu dan dekat dapur. Dan tiga kamar ukuran sedang. Yang
satu telah disulap Aisha menjadi ruang kerja dan perpustakaan. Kamar
paling dekat dengan ruang tamu telah dipersiapkan oleh Aisha seandainya
ada keluarga, atau teman yang ingin menginap. Aisha lalu kembali
mengajakku ke perpustakaan dan mengajakku duduk di lantai yang dialasi
karpet tebal. Ia duduk bersila di hadapanku.
“Suamiku, kita ini satu jiwa. Kau adalah aku. Dan aku adalah kau. Kita
akan mengarungi kehidupan ini bersama. Dukamu dukaku. Dukaku dukamu.
Sukamu sukaku. Sukaku sukamu. Cita-citamu cita-citaku. Cita-citaku
cita-citamu. Senangmu senangku. Senangku senangmu. Bencimu benciku.
Benciku bencimu. Kurangmu kurangku. Kurangku kurangmu. Kelebihanmu
kelebihanku. Kelebihanku kelebihanmu. Milikmu milikku. Milikku milikmu.
Hidupmu hidupku. Hidupku hidupmu.”
Hatiku sangat tersentuh dan terharu mendengar perkataannya itu.
“Suamiku, padaku ada dua ATM. Mohon Kau pilihlah satu!” Aisha meletakkan dua kartu ATM di depanku. Aku ragu.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
205
“Suamiku, kalau kau mencintaiku, benar-benar mencintaiku dan memandang diriku adalah milikmu maka ambillah jangan ragu!”
Aku tak bisa tahan menatap sorot matanya yang teduh. Dengan mengucapkan basmalah dalam hati aku mengambil yang paling dekat.
“Terima kasih Suamiku, kau tidak menganggap diriku orang lain. Aku akan
menjelas semua hal berkaitan dengan ATM itu dan apa yang aku miliki saat
ini. Aku ingin kau yang mengaturnya sepenuhnya. Sebab kau adalah imamku
dan aku sangat percaya padamu. Suamiku, ATM yang kau pilih sekarang
berisi dana 3 juta empat ratus tiga puluh ribu dollar!”
Aku tersentak mendengarnya.
“Itu adalah rizki yang diberikan Allah kepada kita melalui perusahaan
keluarga di Turki. Ceritanya begini. Kakekku, Ali Faroughi, atas
kemurahan Allah adalah bisnisman berhasil yang memiliki tiga perusahaan.
Yaitu perusahaan tekstil, travel, dan susu. Sebelum meninggal beliau
memanggil tiga anaknya yaitu ibuku, paman Akbar, dan bibi Sarah. Beliau
membagi dan menyuruh masing-masing memilih perusahaan mana yang disukai.
Beliau menyuruh yang paling muda yaitu bibi Sarah untuk memilih lebih
dulu. Bibi Sarah memilih perusahaan susu karena dia paling suka minum
susu. Lalu paman Akbar memilih travel karena dia orang yang hobinya
melancong. Dan ibu dengan sendirinya mendapat jatah perusahaan tekstil.
Kakek orang yang bijaksana dan berpandangan jauh ke depan. Beliau tidak
memberikan masing-masing perusahaan itu secara individual penuh. Beliau
ingin ketiga anaknya dan keturunannya masih erat rasa persaudaraan dan
saling memilikinya. Maka beliau memberikan dengan sistem kepemilikan
saham. Pabrik Susu beliau berikan kepada bibi Sarah dengan kepemilikan
saham sebesar 60 persen. Selebihnya paman Akbar diberi jatah kepemilikan
saham 20 persen, juga ibu. Begitu juga travel, 60 persen milik paman
Akbar, yang 40 persen milik ibu dan bibi. Juga perusahaan tekstil 60
persen milik ibu yang 40 persen milik paman dan bibi. Tujuan kakek
mengatur seperti itu adalah agar semuanya tetap masih merasa saling
memiliki. Juga biar rasa solidaritasnya tetap ada. Kakek berharap semua
anaknya akan tetap hidup layak. Seandainya ada salah satu perusahaan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
206
yang bangkrut atau gulung tikar maka pemiliknya masih memiliki masukan dari dua perusahaan lain.
Sekarang semua perusahaan dibawah kontrol paman Akbar. Beliau sosok yang
berbakat dan profesional seperti kakek. Setiap bulan laba bersih
perusahaan diaudit. Maksudnya bersih memang benar-benar bersih setelah
dipotong zakat dan pajak. Sepuluh persennya diberikan kepada para
pemilik saham. Dan sembilan puluh persennya dikembalikan ke perusahaan
untuk diputar lagi. Sepuluh persen dari laba perusahaan itu dibagikan
pada pemilik saham sesuai dengan besarnya saham yang dia miliki. Bulan
lalu dari pabrik tekstil masuk nominal sebesar 60.000 dollar. Berarti
laba bersih perusahaan bulan itu 1 juta dollar. Sepuluh persennya
100.000 dollar dibagi tiga. 60 persen untuk diriku sebagai pengganti
ibu, 20 persen paman Akbar dan 20 persen bibi Sarah. Dari perusahaan
travel bulan lalu masuk dana 57 ribu dollar, padahal jatah kita hanya
dua puluh persen dari sepuluh persen laba perusahaan atau dua persen
saja dari laba perusahaan. Dan dari perusahaan susu masuk 78 ribu
dollar. Perusahaan travel dan susu memang sudah sangat maju. Perusahaan
travel malah sudah merambah perhotelah dan perusahaan susu sudah
merambah produksi bahan makanan. Rencananya tahun ini perusahaan tekstik
akan mencoba melebarkan sayap dengan mendirikan anak perusahaan di
Malaysia. Jadi bulan lalu masuk dana 195 ribu dollar dari Turki ke ATM
itu. Dan kira-kira tiap bulan akan masuk dana sebesar itu. Bisa lebih
bisa kurang. Bagi orang dunia ketiga, itu jumlah yang sangat besar. Tapi
bagi pemilik perusahaan raksasa di negara-negara maju itu jumlah yang
sangat kecil sekali.
Suamiku, terserah mau kau atur bagaimana ATM yang ada ditanganmu itu.
ATM yang aku pegang ini berisi dana dari aset bisnis di Jerman. Sekarang
telah terisi dana 7 juta dollar. Sistemnya aku buat seperti yang di
Turki. Tiap bulan Cuma sepuluh persen dari laba bersih perusahaan yang
masuk ke pemilik perusahaan. Dan yang ini tidak akan kita otak-atik dulu
sampai nanti ketika kita tinggal di Indonesia. Kita akan menggunakannya
sebaik mungkin bersama-sama. Jadi aku tidak akan mengutik-utik ATM yang
ada di tanganku. Lapar kenyangku adalah atas kebijakanmu. Kaulah yang
menjatah dana untuk diriku. Kaulah yang
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
207
menentukan besarnya dana belanja tiap bulan. Kalau aku minta sesuatu maka aku akan minta padamu. Kaulah imamku.”
Mendengar apa yang dituturkan Aisha aku jadi sedih, pucat merinding dan
bergetar. Aku memegang ATM senilai $ 3.430.000,- atau kira-kira sebesar
30 milyar rupiah. Aku merasa gunung Merapi hendak menimpaku.
“Kenapa mukamu jadi berubah warna suamiku? Apakah aku melakukan sesuatu yang menyinggungmu?” tanya Aisha.
“Tidak Aisha. Aku tiba-tiba memikul beban amanah sedemikian beratnya,
yang tidak pernah aku bayangkan. Dirimu adalah amanah bagiku. Dan apa
yang kau miliki yang kau letakkan di tanganku adalah amanah yang sangat
berat bagiku. Aku tak tahu apakah bisa memikul amanah seberat ini?”
“Aku percaya padamu Suamiku.”
Bahwa aku suatu saat akan menjadi imam bagi isteriku dan kelak
anak-anakku adalah hal yang sudah aku bayangkan. Aku akan jadi suami
seorang muslimah Turki juga telah aku bayangkan setelah bertemu Aisha di
rumah Syaikh Utsman dan aku sudah membayangkan bagaimana suasana rumah
tangga nanti. Sederhana seperti teman-teman Indonesia. Namun aku akan
menjadi imam dan penentu jalan hidup seorang jet set shalihah pemilik
perusahaan di Turki dan Jerman yang mewakafkan diri dan hartanya di
jalan Allah tidak pernah terbayangkan sama sekali.
Aku merasa ilmu, iman dan pengalamanku belum cukup untuk hidup
mendampingi seorang Aisha yang kini aku tahu sebenarnya siapa dia. Aku
harus meminta saran, nasihat dan pertimbangan pada orang-orang yang
lebih kuat jiwanya dan lebih luas cakrawala pandang dan pengalamannya.
Aku mengajak Aisha untuk shalat hajat agar Allah memberikan rahmat,
taufik dan belas kasihnya sehingga semua amanat dapat ditunaikan dengan
baik.
Hari itu juga aku menelpon Syaikh Ahmad Taqiyuddin. Aku minta waktu
bertemu beliau aku ingin konsultasi pada beliau secepatnya. Beliau
melarang diriku pergi ke Hadayek Helwan. Beliau dan isterinya yang
justru akan mendatangi kami.
Sore itu selepas ashar beliau datang. Aisha dan Ummu Aiman, isteri
beliau, berbincang di ruang tamu. Sementara beliau kuajak ke
perpustakaan, aku
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
208
ceritakan semua masalahku pada beliau terutama masalah amanat yang dibebankan Aisha.
“Syaikh, aku sangat takut dengan sindiran Allah dalam Al-Qur’an, Dan
jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka
akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang
dikehendaki-Nya dengan ukuran.101 Aku takut kalau sampai melampaui batas
Syaikh,” ucapku pada Syaikh Utsman.
“Akhi, yang melampaui batas adalah mereka yang tidak memiliki rasa takwa
dan tidak merasa diawasi oleh Allah. Selama seseorang masih memiliki
rasa takut dan diawasi Allah maka, insya Allah, dia tidak akan sampai
melampaui batas. Masalah menginfakkan harta yang dalam tuntunan
Al-Qur’an kau pasti sudah tahu,” jawab beliau.
Kemudian beliau banyak memberikan nasihat dan saran, terutama yang
berkaitan dengan perjalanan hidup dengan seorang isteri. Bahwa dalam
bersuami-isteri ada selalu ada dua kemauan, watak, sifat yang terkadang
berbeda. Seni mengolah perbedaan menjadi sebuah keharmonisan ibadah
itulah yang harus diperhatikan.
Menurut beliau aku tidak perlu pindah dari flat yang telah aku tempati.
Karena tidak menyewa dan milik Aisha. Ini sekaligus untuk menyenangkan
hati Aisha yang memiliki kenangan indah di flat ini bersama ibunya.
Apalagi flat ini terletak di tempat yang sangat tenang dan kondusif
untuk menulis tesis. Tak jauh dari flat ini ada perpustakaan IIIT. Hanya
dengan berjalan kaki sepuluh menit sudah sampai ke sana. Juga dekat
dengan salah satu kampus Universitas Helwan. Masjid juga dekat. Tinggal
bersyukur kepada Allah. Beliau juga meminta kepadaku untuk terus
menggali semua pengalaman hidup yang telah dijalani Aisha. Agar aku bisa
bersikap arif pada Aisha. Beliau meminta kepadaku untuk mengetahui gaya
hidupnya sejak kecil. Beliau meminta agar aku bijaksana tidak
memaksakan Aisha mengikuti gaya dan standar hidupku yang memang sangat
sejak kecil sederhana. Beliau meminta untuk hidup sewajarnya. Zuhud
tidak berarti tidak mau menyentuh sama sekali nikmat yang telah
diberikan oleh Allah Swt, tapi zuhud adalah mempergunakan nikmat itu
untuk ibadah. Tidak
101 Asy Syura: 27.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
209
selamanya orang yang makan dengan hanya roti kering dan seteguk air
lebih baik dari orang yang makan roti cokelat dan segelas susu. Jika
dengan makan roti cokelat badan menjadi sehat dan segar, ibadah khusyu
dan tenang, bisa bekerja dengan lebih baik dan bersemangat serta
merasakan keagungan Allah yang telah memberikan nikmat tentu lebih baik
dengan yang makan roti kering tapi lemas dan berkeluh kesah saja
kerjanya. Tidak selamanya yang berjalan kaki lebih baik dari yang naik
mobil. Jika dengan naik mobil lebih bisa mengefisienkan waktu, ibadah
lebih tenang karena tidak capek dan lebih bisa banyak melakukan kegiatan
yang bermanfaat tentu sangat baik.
“Jangan terlalu pelit dan jangan terlalu boros. Dua kelakuan itu
berakibat penyesalan dan sangat dicela Allah Swt, firman-Nya dalam
Al-Qur’an, ‘Dan jangan kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu
dan jangan kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela
dan menyesal.’102
Beliau lalu memberi tahu hal-hal yang sangat disukai oleh seorang
isteri. Beliau menyuruh agar tidak segan-segan mengungkapkan perasaan
cinta. Seorang isteri paling suka dipuja dan dicinta. Juga tidak segan
mengajak isteri ke toko pakaian dan toko perhiasan. Sering-sering minta
pendapat, suatu kehormatan bagi seorang isteri merasa dirinya sangat
penting bagi pengambilan keputusan sang suami. Dari kunjungan Syaikh
Ahmad aku banyak mendapatkan banyak sekali pelajaran kehidupan yang
berarti. Aku merasa lebih siap dengan hidup yang sedang aku jalani. Ada
kata-kata beliau yang sangat menyentuh diriku,
“Aku pernah mengalami hal yang sama dengan dirimu. Ummu Aiman adalah
puteri tunggal konglomerat di Maadi. Ia menyerahkan kekayaannya
sepenuhnya di tanganku. Aku dulu juga bingung, aku pergi ke tempat
seorang ulama dan beliau memberikan nasihat seperti apa yang aku
nasihatkan padamu. Ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Banyak
lelaki yang menjadi kerdil setelah memiliki isteri yang cantik dan kaya
raya. Semangat juang dan kerja kerasnya luntur. Tapi kita mempunyai
teladan yang mulia yaitu Rasulullah Saw. Isteri beliau, Sayyeda
Khadijah, adalah konglomerat Makkah pada zamannya, dan itu tidak membuat
beliau kerdil tapi justeru sebaliknya dengan
102 Al-Israa: 29
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
210
kekayaan isterinya itu beliau menegakkan agama Allah. Maka kau tidak
boleh kerdil. Kau harus terus bekerja, menerjemah dan berkarya lebih
keras!”
Malamnya aku ajak Aisha berbincang-bincang di perpustakaan sambil
mendengarkan dendangan nasyid Rasailul Asywaq103 yang indah dibawakan
anak-anak Mesir. Kami duduk di lantai beralas karpet. Aku bentangkan dua
kertas karton berisi rancangan peta hidup yang telah aku buat beberapa
bulan yang lalu sebelum menikah. Peta hidup sepuluh tahun ke depan. Dan
rancangan satu tahun. Tentunya peta hidup itu harus dirubah. Melihat apa
yang aku gelar mata Aisha terbelalak.
“Subhanallah! Bagaimana mungkin kita memiliki kebiasaan yang sama. Ibuku
sejak kecil telah mengajarkan hal seperti ini padaku. Dan aku juga
memiliki peta dan rancangan seperti ini. Rancangan peta hidup sepuluh
tahun ke depan. Rancangan kegiatan tahunan, bulanan, mingguan, dan
harian. Tunggu sebentar ya Sayang!” Aisha beranjak menuju kamar utama.
Lalu kembali dengan membawa agenda biru.
“Ini telah peta hidupku sepuluh tahun ke depan. Memang kita harus membuat peta hidup bersama,” kata Aisha gembira.
Kami pun lalu merancang bersama. Dalam rancangan Aisha, awal April
kembali ke Munchen untuk menyelesaikan S1. Lalu S2 di Sorbonne
University dan S3 di Bonn University. Sementara aku masih harus menulis
tesis, kalau lancar baru dua tahun lagi selesai dan langsung S3 di Al
Azhar. Harus ada kompromi-kompromi. Jika Aisha transfer S1 ke Mesir,
bukan tidak mungkin tapi sangat susah. Proses administrasi
universitas-universitas Mesir sangat melelahkan. Jika aku ikut ke Jerman
juga bukan tidak mungkin, tapi susah, target selesai master dua tahun
lagi bisa molor. Di Jerman tidak ada bahan yang cukup untuk menulis
tesis disiplin ilmu tafsir. Harus ada jalan keluar.
Akhirnya kami sepakat melakukan kompromi. Jalan tengahnya adalah Turki.
Di Turki semua target bisa dikejar. Rencananya bulan April tahun depan
berangkat ke sana. Aisha bisa transfer S1 ke Istanbul University.
Prosesnya mudah. Aisha bahkan tidak perlu repot mengurus sendiri. Ia
bisa minta tolong seorang temannya di Munchen untuk mengurus berkasnya
yang mengirimnya ke
103 Risalah Kerinduan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
211
alamat pamannya di Istanbul. Jadi Aisha bisa tetap selesai S1 tahun
depan dan selama di Turki aku bisa mendapatkan bahan tentang Syaikh Said
An-Nursi. Selama di Turki juga akan menambah eratnya persaudaraan
dengan keluarga besar di Turki. Setelah selesai S1 Aisha mengalah untuk
kembali ke Mesir menemani aku sampai selesai S2. Sebenarnya aku
mempersilakan kalau dia mau langsung ke Sorbonne, tapi dia tidak mau
berpisah denganku sama sekali. Tapi setelah master aku yang harus
mengalah. Aku harus mengikuti Aisha ke Sorbonne. Setelah kupikir tidak
masalah S3 di Sorbonne sementara Aisha S2. Toh, Almarhum Syaikh Abdullah
Darraz, Guru Besar Tafsir Universitas Al Azhar mengambil S3 nya juga di
Sorbonne. Setelah selesai S3 barulah pulang dan merencanakan hidup di
Indonesia, Aisha mengalah untuk tidak langsung S3. Bahkan seandainya
terpaksa S3 di Indonesia tidak apa-apa. Tapi dia membuat cadangan S3 di
Australia yang dekat dengan Indonesia.
Kami lalu merancang agenda setengah tahun ini. Awal bulan depan Aisha
minta ke Alexandria, satu minggu saja, masih dalam rangkaian bulan madu.
Dia juga minta umrah dan selama bulan puasa sampai hari raya ada di
tengah keluarga di Indonesia. Akhirnya sepakat awal Ramadhan pergi
umrah, sepuluh hari di tanah suci dan langsung terbang ke Indonesia.
Lalu kami membuat rencana satu bulan ke depan. Lebih banyak di rumah.
Aisha membuat jadwal kami bermain cinta. Naik perahu berdua di sungai
Nil. Menyaksikan pagelaran musik rakyat Palestina di Opera House.
Melihat pertunjukan drama komedi di Ballon Teater. Pergi ke El-Mo’men
Restaurant. Ke Masjid Musthofa Mahmud mendengarkan ceramah Syaikh
Muhammad Said Ramadhan Al Buthi yang rencananya lima hari lagi akan
datang dari Syiria. Aku menambah jadwal talaqqi qiraah sab’ah pada
Syaikh Utsman dan berkunjung ke rumah Syaikh Abdul Ghafur Ja’far. Aisha
menekankan: Dan ke Alexandria!
Kami lalu membuat jadwal harian. Kapan baca Al-Qur’an dan tadabbur
bersama. Shalat dhuha. Shalat malam. Waktu menerjemah dan waktu yang
tepat untuk bercinta. Begitu selesai membuat rancangan peta hidup Aisha
berkata,
“Sayang, aku punya puisi indah untukmu dengarkan:
agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,
taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
212
Aku langsung menyahut dengan suara lantang seperti Antonius merayu Cleopatra:
ciuman dalam malam yang hidup,
dan deras lenganmu memeluk daku
seperti suatu nyala bertanda kemenangan
mimpikupun berada dalam
benderang dan abadi
Di tepi sungai Nil, hari-hari yang indah kami lalui bersama. Semua serba
indah. Dunia terasa milik kami berdua. Kenikmatan demi kenikmatan,
kebahagiaan demi kebahagiaan kami reguk bersama. Seperti di surga.
Muncul kebiasaan baru Aisha, ia tidak bisa tidur kecuali aku
membelai-belai rambutnya dan mengelus-elus ubun kepalanya, seperti
seorang ibu menidurkan bayinya. Aku juga semakin banyak tahu watak dan
karakter Aisha, tingkahnya kalau merajuk, tidak suka, marah, caranya
memuji, hal-hal yang ia sukai dan ia benci, juga pengalaman hidupnya
sejak kecil. Suatu kali sebelum tidur Aisha bercerita, “Ibu sering
mengajariku agar berdoa dalam sujud saat shalat malam: Ya Allah,
letakkanlah dunia di tanganku, jangan di hatiku.” AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
213
20. Surat dari Nurul
Dua hari menjelang keberangkatan ke Alexandria kami belanja ke Attaba.
Pasar rakyat paling besar di Mesir. Tak ada trasnportasi langsung dari
ke sana. Kami naik bis mini dari mahattah Abul Fida yang tak begitu jauh
dari apartemen kami menuju Tahrir. Sampai di Tahrir kami naik metro
bawah tanah ke Attaba. Aisha iseng minta diajak melihat toko-toko buku
loakan. Dua jam kami di sana. Aku menemukan beberapa buku yang bisa
dijadikan referensi. Aisha hanya melihat-lihat dan membolak-balik buku.
Akhirnya ia membeli empat bundel komik Donald Bebek.
“Kau aneh sekali, untuk apa Sayang?” heranku. Bagaimana tidak heran,
orang secerdas dan sedewasa dia kok beli komik Donald Bebek.
“Untuk belajar bahasa Arab. Ini ‘kan komik bahasa Arab. Aku ingin tahu
kalimat-kalimat yang lucu. Nanti kalau kita punya anak ini juga ada
gunanya. Aku suka anakku nanti tertawa-tawa renyah. Karena tertawa
adalah musiknya jiwa. Dan rumah kita nanti tidak sepi,” jawab Aisha
santai. Cara berpikir Aisha yang mahasiswi psikologi terkadang menarik
dan mengejutkan.
Sampai di rumah kulihat Aisha sangat kelelahan. Perjalanan dari Attaba
sampai rumah memang sangat melelahkan. Padahal sebenarnya tidak terlalu
jauh. Transportasinya yang memang melelahkan. Metro bawah tanah penuh
sesak orang yang pulang kerja. Juga bis mininya. Kami berdua berdesakan.
Aku sangat hati-hati menjaga Aisha. Aku tak ingin ada tangan jahil
menyentuhnya. Setelah membuka cadar dan jilbabnya, Aisha langsung
menyalakan AC dan membanting tubuhnya di sofa. Ia mengatur nafasnya.
Mukanya yang putih memerah dan pucat. Kuambilkan air mineral dingin
untuknya. Ia menerima dengan tersenyum.
“Danke, mein Mann,” 104 lirihnya.
“Bitte.”105
Selama ini kami memang berkomunikasi dengan tiga bahasa; Jerman, Arab,
dan Inggris. Lebih banyak pakai bahasa Arab. Aisha yang memintanya
104 Terima kasih, suamiku.
105 Terima kasih kembali.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
214
untuk terus memperbaiki bahasa Arabnya. Jika dia kehabisan kosa kata ia akan mengatakannya dalam bahasa Inggris atau Jerman.
“Sayang, capek ya berdiri dan berdesakan,” tanyaku sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas.
“Ya.”
“Di Jerman kalau berangkat kuliah gimana? Sering berdesakan seperti tadi nggak?”
“Transportasi di Jerman sangat baik tidak seperti di Mesir. Dan kebetulan aku jarang naik angkutan umum.”
“Terus? Jalan kaki? Apa kontrakanmu dekat dengan kampus?”
“Tidak juga. Aku menyewa rumah lima kilo dari kampus. Dan alhamdulillah aku punya mobil sendiri.”
Aku langsung tahu apa yang harus aku lakukan. Sangatlah zhalim diriku
kalau aku membiarkan isteriku sedemikian tersiksa dan berdesakan
sementara di tanganku ada tiga juta dollar lebih. Aku jadi teringat
nasihat Syaikh Ahmad, “Jangan kau paksakan isterimu mengikuti standar
hidupmu yang sangat sederhana. Jangan pelit dan jangan boros!”
“Mobilmu apa, Sayang?”
“Land Cruiser. Aku suka model Jeep.”
Aku menawarkan, bagaimana kalau membeli mobil. Ternyata sebenarnya itu
juga ingin dia bicarakan padaku sejak tiga hari yang lalu. Cuma dia maju
mundur akhirnya tidak berani bicara. Takut kalau aku tidak setuju. Aku
tekankan padanya untuk tidak menyembunyikan keinginan apa pun dariku.
“Meskipun kusembunyikan toh kelihatannya kau bisa membaca keinginanku. Kau memang suami yang baik,” pujinya.
Aku harus mencari orang yang tahu seluk beluk mobil di Mesir. Biar tidak
kena tipu. Biar urusan dengan kepolisian mudah dan lain sebagainya. Aku
teringat Yousef, adiknya Maria. Bagaimana kabar mereka? Sudah pulang
dari Hurgada apa belum ya? Sudah tahu aku menikah apa belum? Aku perlu
menghubungi Yousef. Ia kelihatannya tahu seluk beluk mobil. Selama jadi
tetangganya kulihat sudah tiga kali ganti mobil.
“Hallo. Yousef?” AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
215
“Ya. Ini siapa?”
“Fahri. Kapan pulang?”
“Baru tadi pagi. Selamat ya atas pernikahannya. Aku sudah diberi tahu
sama Rudi. Sayang sekali. Kami menyesal. Seharusnya kami menelpon kalian
begitu tiba di sana dan memberikan nomor telpon hotel kami menginap.”
“O tidak apa-apa. Mama dan papa juga sudah pulang juga?”
“Belum. Mereka masih akan di sana satu minggu lagi. Tapi Maria sudah pulang. Mau bicara sama dia?”
“Tidak. Lain kali saja. Salam buat dia. Oh ya, aku mau minta tolong padamu. Bagaimana kita secepatnya bisa bertemu?”
“Kau sekarang ada di mana?”
“Di Zamalik. Muhammad Mazhar Street.”
“Kedutaan Swedia?”
“Lurus ke utara ada Apartemen tertinggi di ujung pulau. Flat nomor 21.”
“Malam ini juga aku ke sana. Aku sudah rindu ingin ketemu padamu sekalian aku bawakan kado istimewa.”
“Terima kasih, kutunggu.”
* * *
Pukul delapan malam Yousef datang bersama Maria. Yousef masih seperti
biasa, cerah dan ceria melihatku. Maria agak lain, dia sama sekali tidak
cerah. Dingin. Tersenyum pun tidak. Mungkin belum hilang lelahnya dari
Hurgada.
“Ini kado sederhana dari aku dan Maria. Maaf tidak bisa memberi yang
mewah-mewah maklum kami belum punya penghasilan,” kata Yousef
menyerahkan kado kecil yang dibungkus manis.
Maria lebih banyak menunduk. Sepertinya ia lesu sekali. Kami berbincang
sambil menikmati karikade hangat. Aku jelaskan pada Yousef rencanaku
membeli mobil. Dia sangat senang mendengarnya. Dia bertanya kriterianya.
Kujawab model jeep, tangan kedua, masih bagus dan normal semua. Dia
berjanji paling lambat besok sore dia akan menghubungi.
Hanya setengah jam mereka berada di rumah kami. Aku minta tolong pada
Yousef menjelaskan pada Rudi dan teman-temannya route rumah kami. Sebab
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
216
sejak acara walimah itu aku belum berkomunikasi dengan mereka lagi. Dan
itu atas permintaan mereka. “Sebelum satu minggu tidak boleh menghubungi
Hadayek Helwan. Pengantin baru satu minggu penuh harus tenang,” kata
mereka. Akhirnya malah kebablasan, dan mereka terlupakan.
Begitu Yousef dan Maria pulang aku langsung membuka kadonya.
“Kurang ajar, Yousef dan Maria itu!” umpatku.
“Apa sih isinya? Kenapa sampai mengumpat segala?” heran Aisha mendengar
aku mengumpata. Ia melihat isi kado. Botol berisi serbuk.
“Serbuk apa ini, Fahri?” tanya Aisha. Aku ragu untuk menjelaskannya. Tapi Aisha terus mendesak.
“Serbuk Dhab Mashri,” jawabku.
“Apa itu Dhab Mashri?” kejarnya. Aduh bagaimana ini.
Terpaksa aku jelaskan juga. Dhab Masri adalah kadal Mesir, dan
khasiatnya untuk obat kuat yang—kata orang-orang yang pernah
mencobanya—lebih dahsyat dari Viagra, telah digunakan oleh para raja dan
pangeran Mesir kuno. Mendengar penjelasanku Aisha salah tingkah, pipi
merona merah, lalu tersenyum indah sekali.
* * *
Atas bantuan Yousef, kami berhasil membeli Nissan Terrano hitam metalik
yang masih baru dengan harga sangat miring. Baru dipakai pemiliknya
setengah tahun. Aisha senang sekali. Hari itu juga kami berdua
berjalan-jalan mengelilingi kota Cairo. Tentu saja aku tidak bisa
menyetir. Yang menyetir Aisha. Ia juga punya SIM Internasional. Aku jadi
guidenya. Tujuh tahun di Kairo aku sudah hafal seluk beluk kota Cairo.
Acara jalan-jalan pun lancar dan mengasyikkan.
Malam sebelum keberangkatan ke Alexandria, Mishbah datang bersama Mas
Khalid. Mereka memberitahukan dua hari lagi Pelatihan Ekonomi Islam akan
dilaksanakan selama satu minggu di Wisma Nusantara. Aku kira pelatihan
itu sudah selesai ternyata diundur. Aku diminta menjadi salah satu
moderator sekaligus pendamping dosen-dosen yang semuanya dari Mesir. Aku
tidak bisa memutuskan sendiri. Aku harus bermusyawarah dengan Aisha.
“Tidak apa-apa, AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
217
penuhi saja permintaan mereka. Kita tunda berangkatnya setelah pelatihan
saja. Aku juga ingin tahu konsep ekonomi Islam itu seperti apa.” Jawab
Aisha.
Selama satu minggu setiap hari kami ikut pelatihan. Dan sudah tentu,
seperti yang aku prediksi, mahasiswa Indonesia geger melihat aku datang
dan pergi dengan membawa mobil, disopiri oleh seorang isteri bercadar.
Mana ada mahasiswa Indonesia memakai mobil? Kecuali beberapa gelintir
dan bisa dihitung dengan jari.
Terobosan, bulletin mahasiswa Indonesia di Cairo paling vokal, kembali
usil. Tanpa sepengetahuanku mereka berusaha mewawancarai Aisha mengenai
proses pernikahan kami. Mereka sungguh kreatif. Untung saja Aisha isteri
yang baik, ia tidak mau berkomentar sama sekali, dan menyuruh kru
Terobosan langsung mewawancaraiku. Kepada mereka aku kisahkan prosesnya
yang sungguh sangat sederhana.
Dua hari setelah itu Terobosan terbit. Segala keterangan yang aku
berikan tertulis jelas. Yang membuatku geli adalah tanggapan-tanggapan
dari beberapa kalangan aktifis yang pro dan kontra. Yang memandang
positif dan negatif penikahan kami. Yang paling menggelitik hatiku dan
justru paling kusukai adalah komentar seorang mahasiswi aktifis gender:
“Aku yakin si Aisha, isteri Fahri dari Turki itu pasti jelek. Kalau
cantik mana mungkin dia mau. Apalagi katanya dia itu kaya, punya flat
mewah di pinggir Nil segala. Yakin deh pasti wajahnya jelek. Dan kenapa
Fahri tetap mau dengan gadis jelak? Karena Fahri mengejar kekayaannya.
Jadi meskipun isterinya jelek dia mau saja, yang penting kaya. Dan untuk
menutupi jeleknya makanya Fahri menyuruhnya memakai cadar dengan dalil
agama.”
Aku suka sekali membaca komentar itu. Kalau mereka tahu kecantikan Aisha
semakin geger suasananya. Biarlah aku seorang yang tahu kecantikan
Aisha. Tapi ada komentar singkat yang membuat hatiku merasa tidak enak.
Komentar dari Nurul sebagai Ketua Wihdah:
“Pernikahan Fahri (Indonesia) dengan Aisha (Turki berdarah Palestina)
menunjukkan universalitas Islam. Aku tahu siapa Aisha. Sebelum dia
menikah dengan Fahri dia pernah banyak bertanya padaku tentang budaya
Indonesia,
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
218
khususnya masyarakat Jawa. Selamat buat Fahri yang berhasil menyunting muslimah Turki yang shalehah dan jelita.”
Nurul ternyata juga ikut pelatihan.
Dalam satu kesempatan, saat pulang, aku dan Aisha bertemu dengannya di
gerbang Wisma. Aku tidak menyapanya dan dia juga tidak menyapaku. Namun
Nurul bisa berbincang-bincang santai dengan Aisha seolah tidak pernah
terjadi apa-apa. Hatiku lega. Semoga dia telah menemukan jalan keluar
atas masalahnya. Sebelum berpisah Nurul memberikan selembar surat pada
Aisha. Di mobil Aisha menyerahkan sepucuk surat itu padaku sambil
bergumam, “Katanya ini pesan dari seseorang untukmu dan minta di baca
jika sudah sampai di rumah.”
Sampai di rumah langsung aku baca surat itu.
Untuk Kak Fahri
Yang sedang berbahagia
Bersama isterinya
Assalamu’alaikum wr. wb.
Kutulis surat ini dengan lelehan air mataku yang tiada berhenti dari
detik ke detik. Kutulis surat ini kala hati tiada lagi menahan nestapa
yang mendera-dera perihnya luar biasa. Kak Fahri, aku ini perempuan
paling bodoh dan paling malang di dunia. Bahwa mengandalkan orang lain
sungguh tindakan paling bodoh. Dan aku harus menelan kepahitan dan
kegetiran tiada tara atas kebodohanku itu. Kini aku didera penyesalan
tiada habisnya. Semestinya aku katakan sendiri perasaanku padamu. Dan
apakah yang kini bisa kulakukan kecuali menangisi kebodohanku sendiri.
Aku berusaha membuang rasa cintaku padamu jauh-jauh. Tapi sudah
terlambat. Semestinya sejak semula aku bersikap tegas, mencintaimu dan
berterus terang lalu menikah atau tidak sama sekali. Aku mencintaimu
diam-diam selama berbulan-bulan, memeramnya dalam diri hingga cinta itu
mendarahdaging tanpa aku berani berterus terang. Dan ketika kau tahu apa
yang kurasa semuanya telah terlambat.
Kak Fahri,
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
219
Kini perempuan bodoh ini sedang berada dalam jurang penderitaannya
paling dalam. Dan jika ia tidak berterus terang maka ia akan menderita
lebih berat lagi. Perempuan bodoh ini ternyata tiada bisa membuang rasa
cinta itu. Membuangnya sama saja menarik seluruh jaringan sel dalam
tubuhnya. Ia akan binasa. Saat ini, Kak Fahri mungkin sedang dalam
saat-saat paling bahagia, namun perempuan bodoh ini berada dalam
saat-saat paling menderita.
Kak Fahri,
Apakah tidak ada jalan bagi perempuan bodoh ini untuk mendapatkan
cintanya? Untuk keluar dari keperihan dan kepiluan hatinya. Bukankah
ajaran agama kita adalah ajaran penuh rahmah dan kasih sayang. Kak Fahri
adalah orang shalih dan isteri Kak Fahri yaitu Aisha adalah juga orang
yang shalihah. Bagi orang shalih semua yang tidak melanggar syariah
adalah mudah.
Kak Fahri,
Sungguh maaf aku sampai hati menulis surat ini. Namun jika tidak maka
aku akan semakin menyesal dan menyesal. Bagi seorang perempuan jika ia
telah mencintai seorang pria. Maka pria itu adalah segalanya. Susah
melupakan cinta pertama apalagi yang telah menyumsum dalam tulangnya.
Dan cintaku padamu seperti itu adanya telah mendarah daging dan
menyumsum dalam diriku. Jika masih ada kesempatan mohon bukakanlah
untukku untuk sedikit menghirup manisnya hidup bersamamu. Aku tidak
ingin yang melanggar syariat aku ingin yang seiring dengan syariat.
Kalian berdua orang shalih dan paham agama tentu memahami masalah
poligami. Apakah keadaan yang menimpaku tidak bisa dimasukkan dalam
keadaan darurat yang membolehkan poligami? Memang tidak semua wanita
bisa menerima poligami. Dan tenyata jika Aisha termasuk yang tidak
menerima poligami maka aku tidak akan menyalahkannya. Dan biarlah aku
mengikuti jejak puteri Zein dalam novel yang ditulis Syaikh Muhammad
Ramadhan Al Buthi yang membawa cintanya ke jalan sunyi, jalan
orang-orang sufi, setia pada yang dicintai sampai mati.
Wassalam,
Nurul Azkiya
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
220
Air mataku mengalir deras membaca surat Nurul. Aku tak tahu harus berbuat apa. Hatiku ikut pilu.
“Sayang, apa isinya sampai kau menangis?” tanya Aisha sambil mengusap
air mata dipipiku dengan ujung jilbabnya. Kutatap wajah isteriku.
Haruskah aku berterus terang padanya? Aku tak ingin membuat dirinya
kacau dan cemburu. Aku harus melindungi ketenangan jiwanya. Yang jelas
aku sama sekali tidak mau mengkhianatinya. Bisa jadi jika aku berterus
terang, dia bisa menerima usulan Nurul, tapi aku telah berjanji pada
diriku sendiri bahwa aku tidak akan memadu isteriku. Aisha adalah
perempuanku yang pertama dan terakhir.
“Kenapa diam Sayang? Apa isinya?” tanya Aisha kembali.
“Bacalah sendiri!”
Aisha melihat surat itu. Ia mengerutkan keningnya.
“Kau bercanda. Ini bahasa Indonesia ‘kan? Mana aku tahu maksudnya. Apa yang ditulisnya sampai kau menangis?”
“Ah tidak apa-apa. Isinya nasihat. Agar aku menjagamu dengan baik.
Berusaha memahamimu dan memaklumi perbedaan-perbedaan di antara kita
yang memang berbeda latar belakang budaya dan pendidikan. Dia juga
menasihati agar aku aku mengajarimu bahasa dan adat istiadat masyarakat
Indonesia agar kelak jika pulang ke Indonesia kau bisa beradaptasi dan
diterima dengan baik. Terakhir dia menasihatiku agar menyempatkan waktu
untuk menengok kedua orang tua di Indonesia, jangan terlalu asyik di
Mesir. Aku teringat ibuku.” Terpaksa aku berbohong, aku tak ingin
ketenangan hatinya terusik. Aku harus melindungi keluargaku dari segala
gangguan.
Aisha mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasanku.
“Nasihat yang baik sekali. Dia memang muslimah yang baik. Sekali-kali
kita harus undang dia dan teman-temannya kemari. Dia memuliakan diriku
saat aku berkunjung ke rumahnya,” ujar Aisha.
* * *
Seketika itu juga aku menulis surat balasan untuk Nurul.
Kepada
Nurul Azkiya
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
221
Cahaya orang-orang yang bersih hatinya
Di bumi perjuangan mulia
Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Saat menulis surat ini hatiku gerimis. Tiada henti kuberdoa semoga Allah
menyejukkan hatimu, menerangkan pikiranmu, membersihkan jiwamu, dan
mengangkat dirimu dari segala jenis penderitaan dan kepiluan.
Nurul,
Terima kasih atas suratnya. Aku sudah membacanya dengan seksama dan aku
memahami semua kata-kata yang kau tulis. Kalau kau merasa harus setia
pada cintamu. Maka aku merasa harus setia pada isteriku, pada belahan
jiwaku. Kalau kau memiliki anggapan poligami bisa menjadi jalan keluar
dalam masalah ini, bisa jadi ada benarnya. Poligami memang diperbolehkan
oleh syariat, tapi aku tidak mungkin menempuhnya. Aku perlu
menjelaskan, di antara syarat yang telah kami sepakati sebelum akad
nikah adalah aku tidak akan memadu Aisha. Aku sudah menyepakati syarat
itu. Kau tentu tahu hukumnya, aku harus menepatinya. Hukumnya wajib.
Nurul,
Dalam hidup ini, cinta bukan segalanya. Masih ada yang lebih penting
dari cinta. Sebenarnya jikalau kita bercinta maka seharusnya itu menjadi
salah satu pintu menjalankan ibadah. Janganlah terlalu kau turutkan
perasaanmu. Gunakanlah akal sehatmu, karena akal sehat adalah termasuk
bagian dari wahyu. Kau masih memiliki masa depan yang luar biasa
cerahnya. Kau ditunggu oleh ribuan generasi di tanah air. Jadilah kau
seorang Nurul seperti sebelum mengenalku. Nurul yang bersih dan
bercahaya, seperti namanya Nurul Azkiya , Cahaya bagi orang-orang yang
bersih hatinya.
Nurul,
Apakah kau sadar dengan apa yang kau lakukan saat ini? Dengan tetap
menuruti perasaanmu untuk menyesal dan membodoh-bodohkan diri kau telah
merusak dirimu sendiri. Ajaran agama kita yang hanif melarang manusia
membinasakan dirinya sendiri dengan cara dan alasan apa pun. Memasung
diri sampai menderita dengan alasan setia pada cinta adalah perbuatan
yang tidak
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
222
seirama dengan sunnah nabi. Kau jangan salah tafsir pada novel yang
ditulis oleh Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi. Dengan novel itu
beliau ingin menghibur dan menyejukkan orang-orang yang mereguk pahitnya
cinta karena kelaliman orang-orang yang tidak mengerti cinta. Beliau
membela orang yang semestinya dibela, dan mencela orang-orang lalim yang
semestinya dicela. Adapun Puteri Zein yang membawa cintanya sampai ke
liang lahat itu bukan atas kehendaknya. Berbeda dengan dirimu. Jika kau
membawa cintamu sampai mati maka itu atas kehendakmu, dan itu sama saja
dengan bunuh diri.
Nurul,
Cinta sejati dua insan berbeda jenis adalah cinta yang terjalin setelah
akad nikah. Yaitu cinta kita pada pasangan hidup kita yang sah. Cinta
sebelum menikah adalah cinta semu yang tidak perlu disakralkan dan
diagung-agungkan. Nurul, dunia tidak selebar daun anggur. Masih ada
jutaan orang shalih di dunia ini yang belum menikah. Pilihlah salah
satu, menikahlah dengan dia dan kau akan mendapatkan cinta yang lebih
indah dari yang pernah kau rasakan.
Terkadang, tanpa sengaja kita telah menyengsarakan orang lain. Itulah
yang mungkin kulakukan padamu. Maafkanlah aku. Semoga Allah masih terus
berkenan memberikan hidayah dan rahmatnya, juga maghfirahnya kepada kita
semua.
Wassalam,
Fahri Abdullah.
Surat itu kumasukkan dalam amplop dan kuberikan kepada Aisha untuk diberikan kepada Nurul besok paginya saat pelatihan.
Aisha bertanya, “Isinya apa?”
Kujawab, “Ucapan terima kasih. Aku gantian menasihatinya untuk segera menikah.”
“Benar. Dia sudah saatnya menikah, sebentar lagi selesai kuliah. Semoga
dia dapat suami yang baik dan shalih,” ujar Aisha polos sambil
tersenyum.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
223
21. Di San Stefano, Alexandria
Selesai pelatihan kami mempersiap segala sesuatu untuk pergi ke
Alexandria. Dengan cermat Aisha mendata semua keperluan yang harus
dibawa. Termasuk laktopnya. Selama satu minggu di sana ia berencana
menulis biografi ibunya. Ia pernah ke Alexandria bersama ibunya. Jadwal
di Alexandria telah tersusun baik. Di antaranya adalah pergi ke
perpustakaan Universitas Alexandria untuk mencari tambahan referensi dan
menemui Syaikh Zakaria Orabi, seorang imam masjid yang menurut
keterangan Syaikh Utsman pernah berjumpa dengan Syaikh Badiuz Zaman Said
An-Nursi.
Dengan Nissan Terrano kami sampai di kota Alexandria. Kota kebanggaan
rakyat Mesir. Aku tidak hafal betul route kota budaya ini. Setelah
bertanya beberapa kali akhirnya kami sampai di San Stefano Hotel.
Sebenarnya aku ingin naik bis saja. Tapi Aisha memaksa menggunakan mobil
pribadi. Ketika aku sedikit ragu akan keputusannya. Ia meyakinkan
diriku dengan berkata:
“Di Jerman aku sering keluar kota dengan mobil pribadi. Aku bahkan
pernah menempuh jarak Munchen-Hamburg dengan mobil sendiri. Kau jangan
kuatir, insya Allah selamat. Apalagi Cairo-Alexandria cuma 177 km,
jalannya pun lebar dan lurus, dengan kecepatan santai tiga-empat jam
sampai!”
Karena dia merasa yakin sekali semuanya akan baik-baik saja. Dia juga
ingin sekali berkeliling Alexandria dengan mobil sendiri maka aku pun
menyetujuinya. Untuk menginap sebenarnya sudah aku tawarkan padanya
menginap di rumah khusus tamu milik mahasiswi Malaysia, tapi Aisha tidak
mau. Aisha Aisha ingin menginap di hotel San Stefano dan di kamar yang
ia dan ibunya dulu pernah menginap. Sudah jauh-jauh hari ia pesan kamar
itu. Ia ingin bernostalgia sambil menulis biografi ibunya. Itulah untuk
pertama kalinya aku menginap di hotel berbintang. Sudah empat kali aku
ke Alexandria dan tidak pernah menginap di hotel. Dua kali ikut
mukhayyam 106 musim panas yang diadakan oleh Universitas Al Azhar. Dan
yang dua kali bersama teman-teman Malaysia dan menginap di rumah khusus
tamu milik organisasi mahasiswi Malaysia di Alexandria.
106 Perkemahan.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
224
Hotel San Stefano terletak tepat di garis pantai laut Mediterania.
Balkon kami kami menghadap ke laut. Malam pertama di San Stefano Aisha
berbisik,
“Sayang, Dhab Mashrinya dicoba yuk!”
Aku tersenyum. Aisha selalu berterus terang. Apakah karena dia bukan
perempuan Jawa? Tapi keterusterangannya membuat aku senang. Aku teringat
perkataan Sayyidina Muhammad Al Baqir, “Wanita yang terbaik di antara
kamu adalah yang membuang perisai malu ketika ia membuka baju untuk
suaminya, dan memasang perisai malu ketika ia berpakaian lagi!” Dan
Aisha adalah wanita seperti itu.
“Dhab Mashrinya tidak kubawa?”
“Kenapa?”
“Aku takut menjelma jadi kadal.”
Aisha tertawa geli.
Di Alexandria kami melewati hari-hari indah. Tidak terlalu kalah
indahnya dengan hari-hari di tepi sungai Nil. Tapi tepi sungai Nil
tetaplah lebih terkesan, karena kami menghabiskan malam paling indah
sepanjang hayat di sana. Satu minggu telah berlalu, tapi Aisha ingin
menambah satu minggu lagi untuk menuntaskan biografi ibunya. Ternyata
dengan memandang laut yang indah Aisha merasa pikirannya lebih jernih.
Banyak kenangan yang bersama ibunya yang terus berkelabat di kepalanya.
Ia sudah menulis tiga ratus halaman dan biografi itu belum juga selesai.
Aku merasa tidak ada masalah menambah hari lagi. Sementara dia sibuk
dengan biografi ibunya, aku sibuk talaqqi kitab hadits Shahih Bukhari di
Masjid Imam Abdul Halim Mahmud yang diajar oleh Syaikh Zainuddin
El-Maula.
Suatu malam ada sms masuk ke handphone-ku. Dari Yousef . Kubuka:
“Maria sakit, mama minta agar memberi tahu kamu.”
Aku tersenyum. Madame Nahed masih menganggap aku bagian dari
keluarganya. Puterinya sakit langsung memberi kabar. Aku tidak membalas
apa-apa. Aku hanya berdoa dalam hati semoga Maria segera sembuh. Dan
nanti jika sudah kembali ke Cairo, aku akan mengajak Aisha mengunjungi
mereka, sekalian mengunjungi teman-teman seperjuangan di Hadayek Helwan.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
225
Setelah dua minggu di Alexandria, waktu pulang pun tiba. Dari mengaji
pada Syaikh Zainuddin aku mendapatkan pengetahuan tentang fiqhul hadits
yang sangat berharga. Dari Syaikh Zakaria Orabi aku mendapatkan kisah
perjalanan hidup Said An-Nursi, juga beberapa lembar teks khutbah
Jum’atnya yang ditulis tangan oleh Syaikh Zakaria. Dan Aisha berhasil
menyelesaikan biografi ibunya. Tertulis dalam bahasa Jerman sebanyak 545
halaman satu spaso, Microsoft Word, Times New Roman, font 12. Sehari
menjelang pulang ke Cairo kami jalan-jalan ke kawasan El-Manshiya yang
merupakan pusat kota Alexandria dan disebut juga Alexandria lama. Di
El-Manshiya itulah tepatnya kota Alexandria kuno berada. Puing-puing
peninggalan Romawi masih ada di sana. Misalnya dapat di lihat bekasnya
di Graeco-Roman Museum dan Achaeological and Roman Amphitheatre. Kami
juga belanja di sana, tak lupa kami membeli dua jaket untuk Hosam dan
Magdi, dua penjaga keamanan apartemen kami. Sekadar sebagai hadiah dan
pengikat jiwa.
Terakhir kami berziarah ke makam Luqman Al Hakim yang namanya disebut
dalam Al-Qur’an dan dijadikan nama surat ketiga puluh satu. Makam Luqman
berdampingan dengan makam Nabi Daniyal. Berada di goa bawah tanah
masjid Nabi Daniyal, tak jauh dari terminal utama Alexandria. Selama
menatap makam Luqman air mataku meleleh teringat nasihat Luqman pada
anaknya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya
Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus
lagi Maha Mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).107I
Luqman seperti masih hidup dan menasihati diriku dengan suaranya yang
penuh wibawa dan mengetarkan jiwa. Jika aku punya anak kelak, aku ingin
107 Surat Luqman: 13,16, dan 17. AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
226
mendidiknya seperti Luqman mendidik anaknya. Aku ingin menasihatinya
seperti Luqman menasihati anaknya. Aku ingin bersikap bijaksana padanya
seperti Luqman bersikap bijaksana pada anaknya. Ya Tuhan, kabulkan.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
227
22. Penangkapan
Dalam perjalanan pulang entah kenapa aku merasakan kecemasan yang
menyusup begitu saja dalam jiwa. Selama melewati jalan lurus yang
membelah lautan padang pasir aku terus berdoa agar diberi keselamatan
sampai tujuan. Kupandang lekat-lekat wajah Aisha yang sedang konsentrasi
mengemudikan kendaraan. Dalam hati aku berkata:
Aku cemas bila kehilangan kau
Aku cemas pada kecemasanku108
Aisha terus mengebut dengan tenang. 90 km/jam. Semua kendaraan berjalan
cepat. Tak ada yang lambat. Bus West Delta menyalib dengan kecepatan
gila. Memasuki Giza, awal masuk kota Kairo dari arah Alexandria, kami
mampir di sebuah restoran untuk makan malam dan sedikit membeli
oleh-oleh buat Si Hosam dan Magdi. Dua penjaga apartemen yang dalam
waktu singkat sudah sangat akrab dengan kami. Tepat pukul sembilan malam
kami tiba di gerbang apartemen. Dua malam sebelum Ramadhan tiba.
Rencana berangkat umrah awal Ramadhan terpaksa diundur satu minggu. Baru
masuk rumah sms dari Yousef datang, mengabarkan kondisi Maria semakin
memburuk dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit Maadi. Kondisi kami
sangat lelah. Tidak mungkin langsung meluncur ke Maadi. Aku membalas
dengan mengabarkan baru tiba dari Alexandria dan insya Allah besok pagi
akan datang menjenguk.
Selesai membersihkan badan dengan air hangat kami shalat berjamaah.
Selesai shalat aku turun ke bawah membawa oleh-oleh untuk Hosam dan
Magdi. Dua bungkus ayam panggang dan dua jaket baru. Mereka senang
sekali menerimanya. Aku kembali naik dan mengajak Aisha istirahat.
Ketika mata baru saja akan terlelap, Aisha terbangun dan berlari ke
kamar mandi. Ia muntah-muntah. Kubuntuti dia. Kupijit-pijit tengkuknya.
Mukanya pucat. Dalam pikiranku dia masuk angin dan kelelahan. Ia telah
bekerja keras, memforsir tenaga dan pikirannya untuk menulis biografi
ibunya selama di Alexandria. Ia juga harus konsentrasi selama tiga jam
mengendarai mobil. Aku merasa sangat kasihan pada
108 Petikah puisi berjudul “Sajak” karya Penyair Amerika, John Cornford, diterjemahkan oleh Chairil Anwar.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
228
isteriku. Aku berniat aku harus bisa menyetir agar isteriku tidak
kelelahan. Kugosok punggungnya dengan minyak kayu putih. Telapak tangan,
kaki, perut dan lehernya kuolesi minyak kayu putih. Kubuatkan ramuan
obat andalanku jika lelah dan meriang. Segelas madu hangat diberi habbah
barakah. Rasulullah pernah memberi tahu bahwa habbah barakah bisa
menjadi obat segala penyakit. Setelah meminum ramuan itu Aisya kuajak
tidur.
Pagi hari ia tampak segar. Pukul sembilan saat aku bersiap mengajaknya
ke rumah sakit Maadi. Tiba-tiba dia kembali muntah-muntah. Aku bingung.
Aku takut ia terkena penyakit yang orang Jawa bilang masuk angin kasep,
yaitu masuk angin yang bertumpuk-tumpuk dan parah. Aku urung ke Maadi,
dengan taksi kubawa Aisha ke klinik terdekat. Seorang dokter berjilbab
memeriksanya. Hampir setengah jam lamanya Aisha berada dalam kamar
periksa dengan dokter berjilbab. Ketika keduanya keluar, dokter
berjilbab itu tersenyum, “Selamat! Setelah kami periksa air seninya dan
kami lanjutkan dengan USG, isteri anda positif hamil!”
Wajah Aisha cerah. Kepadaku ia mengerlingkan mata kanannya. Aku
merasakan kebahagiaan luar biasa. Begitu sampai di flat Aisha berkata
dengan wajah cerah,
“Melodi cinta yang kau mainkan sungguh ampuh suamiku. Dan memang saat
malam pertama dan malam-malam indah setelah itu adalah saat aku sedang
berada dalam masa subur. Allah telah mengatur sedemikian indahnya.
Segala puji bagi-Nya yang telah memberikan anugerahNya yang agung ini
pada kita berdua.”
Aku tersenyum dan langsung mencium pipinya yang bersih. Aisha menggeliat
manja. Ia lalu mengangkat telpon memberi tahu bibinya, Sarah. Ia juga
memberi tahu Akbar Ali, pamannya di Turki. Aku melihat kalender. Tak
terasa kami telah hidup bersama sejak malam pertama itu selama satu
bulan lebih. Hari-hari indah selalu berlalu begitu saja tanpa terasa.
Rasanya aku baru sehari bersama Aisha.
Untuk menghayati keagungan nikmat yang telah Tuhan berikan, kuajak Aisha
sujud syukur dan shalat dhuha. Kepadanya aku berpesan untuk tidak
banyak beraktifitas keluar rumah. Menjelang zhuhur aku bersiap untuk
menjenguk Maria yang sakit. Aisha kuminta di rumah. Dia pesan dibelikan
buah pir dan korma. Tiba-tiba ada orang membunyikan bel dengan kasar
sekali. Aku bergegas AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
229
membuka pintu dibuntuti Aisha yang penasaran siapa yang membunyikan bel
seperti orang gila itu. Begitu pintu kubuka. Tiga orang polisi berbadan
kekar menerobos masuk tanpa permisi dan menghardik,
“Kau yang bernama Fahri Abdullah?!”
“Ya benar, ada apa?”
“Kami mendapatkan perintah untuk menangkapmu dan menyeretmu ke penjara, ya Mugrim!”109 bentak polisi yang berkumis tebal.
“Kalian bawa surat penangkapan dan apa kesalahanku?”
“Ini suratnya, dan kesalahanmu lihat saja nanti di pengadilan!”
Aku membaca selembar kertas itu. Aku ditangkap atas tuduhan memperkosa. Bagaimana ini bisa terjadi.
“Ini tidak mungkin! Ini pasti ada kesalahan. Saya tidak mau ditangkap!” bantahku.
“Jangan macam-macam, atau kami gunakan kekerasan!” bentak polisi Mesir.
Aku sangat geram pada sikapnya yang sangat jauh dari sopan dan kelihatan
sangat angkut. Aisha cemas dan memegangi tanganku. Polisi Mesir itu
berkata-kata dengan suara keras seperti anjing menyalak.
“Ayo ikut kami!” tegas polisi kurus hitam sambil memegang erat-erat
tangan kananku. Aku menarik tanganku tapi polisi hitam mencengkeramnya
kuat-kuat dan memasang borgol. Tangan kiriku dipegang Aisha, dia
menangis.
“Ada apa ini Fahri, ada apa!?” tanya Aisha dengan muka pucat.
Polisi berkumis menarik tangan kiriku dari pegangan Aisha dan memaksa memborgolku.
“Sebentar Kapten biarkan aku sedikit bicara pada isteriku!?” ucapku dengan suara tegas.
“Boleh. Dua menit saja!” kata Si Kumis.
Aku lalu menjelaskan pada Aisha, hal seperti ini sering terjadi di
Mesir. Polisi Mesir tidak memakai azas praduga tak bersalah. Tapi
praduga bersalah. Jika dicurigai langsung ditangkap akan dibebaskan
kalau terbukti tidak bersalah. Aku berpesan pada Aisha untuk bersabar
dan langsung menghubungi Paman Eqbal, teman-teman PPMI, dan Kedutaan
Besar Republik Indonesia. Surat
109 Wahai penjahat.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
230
penangkapannya kuminta untuk aku berikan kepada Aisha. Tujuanku agar
nanti mudah dilacak keberadaanku. Tapi polisi itu tidak
memperbolehkannya. Aku pun pasrah digelandang tiga polisi itu. Kulihat
Aisha terisak-isak. Aku dibawa turun melalui lift. Di halaman mobil
kerangkeng besi menungguku. Sebelum masuk mobil kerangkeng aku sempat
mendongakkan kepala ke arah jendela flat lantai 7. Di sana kulihat wajah
Aisha yang basah air mata. Aku tidak tahu akan dibawa ke mana. Dalam
beberapa jam saja kegembiraan yang aku rasakan berubah menjadi kesedihan
dan kecemasan. Kota Cairo yang indah tiba-tiba terasa seperti sarang
monster yang menakutkan.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
231
23. Dalam Penjara Bawah Tanah
Aku dibawa ke markas polisi Abbasea. Diseret seperti anjing kurap. Lalu
diinterogasi habis-habisan, dibentak-bentak, dimaki-maki dan
disumpahserapahi dengan kata-kata kotor. Dianggap tak ubahnya makhluk
najis yang menjijikkan. Tuduhan yang dialamatkan kepadaku sangat
menyakitkan: memperkosa seorang gadis Mesir hingga hamil hampir tiga
bulan.
“Orang Indonesia kau sungguh anak haram. Saat mengandung dirimu, ibumu
makan apa heh? Makan bangkai anjing ya? Kau pura-pura menolong gadis
malang itu ternyata kau menerkamnya. Kau berani menginjak-injak
kehormatan perempuan kami. Kau ini mahasiswa Al Azhar, katanya belajar
agama, ternyata manusia bejat berwatak serigala!” Seorang polisi hitam
besar membentakku lalu menampar mukaku dengan seluruh kekuatan
tangannya. Kurasakan darah mengalir dari hidungku.
“Akui saja, kau yang memperkosa gadis bernama Noura yang jadi tetanggamu
di Hadayek Helwan pada jam setengah empat dini hari Kamis 8 Agustus
yang lalu? Akui saja, atau kami paksa kau untuk mengaku! Jika kau
mengakuinya maka urusannya akan cepat.”
Kata-kata polisi itu membuatku kaget bukan main. Noura hamil dan aku yang dituduh memperkosanya. Sungguh celaka!
Dengan tetap berusaha berkepala dingin aku mencoba menjelaskan kepada
mereka itu adalah sebuah tuduhan keji. Lalu kujelaskan semua kronologis
kejadian malam itu. Sejak mendengar jeritan Noura disiksa ayah dan
kakaknya sampai paginya dititipkan ke rumah Nurul. Tapi penjelasanku
dianggap seolah suara keledai. Mereka malah tertawa. Dan menjadikan aku
bulan-bulanan oleh hinaan, makian dan tamparan yang membuat bibirku
pecah.
“Kami memiliki bukti kuat kaulah pemerkosa gadis malang itu. Dia sangat
menyesal mengikuti bujuk rayumu. Dia telah menceritakan semuanya. Dan
dia juga punya saksi kau melakukan perbuatan terkutuk yang merusak masa
depannya itu. Kau sudah tahu bahwa hukuman pemerkosa di negara ini
adalah hukuman gantung. Sekarang kau hanya memiliki dua pilihan.
Mengakui perbuatanmu itu, dan kau mungkin akan mendapat keringanan atas
kerja samamu. Sehingga kau
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
232
mungkin tidak akan dihukum gantung. Atau kau tetap bersikeras
mengingkarinya dan terpaksa nanti pengadilan akan menggantungmu. Pilih
mana?” Polisi hitam besar kembali menggertak. Hatiku sempat ciut. Aku
teringat ulama-ulama yang mengalami nasib tragis di tangan para algojo
negara ini. Apa pun jalannya, kematian itu satu yaitu mati. Allah sudah
menentukan ajal seseorang. Tak akan dimajukan dan dimundurkan. Maka tak
ada gunanya bersikap lemah dan takut menghadapi kematian. Dan aku tidak
mau mati dalam keadaan mengakui perbuatan biadab yang memang tidak
pernah aku lakukan.
“Kapten, aku memilih membuktikan di pengadilan bahwa aku tidak bersalah.
Aku yakin negara ini punya undang-undang dan hukum. Aku minta
disediakan pengacara!”
“Tindakan bodoh! Di pengadilan kau akan kalah! Kau akan dihukum gantung!
Lebih dari itu kau akan masuk surat kabar! Kau akan diteriaki
orang-orang sebagai pemerkosa! Kenapa kau tidak memilih mengakuinya dan
kita tutup kasus ini diam-diam. Kita buat kesepakatan-kesepakatan dengan
keluarga Noura sekarang. Kalau mereka memaafkan kau mungkin akan
bernasib lebih baik.Kami masih sedikit berbelas kasihan padamu karena
kau orang asing. Kalau kau orang Mesir sudah kami binasakan!” bentak
polisi hitam dengan mata melotot.
“Aku bukan pelaku pemerkosaan itu Kapten! Aku akan buktikan bahwa aku tidak bersalah!” tegasku.
“Baiklah aku akan memberimu waktu berpikir dua hari. Jika kau tetap
bersikeras tidak mau mengaku dan mengambil jalan kompromi maka terpaksa
kau kami seret ke meja hijau dan jangan salahkan kami jika nasibmu
berakhir di tiang gantungan dan namamu dilaknat semua orang!”
“Yang berhak melaknat hanya Allah. Dan hanya Allahlah yang tahu
segalanya. Aku tidak akan takut dengan caci maki manusia selama aku
merasa berada di jalan yang benar!”
“Hahaha…kau ini sok pintar! Jalan benar apa? Apa memperkosa itu jalan
yang benar? Kau ini sudah selesai S.1. di Al Azhar. Gadis-gadis
Indonesia saja banyak kenapa ketika itu kau tidak memilih menikah dengan
salah satu dari mereka. Kenapa kau malah memilih memperkosa gadis
malang itu dengan pura-pura mau menolong? Dan itu kau anggap jalan yang
benar? Dasar anak anjing!
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
233
Dasar anak pelacur!” Polisi hitam itu mengumpat-umpat kasar. Entah kenapa mendengar kalimat umpatan terakhir darahku mendidih.
“Kau yang anak anjing! Wajahmu hitam penuh dosa! Kau yang anak pelacur!
Yakhrab baitak!” balasku mengumpat dengan sama kasarnya. Wajah polisi
itu semakin gosong. Giginya gemerutuk seperti monster mau menelanku. Ia
pun melayangkan tangan kanannya ke mukaku.
“Bawa dia ke penjara dan cambuk sepuluh kali atas penghinaannya padaku!”
Perintahnya pada tiga anak buahnya yang tadi menangkapku. Tiga polisi
itu lalu menggelandangku ke penjara. Inilah untuk pertama kalinya aku
masuk penjara. Kami melewati sel-sel yang berisi tahanan yang semuanya
orang Mesir. Mereka semua terheran-heran melihat kehadiranku. Tiga
polisi itu terus menggelandangku hingga sampai disebuah ruangan kosong.
Ada sebuah kursi kayu kusam dan didindingnya tergantung beberapa alat
penyiksa. Cambuk. Pentungan dari karet. Ganco. Tali. Dan lain
sebagainya.
Polisi gendut melepas pakaianku. Lalu menyuruhku berdiri menghadap
tembok. Setelah itu aku merasakan sabetan cambuk yang perih di
punggungku. Tidak sepuluh kali tapi lima belas kali. Aku merasakan sakit
luar biasa. Mereka lalu melepas borgolku dan menyeretku ke sebuah
ruangan, melucuti semua pakaianku kecuali pakaian dalam. Juga sepatuku.
Dalam keadaan hanya memakai celana dalam mereka menggunduliku. Lalu
melempar seragam tahanan ke arahku. Cepat-cepat aku menutup aurat. Si
Kumis menyuruh aku berdiri tegap dengan tangan diletakkan dibelakang
punggung. Si Hitam memegang kedua tanganku yang kulipat dibelakang
punggung kuat-kuat. Sementara Si Gendut mengikat kedua kakiku. Lalu
dengan sangat kurang ajar Si Kumis mempermainkan kemaluanku. Aku
menjerit-jerit dan meronta-ronta. Meludahi Si Kumis. Tapi mereka terus
saja terbahak-bahak seperti setan. “Ini yang digunakan untuk memperkosa
itu oh..oh..oh! Burung kakak tua..hehehe..kecil sekali tak ada
apa-apanya dengan milikku…hehehe..tapi berani kurang ajar ya
hehehe..hahaha!”
Sungguh perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Aku merasakan penghinaan
yang luar biasa. Aku belum pernah merasakan diriku dihina dan
kehormatanku dinistakan senista itu. Aku lebih suka dirajam daripada
dihina seperti itu. Jika aku sampai terlihat mengucurkan air mata, maka
ketiga setan itu
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
234
akan semakin gila tertawanya. Aku merintih dalam hati. Batinku menangis
sejadi-jadinya memohon keadilan kepada Allah. Agar mereka diganjar atas
kekurangajaran mereka. Aku terus menjadi bulan-bulanan mereka sampai aku
tidak sadarkan diri.
* * *
Ketika sadar, aku berada di sebuah kamar gelap dan pengap.
“Alhamdulillah, kau sudah sadar.” Suara orang yang kurasa sangat tua. Di
keremangan cahaya buram lampu di luar kamar yang masuk melalui jeruji
pintu sel aku bisa menangkap wajah orang tua berjenggot putih duduk di
dekatku.lalu empat orang lainnya. Dua setengah baya dan dua lainnya
muda. Mereka semua memakai pakaian tahanan yang lusuh.
“Kelihatannya kau bukan orang Mesir?” tanya kakek tua ramah. Aku sedikit
tenang mendengar suaranya yang lembut. Tapi aku kuatir dengan yang
empat, kalau mereka orang-orang yang jahat aku bisa jadi bulan-bulanan
di penjara ini. Aku pernah mendengar adanya hukum rimba di dalam
penjara. Apalagi aku asing sendiri di sini.
“Dari Indonesia.”
“Siapa namamu?”
“Fahri Abdullah Shiddiq.”
“Nama yang bagus. Namaku Abdur Rauf.”
“Apa yang kau lakukan di Mesir?”
“Hanya belajar.”
“Di mana?”
“Di Al Azhar.”
“Masya Allah. Lantas bagaimana ceritanya kau bisa masuk penjara ini?”
“Musibah ini datang begitu saja. Aku dituduh memperkosa gadis Mesir,
padahal aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Bagaimana mungkin
aku akan melakukannya padahal aku memiliki seorang ibu, bibi, isteri
dan nanti mungkin seorang anak perempuan. Aku terkadang tidak bisa
memahami sistem yang berlaku di negara ini?”
“Di mana kau ditangkap?”
“Di rumah.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
235
“Nasibmu masih lebih bagus dariku Anak muda. Aku ditangkap disaat sedang
menguji tesis magister di universitas. Di depan sekian banyak orang aku
diperlakukan seperti tikus.”
“Jadi Anda seorang guru besar?”
Pemuda berwajah putih yang sejak tadi mematung di pojok ruangan menyahut
sambil mendekat, “Beliau adalah Prof. Dr. Abdur Rauf Manshour, guru
besar ekonomi pembangunan di Universitas El-Menya. Beliau kemungkinan
ditangkap karena kritik-kritik tajamnya di koran! Oh ya perkenalkan
namaku Ismail, mahasiswa kedokteran tahun ketiga Universitas Ains Syam,
ditangkap karena memimpin demonstrasi di dalam kampus mengutuk tindakan
Ariel Sharon menginjak-injak Masjidil Aqsha dan perlakuan kejam tentara
Israel pada anak-anak Palestina terutama penembakan Muhammad Al Dorrah
dua tahun lalu.”
“Jadi kau sudah dua tahun mendekam di sini?”
“Ya.”
“Dan hanya karena memimpin demonstrasi di dalam kampus?”
“Ya.”
“Aku lebih tragis lagi!” Pemuda yang satunya menyahut, “aku tidak
melakukan apa-apa juga ditangkap. Kau tentu tahu demonstrasi di masjid
Al Azhar usai shalat Jum’at satu tahun yang lalu yang menentang agresi
Amerika ke Afganistan. Demonstrasi itu tidak besar. Bisa dikatakan bukan
demonstrasi malah. Lebih tepat dikatakan protes. Ketika orang-orang
bertakbir aku ikut bertakbir. Hanya itu. Keluar masjid aku ditangkap dan
mendekam di sini sampai sekarang. Kenalkan namaku Ahmad biasa dipanggil
Hamada. Aku tidak kuliah, lulus SLTA langsung bekerja di penerbit
Muassasa Resala.”
“Muassasa Resala di dekat Abidin Attaba itu?” tanyaku.
“Benar.”
Kami lalu berbincang banyak dan saling mengenal satu sama lain. Dua
lelaki setengah baya bernama Haj Rashed, dia kepala sekolah SD dan imam
sebuah masjid kecil di Mathariyah. Ditangkap dua bulan lalu karena
khutbah Jum’atnya yang pedas. Yang satunya bernama Marwan, mantan
pegawai jawatan kereta api, dipenjara sejak setengah tahun lalu karena
membunuh tetangganya yang menggoda isterinya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
236
“Aku ini orang paling besar cemburunya di dunia. Sebenarnya aku sudah
bersabar dan beberapa memberi peringatan pada pria kurang ajar itu. Tapi
dia sungguh keterlaluan. Rumah kami dua tingkat di atasnya. Suatu
ketika isteriku belanja, ketika pulang satu lift dengannya. Di dalam
lift itulah dia menggerayangi isteriku. Isteriku lapor padaku. Seketika
itu juga kudatangi dia dan kupancung dia. Dia keliru kalau menganggap
diriku tidak bisa berbuat sesuatu. Seandainya dengan perbuatanku ini aku
akan dihukum mati aku akan menerimanya dengan senang hati. Aku merasa
puas karena aku telah membela kehormatan isteriku.”
Cerita Marwan langsung mengingatkan diriku pada Aisha. Oh Aisha, dia
tentu sangat sedih sekarang. Dia sendirian di flat memikirkan nasibku
dengan penuh kecemasan. Aku menitikkan air mata dan berdoa kepada Allah
agar memberikan ketabahan pada Aisha dan agar melindunginya dari segala
mara bahaya.
“Orang Indonesia, siapkanlah mentalmu! Kau akan menghadapi hari-hari
yang mencekam. Hari-hari yang tidak kau ketahui apakah kau masih hidup
atau telah mati. Kamar kita ini hanya berukuran tiga kali tiga. Kau
lihat aku berdiri di atas genangan Air. Padahal sekarang sudah mulai
masuk musim dingin. Setengah ruangan ini tergenang air. Kau kini duduk
dibagian yang kering. Selama ini kita tidur bergantian. Terkadang tidur
sambil berdiri. Kita diberi kesempatan ke WC dan kamar mandi sehari
sekali menjelang shubuh. Itupun dalam antrean yang panjang dan terkadang
kita sama sekali tidak punya kesempatan ke WC karena waktu yang
diberikan telah habis. Siapkanlah mentalmu!” kata Professor Abdul Rauf.
“Gelap dan pengap. Apakah kita berada di bawah tanah?” tanyaku.
“Benar! Oh ya, tadi kau pingsan cukup lama. Kelihatannya kau belum shalat ashar,” jawab Professor Abdul Rauf.
“Astaghfirullah. Pukul berapa sekarang?” tanyaku.
“Pastinya tidak tahu, tapi sebentar lagi maghrib datang.”
“Tayammum?”
“Ya.”
Aku lalu tayammum dan shalat. Selesai shalat Professor Abdul Rauf
memimpin kami membaca doa dan dzikir sore hari. Ditutup doa rabithah
yang AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
237
dibaca oleh Haj Rashed. Tak lama setelah itu azan maghrib berkumandang. Adil bergumam lirih,
“Ya Allah, inilah saat malam-Mu datang menjelang, dan siang-Mu telah
berlalu, dan inilah suara dari para penyeru-Mu maka ampunilah kami.”
Karena tempat yang sempit kami tidak bisa berjamaah sekaligus. Terpaksa
dibagi dua jamaah bergantian. Aku diminta menjadi imam jamaah kedua,
dengan alasan aku satu-satunya yang dari Al Azhar. Aku membaca surat
Yusuf, ayat-ayat yang menceritakan nabi mulia itu dipenjara di Mesir
karena tuduhan Zulaikha. Sungguh nasibku tak jauh berbeda dengan Yusuf.
Noura mengaku aku telah memperkosanya. Aku menangis dalam shalat.
“Bacaan Al-Qur’anmu indah dan tartil, di mana kau talaqqi?” tanya Haj Rashed
“Di Shubra. Pada Syaikh Ustman Abdul Fattah.”
“Yang di masjid Abu Bakar itu?”
“Benar.”
“Pantas. Besok malam sudah mulai tarawih. Kau saja imamnya ya?”
Pertanyaannya kembali mengigatkan aku pada Aisha. Dia akan menjalani
Ramadhan sendirian dengan hati sedih. Rencana umrah ke tanah suci dan
berhari raya di Indonesia tidak jadi. Oh begitu cepat perubahan terjadi.
Kemarin malam aku masih tidur nyaman di hotel berbintang di Alexandria
bercinta dengan Aisha begitu mesranya. Malam ini aku meringkuk
kedinginan di penjara bawah tanah. Aku nyaris tidak bisa memejamkan
mata. Seluruh tulang terasa ngilu, kulit kedinginan, punggung perih
bukan main, dan kemaluan sakit luar biasa. Bayang-bayang kematian
mengintai di semua sudut ruangan, tapi aku bersikeras untuk bertahan.
Keesokan harinya terdengar langkah sepatu bot. Lalu suara orang membentak sambil menggedor pintu sel, “Tahanan nomor 879!”
Tak ada yang menjawab. Semua diam. Ismail dan Haj Rashed berpandangan.
“Hai tahanan 879! Anjing! Dungu ya?” Sipir penjara itu marah sekali.
Ismail menepuk pundakku. “Coba lihat nomormu!” Pelannya. Ia lalu
mendekatkan matanya ke dadaku. Dalam keremangan gelap tertulis di sana
nomor
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
238
879. Berarti aku yang dimaksud. Aku lalu beranjak menuju pintu yang
telah dibuka. Sipir itu langsung menarikku dengan kasar dan menendangku,
“Dungu kau!”
Aku kembali dibawa ke ruang interogasi. Polisi hitam besar yang kemarin
mengintrogasiku telah menunggu dengan segelas teh kental di tangan
kanannya. Begitu aku masuk ia tersenyum sinis. Dua orang polisi yang
kemarin menangkapku juga ada di situ. Si Hitam dan Si Gendut. Aku tidak
melihat Si Kumis yang kurang ajar itu.
“Bagaimana orang Indonesia? Kau mau mengakui perbuatanmu? Aku berjanji akan mengusahakan keringanan hukumannya?” tanyanya.
“Aku tidak berubah pikiran. Aku tidak melakukan perbuatan dosa itu.
Bagaimana mungkin aku akan mengakuinya. Aku akan buktikan bahwa aku
tidak bersalah!” jawabku tegas.
“Semua penjahat selalu berkata begitu. Kau sungguh bodoh! Jika kau
sampai ke meja hijau kau akan kalah. Bukti kau bersalah sangat kuat! Kau
akan digantung! Kau masih punya kesempatan satu hari untuk berpikir.
Sipir beri dia sedikit sarapan pagi biar pikirannya cerah!”
Dua anak buahnya itu lalu membawaku ke ruangan penyiksaan. Aku disuruh
berdiri tegak. Si hitam mengangkat kursi kayu, dua kaki belakang kursi
itu diletakkan diatas telapak kakiku. Dan Si Polisi Gendut lalu
menduduki kursi itu. Terang saja aku menjerit kesakitan. Telapak kakiku
terasa remuk tulang-tulangnya. Dan ketika aku menjerit Si Hitam
menjejalkan roti keras ke mulutku hingga menyodok tenggorokanku. Aku mau
muntah tapi raoti kering itu tetap dijejalkan ke mulutku. Ketika aku
sudah tidak tahan dan nyaris pingsan ia menarik roti itu dan si gendut
bangkit dari kursi itu. Aku dibiarkan istirahat sebentar, lalu disuruh
menghadap ke dinding dan dicambuk lima kali. Belum juga puas, mereka
lalu menyodok perutku yang masih kosong dengan popor bedil tiga kali
sampai aku muntah. Rupanya itu yang dimaksud dengan sedikit sarapan
pagi. Dengan tubuh lemas aku diseret dan dilempar kembali di sel bawah
tanah. Dan aku jatuh tertelungkup di dalam sel tak sadarkan diri.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
239
24. Tangis Aisha
Yang kulihat pertama kali adalah wajah Ismail ketika aku bangun.
Kepalaku ada di atas pahanya. Ia tersenyum padaku. Aku merasa haus
sekali. Sejak kemarin tenggorokanku belum terkena setetes air sama
sekali.
“Aku haus sekali,” lirihku sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhku.
“Hamada, ambilkan susu itu!” Kata Professor Abdul Rauf.
Hamada mengambil botol berisi susu dan meminumkan padaku. Aku menenggak tiga teguk. “Sudah,” kataku.
“Minumlah lagi, biar tubuhmu segar!” paksa Ismail.
Aku menenggak tiga teguk lagi. “Sudah!” kataku.
“Apa yang mereka perlakukan terhadapmu?”
Dengan suara terbata aku menceritakan semua bentuk penyiksaan yang aku
terima sejak kemarin sampai tadi pagi. Juga perlakuan mereka yang keji
atas kemaluanku.
“Mereka sungguh biadab!” geram Ismail mendengar ceritaku.
“Mereka memang sangat biadab. Lebih biadab dari Iblis! Dan apa kau
terima masih belum seberapa dibandingkan para ulama yang disiksa
habis-habisan tahun enam puluhan. Bahkan ada dua orang ulama yang
ditelanjangi dan dipaksa melakukan perbuatan kaum nabi Luth. Tentu saja
mereka tidak mau melakukan perbuatan terkutuk itu. Akhirnya mereka
berdua mati syahid jadi santapan anjing ganas yang lapar.” Kisah
Professor Abdul Rauf dengan suara bergetar.
Aku bergidik mendengarnya. Perlakuan mereka yang keji padaku terbayang
kembali. Membuat hatiku perih dan sakit sekali. Aku tak bisa
membayangkan sakitnya seorang perempuan diperkosa. Kehormatannya
dinodai. Betapa sakitnya mereka. Gilanya aku dituduh melakukan perbuatan
bejat yang menyakitkan perempuan itu. Perbuatan yang sangat kubenci dan
kukutuk, tidak mungkin aku lakukan. Rasa gilu dan sakit bergumul dalam
hati bercampur marah, bertumpuk-tumpuk, mendera-dera, menyesak-nyesak
dalam dada.
“Sudahlah kita makan dulu. Alhamdulillah, ada sedikit rizki dari Allah Swt.!” kata Professor Abdul Rauf.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
240
Haj Rashed mengambil bungkusan dari pojok ruangan. Tiga roti isy yang
empuk dan lebar, satu ayam panggang digelar dan satu plastik apel. Aku
bangkit duduk perlahan.
“Apakah semewah ini jatah dari penjara?” tanyaku.
“Tak lama lagi kau akan tahu seperti apa jatah penjara,” sahut Hamada.
“Lebih kayak untuk santapan binatang!” tukas Marwan.
Haj Rashed berkata:
“Yang kita makan ini adalah kiriman dari isteri Professor Abdul Rauf.
Untuk bisa memasukkan makanan ini ke penjara dia harus membayar seratus
pound kepada petugas. Kirimannya juga dirampas setengahnya. Aslinya
adalah dua botol susu, enam lembar roti Isy, dua buah ayam bakar dan dua
kilo apel. Tapi para sipir itu minta separo bagian. Tidak setiap saat
keluarga kami boleh mengirim makanan. Satu bulan hanya diizinkan dua
kali saja. Makanan ini sudah datang sejak tadi pagi. Beberapa menit
setelah kamu dibawa keluar. Kami tidak mungkin makan tanpa menunggumu.
Kami yakin kau pasti sudah lapar. Wajahmu sedemikian pucatnya.
Rasulullah tidak mengizinkan perut kita kenyang sementara orang terdekat
kita kelaparan.”
Penjelasan Haj Rashed membuat diriku terharu. Bahwa diriku berada di
tengah-tengah orang baik. Mereka begitu perhatian padaku. Kami pun makan
bersama penuh nikmat dengan diselimuti rasa persaudaraan yang kuat.
Setelah makan dan minum beberapa teguk susu tubuhku terasa memiliki
kekuatan kembali.
Tak lama setelah itu seorang sipir menggedor pintu dan dari jeruji atas
ia melemparkan enam roti isy kering. Ia melempar roti itu seperti
melempar makanan pada anjing. Isy itu melayang bertebaran. Ada yang
mengenai muka Professor. Ada yang jatuh di kaki Ismail dan ada yang
masuk air yang menggenang di sebagian lantai.
“Ini jubnahnya!”110 teriak sipir itu melempar bungkusan hitam.
Ismail memunguti isy itu dan mengumpulkannya. Yang jatuh ke genangan air
ia pisahkan. Ia mengambil selembar Isya yang sudah kering itu serta
bungkusan hitam dan menyerahkannya padaku.
110 Jubnah: keju putih seperti tahu.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
241
“Inilah jatahnya. Sehari sekali. Coba kau lihat!” ujarnya padaku.
Aku pegang isy itu. Kering dan kaku. Kubuka plastik hitam, baunya sudah tidak karuan.
“Tapi kita tetap harus menerimanya dengan sabar. Yang jatuh ke dalam
genangan air kotor itu pun suatu ketika ada gunanya. Dahulu baginda nabi
dan para sahabat pernah sampai makan rerumputan dan akar pepohonan,”
lanjut Ismail.
Kembali aku teringat hari-hari indah bersama Aisha. Makan tidak pernah
kurang. Selama di Alexandria selalu di restoran hotel. Semua enak dan
penuh gizi. Dan tiba-tiba kini aku harus siap dengan makanan yang
layaknya untuk tikus dan kecoa. Aku masih merasakan Allah Maha Pemurah,
makan pertama di penjara adalah ayam panggang lengkap dengan sebutir
apel merah yang segar.
Malam harinya kami tarawih. Kami mengatur sedemikian rupa agar kami
tetap bisa shalat tarawih berjamaah bersama. Haj Rashed minta satu juz
dalam delapan rakaat. Inilah untuk pertama kalinya aku jadi imam tarawih
di Mesir. Dan di dalam penjara. Setengah tiga kami bangun, tahajjud
sebentar lalu sahur. Apalagi yang kami makan kalau bukan jatah tadi
siang. Aku hampir muntah tapi kutahan-tahan. Kulihat Professor dan
teman-teman lainnya makan dengan santai. Di pojok ruangan ada ember
plastik. Kami bergantian minum dari air yang ada di ember itu.
“Kita beruntung minum dari ember. Di kamar paling pojok sana tempat airnya adalah kaleng bekas yang sudah karatan,” kata Hamada.
Aku teringat Aisha, bagaimanakah dia sekarang. Apakah juga sedang sahur,
ataukah sedang menangis sendirian. Aku sangat merindukannya.
* * *
Sampai hari ketiga ditahan, belum juga ada yang menjengukku. Meskipun
diinterogasi dan dipaksa seperti apapun aku tetap bersikukuh tidak mau
mengakui dakwaan itu. Aku tetap memilih membuktikan tidak bersalah di
pengadilan. Pengadilan pertama akan digelar tiga hari lagi. Aku cemas.
Aku perlu pengacara dan saksi yang membelaku bahwa aku tidak bersalah.
Teman-teman satu rumah di Hadayek Helwan. Kelurga Tuan Boutros. Nurul
dan teman-temannya. Dan Syaikh Ahmad. Mereka bisa menjadi saksi. Tapi
bagaimana aku bisa menghubungi
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
242
mereka. Isteriku, Aisha yang sangat kurindukan belum juga datang
menjenguk. KBRI atau PPMI belum juga tampak batang hidungnya. Aku sangat
gelisah dan sedih. Aku kuatir mereka tidak mau mengerti karena termakan
oleh fitnah keji itu. Aku takut Aisha tidak percaya padaku dan
membenciku. Aku tak kuat memendam semua kegekisahan dan kekuatiran ini.
Akhirnya kuutarakan semuanya pada Profesor Abdul Rauf dan teman-teman.
“Fahri, kau jangan kuatir. Aku yakin mereka semua sudah tahu dan sudah
bergerak. Cuma memang pihak kepolisian yang sengaja mengulur waktu agar
kau tidak segera bisa bertemu dengan mereka. Dulu, waktu aku ditangkap,
satu bulan keluargaku mencariku ingin bertemu tapi tidak bisa. Baru
bulan kedua mereka menemukanku. Isterimu mungkin sekarang sedang
pontang-panting dipermainkan para polisi tidak bertanggung jawab itu.
Mungkin sudah sampai di kantor penjara ini. Tapi pihak keamanan akan
bilang sudah dipindah ke Tahrir. Nanti yang Tahrir akan bilang dipindah
ke Nasr City. Dan seterusnya. Begini saja nanti ibuku mau menjengukku.
Berikanlah nomor handphone isterimu, biar ibuku memberitahu dia bahwa
kau ada dipenjara ini,” kata Ismail memberi saran. Untung aku ingat
nomor handphone Aisha. Aku beritahu nomor itu pada Ismail sampai dia
hafal betul. Dan nanti ibunya akan menghafal nomor itu. Jika satu angka
saja salah maka nasibku akan semakin buruk.
* * *
Hari keempat.
Setelah menerima sarapan pagi dari sipir penjara berupa cambukan,
pukulan dan tamparan aku mendapat panggilan. Seorang sipir
menggelandangku dengan tergesa-gesa ke balai pengobatan penjara. Seorang
dokter militer dan dua perawat membersihkan muka dan beberapa bagian
tubuhku yang luka. Penampilanku mereka perbaiki sedemikian rupa. Lalu
aku diajak ke sebuah ruangan. Di sana ada tiga sosok menungguku, Paman
Eqbal, Magdi penjaga apartemen kami dan seorang perempuan bercadar yang
aku yakin dia adalah Aisha. Begitu melihat sosokku perempuan bercadar
itu berhambur ke arahku. Ia memelukku erat-erat sambil menangis. Aku pun
menangis. Ia menatapku dalam-dalam dan meraba wajahku dengan kedua
tangannya yang halus.
“Bagaimana keadaanmu, Fahri, Suamiku?”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
243
“Aku baik-baik saja. Kau bagaimana?”
Aisha menangis tersedu-sedu dalam pelukanku. “Apa dosa kita berdua Fahri
sampai kita harus menanggung cobaan seberat ini. Aku nyaris kehilangan
sesuatu yang paling berharga yang aku miliki kalau seandainya tidak
diselamatkan oleh Magdi. Kau harus berterima kasih padanya. Dia telah
menyelamatkan kesucian isterimu ini Fahri.” Aisha berkata sambil
terisak-isak.
“Apa sebenarnya yang terjadi setelah hari itu?” tanyaku penasaran.
“Aku tak sanggup menceritakannya. Tanyakanlah pada Magdi?” jawab Aisha dengan tetap memeluk erat diriku.
Kami lalu duduk. Kutanyakan apa yang terjadi pada Aisha pada Magdi.
Dengan tenang Magdi, polisi yang sering kujumpai shalat berjamaah di
masjid dekat apartemen itu bercerita:
“Sebelumnya maafkan diriku, aku tidak bisa membantumu saat kau
ditangkap. Karena mereka membawa surat penangkapan lengkap. Meskipun aku
secara pribadi tidak yakin akan kebenaran tuduhan yang digunakan
sebagai alasan penangkapanmu. Dan anggapanku ini agaknya benar. Satu
hari setelah kau ditangkap, sekitar jam sepuluh pagi polisi berkumis
yang ikut menangkapmu itu kembali datang. Ia minta izin mau bertanya
sedikit pada Madame Aisha, isterimu. Aku menanyakan surat izinnya. Dia
bilang tidak bawa tapi ini tugas penting yang harus dikerjakannya. Dia
hanya akan bertanya beberapa hal pada Aisha, membutuhkan waktu tak lebih
dari sepuluh menit saja. Akhirnya kuizinkan dia naik. Namun aku dan
Hosam punya firasat tidak baik dan curiga dengan tindak-tanduknya.
Diam-diam kami naik juga ke atas membuntutinya memakai lift satunya.
Sampai di lantai 7 kami kaget oleh teriakan Madame Aisha. Kami berdua
langsung mendobrak pintu sekuat tenaga. Dan kami melihat Si Kumis sedang
mengejar Madame Aisha di ruang tamu hendak memperkosanya. Seketika itu
juga dia kami bekuk!”
Darahku mendidih, aku nyaris tidak bisa menguasai amarahku mendengar cerita Magdi.
“Kurang ajar! Akan kucari dan kubunuh keparat itu!” teriakku dengan
mengepalkan tangan kuat-kuat. Bagiku kehormatan isteriku adalah
segala-galanya, jauh diatas kehormatan diriku sendiri. Kesucian isteriku
sama dengan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
244
kesucian kitab suci, tidak boleh ada seorang pun yang menodainya apalagi
menginjak-injaknya. Kesucian isteriku adalah nyawaku. Ketika ada orang
yang berusaha menjamah kesuciannya maka nyawaku akan kupertaruhkan untuk
membelanya. Seandainya aku punya seribu nyawa akan aku korbankan
semuanya untuk menjaga kesucian isteriku tercinta. Mati seribu kali
lebih ringan bagiku daripada ada orang yang menjamah kesuciannya.
Malaikat maut pun akan aku hajar jika dia mencoba-coba menodainya. Aku
rela dijuluki apa saja untuk membela kesucian isteriku tercinta.
“Insya Allah, kau tidak akan lagi bertemu dengannya!” kata Magdi sambil tersenyum.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Dia sedang diproses ke tiang gantungan. Dia terlalu bodoh. Dia salah
perhitungan. Dia mengira isterimu adalah orang Indonesia. Dan kau tentu
tahu banyak perempuan Indonesia diperkosa di mana-mana, di Saudi, di
Singapura, di Malaysia, di Hongkong, di Taiwan, juga beberapa kali di
Mesir dan para pemerkosanya tidak tersentuh hukum sama sekali. Diplomasi
Indonesia sangat lemah. Si Kumis itu beranggapan begitu. Dia merasa
perbuatannya akan aman-aman saja sebab yang akan ia perkosa adalah
perempuan Indonesia. Dia menganggap kami berdua seperti penjaga
apartemen biasa yang tidak akan berani mengusiknya. Tapi dia keliru.
Kami tidak akan membiarkan siapa pun berbuat jahat di apartemen yang
kami jaga. Dia langsung kami bekuk begitu tertangkap basah hendak
melakukan perbuatan jahat itu. Madame Aisha langsung mengontak Mr.
Minnich, Atase Politik Kedutaan Jerman. Kedutaan Jerman langsung
mengontak kementerian luar negeri meminta agar penjahat yang mencoba
menyakiti warganya ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku di Mesir
yaitu hukuman gantung. Si Kumis itu dalam tahanan kami masih bisa
tertawa karena ia yakin akan ada yang membebaskannya. Benar, lima jam
setelah itu ada perintah untuk membebaskannya. Namun belum sempat kami
bebaskan sudah ada perintah lagi untuk memprosesnya secara hukum. Yang
kami tahu Jerman mengancam akan mengopinikan di negaranya dan di Eropa
bahwa Mesir tidak aman jika polisi brengsek itu tidak ditindak tegas.
Jerman juga mengancam akan membatalkan beberapa kerjasama perdagangan
dan perindustrian dengan Mesir. Menurut Mr.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
245
Minnich keselamatan seorang warganya sama dengan keselamatan
presidennya. Tak ada pilihan bagi pemerintah Mesir kecuali menindak
tegas seorang oknum tidak bertanggung jawab itu. Tapi setelah kami
selidiki agaknya memang ada skenario jahat yang ingin menghancurkan
dirimu dan keluargamu, Fahri!” jawab Magdi.
“Maksudmu?”
“Aku sudah bertemu Syaikh Ahmad. Beliau meyakinkan padaku bahwa kau
tidak mungkin melakukan hal itu. Selama tiga hari kemarin di samping
menangani kasus Si Kumis, aku dan Eqbal berusaha mencari di mana kau
berada. Si Kumis bilang di serahkan ke penjara Tahrir. Pihak Tahrir
bilang sudah dibawa ke Nasr City. Nasr City bilang sudah diambil
Abbasea. Pihak Abbasea bilang sudah dibawa lagi ke Tahrir. Ada orang
yang cukup punya kuasa yang mendalangi semua ini, kemungkinan dia
seorang oknum dari Keamanan Negara, sampai aku nyaris tidak berdaya dan
para polisi itu juga takut memberikan keterangan jelas mengenai
keberadaanmu. Pihak Kedutaan Indonesia juga alot di Tahrir. Untung tadi
pagi Aisha mendapat telpon dari seorang perempuan yang mengatakan
anaknya satu sel denganmu. Dan kami langsung meluncur kemari. Kasus
Aisha sudah beres, kau tinggal menunggu kabar penjahat itu digantung.
Sekarang tinggal masalahmu. Masalah yang tidak mudah. Coba ceritakanlah
padaku bagaimana sebenarnya yang terjadi sampai kau dituduh memperkosa
gadis bernama Noura itu?”
Aku lalu menjelaskan semua yang terjadi malam itu, dimulai dari kabar
kelulusanku, makan ayam panggang di Sutuh bersama teman-teman, jeritan
Noura, minta tolong Maria, sampai menitipkan Noura pada Nurul di Masakin
Utsman. Juga aku ceritakan sepucuk surat cinta dan ucapan terima kasih
dari Noura.
“Di mana surat itu sekarang?”
“Aku berikan pada Syaikh Ahmad.”
Seorang polisi memberi tahu waktu berkunjung telah habis. Aisha
memberikan bungkusan berisi makanan. Dia mengajakku ke pojok ruangan. Di
sana dia membuka cadarnya sehingga aku bisa menatap wajahnya. Dia
menangis dan tampak sedih. Aku mencium pipinya. “Jaga diri baik-baik,
jaga kesehatanmu
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
246
dan kandunganmu, teruslah berdoa dan mendekatkan diri pada Allah agar
semua masalah ini dapat teratasi. Aku sangat mencintaimu, isteriku.”
Aisha terisak, “Aku juga sangat mencintaimu. Kau besarkanlah jiwamu
suamiku, aku berada disampingmu. Aku tidak akan termakan tuduhan jahat
itu. Aku yakin akan kesucianmu. Kalau seandainya kau mengizinkan aku
ingin dipenjara bersamamu agar aku bisa menyediakan sahur dan buka
untukmu.”
“Kau jangan berpikir seperti itu. Kau tenangkanlah pikiranmu. Yakinlah
semuanya akan selesai dengan baik. Banyak orang baik yang akan membantu
kita. Sekarang yang harus kau prioritaskan adalah perhatianmu pada
kandunganmu. Sekarang kau tinggal di mana? Apa sendirian di Zamalek?”
“Tidak. Sejak kejadian itu aku tinggal bersama bibi Sarah dan paman Eqbal.”
“Bagus. Kau akan lebih tenang di sana.”
Aisha kembali memasang cadarnya. Paman Eqbal dan Magdi mendekati kami.
Mereka pamitan. Aku merangkul paman Eqbal dan minta doanya. Juga
merangkul Magdi dan mengucapkan banyak terima kasih padanya. Mereka lalu
keluar. Aku beranjak mengambil bungkusan besar berisi makanan.
Tiba-tiba Magdi kembali.
“Sst..Fahri ceritakan padaku kau diinterogasi bagaimana?”
Aku menceritakan semuanya. Paksaan untuk mengakui perbuatan itu dan aku bersikukuh tidak mau mengakuinya.
“Keputusan yang tepat sekali. Sebab jika kau mengaku dan menandatangani
berkas pengakuan maka sangat sulit diselamatkan. Aku dan Eqbal akan
mencari pengacara yang baik untukmu. Kapan sidangnya?”
“Tiga hari lagi.”
“Siksaan apa yang kau terima selama tiga hari ini?”
Aku menceritakan semuanya. Termasuk kekurangajaran Si Kumis mempermainkan kemaluanku. Juga siksaan setiap pagi.
“Tapi kumohon kau jangan ceritakan siksaan-siksaan ini pada Aisha atau
paman Eqbal mereka akan sedih. Biarlah nanti kuceritakan sendiri setelah
keluar dari penjara ini.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
247
“Yang kau terima itu masih termasuk ringan. Jangan kuatir. Sakit hatimu
pada Si Kumis itu biar teman-temanku yang nanti membalasnya. Dia memang
polisi kurang ajar. Aku akan mencoba berbicara pada kepala penjara ini.
Dan makanan ini, jika dirampas sama sipir penjara nanti bilang. Terus
ciri-ciri sipir itu bagaimana? Aku akan mengurusnya. Sudah ya satu hari
sebelum sidang, insya Allah aku dan pengacara yang akan membelamu akan
datang kemari. Aku pamit dulu. Selamat beribadah oh ya ada salam dari
Syaikh Abdurrahim Hasuna, imam masjid kita. Beliau ikut berbela sungkawa
atas musibah yang menimpamu dan beliau akan ikut serta mendoakanmu.”
“Terima kasih atas segalanya Magdi, salam balik untuk beliau.”
Magdi pergi. Aku kembali ke sel. Aku beritahu mereka apa yang terjadi.
Mereka semua ikut senang dan berdoa semoga aku cepat bebas dari penjara
ini. Bisa kembali belajar dan pulang ke Indonesia mengamalkan ilmu yang
kudapat di bumi para nabi ini. Ismail membuka bungkusan besar yang
kubawa. Ia heran bagaimana aku bisa membawa makanan sebanyak itu.
Kujelaskan semuanya.
“Alhamdulillah, di dunia ini masih ada polisi baik seperti Magdi,” gumam Ismail.
“Dia SLTA di ma’had Al Azhar Damanhur,” sahutku.
“Pantas.”
“Tapi Si Noura, gadis itu juga ma’had Al Azhar, kenapa dia bisa berbuat sejahat itu?” heranku.
“Aku yakin itu bukan semata-mata kemauan Noura. Setidaknya ada sesuatu
yang menekannya. Puteriku yang nomor tiga juga di Al Azhar, dan dia
sangat jujur,” tukas Haj Rashed.
Belum puas kami berbincang terdengar langkah sepatu bot dan pintu kami digedor.
“Tahanan 879!” teriaknya seperti anjing menyalak.
“Ya!” jawabku dengan suara keras.
“Ayo ikut!”
Aku dibawa ke ruang penerimaan tamu. Di sana sudah ada Staf Konsuler
KBRI dan Ketua PPMI. Keduanya memelukku erat-erat. Mereka berdua ingin
tahu sebenarnya apa yang terjadi denganku. Aku ceritakan kronologis
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
248
penangkapanku dan dakwaan yang dialamatkan kepadaku. Staf konsuler
berjanji akan membantu sekuat tenaga membebaskan aku dengan upaya
diplomatis, meskipun dengan nada yang agak pesimis,
“Tahun 1995 pernah ada mahasiswa kita yang mengalami nasib mirip
denganmu. Dia naik lift. Di dalam lift ada anak kecil Mesir. Entah
kenapa anak kecil itu menangis. Anak kecil itu melapor pada kedua orang
tuanya takut pada mahasiswa kita itu. Orang tuanya melapor pada polisi
menuduh mahasiswa kita mencoba mencabuli anaknya. Padahal mahasiswa kita
tidak berbuat demikian, dia hanya menyapanya dan mengajaknya bicara
seperti kalau bertemu dengan anak-anak di Indonesia. Polisi lebih
percaya pada pengaduan orang tua anak itu. Orang Mesir jika sudah
menyinggung kehormatan perempuan sangat sensitif. Menyiul perempuan
berjalan saja bisa ditangkap polisi jika perempuan itu merasa terhina
dan tidak terima. Akhirnya mahasiswa kita itu dipenjara beberapa bulan.
Ia dikeluarkan dari Al Azhar dan dideportasi. Ia tidak dihukum gantung
karena setelah divisum anak kecil itu memang tidak apa-apa. Bayangkan,
hanya karena mengajak bicara anak kecil di dalam lift, mahasiswa kita
dipenjara. Dan pihak KBRI tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya mahasiswa
kita itu harus keluar dari Mesir. Sekarang ia belajar di Turki. Bahkan
ikut membantu staf KBRI di sana. Juga menjadi pemandu travel bagi orang
Indonesia yang melancong ke Turki yang biasanya satu paket dengan umrah.
Di sana dia malah kaya dan makmur sekarang. Untuk kasusmu ini, kita
akan berusaha sekuat tenaga. Tapi kita tidak bisa menjamin
keberhasilannya.”
Kata-kata staf konsuler KBRI itu membuat hatiku ciut. Aku tiba-tiba
ingin jadi warga negara Amerika saja. Jika aku warga negara Amerika
pasti polisi Mesir tidak berani berbuat macam-macam. Menyentuh kulitku
saja mereka tidak akan berani apalagi mengancam hukuman gantung. Jika
aku jadi warga negara Amerika, mungkin seandainya benar-benar memperkosa
pun, tetap selamat. Sebab presiden Amerika akan ikut bicara membela
warganya seperti ketika Clinton membela warganya yang dicambuk di
Singapura. Lain Amerika lain Indonesia. Apa yang dibela oleh presiden
Indonesia kalau bukan jabatan dan perutnya sendiri? Mana mungkin dia
mendengar rintihan dan rasa sakitku dicambuk tiap pagi dan membeku
kedinginan di bawah tanah dalam musim dingin
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
249
yang membuat tulang ngilu? Apalagi diriku yang jauh di Mesir. Sedangkan
ribuan gadis Indonesia dijual, dirobek-robek kehormatannya dan
diperlakukan seperti binatang di Singapura saja presiden diam saja?
Kapan dalam sejarahnya ada Presiden Indonesia membela rakyatnya? Kecuali
Soekarno di zaman mempertahankan kemerdekaan.
“Kalau kami, apa yang bisa kami bantu menurut Mas Fahri?” kata Ketua PPMI.
“Pertama, aku ingin dukungan seluruh teman-teman dari Indonesia. Demi
Allah yang mengetahui apa yang tersembunyi di langit dan di bumi, aku
tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadaku itu. Aku ingin
dukungan moral dari teman-teman semua. Tolong disosialisasikan kisah
yang sebenarnya. Orang satu rumah denganku dan Nurul tahu akan hal itu.
Jika nanti ada wartawan Mesir mewawancarai tolong opinikan yang baik
mengenai diriku, tolong! Juga teman-teman yang jadi koresponden media
massa di tanah air tolong kisahkan yang sebenarnya jangan yang malah
menimbulkan interpretasi yang macam-macam. Kedua, kepada PPMI dan KBRI
mohon kerjasama dengan pengacaraku nanti. Sekarang isteriku dan seorang
polisi Mesir yang baik sedang mencari pengacara untuk membelaku. Tolong
bantu mereka. Ketiga, mohon doa teman-teman Indonesia semuanya, ketika
sahur, ketika tarawih, ketika shalat malam. Doakan aku selamat dari
ujian berat ini. Itu saja harapanku saat ini.” Jelasku dengan sedikit
terisak, sebab masalah yang aku hadapi sangat serius. Nyawaku sedang
terancam. Staf KBRI dan Ketua PPMI berjanji akan memenuhi keinginanku
itu. Aku mengucapkan terima kasih atas kunjungan mereka. Mereka minta
maaf terlambat tapi itu karena pihak kepolisian Mesir yang membuat
urusan berbelit-belit.
Sesedih apapun, kunjungan KBRI dan PPMI menambah kekuatan dalam diri.
Kedatangan mereka berdua seolah berisi dorongan moral dari seluruh
saudara setanah air di Indonesia. Di negeri orang, orang satu tanah air
yang berlainan pulaupun menjadi seperti saudara sendiri. Apalagi yang
satu pulau. Satu propinsi. Satu kabupaten. Satu kecamatan. Aku merasa
diperhatikan oleh dua ribu lima ratus lebih mahasiswa Indonesia yang ada
di Mesir. Rasa cintaku pada mereka semakin membulat, juga pada segenap
saudara di KBRI.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
250
* * *
Satu hari menjelang sidang Aisha, paman Eqbal, dan Magdi datang membawa
seorang pengacara bernama Amru. Dia menginginkan diriku menceritakan
semua hal yang kira berkaitan dengan masalah yang sedang aku hadapi. Aku
menceritakan semuanya dari kejadian ribut malam itu sampai berita
terakhir dari Syaikh Ahmad bahwa Noura telah menemukan orang tuanya yang
asli setelah melalui test DNA. Amru dan Magdi akan membantu sekuat
tenaga untuk membebaskan aku dari segala tuduhan itu. Semua saksi dan
bukti yang kira-kira bisa membela diriku akan dia gunakan. Amru juga
mengingatkan diriku agar dalam sidang besok bersikap tenang dan tidak
terpancing emosi. Sebab jaksa penuntut akan menggunakan teror kata-kata
dan psikologis untuk melemahkan diriku dan menjebakku. Aku mungkin akan
sangat dihina oleh kepandaiannya bersilat lidah dan berargumentasi tapi
aku tidak boleh terbawa oleh irama permainannya. Kemungkinan besar besok
adalah sidang untuk mendengarkan pengakuan Noura dan pengakuanku. Serta
teror investigasi dengan perkataan dan pertanyaan di depan sidang. Aku
mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Amru tersenyum.
“Meski berliku, aku yakin kebenaran akan menang. Apa pun yang terjadi
pada akhirnya kebenaran akan menang. Jangan kuatir, Saudaraku. Nanti
malam perbanyaklah shalat dan memohon pertolongan kepada Allah.” Kata
Amru mengingatkan. Mereka pamitan. Seperti saat mengunjungi sebelumnya
sebelum pergi, Aisha mengajakku ke pojok ruangan. Dia membuka cadarnya
agar aku dapat melihat wajahnya. Kami berangkulan dalam tangis.
“Fahri, kuatkanlah dirimu. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak mau
kehilangan dirimu. Aku tak ingin bayiku ini lahir tanpa dirimu
disisiku.” Isak Aisha yang membuat hatiku bagai diremas-remas. Aku
merasa langit-langit ruangan itu basah, dan dinding-dindingnya
melelehkan air mata. Kuusap air matanya dengan ujung jilbabnya, pelan
kubisikkan padanya sebuah harapan:
Sayang, tancapkan dalam hati
walau tak kini
esok insya Allah terjadi
kita akan bulan madu lagi
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
251
berkali kali
lebih indah dari yang telah kita lalui
apalagi di sorga nanti
walau tak kini
esok insya Allah terjadi
selama cinta kita tak pernah mati
selama iman masih terpatri dalam diri
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
252
25. Persidangan
“Nona Noura, saya persilakan Anda mengisahkan apa yang menimpa pada diri
Anda?” Hakim gemuk dengan rambut hitam bercampur uban mempersilakan
Noura yang sudah berdiri dipodium untuk berbicara. Sementara aku berada
di tempat terdakwa yang berbentuk seperti kerangkeng. Ratusan mata
memandang Noura dengan seksama. Aku melihat orang-orang yang kukenal
turut serta menghadiri sidang pertamaku ini. Teman-teman satu rumah di
Hadayek Helwan ; Rudi, Saiful, Hamdi dan Mishbah duduk dibagian agak
belakang. Beberapa puluh mahasiswa Indonesia, Ketua dan pengurus PPMI,
Pengurus Wihdah—termasuk Nurul sang ketua—juga datang. Sekitas aku
memandang ke arah Nurul, mata kami bertemu. Ia tak bisa menyembunyikan
matanya yang berkaca-kaca. Pengacaraku duduk bersama Maqdi. Di
belakangnya ada Aisha, paman Eqbal, Syaikh Ahmad dan isterinya. Bibi
Sarah tidak datang. Keluarga Tuan Boutros juga tidak satu pun yang
kelihatan. Di barisan dekat jaksa penuntut banyak sekali orang Mesir.
Mungkin mereka keluarga Noura. Beberapa wartawan sibuk merekam dan
membidikkan kamera. Aku pasrah pada apa yang akan ditulis mereka. Jika
ada ketidakadilan dalam tulisan mereka aku akan menuntutnya kelak di
akherat sana.
“Saya akan menceritakan dengan sejujurnya tragedi yang menimpa diri
saya. Tragedi yang menginjak-injak kehormatan saya dan menghancurkan
masa depan saya.” Kata Noura dengan terisak. Air matanya meleleh. Aku
tidak tahu apa yang akan dia katakan. Apakah dia akan mengatakan dengan
sejujurnya siapa yang mengamili dirinya ataukah justru akan menghabisi
diriku dengan sandiwaranya seperti Zulaikha pura-pura menangis dan
menjebloskan Yusuf ke dalam penjara.
“Pada hari Rabu, 7 Agustus yang lalu saya masih hidup bersama keluarga
Bahadur. Hari itu sore hari setelah aku shalat ashar, Bahadur yang saat
itu masih saya anggap sebagai ayah memaksaku untuk ikut Mona selepas
maghrib ke sebuah Nigh Club mengapung di sungai Nil, tempat di mana
Badahur dan Mona bekerja. Bahadur sebagai pukang tukul dan Mona sebagai
penari dan wanita penghibur. Saya tidak mau. Bahadur mengancam akan
membunuh saya jika
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
253
sampai jam sembilan malam tidak sampai di sana bersama Mona. Saat itu
juga ia menjambak rambut saya kuat-kuat dan menyambuk punggung saya
dengan ikat pinggang. Saya tidak tahan, akhirnya saya pura-pura mau.
Bahadur lalu berangkat kerja dengan sebuah ancaman saya akan mati jika
tidak datang. Saya bertanya pada Mona apa kerja saya di sana. Dia
bilang, ‘Seperti pertama aku kerja di sana. Menyerahkan keperawanan pada
turis bule dengan imbalan sepuluh ribu pound!’ Jawaban Mona membuat
saya merinding. Saya tidak mungkin melakukan perbuatan terkutuk itu.
Saya bertekad lebih baik mati daripada menjual diri. Akhirnya begitu
shalat maghrib saya mengurung diri di kamar. Pintu kamar dan jendela
saya kunci. Mona berteriak-teriak dan menggedor-gedor tidak saya
pedulikan. Mona pun berangkat sendirian. Saya terus di kamar sampai
tengah malam. Jam setengah satu ayah pulang bersama Noura dengan
kemarahan meluap. Pintu kamarku didobrak dan saya disiksanya
habis-habisan lalu diusir dan diseret ke jalan. Ternyata saya tidak
dibunuhnya hanya diusir saja. Tapi malam itu saya merasa sangat merana.
Saya meratapi nasib saya sambil memeluk tiang lampu di jalan, depan
apartemen. Saya meratap sendirian agak lama. Lalu, kira-kira pukul
setengah dua datanglah Maria menghibur saya. Ia juga mengajak saya naik
dan tidur di kamarnya, saya pun ikut. Di kamar Maria aku mencurahkan
semua kesedihanku padanya. Yang tidak kuduga Maria menceritakan
sebenarnya yang membuatnya turun menghiburku adalah Fahri, mahasiswa
dari Indonesia yang malam itu kebetulan tidak tidur. Sebenarnya Maria
takut sekali pada Bahadur. Keluarga Maria juga tidak mau berurusan
dengan Bahadur. Maria meminta bagaimana kalau malam itu menginap
sementara di rumah Fahri. Saya merasa kediaman Fahri adalah tempat yang
aman untuk sementara. Akhirnya tepat pukul tiga Maria mengantarkan aku
turun ke tempat Fahri. Fahri sendiri yang masih bangun. Ia membukakan
pintu dan mempersilakan aku masuk ke kamarnya. Maria kembali ke
rumahnya. Mulanya Fahri banyak menghibur. Dia lalu merayuku dan
membujukku dengan kata-kata Manis. Entah dari mana ia tahu kalau aku mau
dijual pada turis bule. Fahri menawari saya untuk kawin dengannya dan
akan diajak hidup bahagia di Indonesia. Ia berjanji akan membuat hidupku
bahagia. Akan mencurahkan segala kasih sayang dan cintanya padaku.
Fahri juga mengungkapkan sebenarnya dia telah lama jatuh cinta pada
saya. Fahri
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
254
mampu memanfaatkan keadaan saya yang sedih, yang selama itu belum pernah
merasakan kasih sayang dan cinta. Malam itu saya menangis dalam pelukan
Fahri. Saya merasakan Fahri adalah dewa penyelamat. Entah bagaimana
prosesnya malam itu saya telah menyerahkan kehormatan saya padanya. Saya
terhipnotis oleh manisnya janji yang ia berikan. Ketika masjid
melantunkan azan pertama saya tersadar. Saya menangis sejadi-jadinya
atas apa yang menimpa diri saya. Saya melihat Fahri sedang tertidur.
Saya pun keluar dan kembali ke tempat Maria. Saya menangis Maria
bertanya pada saya ada apa. Saya tidak menjawabnya. Saya malu untuk
menceritakannya. Pukul tujuh pagi Fahri datang ke tempat Maria. Keluarga
Maria minta agar saya meninggalkan rumah mereka sebelum Bahadur bangun.
Akhirnya Fahri menyuruh saya untuk menginap di tempat mahasiswi
Indonesia bernama Noura. Sebelum berangkat Fahri memberi uang sebanyak
dua puluh pound untuk ongkos jalan. Beberapa hari di rumah Nurul saya
dijemput Syaikh Ahmad dan isterinya dan diamankan di Tafahna, Zaqaziq.
Syaikh Ahmad membantu saya menemukan saya dengan orang tua saya asli
yang ternyata bernama Adel dan Yasmin. Beliau berdua dosen di Ain Syams
University. Sejak itu saya tinggal bersama mereka. Suatu hari setelah
satu minggu tinggal bersama mereka saya muntah-muntah. Mama Yasmin
membawa saya ke dokter dan saya ketahuan hamil satu bulan setengah. Mama
mendesak untuk mengatakan siapa yang menghamili saya. Saya tidak mau
mengatakannya. Ayah mengancam akan mengusir saya jika tidak mengatakan
siapa yang menghamili saya. Terpaksa saya jelaskan siapa sebenarnya yang
menghamili saya. Tak lain dan tak bukan adalah Fahri Abdullah. Dia
manusia berhati serigala pura-pura menolong ternyata menerkam. Saya
telah beberapa kali minta pertanggung jawabannya dan menyelesaikan
masalah ini dengan baik-baik. Saya menuntut janjinya mau mengawini saya
ternyata ia berkelit. Ia bahkan menuduh saya pelacur. Uang dua puluh
pound yang dia berikan itu ternyata dianggap sebagai harga diri saya.
Betapa remuk dan hancur hati saya. Dia malah menikah dengan seorang
gadis Turki. Dia benar-benar manusia yang sangat busuk hatinya. Saya
minta kepada pengadilan untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan
perbuatan terkutuknya!”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
255
Noura lalu menangis terisak-isak di podium. Orang-orang Mesir yang tidak
tahu masalah sesungguhnya terbakar emosinya. Mereka berteriak-teriak
minta kepada hakim menggantung diriku. Aku sendiri sangat terpukul
mendengar semua yang dikatakan Noura. Aku tidak percaya bahwa yang
dipodium itu adalah Noura. Gadis innocent yang sangat pendiam yang dulu
sangat aku kasihani. Kini Noura seperti puteri jahat yang siap
mencincangku dengan belati beracun yang ia sembunyikan di balik bajunya.
Aku melihat ke arah orang-orang yang simpati padaku. Wajah Syaikh Ahmad
tampak marah. Aisha jatuh pingsan. Tiba-tiba Nurul berteriak lantang dan
memaki-maki Noura yang tidak tahu balas budi dan mengarang cerita
bohong. Hakim mengetuk palunya berkali-kali meminta semuanya untuk
tenang. Dia lalu meminta tanggapanku. Dengan emosi yang kutahan aku
menolak tuduhan Noura. Aku jelaskan bahwa Noura sama sekali tidak pernah
masuk kamarku. Aku bahkan belum pernah menyentuh kulit Noura. Malam itu
Noura bersama Maria sampai pagi. Tiba-tiba Noura berteriak menganggap
diriku yang bohong. Hakim menenangkan Noura. Pihak jaksa mengajukan
saksi. Seorang lelaki ceking bernama Gamal. Hakim mempersilakan saksi
itu bicara setelah disumpah. Seorang lelaki mengaku melihat aku
membukakan pintu dan mengajak Noura masuk rumah jam tiga dini hari,
Kamis 8 Agustus 2003.
Amru pengacaraku mengintrogasi saksi itu. Sang saksi bersikukuh melihat
dengan jelas Noura masuk rumahku. Amru bertanya posisinya di mana dan
sedang apa dia sampai begitu jelas melihat Noura masuk rumahku. Dia
menjawab dia seorang pemburu burung hantu. Hobinya berburu pada waktu
malam. Kebetulan ia melintas di apartemen dan di sutuh melihat ada
burung hantu. Ia hendak menembaknya dari jarak dekat dengan cara naik ke
sutuh melalui tangga. Ketika ia naik itulah dari jarak tiga meter ia
melihat Noura masuk flat di lantai tiga.
Aku heran dengan lelaki ceking bernama Gamal. Bagaimana mungkin dia
berani membuat kesaksian palsu seperti itu. Belum pernah aku mendengar
ada seorang yang hobinya sedemikian aneh. Untuk apa burung hanru diburu?
Tubuhku tiba-tiba terasa dingin dan gemetaran. Aku yakin keluarga Noura
telah menggunakan segala cara untuk menggantung diriku. Yang aku tidak
bisa
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
256
mengerti adalah perubahan diri Noura. Beberapa waktu yang lalu ia
menulis surat sangat mencintaiku. Kini tiba-tiba ia ingin membunuhku.
Apa dosa dan salahku padanya? Apakah karena aku tidak menanggapi
perasaannya dia lalu dendam yang ingin membunuhku? Kenapa dia begitu
keji memfitnahku. Kapan sebenarnya dirinya kehilangan kegadisannya
sehingga hamil? Dan siapa sebenarnya yang menghamili dirinya? Semua
pertanyaan itu bagaikan palu yang menghantam-hantam batok kepalaku. Aku
nyaris tak sanggup menegakkan kepalaku. Hakim memutuskan melanjutkan
sidang minggu depan. Aku turun dari kerangkeng terdakwa dengan dikawal
dua polisi. Orang-orang Mesir mencacimaki diriku dengan kata-kata kotor.
Seorang ibu setengah baya bahkan melempar botol air mineral dan
mengenai mukaku. Polisi yang mengawalku tidak begitu peduli. Aku dibawa
kembali ke penjara. Di dalam penjara aku teringat Aisha yang tadi jatuh
pingsan. Aku takut kondisi psikisnya berpengaruh pada janin yang
dikandungnya.
* * *
Sampai di dalam penjara, Profesor Abdul Rauf menanyakan jalannya sidang.
Aku ceritakan semuanya dari awal masuk ruang sidang sampai dilempar
botol mineral oleh seorang wanita setengah baya saat berjalan
meninggalkan ruang sidang. “Profesor, perlakuan wanita setengah baya itu
aku maklumi dia tidak tahu masalah sebenarnya. Yang aku heran dan belum
bisa kumengerti adalah Noura. Gadis itu pernah menulis surat ucapan
terima kasih dan perasaan cinta padaku dengan sedemikian tulusnya. Tapi
dipengadilan itu ia menjadi orang yang sama sekali tak kukenal. Ia
tampak sangat membenci aku dan ingin sekali membinasakan diriku. Aku
juga heran dengan lelaki ceking bernama Gamal. Bagaimana mungkin dia
bisa setega itu memberikan kesaksian palsu untuk membinasakan orang?
Apakah dia sudah tidak punya nurani?” Kataku.
“Noura itu sebenarnya sangat mencintaimu. Karena dia tidak mendapatkan
apa yang dia inginkan darimu dia berubah membencimu. Cinta yang berubah
jadi kebencian tiada tara itu seringkali terjadi dalam sejarah kehidupan
manusia,” jawab Profesor Abdul Rauf.
“Dan orang seperti Gamal jangan kau herankan keberadaannya di zaman yang
telah kehilangan nurani kemanusiaannya seperti sekarang. Uang menjelma
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
257
menjadi tuhan. Uang adalah segalanya. Demi uang begundal seperti Gamal siap mengerjakan apapun saja,” sahut Haj Rashed.
“Berbicara tentang kemanusiaan, aku jadi teringat sebuah film sukses
yang dibuat oleh Spielberg yaitu ET. Lewat film itu Spielberg ingin
menunjukkan bahwa mungkin tempat terbaik untuk untuk menemukan
nilai-nilai kemanusiaan adalah diangkasa, tidak di bumi.” Suara Ismail
terdengar parau. Tadi malam ia menjadi bulan-bulanan para algojo
penjara.
“Kau suka menonton film Amerika juga rupanya?” Haj Rashed agak kurang senang.
“Sebenarnya tidak juga. Aku menonton film itu karena penasaran pada
analisa Profesor Akbar S. Ahmad dalam karyanya Postmodernism and Islam.
Dan memang seperti itu ironi yang dibangun Spielberg dalam film ET.
Nilai-nilai kemanusiaan di bumi semakin punah,”jJawab Ismail.
“Tapi, insya Allah, selama masih ada yang teguh kukuh mengamalkan
Al-Qur’an dan As Sunnah, nilai-nilai kemanusiaan tidak akan hilang dari
muka bumi ini!” tukas Professor Abdul Rauf Manshour mantap.
“Insya Allah,” sahut kami semua hampir kompak.
Tiba-tiba pintu digedor. “Tahanan nomor 543!” Kali ini sipir bersuara
cempreng yang memanggil. Meskipun suaranya cempreng tapi kalau menyiksa
para tahanan tak kenal belas kasihan. Menurut cerita Hamada ia pernah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Si Cempreng itu
memasukkan mata ganco ke dalam lubang hidung seorang tahanan yang tangan
dan kakinya diikat lalu menarik ganco itu kuat-kuat. Tak ayal hidung
tahanan miskin itu sobek tak karuan bentuknya. Tahanan miskin itu sudah
lama tiada kabarnya. Mungkin telah mati.
“Hai, keledai 543 apa kau dungu!? Apa aku perlu menyeretmu dengan ganco?” Si Cempreng kembali mendesis seperti ular.
“Ya saya!” jawab Marwan santai sambil melangkah ke pintu. Setelah pintu terbuka. Kami mendengar suara: buk! buk!
“Doakanlah Marwan, semoga dia tidak cedera berat!” Suara Profesor Abdul
Rauf membuat hati kami gerimis. Setiap hari selalu ada yang jadi mainan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
258
para algojo penjara. Aku bersyukur bahwa setelah kedatangan Magdi, KBRI,
dan PPMI siksaan yang kuterima sebagai sarapan pagi semakin ringan.
* * *
Satu hari menjelang persidangan kedua Syaikh Utsman datang menjenguk
bersama Paman Eqbal. Syaikh Utsman banyak memberi siraman jiwa. “Kau
harus ikhlas menerima cobaan ini. Kau tidak boleh sedikitpun merasa ragu
akan kasih sayang Allah kepadamu. Kau tentu tahu, Allah sangat
mencintai Nabi Yahya. Dan Nabi Yahya itu kepalanya dipenggal untuk
dihadiahkan kepada seorang pelacur. Husein cucu baginda Nabi juga
dipenggal kepalanya. Ditancapkan diujung tombak dan diarak di kota
Kufah. Mereka tetaplah manusia-manusia mulia meskipun kelihatannya
dinistakan dan dihina. Orang yang divonis salah oleh pengadilan dunia
belum tentu salah di pengadilan akhirat dan sebaliknya. Dekatkanlah
dirimu kepada Allah!” Kunjungan Syaikh Utsman sangat berarti bagiku.
Nasihat beliau bagaikan embun menetes di pagi hari musim semi. Aku
semakin mempersiapkan diri untuk menerima apapun yang terjadi.
Setelah Syaikh Utsman, tanpa kuduga Madame Nahed, dan Yousef menjenguk. Mereka berdua meneteskan air mata melihat keadaanku.
“Madame, maafkan aku yang tidak sempat menjenguk Maria.”
“Tak masalah. Sungguh sangat tragis nasibmu, Anakku. Kau menolong dia
tapi dia malah membalasnya dengan fitnah yang keji sekali. Aku sudah
membaca semuanya di koran. Seluruh koran yang memuat berita persidangan
itu tak ada yang membelamu. Andaikan Maria sehat dia pasti akan menulis
membelamu. Sayang dia...ah!” Madame Nahed terisak. Aku takut sesuatu
telah terjadi pada Maria.
“Kenapa Maria, Madame?” tanyaku cemas.
“Sakitnya sangat parah. Empat hari ini dia koma. Hanya kadang-kadang dia
seperti sadar, mulutnya berkomat-kamit mengatakan sesuatu. Dan apakah
kau tahu apa yang dia katakan, Anakku?” Suara Madame Nadia terbata-bata.
“Apa Madame?”
“Dia menyebut-nyebut namamu. Hanya namamu, Anakku. Dia ternyata sangat mencintaimu!”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
259
Kalimat yang diucapkan Madame Nadia bagaikan guntur yang menyambar kepalaku.”Tak mungkin itu terjadi, Madame!” bantahku.
Yousef langsung menyahut:
“Benar Fahri, Maria sangat mencintaimu. Aku telah membaca diary
khususnya. Dia menulis semua perasaan cintanya padamu di sana. Dalam
diarynya itu aku juga menemukan kwitansi pembayaran semua biaya
pengobatanmu. Maria diam-diam mengambil tabungannya dan membayar
pengobatanmu tanpa ada satupun dari kami yang tahu. Dia sangat
mencintaimu. Sayang diarynya tidak aku bawa. Nanti akan aku bawa kemari
agar kau bisa membacanya sendiri.”
Keterangan Yousef membuat hatiku mau runtuh. Air mataku tanpa terasa meleleh. Baru aku tahu bahwa malaikat itu adalah Maria.
“Kenapa dia tidak mengungkapkan isi hatinya padaku?” lirihku.
“Dia malu. Dia menunggu saat yang tepat untuk membangun keberaniannya
tapi terlambat. Ketika tahu kau telah menikah dengan Aisha yang baru
beberapa bulan kenal denganmu dia sangat terpukul. Dia sangat menyesal.
Padahal dirinya telah mengenalmu jauh lebih lama dan lebih dalam dari
Aisha. Itu ia tulis setelah pulang dari Hurgada dan tahu kabar
pernikahanmu. Aku baru tahu kenapa dia selalu murung dan tidak
bersemangat hidup. Maria menulis dibaris terakhir, when some one is in
love he cannot think of anything else. Bila seseorang dimabuk asmara,
dia tak bisa memikirkan hal yang lain. Dia tidak bisa lepas untuk
memikirkan dirimu, memikirkan cintanya, sampai akhirnya jatuh sakit.”
Yousef meneteskan air mata.
“Anakku, aku takut dia akan mati..hiks..hiks!” Madame Nahed terisak-isak.
Aku jadi melupakan nasibku sendiri. Mataku basah melihat kesedihan Madame Nahed. Dan Maria, oh, kenapa semua ini bisa terjadi!?
“Oh, andaikan aku bisa membantu. Aku merasa menjadi manusia paling tiada
berguna karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sendiri sekarang
dibayang-bayangi vonis hukuman gantung. Oh apa yang bisa aku lakukan?”
Ucapku sedih.
Yousef mengeluarkan tape kecil dari jaketnya dan berkata, “Kata dokter,
Maria harus dirangsang dengan suara atau sentuhan dari orang-orang yang
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
260
dicintainya. Dia sepertinya telah kehilangan gairah untuk hidup. Suara
orang yang dicintainya harus mendorongnya untuk hidup, harus memberikan
harapan-harapan yang indah baginya. Fahri tolonglah, bicaralah pada
Maria apa saja. Ini salah satu usaha menolong dia. Nanti akan kami
perdengarkan suaramu di telinganya.”
“Iya anakku tolonglah! Maria sangat mencintaimu dan merindukan suaramu,” desak Madame Nahed.
Demi sebuah nyawa aku memenuhi permintaan Yousef dan Madame Nahed.
Dengan suara kupaksakan kebiasa-biasanya, aku berbicara apa saja pada
Maria. Terkadang aku berusaha tertawa. Atau mengingatkan sesuatu yang
kira-kira berkesan baginya. Hanya satu yang tidak kuucapkan di sana
yaitu kalimat aku mencintaimu. Tak mungkin, karena kalimat itu hanya
berhak untuk Aisha seorang. Aku berharap suaraku berguna untuk membantu
menyembuhkan Maria. Bahwa di dalam penjara sekali pun aku bisa melakukan
sesuatu untuk orang lain. Namun begitu mengingat kata-kata Madame Nahed
dan Yousef bahwa Maria sakit karena mencintaiku aku jadi sedih sekali.
Aku jadi tidak mengerti apa itu cinta sebenarnya? Yang kutahu cinta
adalah apa yang terjadi antara diriku dengan Aisha. Itu saja. Tapi apa
yang dirasakan Nurul. Yang dirasakan Noura dan yang dirasakan Maria aku
tidak tahu. Apakah itu cinta? Ah cinta. Semacam duka. Mengiris jiwa.
* * *
Persidangan kedua sangat menegangkan. Tuan Boutros hadir memberikan
kesaksiannya. Beliau membantah keterangan Noura yang mengatakan malam
itu masuk di kamarku. “Jam lima pagi ketika saya bangun, saya menemukan
Noura bersama Maria di kamarnya. Dan Maria bercerita Noura sejak tengah
malam ada dikamarnya.”
Penuntut bertanya pada Tuan Boutros, “Apakah antara jam 2 sampai jam 5
anda tidak tidur, jadi anda tahu persis Noura selalu bersama Maria,
misalnya mendengar suara mereka dalam rentang waktu itu?”
Tuan Boutros dengan jujur menjawab, “Tidak saya sedang tidur. Bahkan
jeritan Noura dipukuk Bahadur juga tidak saya dengar. Saya terlelap dan
bangun setengah lima.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
261
Noura diminta bicara. “Maria berkata tidak benar kalau aku bersamanya
terus. Yang benar pukul tiga Maria mengantarku ke tempat Fahri yang
hanya berada di bawahnya. Di kamar Fahri pemerkosaan atas diriku
terjadi. Dan ketika azan pertama berkumandang, aku kembali ke tempat
Maria. Saat itu seluruh isi rumah Maria masih tidur, termasuk Tuan
Boutros, kecuali Maria.” Kata Noura.
Teman-teman satu rumah yang pada malam kejadian itu ada di rumah ikut
memberikan kesaksian. Mereka semua menolak tuduhan Noura. Tapi mereka
juga jujur menjawab ketika ditanya sedang apa antara jam tiga sampai
azan pertama? Jawabnya tidur. Hamdi masih berusaha membela, “Saya ini
termasuk manusia yang sangat sensitif. Seringkali dalam keadaan tidur
jika pintu dibuka saya terbangun. Jika Noura masuk rumah pasti saya
terbangun. Saya tidak terbangun malam itu?”
Penuntut malah tersenyum dan berkata, “Menurut cerita Fahri kalian malam itu berpesta hingga kenyang, benarkah?”
“Benar!” jawab Hamdi.
“Itulah salah satu penyebab kenapa kau tidak terbangun ketika Noura
masuk. Karena kau terlalu kenyang. Dan itu sudah sangat wajar terjadi!”
Nurul memberikan kesaksian dengan suara terbata-bata menahan emosi. Ia
menceritakan cerita yang dikisahkan sendiri oleh Noura kepadanya ketika
Noura menginap beberapa hari di rumahnya. Cerita yang sangat berbeda
dengan yang dikatakan Noura di sidang pengadilan. “Saya yakin Noura saat
ini sedang berbohong. Apa yang dia katakan di pengadilan ini dusta. Dia
bercerita malam itu di kamar Maria dan baru bertemu Fahri pukul tujuh
pagi. Dan uang dua puluh pound itu diberikan kepadanya bukan sebagai
harga atas kegadisannya. Itu fitnah. Fahri tidak mungkin melakukan
kejahatan seperti itu. Dia menyentuh tangan perempuan saja tidak mau.”
Noura menolak kesaksian Nurul dan berkata dengan tenang, “Memang seperti
itu yang aku kisahkan pada Nurul. Saat itu aku tidak mungkin dengan
jujur menceritakan apa yang terjadi pada diriku di kamar Fahri. Aku
tidak mungkin menceritakan aib. Aib diriku dan aib orang yang akan jadi
suamiku, karena dia memang berjanji akan menikahiku. Sebenarnya yang
terjadi adalah seperti apa yang aku ceritakan. Saat itu aku juga mengira
uang dua puluh pound itu ikhlas
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
262
diberikan oleh Fahri sebagai ongkos pergi ke Masakin Utsman. Aku tidak
mengira sama sekali saat itu kalau itu adalah sebagai harga akan
kegadisanku yang direnggut Fahri. Aku tahu kebusukkannya setelah dia
terang-terangan tidak mau menikahiku dan malah mengatakan diriku pelacur
sebab telah ia bayar dengan dua puluh pound saja mau.”
Di akhir sidang terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan. Bahadur
memberikan kesaksian bahwa dia katanya pernah melihatku beberapa kali
menyiuli Noura dari jendela kamarku. “Saat itu aku sebenarnya sangat
marah pada penjahat itu. Tapi aku masih menghormatinya sebagai tamu di
negeri ini dan aku mengira itu hanyalah iseng anak muda. Apalagi dia
kulihat juga rajin ke masjid. Aku tidak menyangka kalau dia sebenarnya
serigala. Dan aku yakin dialah yang menodai Noura. Dia harus dihukum
yang seberat-beratnya!”
Hakim lalu bertanya pada pengacaraku apakah masih ada saksi atau bukti
untuk membela diriku. Pengacaraku bilang masih. Yaitu kesaksian Syaikh
Ahmad dan isterinya, surat yang ditulis Noura untukku, dan Maria. Hakim
memutuskan sidang akan dilanjutkan satu minggu setelah hari raya Idul
Fitri. Itu berarti aku akan menjalani hari raya terberat selama hidup.
Amru, Magdi dan paman Eqbal mengikutiku sampai ke penjara. Di ruang tamu
penjara mereka mangajakku berbicara. Eqbal terus memintaku untuk tabah
dan besar hati. Magdi dan Amru menganalisa jalannya sidang yang telah
terjadi.
“Saksi yang kita ajukan adalah orang-orang yang sangat jujur. Mulai dari
Tuan Boutros sampai teman-temanmu. Aku salut atas kejujuran itu,
meskipun dalam kasus ini kejujuran teman-temanmu tidak membantu. Kalau
mereka ada yang berani bohong sedikit saja, misalnya pukul tiga
terbangun untuk shalat malam dan mendapati keadaan rumah dalam keadaan
sepi seperti biasa tidak ada Noura di kamarmu. Karena kamarmu
berdekataan dengan kamar mandi tempat wudhu, dakwaan Noura akan runtuh,”
ucap Amru sambil memandang lurus kepadaku.
“Tapi insya Allah kejujuran itu tetap akan membantu. Setidaknya membantu
kekuatan moral kita. Kebersihan nurani kita. Dan semoga dengan
kejujuran itu Allah memberikan jalan keluar yang lebih baik,” sahut
Eqbal.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
263
“Dalam sejarah kejahatan selalu dilancarkan dengan segala cara. Dan
kebenaran selalu dipertahankan dengan cara-cara yang jantan dan bersih,”
imbuh Magdi.
“Bisa jadi sidang setelah hari raya adalah sidang penentuan. Dan dalam
sidang itu kita harus membalik keadaan dan meruntuhkan semua tuduhan dan
rekayasa mereka. Senjata kita yang tersisa adalah surat cinta Noura
yang disana dia mengungkapkan semua pengakuannya secara jujur dan
pengakuan Maria. Yang paling penting sebenarnya adalah kesaksian Maria.
Sebab dialah yang paling tahu. Dialah—yang dalam penuturan
Noura—mengantarkan dirinya ke tempatmu. Dan dia juga yang membukakan
pintu ketika Noura kembali lagi naik. Adapun kesaksian Syaikh Ahmad dan
isterinya kekuatannya tak akan berbeda dengan kesaksian Nurul yang
memang malam itu tidak tahu apa-apa. Marialah sebenarnya saksi kunci,
tapi sayang dia sekarang sedang koma.” jelas Amru.
“Bagaimana dengan surat Noura itu?” tanya Eqbal.
“Cukup kuat, jika benar-benar bisa dibuktikan itu tulisan tangannya.
Tapi surat itu sekarang ada di mana masih jadi masalah. Oleh Fahri surat
itu diberikan kepada Syaikh Ahmad. Syaikh Ahmad memberikan kepada
isterinya. Isterinya memberikan kepada Noura waktu masih di Tafahna.
Sekarang sedang dicari di Tafahna, siapa tahu ditinggal oleh Noura di
sana. Jika surat itu ternyata dibawa Noura ya kita tidak bisa berbuat
apa-apa selain menunggu mukjizat Maria bisa membaik dan pada sidang
setelah hari raya nanti bisa memberikan kesaksian,” jelas Amru.
Mendengar semua pembicaraan itu aku merasa nasibku benar-benar berada di
ujung tanduk. Jika nyawaku akhirnya harus melayang dengan sedemikian
tragisnya, aku pasrah saja kepada Yang Mahakuasa. Aku teringat nasihat
Syaikh Utsman agar selalu menjaga keikhlasan menerima takdir Ilahi
setelah berusaha sekuat tenaga. Yang divonis salah dalam pengadilan
dunia tidak selamanya salah di pengadilan akhirat. Kepala Nabi Yahya
dipenggal dan dihadiahkan kepada seorang pelacur. Dalam hati aku berdoa,
jika aku harus mati di tiang gantungan, maka “Allaahumma amitni alasy
syahaadati fi sabilik.Amin.”111
111 Ya Allah matikanlah diriku dalam keadaan mati syahid di jalanMu. Amin.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
264
“Apa tidak ada jalan lain untuk membuktikan bahwa yang menghamili Noura
bukan Fahri? Bagaimana dengan test DNA? Bukankah Noura menemukan orang
tua kandungnya karena test DNA?” ucap Eqbal dengan mata berbinar.
Amru dan Magdi mengangguk-anggukkan kepala. Aku merasa di dalam dadaku ada cahaya. “Benar test DNA!” lirihku.
“Ini ide yang sangat menggembirakan. Aku nanti akan mencoba bertanya
pada dokter apakah janin yang dikandung Noura bisa diperiksa DNA-nya.
Agar ketahuan siapa sebenarnya ayahnya? Jika bukan Fahri yang menghamili
tentu DNA janin itu akan berbeda dengan DNA Fahri. Sebentar aku mau
mengontak Dokter Fatema Zaki, apakah janin bisa diperiksa DNA-nya.” Kata
Amru sambil memenjet handphone-nya dan meletakkan di telinganya. Amru
lalu terlibat pembicaraan dengan orang yang ditujunya. Tiba-tiba mukanya
agak pucat, ia berkata setengah berteriak, “Apa? Tidak bisa! Menunggu
sampai lahir?! Oh, begitu. Ya, terima kasih atas informasinya.”
“Bagaimana Amru?” tanya Eqbal.
“Menurut keterangan Dokter Fatema Zaki, janin yang masih berada di dalam
kandungan tidak bisa diperiksa DNA-nya. Karena harus pakai sampel
jaringan/sel tubuh. Janin tidak bisa diambil jaringan tubuhnya. Yang
bisa diambil cuma sampel air ketuban, tidak bisa untuk pemeriksaan DNA.
Jadi harus menunggu janin itu dilahirkan baru bisa diperiksa DNA-nya,”
jelas Amru yang membuat diriku lemas kembali. Menunggu Noura sampai
melahirkan janinnya, bukan waktu yang singkat di dalam penjara buruk
seperti ini. Tapi aku tetap merasa lebih berbesar hati bahwa jalan untuk
membebaskan diri dari tuduhan dan fitnah itu masih ada.
“Aku akan membuat surat permohonan kepada pengadilan agar sidang
selanjutnya diundur sampai Noura melahirkan bayinya untuk pemeriksaan
DNA.” Ujar Amru dengan wajah optimis.
“Jika pengadilan tidak mengabulkan?” sahut Magdi.
“Kita lihat nanti. Oh ya Magdi, tolong bagaimana caranya keamanan Maria
terjamin. Sebab walau bagaimana pun sebelum test DNA, Maria adalah saksi
kunci. Kau tentu tahu maksudku?” kata Amru.
“Insya Allah,” jawab Magdi pelan.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
265
Mereka bertiga lalu pamintan. Amru berjanji akan menengok ke penjara lagi jika ada perkembangan.
* * *
Sampai di dalam sel, sebelum Profesor Abdul Rauf dan teman-teman
menanyakan yang terjadi di dalam sidang kedua, aku langsung mengisahkan
semuanya. Termasuk pembicaraan berempat dengan Amru, Magdi dan Eqbal di
ruang tamu penjara.
“Bolehkan aku membuat suatu analisa? Siapa tahu ada gunanya,” ujar Profesor Abdul Rauf begitu aku selesai bercerita.
“Tentu, Profesor,” jawabku senang.
“Pemohonanmu untuk mengundurkan sidang setelah Noura melahirkan bayinya
agar bisa diperiksa DNAnya tidak akan dikabulkan pengadilan. Pengadilan
akan tetap berjalan sesuai yang diinginkan hakim. Dan hakim berjalan
sesuai yang diinginkan oleh keluarga Noura. Mereka sudah tahu saksi
kunci sudah tidak berdaya. Seandainya pun Maria bisa memberikan
kesaksian mereka sudah mempersiapkan jurus yang akan mengejutkan. Selama
ini yang terjadi, tertuduh yang berada dalam posisi seperti dirimu
jarang bisa menang. Apalagi kau orang asing. Mereka juga tahu akan
adanya test DNA, maka mereka akan menggunakan cara agar di pengadilan
ini kau kalah. Tindakan yang akan kau ambil adalah naik banding,
menunggu bayi Noura bisa ditest DNAnya. Begitu kau kalah, maka setelah
itu rekayasa yang akan mereka mainkan susah diprediksi. Bisa jadi
diam-diam mereka akan menggugurkan kandungan Noura dengan alasan
keguguran dan membuangnya entah di mana yang penting tidak bisa ditest
DNAnya. Dan kau tidak akan bisa menuntut apa-apa. Atau tidak begitu,
tetap membiarkan bayi itu lahir tapi permohonan bandingmu tidak
dikabulkan dengan alasan yang seringkali tidak masuk. Atau dikabulkan
tapi setelah menunggu sekian tahun, setelah dirimu mengalami penderitaan
luar biasa dan sekarat di dalam penjara. Sebab begitu kau diputuskan
pengadilan bersalah kau akan diperlakukan sebagai orang bersalah
meskipun sedang mengajukan banding. Itu analisaku. Aku tidak ingin
menakutimu tapi agar pengacaramu dan pihak kedutaanmu berusaha lebih
maksimal untuk membebaskan dirimu dalam pengadilan terakhir nanti.”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
266
Aku merasa apa yang disampaikan profesor benar. Dalam pengadilan Mesir
seringkali terjadi hal-hal yang tidak masuk akal. Adanya saksi seorang
lelaki yang hobinya berburu burung hantu adalah suatu yang ganjil. Dan
sejak kapan di suthuh apartemen di Hadayek Helwan itu ada burung hantu?
“Menurut Profesor apa yang harus kami lakukan?” tanyaku dengan hati cemas.
“Minta pertolongan Tuhan. Dan terus berusaha untuk menang!” ucap Profesor mantap.
“Aku punya sesuatu yang ingin aku katakan, Akhi.” sahut Ismail.
“Boleh.” kataku pelan.
“Mendengar semua kisahmu sejak kau ditangkap sampai sekarang, aku
melihat ada satu kekuatan yang mengaturnya. Mintalah kepada Magdi untuk
menyelidiki kekuatan backing dibelakang keluarga Noura. Kau masih
beruntung karena kasusmu bukan kasus yang oleh pihak keamanan dianggap
mengancam kekuasaan seperti Profesor Abdul Rauf. Asal bisa menjinakkan
kekuatan di belakang Noura maka jalan pembebasanmu menjadi lebih mudah.
Firasatku mengatakan, yang menghamili Noura adalah seseorang yang sangat
memalukan untuk disebut, jadi mereka mencari kambing hitam. Dan kambing
hitamnya adalah dirimu.Yang aku kuatirkan jika backing Noura adalah
orang penting di Keamanan Negara yang memang sangat berkuasa di negara
ini.”
“Namun kau jangan kecil hati Fahri, di atas segalanya Allahlah yang
menentukan. Daya dan kekuatan manusia tiada berarti apa-apa di hadapan
kemahakuasaan Allah. Jika Dia berkehendak apa pun bisa terjadi.” Haj
Rashed menghibur. Aku diam saja. Semuanya lalu diam. Ruangan sel bawah
tanah yang pengap dan dingin itu dicekam suasana senyap sesaat.
Keheningan menebarkan aroma ketakutan yang menguji keimanan. Kini dalam
ruangan sempit itu tinggal kami berempat. Marwan sejak diambil sipir
bersuara cempreng itu tak ketahuan nasibnya. Apakah dipindahkan ke
penjara lain? Ataukah dibebaskan? Atau malah telah menemui kematian.
Hamada juga tidak lagi terdengar beritanya sejak dua hari lalu. Yang
paling cemas atas nasib Hamada adalah Ismail. Katanya ia bermimpi
melihat Hamada berpakaian putih di sebuah tanah yang sangat lapang. Ia
kuatir itu adalah pertanda keburukan. Tapi Profesor malah menafsirkan
mimpi AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
267
itu dengan hal yang menyenangkan, tanah lapang adalah kebebasan. Hamada berarti sudah dibebaskan.
* * *
Hari berikutnya, kira-kira pukul sepuluh pagi, aku dibawa sipir hitam ke
kantor. Di sana kepala penjara menyerahkan sepucuk surat. “Ini surat
dari Universitas Al Azhar. Selamat!” Kata kepala penjara dengan nada
yang sangat sinis. Aku menerima surat itu dengan tangan bergetar. Aku
teringat peristiwa tahun 1995 seperti yang diceritakan staf konsuler
KBRI. Kubuka amplop surat cokelat buram itu dan kukeluarkan isinya. Lalu
kubaca huruf demi huruf. Selesai membaca surat itu aku tak mampu
menahan isak tangisku. Usahaku sekian tahun belajar mati-matian seakan
sia-sia belaka. “Karena tidak asusila yang Anda lakukan, maka Anda
dikeluarkan dari Universitas Al Azhar dan gelar licence yang telah Anda
dapat dicabut sejak surat ini dibuat!” Demikian salah satu baris surat
dari Universitas Al Azhar itu. Melihat aku sedih dan meneteskan air
mata, kepala penjara malah tertawa mengejek. Ia tentu sudah tahu isi
surat itu. Aku kembali ke penjara dengan memendam kesedihan tiada tara.
Al Azhar yang kucintai itu tidak lagi menganggapku sebagai bagian dari
anak muridnya. Alangkah malang nasibku.
Di dalam sel aku menangis sejadi-jadinya. Aku belum pernah menangis
sesedu itu. Profesor Abdul Rauf menghiburku seperti seorang ayah
menghibur anaknya. Ia bertanya ada apa? Aku tak kuasa menceritakannya.
Aku terus menangis dengan sesak dada yang tiada terkira. Aku teringat
semua pengorbanan orang tua. Sawah warisan kakek, harta satu-satunya,
dijual demi agar aku bisa kuliah di Al Azhar Mesir. Dan kini semuanya
seperti sia-sia. Aku merasa menjadi manusia yang paling tiada gunanya di
dunia. Hampir satu jam aku menangis. Profesor Abdul Rauf masih terus
menghibur dan membesarkan hatiku. Akhirnya aku ceritakan berita duka itu
padanya, dengan isak tangis yang tersisa.
“Kau percayalah padaku, Al Azhar sebenarnya tidak semudah itu
mengeluarkanmu. Di sana masih banyak ulama dan guru besar yang arif
bijaksana. Tapi Al Azhar tidak bisa berbuat apa-apa jika mendapat
tekanan dari penguasa. Apalagi jika datang dari Amn Daulah112. Aku
sangat yakin Al Azhar
112 Keamanan Negara.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
268
mengeluarkanmu karena mendapat tekanan. Itu sama seperti Universitas
El-Menya waktu mengeluarkan diriku dan mencopot gelar guru besarku. Jadi
sebenarnya sekarang ini saya bukan seorang profesor lagi, karena gelar
guru besarku telah dicabut. Rektor Universitas El-Menya adalah temanku
waktu mengambil doktor di Universits Lyon, Perancis. Dia tidak mungkin
berbuat buruk padaku, tapi dia mendapat tekanan dari penguasa agar
memejatku dari dosen dan menandatangani surat pencabutan guru besarku.
Untungnya aku mendapat gelar doktor dari Perancis, kalau aku mendapatkan
gelar doktor dari salah satu universitas di sini maka seluruh gelar
akademisku juga akan dipreteli. Ah sebenarnya gelar itu tidaklah
segalanya yang paling penting adalah kemampuan kita. Meskipun kau
dikeluarkan dan gelarmu dicopot tapi ilmu yang telah melekat dalam
otakmu tidak bisa mereka copot. Seandainya nanti kau bebas dan kembali
ke tanah airmu kau masih bisa mengamalkan ilmumu meskipun tanpa gelar.
Di dunia ini sangat banyak orang yang sukses tanpa gelar akademis. Aku
malah pernah membaca sejarah Indonesia, bahwa salah seorang Wakil
Presiden Indonesia yang sangat disegani yaitu Adam Malik, tidak memiliki
gelar akademis apapun. Tapi kemampuannya tidak diragukan. Jadi
janganlah masalah sekecil itu kau tangisi. Kau harus menjadi seorang
lelaki sejati yang berjiwa besar. Dan aku yakin kau mampu untuk itu.”
Kata-kata profesor Abdul Rauf mampu menyeka air mata sedihku. Aku
semestinya malu pada diriku sendiri jika menangisi hilangnya sebuah
gelar. Jika aku diharamkan belajar di Al Azhar, maka Allah mungkin akan
membuka jalan untuk belajar di tempat yang lain, termasuk belajar di
dalam penjara. Bahkan bisa jadi penjara adalah universitas paling
dahsyat di dunia. Banyak terjadi orang-orang besar di dunia melahirkan
karya-karya monumental di penjara. Ibnu Taimiyah, ulama terkemuka pada
zamannya yang mendapat gelar “Syaikhul Islam” menulis Fatawanya yang
berjilid-jilid di dalam penjara. Sayyid Qutb menulis tafsir Zhilalnya
yang sangat indah bahasa dan isinya, juga di dalam penjara. Syaikh
Badiuz Zaman Said An-Nursi juga menulis karya-karyanya yang monumental
di dalam penjara. Kenapa aku tidak berpikiran positif seperti mereka?
Penjara bukanlah penghalang untuk berkarya dan berbuat. Seandainya aku
tidak bisa menelorkan karya di dalam penjara, kenapa aku tidak
menggunakan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
269
kesempatan yang ada untuk belajar pada Profesor Abdul Rauf. Beliau
adalah guru besar bidang ilmu ekonomi. Beliau juga pernah belajar di
Perancis. Dengan beliau aku semestinya bisa belajar satu rumus ilmu
ekonomi, atau bahasa Perancis menskipun cuma satu kosa kata.. Rasanya
mempersiapkan diri saja untuk menikmati hidup di dalam penjara, itu
lebih realistis dan lebih baik daripada bersedih, berkeluh kesah dan
meratapi nasib. Kuutarakan kemauanku pada beliau. Hari itu juga aku
mulai menimba ilmu pada beliau. Lumayan selain ‘bonjour’ aku mendapatkan
sebuah kalimat dari Victor Hugo saat merenungi suatu keadaan nyata
bahwa tangan manusia banyak melakukan suatu kejahilan. Hugo mengatakan:
Tempos edax, home edacior! Artinya: Waktu kejam tapi manusia lebih kejam
lagi!
* * *
Tiga hari setelah itu, kira-kira satu jam menjelang buka puasa, sipir
bersuara cempreng memanggilku. Aku yang biasanya tidak pernah takut kali
ini menyahut panggilannya dengan bulu kuduk merinding. Aku bersyukur
ketika Si Cempreng tidak berbuat macam-macam padaku, ia hanya membawaku
ke ruang tamu penjara. Di sana ada Aisha, paman Eqbal, Maqdi, dan Amru
yang telah menunggu.
“Sore ini kita akan sedikit berbincang dan buka puasa bersama.” kata Aisha.
“Untuk buka puasanya mungkin aku tidak bisa,” jawabku.
“Kenapa?”
“Aku tidak mungkin makan enak sementara teman-teman satu sel berbuka
hanya dengan seteguk air dan roti isy kering dengan jubnah kadaluwarsa.”
Aisha langsung mengerti apa maksudku. Dia langsung membagi beberapa bungkus makanan yang dibawa menjadi dua bagian.
“Ini untuk mereka.”
“Biar kuantar dulu.”
Selesai mengantar buka untuk teman-teman satu sel, barulah aku mendengarkan semua perkembangan yang terjadi dari mereka.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
270
“Ada kabar kurang menggembirakan untukmu. Surat permohonan agar jadwal
sidang berikutnya diundur sampai janin Noura bisa diperiksa DNAnya
ditolak oleh pengadilan.” Kata Amru dengan wajah mengguratkan kemuraman.
“Aku tidak kaget. Sudah aku kira.” Jawabku lirih. Kemudian aku
menjelaskan prediksi-prediksi Profesor Abdul Rauf dan saran dari Ismail.
“Aku juga memiliki prediksi dan kalkulasi yang tidak jauh berbeda.
Sekarang senjata kita tinggal kesaksian Maria. Dan dia masih koma di
rumah sakit. Kondisinya sangat memprihatinkan, susah untuk kita
harapkan.” Kata Amru lemas.
“Saran Ismail itu cukup bagus. Memang dibelakang Noura adalah seorang
perwira menengah di badan intelijen khusus keamanan negara. Dia adik
bungsu Madame Yasmin, ibu kandung Noura. Dialah yang mendalangi semua
ini. Si Kumis yang mau berbuat tidak baik pada Madame Aisha itu akhirnya
buka mulut juga. Tapi dia sulit disentuh. Kecuali oleh orang yang
pangkatnya lebih tinggi darinya. Kebetulan aku tidak punya akses ke
badan intelijen khusus. Aksesku hanya intel polisi biasa jadi tidak bisa
berbuat banyak. Si Kumis itu kalau bukan desakan diplomatik dari Jerman
dia juga tidak akan terproses secara hukum.” Ucap Magdi.
“Hmm..aku ingat sekarang. Syaikh Ahmad punya sepupu yang juga bertugas
di dalam badan intelijen khusus keamanan negara, namanya Ridha Shahata.
Siapa tahu bisa membantu.” Sahutku sedikit optimis.
“Saya sudah menghubungi Syaikh Ahmad, tapi sayang Ridha Shahata sedang
ditugaskan ke Iran selama dua bulan. Dia baru akan kembali ke Mesir
sekitar pertengahan Syawal, ketika sidang telah usai.” Tukas paman Eqbal
Hakan Erbakan.
Azan maghrib berkumandang. Kami berbuka bersama. Pembicaraan sore itu
belum menghasilkan sesuatu yang nyata untuk membuktikan bahwa diriku
sama sekali tidak berdosa melakukan perbuatan yang hina yang dituduhkan
kepadaku. Aisha pamit dengan air mata tak terbendung. “Aku akan cari
jalan untuk menyelamatkan nyawamu, Suamiku. Aku tak mau jadi janda. Aku
tak ingin anakku ini nanti lahir dalam keadaan yatim. Aku tak ingin
kehilangan dirimu. Kau adalah karunia agung yang diberikan oleh Allah
kepadaku.” Kalimat dari bibirnya
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
271
yang bergetar itu membuat hatiku terasa pilu dan sedih. Tak lama lagi
akan memiliki seorang anak. Dan aku tidak tahu apakah masih akan sempat
melihat wajah anakku itu apa tidak? Hanya Tuhanlah yang tahu akan akhir
nasibku. Apapun yang akan terjadi aku harus siap menerimanya.Untuk
membesarkan hati, aku kembali mengingat kisah Nabi Yahya yang mati muda,
kepalanya dipenggal dan dihadiahkan kepada seorang pelacur. Kalau
kehidupan dunia adalah segalanya maka kesalehan seorang nabi tiada
artinya.
* * *
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
272
26. Ayat Ayat Cinta
Musim dingin yang beku membuat tulang-tulangku terasa ngilu. Aku nyaris
tidak kuat dengan keadaan sel yang sangat menyiksa. Tanpa disiksapun
musim dingin dalam sel gelap, pengap, basah dan berbau pesing itu sangat
menyiksa. Seluruh sumsum tulang terasa pedih bernanah. Aku memasuki
hari-hari yang sangat berat.
Suatu sore, satu jam sebelum buka, tiga hari menjelang hari raya Idul
Fitri Aisha menjenguk bersama paman Eqbal, dia tampak terpukul melihat
keadaanku yang sangat mengenaskan. Menjalani musim dingin dengan tanpa
pelindung tubuh yang cukup telah membuat seluruh persendianku kaku.
Selama ini aku nyaris tidak pernah tidur kecuali dengan posisi jongkok,
tangan memegang kedua kaki erat-erat. Beberapa kali aku merasa sangat
tersiksa bagaikan orang yang sedang sekarat.
“Suamiku, izinkanlah aku melakukan sesuatu untukmu!” Kata Aisha dengan mata berkaca-kaca.
“Apa itu?”
“Beberapa waktu yang lalu Magdi mengatakan harapan kau bisa dibebaskan
sangat tipis sekali. Maria masih juga koma. Mungkin hanya mukjizat yang
akan menyadarkannya. Magdi berseloroh, jika punya uang untuk diberikan
pada keluarga Noura dan pihak hakim mungkin kau bisa diselamatkan. Kalau
kau mengizinkan aku akan bernegosiasi dengan keluarga Noura. Bagiku
uang tidak ada artinya dibandingkan dengan nyawa dan keselamatanmu.”
“Maksudmu menyuap mereka?”
“Dengan sangat terpaksa. Bukan untuk membebaskan orang salah tapi untuk membebaskan orang tidak bersalah!”
“Lebih baik aku mati daripada kau melakukan itu!”
“Terus apalagi yang bisa aku lakukan? Aku tak ingin kau mati. Aku tak
ingin kehilangan dirimu. Aku tak ingin bayi ini nanti tidak punya ayah.
Aku tak ingin jadi janda. Aku tak ingin tersiksa. Apalagi yang bisa aku
lakukan?”
“Dekatkan diri pada Allah! Dekatkan diri pada Allah! Dan dekatkan diri
pada Allah! Kita ini orang yang sudah tahu hukum Allah dalam menguji
hamba-
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
273
hamba-Nya yang beriman. Kita ini orang yang mengerti ajaran agama. Jika
kita melakukan hal itu dengan alasan terpaksa maka apa yang akan
dilakukan oleh mereka, orang-orang awan yang tidak tahu apa-apa. Bisa
jadi dalam keadaan kritis sekarang ini hal itu bisa jadi darurat yang
diperbolehkan, tapi bukan untuk orang seperti kita, Isteriku. Orang
seperti kita harus tetap teguh tidak melakukan hal itu. Kau ingat Imam
Ahmad bin Hambal yang dipenjara, dicambuk dan disiksa habis-habisan
ketika teguh memegang keyakinan bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. Al-Qur’an
adalah kalam Ilahi. Ratusan ulama pergi meninggalkan Bagdad dengan
alasan keadaan darurat membolehkan mereka pergi untuk menghindari
siksaan. Jika semua ulama saat itu berpikiran seperti itu, maka siapa
yang akan memberi teladan kepada umat untuk teguh memegang keyakinan dan
kebenaran. Maka Imam Ahmad merasa jika ikut pergi juga ia akan berdosa.
Imam Ahmad tetap berada di Bagdad mempertahankan keyakinan dan
kebenaran meskipun harus menghadapi siksaan yang tidak ringan bahkan
bisa berujung pada kematian. Sama dengan kita saat ini. Jika aku yang
telah belajar di Al Azhar sampai merelakan isteriku menyuap maka
bagaimana dengan mereka yang tidak belajar agama sama sekali. Suap
menyuap adalah perbuatan yang diharamkan dengan tegas oleh Baginda Nabi.
Beliau bersabda, ‘Arraasyi wal murtasyi fin naar!’ Artinya, orang yang
menyuap dan disuap masuk neraka! Isteriku, hidup di dunia ini bukan
segalanya. Jika kita tidak bisa lama hidup bersama di dunia, maka insya
Allah kehidupan akherat akan kekal abadi. Jadi, kumohon isteriku jangan
kau lakukan itu! Aku tidak rela, demi Allah, aku tidak rela!”
Aisha tersedu-sedu mendengar penjelasanku. Dalam tangisnya ia berkata
dengan penuh penyesalan, “Astaghfirullah…astaghfirullaahal adhiim!”
Paman Eqbal ikut sedih dan meneteskan air mata.
“Aisha isteriku, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanyaku.
Aisha menganggukkan kepala.
“Aku juga sangat mencintaimu. Dan aku tak ingin kita yang sekarang ini
saling mencintai kelak di akhirat menjadi orang yang saling membenci dan
saling memusuhi.”
“Apa maksudmu? Apakah ada dua orang yang di dunia saling mencintai di akhirat justru saling memusuhi?” tanyanya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
274
“Jika cinta keduanya tidak berlandaskan ketakwaan kepada Allah maka
keduanya bisa saling bermusuhan kelak di akhirat. Apalagi jika cinta
keduanya justru menyebabkan terjadinya perbuatan maksiat baik kecil
maupun besar. Tentu kelak mereka berdua akan bertengkar di akhirat.
Seseorang yang sangat mencintai kekasihnya sering melakukan apa saja
demi kekasihnya. Tak peduli pada apa pun juga. Terkadang juga tidak
peduli pada pertimbangan dosa atau tidak dosa. Jika yang dilakukan
adalah dosa tentu akan menyebabkan keduanya akan bermusuhan kelak di
akhirat. Sebab mereka akan berseteru di hadapan pengadilan Allah Swt.
Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah Swt dalam surat Az Zuhruf
ayat 67: ‘Orang-orang yang akrab saling kasih mengasihi, pada hari itu
sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang
yang bertakwa.’ Isteriku, aku tak ingin kita yang sekarang ini saling
menyayangi dan saling mencintai kelak di akhirat justru menjadi musuh
dan seteru. Aku ingin kelak di akhirat kita tetap menjadi sepasang
kekasih yang dimuliakan oleh Allah Swt. Aku tak menginginkan yang lain
kecuali itu isteriku. Hidup dan mati sudah ada ajalnya. Allahlah yang
menentukan bukan keluarga Noura juga bukan hakim pengadilan itu. Jika
memang kematianku ada di tiang gantungan itu bukan suatu hal yang harus
ditakutkan. Beribu-ribu sebab tapi kematian adalah satu yaitu kematian.
Yang membedakan rasanya seseorang mereguk kematian adalah besarnya ridha
Tuhan kepadanya. Isteriku, aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin
kehilangan dirimu di dunia ini dan aku lebih tak ingin kehilangan dirimu
di akhirat nanti. Satu-satunya jalan yang harus kita tempuh agar kita
tetap bersama dan tidak kehilangan adalah bertakwa dengan sepenuh takwa
kepada Allah Azza Wa Jalla.”
Tangis Aisha semakin menjadi-jadi.
“Ka...kau benar Suamiku, terima kasih kau telah mengingatkan diriku.
Sungguh beruntung aku memiliki suami seperti dirimu. Aku mencintaimu
suamiku. Aku mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu
karena Allah Swt. Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya
adalah satu ayat cinta di antara sekian juta ayat-ayat cinta yang
diwahyukan Allah kepada manusia. Keteguhan imanmu mencintai kebenaran,
ketakwaan dan kesucian dalam hidup adalah juga ayat cinta yang
dianugerahkan Tuhan kepadaku dan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
275
kepada anak dalam kandunganku. Aku berjanji akan setia menempatkan cinta yang kita bina ini di dalam cahaya kerelaan-Nya.”
Kalimat-kalimat yang terucap dari mulut Aisha menjadi penyejuk jiwa yang
tiada pernah kurasa sebelumnya. Ia seorang perempuan yang lunak hatinya
dan bersih nuraninya.
“Kisah percintaan kalian membuat hatiku sangat terharu. Aisha, memiliki
rasa cinta dan kesetiaan pada suami yang luar biasa. Kau seperti ibumu.
Kau mewarisi kelembutan hati seperti nenekmu yang asli Palestina. Jika
beliau masih ada pasti akan sangat bangga memiliki cucu sepertimu. Dan
kau Fahri, aku belum pernah melihat seorang lelaki yang seteguh dirimu
dan sekuat dirimu dalam bertanggung jawab mempertahankan cinta suci di
dunia dan di akhirat. Kau benar, hidup yang sebenarnya adalah hidup di
akhirat. Hidup yang kekal abadi tiada penghabisannya. Sesungguhnya sore
ini aku mendapatkan nasihat agung yang tiada ternilai harganya.”
Azan berkumandang dan kami bersiap untuk buka. Sambil menjawab azan,
lirih kudengar Aisha berdoa, “Ya Allah kekalkan cinta kami di dunia dan
di akhirat. Ya Allah masukkan kami ke dalam surga Firdaus-Mu agar kami
dapat terus bercinta selama-lamanya. Amin.”
Setelah mereka pulang di dalam sel penjara aku menyatukan diri dalam
rengkuhan tangan Tuhan. Meskipun berada di dalam penjara aku masih
merasakan kenikmatan-kenikmatan yang kelihatannya biasa-biasa namun luar
biasa agungnya. Tuhan masih memberikan sentuhan cinta dan kasih
sayang-Nya. Aku tiada kuasa berbuat apa-apa kecuali meletakkan kening
bersujud kepada-Nya.
Ilahi, setiap kali,
bila kurenungkan kemurahanMu
yang begitu sederhana mendalam
akupun tergugu
dan membulatkan sembahku padaMu113
* * *
113 Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari puisi berjudul “Saat-saat
Sadar” karya penyair Belgia, Emile Verhaeren (1855-1916), yang sangat
terkenal pasca perang dunia pertama.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
276
Hari raya Idul Fitri tiba. Aku merayakannya di dalam penjara berteman
duka dan air mata. Tidak seperti hari raya yang telah lalu. Aku tidak
bisa berbicara langsung dengan kedua orang tua di Indonesia. Aku hanya
berpesan kepada Aisha agar minta tolong kepada Rudi membelikan kartu
lebaran di Attaba dan mengirimnya tanpa memberitahukan keadaanku
sebenarnya. Aku tak ingin membuat mereka berdua berduka tiada terkira.
Aku telah berpesan pada Ketua PPMI agar jika ada teman mahasiswa dari
Jawa pulang berkenan mampir ke rumah orang tuaku dan menceritakan
masalah yang menimpaku dengan baik dan bijaksana.
Yang sedikit mengurangi kesedihanku pada hari raya itu adalah kunjungan
yang datang silih berganti dari pagi sampai sore. Pagi sekali, tak lama
setelah shalat Ied selesai Aisha, paman Eqbal dan bibi Sarah menjenguk.
Setelah itu teman-teman satu rumah alias Rudi dkk. Lalu Mas Khalid dan
anak buahnya. Ketua Kelompok Studi Walisongo (KSW) dan bala kurawanya.
Takmir masjid Indonesia. Beberapa staf KBRI yang rendah hati.
Teman-teman S2 dan S3. Dan beberapa kenalan lainnya.
Yang cukup mengejutkan diriku adalah kunjungan Nurul bersama Ustadz
Jalal dan isterinya. Nurul menyampaikan rasa terima kasihnya atas surat
yang aku tulis untuknya. Dia minta doanya tiga hari lagi akan
melangsungkan akad nikah dengan salah seorang mahasiswa Indonesia.
“Siapa dia calon suamimu yang beruntung itu, kalau aku boleh tahu?”
Tanyaku pada Nurul. Dia menundukkan kepala dan dia diam saja. Malu.
“Dia juga sedang menulis tesis. Juga kawan dekatmu.” Kata Ustadz Jalal
menanggapi pertanyaanku. Aku berpikir sesaat mencari seseorang yang
diisyaratkan oleh Ustadz Jalal.
“Apakah dia itu Mas Khalid?” tebakku.
“Tebakkanmu tidak salah,” jawab Ustadz Jalal.
“Dia orang yang shaleh, baik dan memiliki karakter dan dedikasi tinggi.” kataku.
“Tapi cinta pertama sangat susah dilupakan.” Lirih Nurul.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
277
“Sekali lagi cinta sejati adalah yang telah diikat dengan tali suci
pernikahan. Jadikanlah Mas Khalid sebagai cinta pertama dan terakhirmu.”
pelanku.
“Insya Allah, aku sedang berusaha untuk melakukan itu dengan segenap
usaha. Doakanlah pernikahan kami barakah, dan kami bahagia dan menemukan
mawaddah,” lirih Nurul.
“Sama-sama. Kita saling mendoakan,” jawabku.
Aku bahagia mendapat kunjungan yang membawa berita baik itu. Mas Khalid
memang pasangan yang cocok untuk Nurul. Keduanya sama-sama berasal dari
keluarga pesantren. Dan kepiawaian Mas Khalid dalam membaca kitab kuning
ala pesantren salaf akan sangat berguna bagi pengembangan pesantren
milik ayah Nurul. Mas Khalid bisa menjadi pengasuh pesantren yang baik.
Dalam banyak acara diskusi di Cairo dia paling sering diminta untuk
memimpin doa. Doanya panjang namun mampu membuat orang meneteskan air
mata di hadapan Tuhannya.
Dan yang tak kalah bahagianya hatiku adalah kunjungan Syaikh Prof. Dr.
Abdul Ghafur Ja’far bersama puteranya yang bernama Umar. Beliau berpesan
agar aku bersabar dan tidak pernah putus asa sedetikpun atas datangnya
rahmat Allah Swt. Beliau meminta maaf atas ketidakberdayaan beliau
mempertahankan diriku atas pengeluaranku dari Al Azhar. Beliau juga
menjelaskan bahwa sebenarnya Al Azhar mendapatkan tekanan dari keamanan
untuk melakukan hal itu padaku. Sebelum pulang beliau memelukku
erat-erat lalu mengecup ubun-ubun kepalaku.
“Ingat baik-baik Anakku, wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja!”114
Pesan beliau kepadaku. Kunjungan Guru Besar Tafsir Universitas Al Azhar
itu membuat diriku memang benar-benar terasa ada. Orang sepenting dia
masih berkenan menengokku di penjara. Sungguh pengalaman yang tak akan
terlupa.
Menjelang Isya’, Syaikh Ahmad dan isterinya, Ummu Aiman datang. Syaikh
Ahmad sedikit membawa berita baik untukku. Yaitu saudara sepupunya,
Ridha Shahata, yang ditugaskan keluar Mesir pulang lebih awal dari
jadwal yang ditetapkan karena dia telah menyelesaikan semua tugasnya
dengan baik. Ridha
114 Dan siapa yang bertakwa kepada Allah maka dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
278
Shahata berjanji akan membantu sebisanya. Yang paling penting menurut
Ridha Shahata dari cerita Syaikh Ahmad adalah bagaimana caranya Maria
bisa memberikan kesaksiannya di depan pengadilan. Aku lebih banyak diam,
dalam hati kukatakan, ‘Maria sangat susah diharapkan, jika memang aku
harus mati di tiang gantungan berarti memang Tuhan berkehendak
demikian.’
Sejujurnya kukatakan, selama merayakan Iedul Fitri di Mesir aku belum
pernah mendapatkan kunjungan sebanyak itu. Meskipun berada di penjara,
namun hari raya yang kulewati cukup mengesan. Aku ikhlas seandainya hari
raya yang aku lewati adalah hari raya terakhirku di dunia.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
279
27. Diary Maria
Hari berikutnya, pagi-pagi sekali, Tuan Boutros dan Madame Nahed datang.
Aku sama sekali tidak menyangka mereka akan datang menjenguk dan
mengucapkan selamat hari raya. Ternyata maksud kedatangan mereka tidak
semata-mata berkunjung. Tuan Boutros berkata, “Kedatangan kami berdua
kemari mau minta pertolonganmu sekali lagi untuk kesembuhan Maria.”
“Aku tidak mengerti maksud Tuan. Apa yang bisa aku lakukan dalam keadaan seperti ini?” jawabku.
“Kaset rekaman suaramu itu bisa menyadarkan Maria beberapa menit. Begitu
sadar ia menanyakan dirimu. Ia terus menanyakan dirimu sampai tak
sadarkan diri kembali. Dokter ahli syaraf yang menanganinya meminta agar
bisa mendatangkan dirimu beberapa saat untuk menyadarkan Maria. Dengan
suara dan dengan sentuhan tanganmu ada kemungkinan Maria bisa sadar. Dan
ketika mendapatkan dirimu berada di sisinya, dia akan memiliki semangat
hidup kembali. Maria itu ternyata persis seperti ibunya yang tidak
mudah jatuh cinta. Namun sekali jatuh cinta dia bisa melupakan sama
sekali orang yang dicintainya. Madame Nahed ini dulu juga sakit seperti
Maria sekarang, cuma tidak separah Maria,” kata Tuan Boutros.
“Tolonglah Anakku, aku tak mau kehilangan Maria. Aku sudah pernah
mengalami apa yang dialami Maria. Hanya suaramu, sentuhanmu dan
kehadiranmu di sisinya yang akan membuat dirinya kembali memiliki cahaya
hidup yang telah redup,” desak Madame Nahed.
“Kalau hanya memperdengarkan suaraku padanya, insya Allah aku bisa. Tapi
kalau sampai menyentuhnya aku tidak bisa. Anda tentu sudah tahu kenapa?
Tapi bagaimana aku bisa melakukan itu sementara aku berada di dalam
penjara. Apakah akan rekaman lagi?” jawabku.
“Kami akan minta izin kepada pihak kepolisian untuk membawamu ke rumah
sakit beberapa saat lamanya dengan jaminan,” kata Tuan Boutros.
“Semoga bisa,” sahutku pelan.
Keduanya lalu keluar. Aku menunggu di ruang tamu penjara dengan penuh
harap berdoa mereka diizinkan membawaku ke rumah sakit menemui
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
280
Maria. Dan semoga aku bisa menyadarkan Maria sehingga nanti dia bisa
menjadi saksi dalam persidangan penentuan yang tidak lama lagi akan
dilangsungkan. Entah bagaimana diplomasi mereka pada pihak kepolisian
dan jaminan apa yang mereka berikan akhirnya mereka diizinkan membawaku
ke rumah sakit sampai maghrib tiba. Saat azan maghrib berkumandang aku
harus sudah berada di dalam penjara lagi. Borgolku dilepas. Aku melihat
jam dinding yang ada di ruangan itu. Baru pukul setengah delapan pagi.
Maghrib sekitar pukul lima empat lima. Ada waktu sembilan jam setengah.
Semoga waktu yang ada itu cukup untuk membantu Maria.
Tuan Boutros dan Madame Nahed membawaku ke mobil mereka. Aku heran, sama
sekali kami tidak dikawal. Apa mereka tidak takut aku akan melarikan
diri. Aku tanyakan hal itu pada Tuan Boutros. Beliau menjawab, “Jika kau
lari maka kami sekeluarga akan mati. Kami sekeluarga yang menjadi
jaminanmu.”
“Apa Tuan tidak kuatir aku akan melarikan diri?” tanyaku.
“Aku sudah mengenal siapa dirimu. Kau bukan seorang pengecut yang akan melakukan hal itu,” jawab Tuan Boutros mantap.
“Terima kasih atas kepercayaannya,” tukasku.
Rumah sakit tempat Maria dirawat adalah rumah sakit tempat aku dulu
dirawat. Begitu sampai di sana Madame Nahed yang juga seorang dokter
langsung meminta temannya untuk memeriksa kesehatanku. Aku sempat minta
pada Madame Nahed menghubungi Aisha yang tinggal di rumah paman Eqbal
yang tak jauh dari rumah sakit. Seorang dokter memeriksa tekanan darahku
dan lain sebagainya dengan proses yang cepat. Dia minta aku mandi
dengan air kemerahan yang telah disiapkan seorang perawat. Lalu salin
pakaian rumah sakit. Aku mandi dengan cepat. Setelah itu aku disuntik.
Barulah aku diajak ke kamar di mana Maria tergeletak seperti mayat. Aku
tak kuasa menatapnya. Maria yang kulihat itu tidak seperti Maria yang
dulu. Ia tampak begitu kurus. Mukanya pucat dan layu. Tak ada senyum di
bibirnya. Matanya terpejam rapat. Air matanya terus meleleh. Entah
kenapa tiba-tiba mataku basah. Seorang dokter setengah baya memintaku
untuk berbicara dengan suara yang datang dari jiwa agar bisa masuk
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
281
ke dalam jiwa Maria. “Ini penyakit cinta, hanya bisa disembuhkan dengan getaran-getaran cinta,” katanya padaku.
Aku duduk di kursi dekat Maria berbaring. Mulutku tak jauh dari telinga
Maria. Aku memanggil-manggil namanya. Menyuruhnya untuk membukakan mata.
Aku bercerita dan lain sebagainya. Satu jam sudah aku berbicara tapi
Maria tetap tidak sadar juga. Dokter setengah baya mengajakku bicara.
Dia minta agar aku mengucapkan kata-kata yang mesra, kata-kata
pernyataan cinta pada Maria sambil memegang-megang tangannya atau
menyentuh keningnya.
Kujawab, “Maafkan diriku atas ketidakmampuanku melakukan hal itu. Aku
tidak mungkin menyatakan cinta dan menyentuh bagian tubuh seorang
wanita, kecuali pada isteriku saja.”
“Tolonglah, lakukan itu untuk merangsang syarafnya dan membuatnya sadar.
Kau harus mengatakan dan melakukan sesuatu yang memiliki efek pada
syaraf dan memorinya. Dan lebih dari itu pada jiwanya. Utarakanlah rasa
cintamu padanya, mungkin itu akan menolongnya.”
“Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak menyesal.”
“Ini tidak sungguhan.”
“Aku harus bersikap bagaimana? Aku tidak bisa melakukan hal itu, juga
tidak bisa untuk melakukan suatu kebohongan. Bagaimana jika aku
mengungkapkan rasa cinta lalu dia sadar. Kemudian dia tahu aku
membohonginya apakah itu bukan suatu penyiksaan yang kejam padanya?”
Dokter setengah baya diam. Ia lalu keluar dan beranjak keluar untuk
berbicara pada Tuan Boutros dan Madame Nahed. Aku duduk terpekur dalam
ketermanguan. Lakon hidup ini kenapa begitu rumit? Aku melihat bibir
Maria bergetar menyebut sebuah nama. Hatiku berdesir. Yang ia sebut
adalah namaku. Aku menjawab dengan menyebut namanya tapi ia tidak juga
membuka matanya. Ingin aku menggoyang-goyang tubuhnya agar ia sadar,
agar ia tahu aku ada di dekatnya tapi itu tak mungkin aku lakukan. Tuan
Boutros mengajakku berbicara enam mata dengan Madame Nahed di sebuah
ruangan. Tuan Boutros menyerahkan sebuah agenda berwarna biru.
“Fahri, ini agenda pribadi Maria. Tempat ia mencurahkan segala perasaan
dan pengalamannya yang sangat pribadi yang terkadang kami tidak
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
282
mengetahuinya. Termasuk cintanya padamu yang luar biasa. Kami tidak
pernah menyalahkanmu dalam masalah ini. Sebab kamu memang tidak
bersalah. Kamu tidak pernah melakukan tindakan yang tidak baik pada
Maria. Kami juga tidak bisa menyalahkan Maria. Bacalah beberapa halaman
yang telah kami tandai itu agar kau mengetahui bagaimana perasaan Maria
terhadapmu sebenarnya,” kata Tuan Boutros.
Aku menerima agenda pribadi Maria itu dan membaca pada halaman-halaman
yang telah ditandai dengan sedikit dilipat ujung atas halamannya.
Kubuka lipatan 1:
Senin, 1 Oktober 2001, pukul 22.25
Sudah dua tahun dia dan teman-temannya tinggal di flat bawah. Kamarnya
tepat dibawah kamarku. Aku tak pernah berkenalan langsung dengannya,
tapi aku mengenalnya. Aku tahu namanya dan tanggal lahirnya. Yousef
banyak bercerita tentang dirinya dan teman-temannya. Setiap Jum’at pagi
dia dan teman-temannya bermain sepak bola di lapangan bersama Yousef dan
anak-anak muda Hadayek Helwan. Mereka semua mahasiswa Al Azhar dari
Indonesia yang ramah dan menghormati siapa saja. Kata Yousef yang paling
ramah dan dewasa adalah dia. Bahasa ‘amiyah dan fushanya juga paling
baik di antara keempat orang temannya.
Ayah pernah dibuat terharu oleh sikapnya yang tidak mau merepotkan dan
menyakiti tetangga. Ceritanya suatu hari ayah menagih iuran air ke
tempatnya. Ternyata ia sedang tidak enak badan dan istirahat di
kamarnya. Teman-temannya mengajak ayah masuk ke kamarnya. Di dalam
kamarnya ada sebuah ember untuk menadah air yang menetes dari
langit-langit. Ayah langsung tahu bahwa tetesan air itu berasal dari
kamar mandi kami. Karena kamilah yang tepat berada di atasnya. Dan letak
kamar mandi memang berada di samping kamarku. Ayah bertanya padanya,
“Sudah berapa lama air ini merembes dan menetes di kamarmu?”
“Satu bulan?”
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
283
“Kenapa kau tidak bilang kepadaku kalau ada ketidakberesan di kamar mandi kami dan merembes ke tempatmu?”
“Nabi kami mengajarkan untuk memuliakan tetangga, beliau bersabda,
‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah
tetangganya!’ Kami tahu kerusakan itu perlu diperbaiki. Dan perbaikan
itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karena lantai rumah Anda adalah
langi-langit rumah kami, maka biaya perbaikan itu tentunya kita berdua
yang menanggungnya. Kebetulan kami tidak punya uang. Kami menunggu ada
uang baru akan memberitahu Anda. Jika kami langsung memberitahu Anda
kami takut akan akan merepotkan Anda. Dan itu tidak kami inginkan.”
Mendengar jawaban itu hati ayah sangat tersentuh dan terharu. Ayah
terharu atas kesabaran dia selama satu bulan. Ada air menetes di
langit-langit kamar tentu sangat mengganggu kenyamanan. Ayah juga
terharu akan kedewasaannya dalam merasa bertanggung jawab. Ayah merasa
mendapat teguran. Bagaimana tidak? Setengah tahun sebelumnya ada air
menetes di langit-langit kamar mandi kami. Berarti kamar mandi penghuni
rumah atas kami tidak beres. Ayah dengan tegas langsung meminta orang
atas memperbaikinya tanpa memberi bantuan finansial sedikit pun. Sebab
ayah merasa itu sepenuhnya tanggung jawab orang atas. Sejak itu
kekaguman ayah padanya dan pada teman-temannya sering ayah ungkapkan.
Dan sejak kejadian itu aku jadi penasaran ingin tahu lebih jauh tentang
dirinya.
Sudah dua tahun dia tinggal di bawah dan aku tidak pernah bertegur sapa
dengannya. Seringkali kami bertemu tak sengaja di jalan, di halaman
apartemen, di gerbang, atau di tangga. Tapi kami tak pernah bertegur
sapa. Dia lebih sering menunduk. Jika tanpa sengaja beradu pandangan
saat bertemu denganku dia cepat-cepat menunduk atau mengalihkan
padangan. Dia bersikap biasa. Tidak tersenyum juga tidak bermuka masam.
Akhirnya tadi siang saat aku pulang dari kuliah aku bertemu dia di dalam
metro. Dia juga dari kuliah. Aku memberanikan diri untuk menyapanya dan
mengajaknya bicara. Sebab rasa-rasanya rasa penasaranku ingin tahu
sendiri keindahan pribadinya seperti yang sering diceritakan Yousef dan
ayah tidak dapat aku tahan lagi. Aku menyapanya dengan tersenyum dan dia
pun menjawab dengan baik dan halus. Aku heran pada diriku
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
284
sendiri bagaimana mungkin aku tersenyum padanya. Aku jarang bahkan bisa
dikatakan anti memberikan senyum pada lelaki yang bukan keluargaku. Aku
tidak tahu kenapa aku memberikan senyumku padanya dan aku tidak merasa
menyesal bahkan sebaliknya. Yang membuatku senang adalah dia ternyata
tahu namaku. Saat itu aku ingin bertanya padanya kenapa selama ini kalau
bertemu di jalan atau ditangga tidak pernah menyapaku. Tapi kuurungkan.
Perbincangan dengannya tadi siang sangat berkesan di hatiku. Dia
memiliki tutur bahasa yang halus dan kepribadian yang indah. Ia tidak
mau aku ajak berjabat tangan. Bukan tidak menghormati diriku, kata dia,
justru karena menghormati diriku. Dia juga bisa menjadi pendengar yang
baik. Sifat yang tidak banyak dimiliki setiap orang. Ia sangat senang
menyimak aku membaca surat Maryam. Kelihatannya ia kaget ada gadis
koptik hafal surat Maryam. Aku bukan gadis yang mudah terkesan pada
seorang pemuda. Tapi entah kenapa aku merasa sangat terkesan dengan
sikap-sikapnya. Dan entah kenapa hatiku mulai condong padanya. Hatiku
selalu bergetar mendengar namanya. Lalu ada perasaan halus yang menyusup
ke sana tanpa aku tahu perasaan apa itu namanya. Fahri, nama itu
seperti embun yang menetes dalam hati. Kurindu setiap pagi.
Lipatan 2:
Minggu, 16 Desember 2001, pukul 21.00
Kenapa aku menangis? Perasaan apa yang mendera hatiku sekarang?Begitu
menyiksa. Aku tak pernah merindukan seseorang seperti rinduku padanya.
Sudah satu bulan aku tidak melihatnya melintas di halaman apartemen.
Sudah satu bulan dia menghilang membuat hatiku merasa tercekam
kerinduan. Yousef bilang Fahri pergi umrah sejak pertengahan Ramadhan
dan sampai sekarang belum juga pulang. Aku merasa memang telah jatuh
cinta padanya. Cinta yang datang begitu saja tanpa aku sadari
kehadirannya di dalam hati.
Lipatan 3:
Sabtu, 10 Agustus 2002 pukul 11.15
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
285
Pulang dari restoran Cleopatra kugoreskan pena ini. Sebab aku tidak bisa
mengungkapkan gelegak perasaanku secara tuntas kecuali dengan
menorehkannya dalam diary ini.
Akhirnya keraguanku padanya hilang, berganti dengan keyakinan. Selama
ini aku ragu apakah dia bisa romantis. Sebab selama bertemu atau
berbicara dengannya dia sama sekali tidak pernah berkata yang
manis-manis. Selalu biasa, datar dan wajar. Dia selalu tampak serius
meskipun setiap kali aku tersenyum padanya dia juga membalas dengan
senyum sewajarnya.
Tapi malam ini, apa yang dia lakukan membuat hatiku benar-benar sesak
oleh rasa cinta dan bangga padanya. Dia sangat perhatian dan suka
membuat kejutan. Kali ini yang mendapat kejutan indah darinya adalah
Mama dan Yousef. Mereka berdua mendapat hadiah ulang tahun darinya.
Meskipun di atas namakan seluruh anggota rumahnya tapi aku yakin dialah
yang merencanakan semuanya. Dia ternyata sangat romantis. Tak perlu
banyak berkata-kata dan langsung dengan perbuatan nyata. Fahri, aku
benar-benar tertawan olehmu. Tapi apakah kau tahu yang terjadi pada
diriku? Apakah kau tahu aku mencintaimu? Aku malu untuk mengungkapkan
semua ini padamu. Dan ketika kau kuajak dansa tidak mau itu tidak
membuatku kecewa tapi malah sebaliknya membuat aku merasa sangat bangga
mencintai lelaki yang kuat menjaga prinsip dan kesucian diri seperti
dirimu.
Lipatan 4:
Minggu, 11 Agustus 2002 pukul 22.00
Aku sangat cemas memikirkan dia. Dia dia tergeletak keningnya panas.
Kata Mama terkena heat stroke. Kata teman-temannya dia seharian
melakukan kegiatan yang melelahkan di tengah musim panas yang sedang
menggila.
Oh, kekasihku sakit
Aku menjenguknya
Wajahnya pucat
Aku jadi sakit dan pucat
Karena memikirkan dirinya
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
286
Aku semakin tahu siapa dia. Untuk pertama kalinya aku tadi masuk
kamarnya ikut Mama dan Ayah menjenguknya. Dia seorang pemuda yang ulet,
pekerja keras, dan memiliki rencana ke depan yang matang. Aku masih
ingat dia menyitir perkataan bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan
tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang
sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun
ia berada di jalan yang mulus!’
Aku merasa tidak salah mencintai dia. Aku ingin hidup bersamanya.
Merenda masa depan bersama dan membesarkan anak-anak bersama. Membangun
peradaban bersama. Oh Fahri, apakah kau mendengar suara-suara cinta yang
bergemuruh dalam hatiku?
Lipatan 5:
Sabtu, 17 Agustus 2002, pukul 23.15
Aku belum pernah merasakan ketakutan dan kecemasan sehebat ini? Aku tak
ingin kehilangan dirinya. Dia memang keras kepala. Diingatkan untuk
menjaga kesehatannya tidak juga mengindahkannya. Akhirnya terjadilah
peristiwa yang membuat diriku didera kecemasan luar biasa.
Siang tadi pukul setengah empat Saiful datang dengan wajah cemas. Minta
tolong Fahri dibawa ke rumah sakit. Fahri tak sadarkan diri. Aku telpon
Mama di rumah sakit lalu bersama Yousef membawa Fahri ke rumah sakit.
Aku menungguinya sampai jam delapan malam. Dan dia belum juga siuman.
Ah, Fahri kau jangan mati! Aku tak mau kehilangan dirimu. Sembuhlah
Fahri, aku akan katakan semua perasaanku padamu. Aku sangat mencintaimu.
Lipatan 6:
Minggu, 18 Agustus 2002, pukul 17.30
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
287
Seolah-olah akulah yang sakit, bukan dia. Tuhan, jangan kau panggil dia.
Aku ingin dia mendengar dan tahu bahwa aku sangat mencintainya.
Dia tergeletak tanpa daya berselimut kain putih. Kata Saiful pukul
setengah tiga malam dia sadar tapi tak lama. Lalu kembali tak sadarkan
diri sampai aku datang menjenguknya jam setengah delapan pagi tadi.
Kulihat Saiful pucat. Ia belum tidur dan belum makan. Kuminta dia keluar
mencari makan. Aku mengantikan Saiful menjaganya. Aku tak kuasa menahan
sedih dan air mataku. Dia terus mengigau dengan bibir bergetar membaca
ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matanya meleleh . Mungkin dia
merasakan sakit yang tiada terkira.
Aku tak kuasa menahan rasa sedih yang berselimut rasa cinta dan sayang
padanya. Kupegang tangannya dan kuciumi. Kupegang keningnya yang hangat.
Aku takut sekali kalau dia mati. Aku tidak mau dia mati. Aku tak bisa
menahan diriku untuk tidak menciumnya. Pagi itu untuk pertama kali aku
mencium seorang lelaki. Yaitu Fahri. Aku takut dia mati. Kuciumi
wajahnya. Kedua pipinya. Dan bibirnya yang wangi. Aku tak mungkin
melupakan kejadian itu. Kalau dia sadar mungkin dia akan marah sekali
padaku. Tapi aku takut dia mati. Saat menciumnya aku katakan padanya
bahwa aku sangat mencintainya. Tapi dia tak juga sadar. Tak juga
menjawab.
Pukul delapan dia bangun dan dia kelihatan kaget melihat aku berada di
sisinya. Aku ingin mengatakan aku cinta padanya. Tapi entah kenapa
melihat sorot matanya yang bening aku tidak berani mengatakannya.
Tenggorokanku tercekat. Mulutku terkunci hanya hati yang berbicara tanpa
suara. Tapi aku berjanji akan mencari waktu yang tepat untuk mengatakan
semuanya padanya. Aku ingin menikah dengannya. Dan aku akan mengikuti
semua keinginannya. Aku sangat mencintainya seperti seorang penyembah
mencintai yang disembahnya. Memang memendam rasa cinta sangat menyiksa
tapi sangat mengasyikkan. Love is a sweet torment!
Lipatan terakhir:
Jum’at, 4 Oktober 2002, pukul 23.25
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
288
Aku masih sangat kelelahan baru pulang dari Hurgada. Baru setengah jam
meletakkan badan di atas kasur aku mendapatkan berita yang
meremukredamkan seluruh jiwa raga. Fahri telah menikah dengan Aisha,
seorang gadis Turki satu minggu yang lalu. Aku merasa dunia telah gelap.
Dan hidupku tiada lagi berguna. Harapan dan impianku semua lenyap. Aku
kecewa pada diriku sendiri. Aku kecewa pada hari-hari yang telah
kujalani. Andaikan waktu bisa diputar mundur aku akan mengungkapkan
semua perasaan cintaku padanya dan mengajaknya menikah sebelum dia
bertemu Aisha. Aku merasa ingin mati saja. Tak ada gunanya hidup tanpa
didampingi seorang yang sangat kucintai dan kusayangi. Aku ingin mati
saja. Aku ingin mati saja. Aku rasa aku tiada bisa hidup tanpa kekuatan
cinta. Aku akan menunggunya di surga.
Air mataku tak bisa kubendung membaca apa yang ditulis Maria dalam diary
pribadinya. Aku cepat-cepat menata hati dan jiwaku. Aku tak boleh larut
dalam perasaan haru dan cinta yang tiada berhak kumerasakannya. Aku
sudah menjadi milik Aisha. Dan aku harus setia lahir batin, dalam suka
dan duka, juga dalam segala cuaca.
“Hanya kau yang bisa menolongnya Anakku. Nyawa Maria ada di tanganmu,”
ucap Madame Nahed pelan dengan air mata meleleh di pipinya.
“Bukan aku. Tapi Tuhan,” jawabku.
“Ya. Tapi kau perantaranya. Kumohon lakukanlah sesuatu untuk Maria!”
“Aku sudah melakukannya semampuku.”
“Lakukanlah seperti yang diminta dokter. Tolong.”
“Andai aku bisa Madame, aku tak bisa melakukannya.”
“Kenapa?”
“Aku sudah katakan semuanya pada dokter.”
“Kalau begitu nikahilah Maria. Dia tidak akan bisa hidup tanpa dirimu. Sebagaimana aku tidak bisa hidup tanpa Boutros.”
“Itu juga tidak mampu aku lakukan. Aku sangat menyesal.”
“Kenapa Fahri? Kau tidak mencintainya? Kalau kau tidak bisa mencintainya
maka kasihanilah dia. Sungguh malang nasibnya jika harus mati
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
289
dalam keadaan sangat sengsara dan menderita. Kasihanilah dia, Fahri. Kumohon demi rasa cintamu pada nabimu.”
“Masalahnya bukan cinta atau kasihan Madame.”
“Lantas apa?”
“Aku sudah menikah. Dan saat menikah aku menyepakati syarat yang
diberikan isteriku agar aku menjadikan dia isteri yang pertama dan
terakhir. Dan aku harus menunaikan janji itu. Aku tidak boleh
melanggarnya.”
“Aku akan minta pada Aisha untuk memberikan belas kasihnya pada Maria.
Aku yakin Aisha seorang perempuan shalihah yang baik hati. Kebetulan itu
dia, baru datang. Kau tunggulah di sini bersama Boutros. Aku mau bicara
empat mata dengan Aisha.” Kata Madame Nahed sambil berjalan menyambut
Aisha. Keduanya lalu berjalan memasuki sebuah ruangan. Entah apa yang
akan dikatakan Madame Nahed pada Aisha. Semoga Aisha tidak terluka
hatinya. Dan aku sama sekali tidak punya niat sedetikpun untuk menduakan
Aisha dengan Maria. Aku tidak pernah berpikir kalau Maria mencintaiku
sedemikian rupa.
* * *
Setelah berbincang dengan Madame Nahed, Aisha mengajakku berbicara empat mata. Matanya berkaca-kaca.
“Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas.”
“Tidak Aisha, tidak! Aku tidak bisa.”
“Menikahlah dengan dia, demi anak kita. Kumohon! Jika Maria tidak
memberikan kesaksiannya maka aku tak tahu lagi harus berbuat apa untuk
menyelamatkan ayah dari anak yang kukandung ini.” Setetes air bening
keluar dari sudut matanya.
“Aisha, hidup dan mati ada di tangan Allah.”
“Tapi manusia harus berusaha sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah begitu
saja. Menikahlah dengan Maria lalu lakukanlah seluruh petunjuk dokter
untuk menyelamatkannya.”
“Aku tak bisa Aisha. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kau yang pertama dan terakhir bagiku.”
“Kalau kau mencintaiku maka kau harus berusaha melakukan yang terbaik
untuk anak kita. Aku ini sebentar lagi menjadi ibu. Dan seorang ibu akan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
290
melakukan apa saja untuk ayah dari anaknya. Menikahlah dengan Maria. Dan
kau akan menyelamatkan banyak orang. Kau menyelamatkan Maria.
Menyelamatkan anak kita. Menyelamatkan diriku dari status janda yang
terus membayang di depan mata dan menyelamatkan nama baikmu sendiri.”
“Aku mencintai kalian semua. Tapi aku lebih mencintai Allah dan
Rasul-Nya. Budak hitam yang muslimah lebih baik dari yang bukan
muslimah. Aku tak mungkin melakukannya isteriku.”
“Aku yakin Maria seorang muslimah.”
“Bagaimana kau bisa yakin begitu?”
“Dengan sekilas membaca diarynya. Jika dia bukan seorang muslimah dia
tidak akan mencintaimu sedemikian kuatnya. Kalau pun belum menjadi
muslimah secara lesan dan perbuatan, aku yakin fitrahnya dia itu
muslimah.”
“Aku tidak bisa berspekulasi isteriku. Aku tidak bisa melakukannya.
Dalam interaksi sosial kita bisa toleran pada siapa saja, berbuat baik
kepada siapa saja. Tapi untuk masalah keyakinan aku tidak bisa
main-main. Aku tidak bisa menikah kecuali dengan perempuan yang bersaksi
dan meyakini tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Kalau untuk bertetangga, berteman, bermasyarakat aku bisa dengan siapa
saja. Untuk berkeluarga tidak bisa Aisha. Tidak bisa!”
“Suamiku aku sependapat denganmu. Sekarang menikahlah dengannya.
Anggaplah ini ijtihad dakwah dalam posisi yang sangat sulit ini. Nanti
kita akan berusaha bersama untuk membawa Maria ke pintu hidayah. Jika
tidak bisa, semoga Allah masih memberikan satu pahala atas usaha kita.
Tapi aku sangat yakin dia telah menjadi seorang muslimah. Jika tidak
bagaimana mungkin dia mau menerjemahkan buku yang membela Islam yang kau
berikan pada Alicia itu. Itu firasatku. Kumohon menikahlah dan
selamatkan Maria. Bukankah dalam Al-Qur’an disebutkan, Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia seluruhnya.?”
Aku diam tidak bisa bicara apa-apa. Aku tidak pernah membayangkan akan
menghadapi suasana psikologis yang cukup berat seperti ini. Aisha
mengambil cincin mahar yang aku berikan di jari manis tangan kanannya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
291
“Ini jadikan mahar untuk Maria. Waktunya sangat mendesak. Sebelum
maghrib kau harus sampai di penjara. Jadi kau harus segera menikah dan
melakukan semua petunjuk dokter untuk menyadarkan Maria.” Kata-kata
Maria begitu tegas tanpa ada keraguan, setegas perempuan-perempuan
Palestina ketika menyuruh suaminya berangkat ke medan jihad. Dengan
sedikit ragu aku mengambil cincin itu. Aku tak bisa menahan isak
tangisku. Aisha memelukku, kami bertangisan.
“Suamiku kau jangan ragu! Kau sama sekali tidak melakukan dosa. Yakinlah bahwa kau akan melakukan amal shaleh,” bisik Aisha.
Setelah itu aku menemui Madame Nahed dan Tuan Boutros. Mereka berdua
menyambut kesediaanku dengan bahagia. Proses akad nikah dilaksanakan
dalam waktu yang sangat cepat, sederhana, sesuai dengan permintaanku.
Seorang ma’dzun syar’i mewakili Tuan Boutros menikahkan diriku dengan
Maria dengan mahar sebuah cincin emas. Saksinya adalah dua dokter muslim
yang ada di rumah sakit itu.
Setelah itu dokter setengah baya memberikan petunjuk apa yang harus aku
lakukan untuk membantu Maria sadar dari komanya. Aku minta hanya aku dan
Maria yang ada di ruang itu. Aku wudhu dan shalat dua rakaat lalu
berdoa di ubun-ubun kepala Maria seperti yang aku lakukan pada Aisha.
Aku hampir tidak percaya bahwa gadis Mesir yang dulu lincah, ceria dan
kini terbaring lemah tiada berdaya ini adalah isteriku. Segenap perasaan
kucurahkan untuk mencintainya. Aku membisikkan ke telinganya
ungkapan-ungkapan rasa cinta dan rasa sayang yang mendalam. Aku lalu
menciuminya seperti dia menciumiku waktu aku sakit. Tapi dia tetap diam
saja. Aku lalu menangis melihat usahaku sepertinya sia-sia. Aku ingin
melakukan lebih dari itu tapi tidak mungkin. Aku hanya bisa terisak
sambil memanggil-manggil nama Maria.
Tiba-tiba aku melihat sujud mata Maria melelehkan air mata. Aku yakin
Maria mulai mendengar apa yang aku katakan. Aku kembali menciumi
tangannya. Lalu mencium keningnya. “Maria, bangunlah Maria. Jika kau
mati maka aku juga akan ikut mati. Bangunlah kekasihku! Aku sangat
mencintaimu!” kuucapkan dengan pelan di telinganya dengan penuh
perasaan.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
292
Kepalanya menggeliat, dan perlahan-lahan ia mengerjapkan kedua matanya.
Aku memegang kedua tanganya sambil kubasahi dengan air mataku.
“F..f..Fahri..?”
“Ya, aku di sisimu Maria.”
Entah mendapatkan kekuatan dari mana, Maria bisa bicara meskipun dengan suara yang lemah,
“Aku mendengar kau berkata bahwa kau mencintaiku, benarkah?”
“Benar. Aku sangat mencintaimu,Maria?”
“Kenapa kau pegang tanganku. Bukankah itu tidak boleh?”
“Boleh! Karena kau sudah jadi isteriku.”
“Apa?”
“Kau sudah jadi isteriku, jadi aku boleh memegang tanganmu?”
“Siapa yang menikahkan kita?”
“Ayahmu. Apa kau tidak mau jadi isteriku?”
Mata Maria berkaca-kaca, “Itu impianku. Aku merasa kita tidak akan bisa
menikah setelah kau menikah dengan Aisha. Terus bagaimana dengan Aisha?”
“Dia yang mendorongku untuk menikahimu. Ini cincin yang ada di tanganmu adalah pemberian Aisha. Anggaplah dia sebagai kakakmu.”
“Aku tak menyangka Aisha akan semulia itu.”
“Fahri, aku mau minta maaf. Saat kau sakit dulu aku pernah men...”
“Aku sudah tahu semuanya. Tadi saat kau belum bangun aku sudah membalasnya.”
Maria tersenyum. “Aku ingin kau mengulanginya lagi. Aku ingin
merasakannya dalam keadaan sadar.” Pinta Maria dengan sorot mata
berbinar. Aku memenuhi permintaannya. Seketika wajahnya kelihatan lebih
bercahaya dan segar.
“Maria.”
“Ya.”
“Berjanjilah kau akan mengembalikan semangat hidupmu.”
“Setelah aku menemukan kembali cintaku maka dengan sendirinya aku
menemukan kembali semangat hidupku. Saat ini, aku merasakan kebahagiaan
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
293
yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku merasa menjadi wanita
paling berbahagia di dunia setelah sebelumnya merasa menjadi wanita
paling sengsara.”
Aku melihat jam dinding. Satu jam lagi aku harus sampai di penjara.
Dengan mata berkaca aku berkata, “Maria, aku keluar sebentar
memberitahukan keadaanmu pada dokter, ayah ibumu dan Aisha.”
Maria mengangguk. Madame Nahed dan Tuan Boutros sangat berbahagia
mendengar sadarnya Maria. Serta merta mereka berdua melangkah masuk
diiringi dokter setengah baya. Kulihat Aisha duduk sendirian di bangku.
Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Aisha diam saja. Matanya
basah.
“Kau menangis Aisha?”
Aisha diam seribu bahasa seolah tidak mendengar pertanyaanku.
“Kau menyesal dengan keputusanmu?”
Dia menggelengkan kepala.
“Kenapa kau menangis? Kau cemburu?”
Aisha mengangguk. Aku memeluknya, “Maafkan aku Aisha, semestinya kau tidak menikah denganku sehingga kau menderita seperti ini.”
“Kau jangan berkata begitu Fahri. Menikah denganmu adalah kebahagianku
yang tiada duanya. Kau tidak bersalah apa-apa Fahri. Tak ada yang salah
denganmu. Kau sudah berusaha melakukan hal yang menurutmu baik. Rasa
cemburu itu wajar. Meskipun aku yang memaksamu menikahi Maria. Tapi rasa
cemburuku ketika kau berada dalam kamar dengannya itu datang begitu
saja. Inilah cinta. Tanpa rasa cemburu cinta tiada.”
“Aku takut sebenarnya aku tidak pantas dicintai siapa-siapa.”
“Tidak Fahri. Kalau seluruh dunia ini membencimu aku tetap akan setia mencintaimu.”
“Terima kasih atas segala ketulusanmu Aisha. Aku akan berusaha membalas
cintamu dengan sebaik-baiknya. Aisha, sebentar lagi aku harus kembali ke
penjara. Aku belum menjelaskan keadaanku pada Maria. Kaulah nanti yang
pelan-pelan menjelaskan padanya semuanya. Kau jangan ragu, Maria sangat
menghormatimu.”
Aku lalu masuk ke kamar menemui Tuan Boutros dan Madame Nadia. Aku mengingatkan keduanya waktuku telah habis. Mata Madame Nadia
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
294
menatapku dengan berkaca-kaca. Aku pamitan padanya dan mencium
tangannya. Dia kini jadi ibuku. Maria kelihatannya heran dengan yang ia
lihat. Tuan Boutros menjelaskan pada Maria bahwa diriku ada urusan
penting sekali. Aku menatap wajah Maria dalam-dalam. Dia menantapku
penuh sayang. Air mataku hendak keluar tapi kutahan sekuat tenaga.
“Tersenyumlah dulu sebelum pergi, Sayang.” lirih Maria. Aku tersenyum
sebisanya. Maria tersenyum manis sekali. Aku jadi teringat Aisha. Dua
wanita itu memiliki senyum yang sama manisnya.
“Nanti Aisha akan menungguimu dan banyak bercerita denganmu. Kau jangan
terkejut jika ada hal-hal yang akan membuatmu terkejut. Aku pergi dulu.
Jangan pernah kau lupakan sedetik pun Maria, bahwa aku sangat
mencintaimu. Cintaku kepadamu seperti cintanya seorang penyembah kepada
sesembahannya.”
Aku mengambil kata-kata yang ditulis Maria dalam agendanya. Maria sangat
senang mendengarnya. Seorang isteri sangat suka dihadiahi kata-kata
indah tanda cinta dan kasih sayang.
“Terima kasih Fahri, kau sungguh romantis dan menyenangkan.”
Aku melangkah keluar bersama Tuan Boutros untuk kembali ke penjara. Di
luar aku memeluk Aisha erat-erat. Sesaat lamanya aku terisak dalam
pelukannya. “Aisha, temani Maria dan ceritakan semua yang sedang aku
alami dengan bijaksana padanya. Aku yakin kau mampu melaksanakannya.
Semoga saat sidang nanti dia bisa memberikan kesaksiannya.”
“Insya Allah, aku akan melakukan tugasku dengan baik Suamiku. Jangan
lupa nanti malam shalat tahajjud. Berdoalah kepada Allah untuk dirimu,
diriku, anak kita, dan Maria. Di sepertiga malam Allah turun untuk
mendengarkan doa hamba-hamba-Nya,” pesan Aisha.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
295
28. Sidang Penentuan
Sidang penentuan itu pun datang. Amru dan Magdi datang dengan wajah
tenang. Syaikh Ahmad dan isterinya juga datang. Orang-orang Indonesia di
Mesir banyak yang datang. Namun Maria, dan Aisha belum juga datang.
Sudah dua puluh menit menunggu mereka belum juga kelihatan. Noura dan
keluarganya beberapa kali memandangku dengan pandangan yang merendahkan.
Apapun yang akan terjadi aku pasrah kepada Tuhan.
Akhirnya hakim memulai sidang. Sambil menunggu Maria datang, Amru
mengajukan Syaikh Ahmad dan isterinya sebagai saksi. Mereka berdua
tampil bergantian memberikan kesaksian. Ummu Aiman, isteri Syaikh Ahmad
menangis saat memberikan kesaksiannya. Ia merasa sangat sakit hatinya
atas apa yang dilakukan Noura. Sambil terisak dan sesekali menyeka
matanya Ummu Aiman berkata, “Entah dengan siapa Noura melakukan
perzinahan. Tapi jelas bukan dengan Fahri. Apa yang dikatakan Noura
bahwa Fahri memperkosanya adalah fitnah yang sangat keji. Noura sungguh
gadis yang tidak tahu diri. Ia telah ditolong tapi memfitnah orang yang
dengan tulus hati menolongnya. Aku hanya bisa bersaksi bahwa selama
Noura di Tafahna ia menceritakan kejadian malam itu dan tidak pernah
menyebut bersama Fahri dari jam tiga sampai azan pertama. Ia bercerita
malam itu ia bersama Maria sampai pagi. Jika pengadilan ini akhirnya
memenangkan seorang pemfitnah maka kelak di hari kemudian seorang
pemfitnah akan dibinasakan oleh keadilan Tuhan.”
Kulihat reaksi Noura. Dia hanya menundukkan kepala. Sementara ayah dan
ibunya menatap Ummu Aiman tanpa kedip dengan tatapan garang dan
kebencian. Jaksa penuntut mencerca Ummu Aiman dengan beberapa pertanyaan
dan Ummu Aiman menjawabnya dengan tenang. Beberapa kali ia menjawab,
‘Tidak tahu!’
Ketika Ummu Aiman turun dari memberikan kesaksian, Maria datang. Ia
duduk di atas kursi roda didorong oleh adiknya Yousef. Di iringi Aisha,
Tuan Boutros, Madame Nahed, Paman Egbal, Bibi Sarah, dan seorang polisi
berdasi yang gagah. Melihat Maria datang serta merta Syaikh Ahmad
bertakbir diikuti oleh gemuruh takbir orang-orang Indonesia. Polisi
berdasi langsung mendekati
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
296
Syaikh Ahmad berbincang sebentar lalu mendekati Amru. Dia tampak
menyerahkan beberapa berkas. Amru melihat berkas itu sebentar lalu
tersenyum padaku. Amru meminta kepada hakim untuk mendengarkan kesaksian
Maria. Saksi kunci dalam kasus ini. Sebab dialah yang mengerti dengan
pasti apa yang dilakukan Noura malam itu. Benarkah Noura berada di
kamarku antara jam tiga sampai azan pertama ataukah justru Noura bersama
Maria. Hakim mempersilakan Maria berbicara setelah disumpah akan
memberikan kesaksian yang sejujur-jujurnya. Maria pun berbicara dengan
suara agak lemah. Wajahnya tampak memerah karena emosi. Ia berusaha
menahan emosinya. Mikrofon yang dipegangnya cukup membantu memperjelas
suaranya.
“Pak Hakim dan seluruh yang hadir dalam sidang ini, saya berani bersaksi
atas nama Tuhan Yang Maha Mengetahui bahwa Noura malam itu, sejak pukul
dua malam sampai pagi berada di kamarku. Ia sama sekali tidak keluar
dari kamarku. Ia selalu bersamaku. Jika dia mengatakan pukul tiga aku
mengantarnya turun ke rumah Fahri itu bohong belaka. Dalam rentang waktu
itu dia sama sekali tidak keluar dari rumahku. Jika Noura mengatakan
pemerkosaan atas dirinya terjadi dalam rentang waktu itu sungguh tidak
masuk akal. Bagaimana mungkin ada pemerkosaan waktu itu padahal dia
berada di kamarku. Dan Fahri berada di kamarnya. Untuk membuktikan
omongan saya ini, saya punya bukti nyata. Begini, kira-kira pukul tiga
lebih sepuluh menit Maria menelpon ke salah satu temannya dengan telpon
rumahku. Dia menelpon teman satu kelasnya bernama Khadija yang tinggal
di Wadi Hof. Dia berbicara kira-kira sepuluh menit. Dan kami bawa bukti
tercatat dari kantor telkom adanya percakapan itu. Bahkan rekaman
pembicaraan Noura dengan Khadija juga ada. Kebetulan Khadija juga datang
bersama kami. Dia bisa menjadi saksi. Dengan bukti kuat ini, aku
berharap Bapak Hakim bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang
salah. Apa yang dikatakan Noura adalah fitnah belaka. Dia harus
mendapatkan ganjaran atas tuduhan kejinya. Entah setan apa yang membuat
Noura yang dulu jujur dan baik hati kini berubah menjadi tukang fitnah
yang tidak memiliki nurani. Dia menyerahkan kegadisannya pada orang lain
lalu menuduh Fahri yang melakukannya. Aku sangat menyesal menolong
perempuan berhati busuk seperti dia. Demi Allah Yang Maha Mengetahui,
aku tidak rela atas tuduhan yang
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
297
dilontarkan Noura kepada Fahri. Aku tidak rela. Jika sampai Fahri
divonis salah maka Noura akan menjadi musuhku di hadapan Allah di
akherat kelak..ugh..ugh..ugh..!” Maria batuk lalu jatuh tak sadarkan
diri di kursi rodanya. Madame Nahed yang tahu akan hal itu langsung
mengambil Maria dan menggeledeknya keluar ruangan bersama Yousef.
Mungkin langsung membawanya kembali ke rumah sakit.
Setelah Maria, Khadija memberikan kesaksian memang benar pada malam itu
sekitar jam tiga lebih Noura menelponnya dan menceritakan kisah
sedihnya. Namun Noura minta agar tidak memberitahukan Bahadur bahwa dia
menelponnya. Amru lalu memberikan selembar kertas dari kantor telkom
Mesir berisi perincian pemanggilan dan penerimaan panggilan nomor telpon
rumah Maria. Yang membuat heran adalah Amru membunyikan rekaman
pembicaraan Noura-Khadija via telpon malam itu. Setelah itu Amru
mengajukan kesaksian paling mengejutkan yaitu kesaksian lelaki ceking
bernama Gamal yang pada saat pengadilan pertama menjadi saksi pihak
Noura. Kini Gamal bersaksi kembali:
“Pak Hakim dan hadirin semuanya. Saya ingin memberikan kesaksian yang
sejujurnya. Di tempat ini saya hendak berkata apa sebenarnya yang saya
alami. Sebenarnya apa yang saya katakan pada pengadilan pertama tidak
benar. Saya minta maaf atas kesaksian palsu saya. Saya khilaf. Dan pada
kesempatan kali ini saya mengaku dengan sejujurnya saya tidak tahu
menahu mengenai masalah ini. Saya tidak melihat nona Noura turun dan
masuk rumah Fahri. Sebab malam itu saya tidur di rumah bersama isteri
dan anak saya. Saya bukan seorang pemburu burung hantu. Itu semua
rekayasa belaka. Terima kasih.”
Setelah mendengar semua kesaksian itu Amru berpidato dengan bahasa yang
luar biasa kuatnya. Ia meyakinkan kepada siapa saja yang mendengarnya
bahwa Noura seorang pemfitnah. Berkali-kali dengan bahasa yang kuat dan
tajam dia menghabisi Noura. Kulihat Noura pucat dan meneteskan air mata.
Selesai Amru bicara Noura angkat tangan dan minta kepada hakim untuk
bicara. Hakim memberinya waktu lima menit. Noura berdiri dan menuju
podium. Di sana dia berbicara dengan kepala menunduk sambil menangis
terisak-isak:
“Pak Hakim dan hadirin sekalian. Selamanya kebenaran akan menang. Jika
tidak di pengadilan dunia maka kelak di pengadilan akhirat. Selamanya
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
298
rekayasa manusia tiada artinya apa-apa dibanding kekuasaan Tuhan.
Hadirin, jika ada gadis malang di dunia ini yang semalang-malangnya
adalah diriku. Sejak kecil sampai beberapa bulan yang lalu aku diasuh
oleh orang yang bukan orang tua kandungku. Waktu bayi aku tertukar di
rumah sakit dengan bayi lain. Aku hidup dalam keluarga bermoral setan.
Namun aku selalu tabah dan terus bertahan. Sampai akhirnya malam itu.
Aku ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Malam itu sebelum aku
diusir dan diseret si jahat Bahadur ke jalan terlebih dahulu aku
diperkosanya…hiks..hiks..!” Noura tersedu sesaat lamanya. Ruang
pengadilan diselimuti keheningan berbalut kepiluan dan rasa kasihan.
“Aku merasa bisa menyembunyikan aib yang menimpaku. Aku kira tidak akan
terjadi apa-apa denganku. Waktu terus berjalan sampai akhirnya Allah
mempertemukan diriku dengan kedua orang tua kandungku lewat bantuan
banyak orang termasuk, Fahri, Maria, Nurul, Syaikh Ahmad dan Ummu Aiman.
Kedua orang tua kandungku adalah orang terpandang dan dari keluarga
besar terhormat. Mereka menerima kedatanganku dengan penuh rasa bahagia
luar biasa. Petaka itu datang kembali ketika perutku semakin membesar.
Mereka menanyakan padaku siapa yang telah menghamiliku. Aku tak mau
berterus terang bahwa Bahadur yang menghamiliku dengan memperkosa. Aku
sudah sangat benci dengan dirinya. Akhirnya aku berbohong pada mereka
yang menghamiliku adalah Fahri. Sebab aku sangat mencintai Fahri dengan
harapan Fahri nanti mau menikahiku. Namun yang kulakukan ternyata tak
lain adalah dosa besar yang sangat keji aku telah menghancurkan
kehidupan orang yang kucintai dan di sisi lain aku telah membiarkan
penjahat yang menghamiliku tertawa terbahak-bahak. Semua rekayasa yang
telah diatur rapi juga diporak-porandakan oleh kekuasaan Allah Swt. Di
sini, sebelum di akhirat nanti, aku akui dengan sejujurnya Fahri tidak
bersalah. Dia bersih. Dan kepadanya dan kepada keluarganya serta siapa
saja yang terzhalimi atas kebodohanku aku mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Aku memang ditakdirkan untuk hidup malang di dunia.
Namun aku bertekad memperbaiki diri agar tidak malang di akhirat kelak.”
Atas dasar semua bukti yang ada dan pengakuan Noura akhirnya mau tidak
mau Dewan Hakim memutuskan diriku tidak bersalah dan bebas dari dakwaan
apa pun. Takbir dan hamdalah bergemuruh di ruang pengadilan itu
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
299
dilantunkan oleh semua orang yang membela dan bersimpati padaku.
Seketika aku sujud syukur kepada Allah Swt. Aisya memelukku dengan
tangis bahagia tiada terkira. Paman Eqbal dan bibi Noura tak mampu
membendung air matanya. Syaikh Ahmad dan Ummu Aiman juga sama. Nurul dan
suaminya yaitu Mas Khalid datang memberi selamat dengan mata berkaca.
Satu persatu orang-orang Indonesia yang di dalam ruangan itu memberi
selamat dengan wajah haru. Amru memberi tahu bahwa Kolonel Ridha
Shahata, sepupu Syaikh Ahmad yang memiliki posisi cukup penting di Badan
Kemanan Negara juga punya andil dalam membantu mendapatkan bukti dari
kantor telkom dan memaksa Gamal berkata jujur. Suatu bukti bahwa dunia
belum kehilangan orang-orang yang baik dan cinta keadilan.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
300
29. Nyanyian dari Surga
Begitu divonis bebas, aku dibawa oleh Aisha ke rumah sakit Maadi untuk
diperiksa. Penyiksaan dipenjara seringkali menyisakan cidera atau luka.
Dokter mengatakan aku harus dirawat di rumah sakit beberapa hari untuk
memulihkan kesehatan. Beberapa jari kakiku yang hancur harus ditangani
serius. Ada gejala paru-paru basah yang kuderita. Aisha memesankan kamar
kelas satu bersebelahan dengan kamar Maria. Teman-teman dari Indonesia
banyak yang menjenguk, meskipun mereka sedang menghadapi ujian semester
ganjil Al Azhar. Sementara musim dingin semakin menggigit.
Sudah tiga hari, sejak jatuh tak sadarkan diri saat memberikan kesaksian
di pengadilan Maria belum juga siuman. Dokter mengatakan ada kelenjar
syaraf di kepalanya yang tak kuat menahan emosi yang kuat mendera. Ada
pembengkakan serius pada pembuluh darah otaknya karena tekanan darah
yang naik drastis. Akibatnya dia koma. Untung pembuluh darah otaknya itu
tidak pecah. Kalau pecah maka nyawanya bisa melayang.
Sekarang tidak hanya Madame Nadia dan keluarganya saja yang merasa
bertanggung jawab menunggui Maria. Aisha merasa punya panggilan jiwa tak
kalah kuatnya. Ia sangat setia menunggui diriku dan menunggui Maria. Ia
bahkan sering tidur sambil duduk di samping Maria. Aisha menganggap
Maria seperti adiknya sendiri. Beberapa kali aku memaksakan diri untuk
bangkit dari tempat tidur dan menemani Aisha menunggui Maria.
Pada hari keempat sejak Maria tak sadarkan diri, tepatnya pada pukul
sembilan pagi handphone Aisha berdering. Aisha mengangkatnya. Ia
terkejut mendengar suara orang yang menelponnya. “Alicia? Di mana? Oh
masya Allah, Subhanallah! Ya..ya...baik. Kalau begitu kau naik metro
saja turun di Maadi. Aku jemput di dekat loket tiket sebelah barat.
Okey? Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah.”
Aisha lalu tersenyum padaku dan berkata,
“Selamat untukmu Fahri, kau telah mendapatkan kenikmatan yang lebih
agung dari terbitnya matahari. Alicia sudah menjadi muslimah sekarang.
Apa yang kau lakukan sampai kau akhirnya jatuh sakit itu tidak sia-sia.
Jawabanmu itu
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
301
mampu menjadi jembatan baginya menemukan cahaya Tuhan. Dia ingin
menemuimu. Kira-kira pukul setengah sepuluh dia akan sampai di Mahattah
Maadi.”
Aku merasakan keagungan Tuhan di seluruh jiwa. Aku merasa Dia tiada pernah meninggalkan diriku dalam segala cuaca dan keadaan.
PadaMu
Kutitipkan secuil asa
Kau berikan selaksa bahagia
PadaMu
Kuharapkan setetes embun cinta
Kau limpahkan samudera cinta
Aisha menengok kamar Maria, tak lama ia kembali lagi dan berkata, “Dia
belum juga sadar. Hanya detak jantungnya yang masih terus bekerja dan
hembusan nafasnya yang masih mengalir menunjukkan dia masih hidup.
Sungguh aku tak tega melihat dia terbaring begitu lemah tiada berdaya.
Seringkali ada lelehan air mata di sudut matanya. Entah apa yang
dialaminya di alam tak sadarnya.”
Aisha melihat jam. “Sayang, aku keluar sebentar ya menjemput Alicia.”
“Ya, tapi jangan cerita tentang penjara.” Lirihku. Aisha menganggukkan kepalanya lalu beranjak keluar.
Seperempat jam kemudian Aisha datang bersama Alicia. Aku nyaris tidak
percaya bahwa sosok yang datang bersamannya adalah Alicia. Sangat
kontras dengan penampilannya waktu pertama kali bertemu di dalam metro
dulu. Dulu pakaiannya ketat mempertontonkan aurat. Sekarang dia memakai
jilbab, pakaiannya sangat anggun dan rapat menutup aurat. Tak jauh
berbeda dengan Aisha.
“Aku datang kemari sengaja untuk menemuimu, Fahri. Untuk mengucapkan
terima kasih tiada terkira padamu. Karena berjumpa denganmulah aku
menemukan kebenaran dan kesejukan yang aku cari-cari selama ini.” Kata
Alicia, mata birunya berbinar bahagia. Alicia lalu mengisahkan
pergolakan batinnya sampai akhirnya masuk Islam dua bulan yang lalu.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
302
“Selain itu aku membawa ini.” Alicia membuka tas hitamnya yang agak
besar. Ia mengeluarkan dua buah buku dan menyerahkan padaku. Aku
terkejut membaca tulisan yang ada di sampulnya. Namaku tertulis di sana.
“Jawabanmu tentang masalah perempuan dalam Islam jadi buku itu. Dan
terjemahan Maria jadi yang ini. Semuanya diterbitkan oleh Islamic Centre
di New York. Tiap buku baru dicetak 25 ribu exemplar. Dr. Salman Abdul
Adhim direktur penerbitannya meminta nomor rekeningmu, Maria dan Syaikh
Ahmad untuk tranfer honorariumnya. Kau boleh bangga sekarang dua buku
itu sedang dicetak lagi karena satu bulan diluncurkan langsung habis.”
Cerita yang dibawa Alicia benar-benar menghapus semua duka yang pernah
kurasa. Sangat mudah bagi Tuhan untuk menghapus duka dan kesedihan
hamba-Nya.
“Kau tidak ingin menemui Maria?” tanyaku.
“Ingin.”
“Aisha, antarkan Alicia melihat Maria.”
Aisha menggamit tangan Alicia ke kamar sebelah di mana Maria terbaring
lemah. Aku tidak tahu seperti apa reaksi Alicia bertemu Maria dalam
keadaan seperti itu. Sambil berbaring aku memperhatikan dengan seksama
dua buku yang diberikan Alicia itu. Buku pertama, Women in Islam. Sebuah
buku kecil. Tebalnya cuma 65 halaman. Namaku terpampang sebagai
pengarangnya. Aku jadi malu pada diri sendiri, aku hanya menulis ulang
dan merapikan pelbagai macam bahan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
seputar perempuan dalam Islam. Bukan menulis suatu yang baru. Di
dalamnya kulihat editornya dua orang: Alicia Brown dan Syaikh Ahmad
Taqiyuddin. Di halaman terakhir buku itu ada biodataku secara singkat.
Lalu buku kedua berjudul, Why Does the West Fear Islam? ditulis Prof Dr.
Abdul Wadud Shalabi. Aku dan Maria tercantum sebagai penerjemah.
Editornya sama.
Setengah jam kemudian Alicia kembali bersama Aisha.
“Semoga isteri keduamu itu cepat sembuh. Selamat atas pernikahan kalian.
Semoga dirahmati Tuhan. Oh ya aku ada pesan dari Dr. Salman Abdul
Adhim, kau akan diundang untuk memberikan cemarah di beberapa Islamic
Centre di Amerika sekalian mendiskusikan apa yang telah kau tulis.
Tiket, surat undangan dan jadwal kegiatannya ada di hotel, tidak
terbawa,” kata Alicia.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
303
“Waktunya kapan?” Aisha menanggapi.
“Bulan depan. Selama sepuluh hari.”
“Semoga dia benar-benar sudah sembuh.”
“Semoga.”
Setelah itu Alicia minta diri dan berjanji akan datang lagi keesokan
hari untuk menyerahkan tiket dan semua berkas yang akan digunakan untuk
mempermudah mengurusi visa masuk ke Amerika.
“Begitu banyak perubahan silih berganti yang kita alami,” kata Aisha setelah Alicia pergi.
* * *
Tengah malam, Aisha membangunkan diriku. Kusibak selimut tebal. Kaca
jendela tampak basah. Musim dingin mulai merambat menuju puncaknya.
Aisha melindungi tubuhnya dengan sweater. Untung penghangat ruangan
kamar kelas satu berfungsi baik. Tapi kaca jendela tetap tampak basah.
Berarti di luar sana udara benar-benar dingin. Mungkin telah mencapai 8
derajat. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa dinginnya kutub utara
yang puluhan derajat di bawah nol. Suasana malam senyap dan beku.
“Fahri, ayo lihatlah Maria, dia mengigau aneh sekali..aku belum pernah melihat orang mengigau seperti itu.” Kata Aisha pelan.
Aku mengikuti ajakan Aisha untuk melihat keadaan Maria. Tak ada
siapa-siapa di kamar Maria saat kami masuk. Kecuali Madame Nadia, yang
pulas di sofa tak jauh dari ranjang Maria. Ibu kandung Maria itu
kelihatannya kelelahan. Kami melangkah pelan mendekati Maria. Dan aku
mengenal apa yang diigaukan oleh Maria. Aku pasang telinga lekat-lekat
dan memperhatikan dengan seksama. Subhanallah, Maha Suci Allah! Yang
terucap lirih dari mulut Maria, tak lain dan tak bukan adalah ayat-ayat
suci dalam surat Maryam. Ia memang hafal surat itu. Aku tak kuat menahan
haru.
“Sepertinya yang keluar dari bibirnya itu ayat-ayat suci Al-Qur’an? Bagaimana bisa terjadi, Fahri?” Heran Aisha.
“Kita dengarkan saja baik-baik. Nanti aku jelaskan padamu. Banyak hal yang belum kau ketahui tentang Maria.” Jawabku pelan.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
304
Kami pun menyimak igauan Maria baik-baik. Mendengarkan apa yang
diucapkan oleh Maria dalam alam tidak sadarnya. Pelan. Urut. Indah dan
lancar. Tak ada yang salah. Meskipun tajwidnya masih belum lurus benar.
Maria melantunkan ayat-ayat yang mengisahkan penderitaan Maryam setelah
melahirkan nabi Isa. Maryam dituduh melakukan perbuatan mungkar. Allah
menurunkan mukjizat-Nya, Isa yang masih bayi bisa berbicara.
Fa atat bihi qaumaha tahmiluh,
qaalu yaa Maryamu laqad ji’ta syaian fariyya.
Ya ukhta Haaruna maa kaana abuuki imra ata sauin
wa maa kaanat ummuki baghiyya.
Fa asyaarat ilaih, qaalu kaifa nukallimu man kaanat fil mahdi shabiyya.
Qaala inni abdullah aataniyal kitaaba wa ja’alani nabiyya.
Wa ja’alani mubaarakan ainama kuntu
wa aushaani bish shalati waz zakaati maa dumtu hayya.
(Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya.
Kaumnya berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu
yang amat mungkar.
Hai saudara perempuan Harun ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.
Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan berbicara pada anak kecil yang masih dalam ayunan?’
Isa berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab dan dia menjadikan aku seorang nabi.
Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada,
dan dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat menunaikah zakat selama
aku hidup)115
Seorang malaikat pun jika mendengar apa yang dilantunkan Maria dalam
alam bawah sadarnya itu akan luluh jiwanya, bergetar hatinya, dan
meneteskan air mata. Maria sedang mengeluarkan apa yang bercokol kuat
dalam memorinya. Dan
115 QS. Maryam: 27-31.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
305
itu adalah ayat-ayat suci yang menyejukkan. Maria terus melantunkan apa
yang dihafalnya ayat demi ayat. Air mataku menetes setetes demi setetes.
Cahaya keagungan Tuhan berkilat-kilat dalam diri semakin lama semakin
benderang. Bibir Maria terus bergetar. Aku bertanya dalam diri, siapa
sebenarnya yang menggerakkan bibirnya? Dia sedang tak sadar apa-apa. Ia
sampai pada akhir surat Maryam. Namun bibirnya tidak juga berhenti
bergetar, terus melanjutkan surat setelahnya. Surat Thaaha. Subhanallah!
Thaaha.
Maa anzalna ‘alaikal Qur’aana li tasyqa
Illa tadzkiratan liman yakhsya
( Thaaha.
Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu
agar kamu jadi susah
Tetapi sebagai tadzkirah
bagi orang yang takut kepada Allah
)116
Aku jadi tidak mengerti sebenarnya berapa surat. Berapa juz yang telah
dihafal Maria. Dulu saat pertama kali dia menyapa di dalam metro dia
mengatakan hanya hafal surat Al Maidah dan Maryam saja. Sekarang dia
membaca surat Thaaha. Aku benar-benar terkesima dibuatnya. Masih banyak
rahasia dalam dirinya yang tidak aku ketahui. Aku jadi tidak tahu pasti
keyakinan dalam hatinya. Dengan air mata terus mengalir di sudut matanya
yang terpejam ia melantunkan ayat-ayat suci itu seperti sedang asyik
bernyanyi dalam mimpi. Malam yang dingin terasa hangat oleh aura getar
bibir Maria. Ia mengajak pendengarnya berada di Mesir pada masa nabi
Musa melawan Fir’aun. Ia terus bernyanyi, seperti bidadari menyanyikan
lagu surga.
Innama ilaahukumullah al ladzi laa ilaha illa huwa
wasia kulla syai in ilma
Kadzalika naqushu ‘alaika anbai ma sabaq
wa qad aatainaaka min ladunna dzikra
116 QS. Thaaha: 1-3.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
306
(Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah,
yang tiada tuhan selain Dia, pengetahuannya
meliputi segala sesuatu.
Demikianlah kami kisahkan kepadamu
sebagian kisah umat yang telah lalu,
dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu
dari sisi Kami suatu peringatan
)117
Sampai ayat ini bibir Maria berhenti bergetar. Lelehan air matanya
semakin deras. Namun ia tidak juga membuka mata. Entah apa yang ia rasa.
Aku hanya bisa ikut melelehkan air mata. Berdoa. Dan memegang erat
tangannya. Sesaat lamanya keheningan tercipta. Tiba-tiba bibirnya
bergerak dan mendendangkan zikir dengan nada aneh:
Allah. Allah. Allah.
Aku ingin Allah.
Allah. Allah. Allah.
Aku rindu Allah.
Allah. Allah. Allah.
Aku cinta Allah.
Allah. Allah. Allah
Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Allah. Allah. Allah.
CahayaMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
SenyumMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
BelaianMu Allah.
117 QS. Thaaha: 98-99
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
307
Allah. Allah. Allah.
CiumanMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
CintaMu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Allah. Allah.Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Semakin lama volume suaranya semakin mengecil. Lalu hilang. Hatiku
berdesir ketika melihat bulu matanya yang lentik bergerak-gerak.
Perlahan ia mengerjap. Allah. Allah. Allah. Sembari bibirnya berzikir
matanya tampak mulai terbuka perlahan. Dan akhirnya benar-benar terbuka.
Subhanallah!
“Maria!” sapaku pelan.
“Fa..Fahri?” suaranya sangat lirih nyaris tiada terdengar.
“Ya. Apa yang kau rasakan sekarang, Sayang? Apanya yang sakit?”
“Tolonglah aku? Aku sedih sekali.”
“Kenapa sedih?”
“Aku sedih tak diizinkan masuk surga!”
Jawaban Maria membuat aku dan Aisha kaget bukan main. Dari mana dia
tiba-tiba dapat kekuatan untuk berkata sejelas itu? Apakah dia akan
mati? Tanyaku dalam hati. Dan cepat-cepat aku membuang pertanyaan tidak
baik itu. Tapi kenapa dia berulang-ulang menyebut-nyebut surga.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
308
“Aku telah sampai di depan pintu surga, tetapi aku tidak boleh masuk!” ulangnya.
“Kenapa?”
“Katanya aku tidak termasuk golongan mereka. Pintu-pintu itu tertutup bagiku. Aku terlunta-lunta. Aku menangis sejadi-jadinya.”
“Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang kau alami, Maria. Tapi bagaimana mulanya kau bisa sampai di sana?”
“Aku tidak tahu awal mulanya bagaimana. Tiba-tiba saja aku berada dalam
alam yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dari kejauhan aku melihat
istana megah hijau bersinar-sinar. Aku datang ke sana. Aku belum pernah
melihat bangunan istana yang luasnya tiada terkira, dan indahnya tiada
pernah terpikir dalam benak manusia. Luar biasa indahnya. Ia memiliki
banyak pintu. Dari jarak sangat jauh aku telah mencium wanginya. Aku
melihat banyak sekali manusia berpakaian indah satu persatu masuk ke
dalamnya lewat sebuah pintu yang tiada terbayangkan indahnya. Kepada
mereka aku bertanya, “Istana yang luar biasa indahnya ini apa?” Mereka
menjawab, “Ini surga!” Hatiku bergetar. Dari pintu yang terbuka itu aku
bisa sedikit melihat apa yang ada di dalamnya. Sangat menakjubkan. Tak
ada kata-kata yang bisa menggambarkan. Tak ada pikiran yang mampu
melukiskan. Aku sangat tertarik maka aku ikut barisan orang-orang yang
satu persatu masuk ke dalamnya. Ketika kaki mau melangkah masuk seorang
penjaga dengan senyum yang menawan berkata padaku, “Maaf, Anda tidak
boleh lewat pintu ini. Ini namanya Babur Rayyan. Pintu khusus untuk
orang-orang yang berpuasa.118 Anda tidak termasuk golongan mereka!” Aku
sangat kecewa. Aku lalu berjalan ke sisi lain. Di sana ada pintu yang
juga sedang penuh dimasuki anak manusia berpakaian indah. Aku mau ikut
masuk. Seorang penjaga yang ramah berkata, “Maaf, Anda tidak boleh lewat
pintu ini. Ini Babush Shalat. Pintu khusus untuk orang-orang shalat.
Dan Anda tidak termasuk golongan mereka!” Aku sangat sedih. Hatiku
kecewa luar biasa. Aku melihat di kejauhan masih ada pintu. Aku berjalan
ke sana dengan harapan bisa masuk lewat pintu itu. Namun ketika hendak
masuk seorang penjaga yang wajahnya bercahaya berkata, “Maaf, Anda
118 Imam Syamsuddin Al-Qurthubi (w. 671 H.) dalam kitabnya At Tadzkirah
banyak menjelaskan tentang deskripsi surga sesuai dengan yang dijelaskan
dalam hadits-hadits nabi, termasuk jumlah pintu surga dan nama-namanya.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
309
tidak boleh masuk lewat sini. Ini Babuz Zakat. Pintu khusus untuk
orang-orang yang menunaikan zakat. Ada banyak pintu. Dan setiap kali aku
hendak masuk selalu dicegah penjaganya. Sampai di pintu terakhir
namanya Babut Taubah. Aku juga tidak boleh masuk. Karena itu khusus
untuk orang-orang yang taubatnya diterima Allah. Dan aku tidak termasuk
mereka. Aku kembali ke pintu-pintu sebelumnya. Semuanya tertutup rapat.
Orang-orang sudah masuk semua. Hanya aku sendirian di luar. Aku
menggedor-gedor pintu bernama Babur Rahmah. Tak ada yang membuka. Aku
hanya mendengar suara, “Jika kau memang penghuni surga kau tidak perlu
mengetuknya karena kau pasti punya kuncinya. Bukalah pintu-pintu itu
dengan kunci surga yang kau miliki!” Aku menangis sejadi-jadinya. Aku
tidak memiliki kuncinya. Aku berjalan dari pintu satu ke pintu yang lain
dengan air mata menetes di sepanjang jalan. Aku putus asa. Aku tergugu
di depan Babur Rahmah. Aku mengharu biru pada Tuhan. Aku ingin menarik
belas kasihNya dengan membaca ayat-ayat sucinya. Yang kuhafal adalah
surat Maryam yang tertera di dalam Al-Qur’an. Dengan mengharu biru aku
membacanya penuh penghayatan. Selesai membaca surat Maryam aku lanjutkan
surat Thaha. Sampai ayat sembilan puluh sembilan aku berhenti karena
Babur Rahmah terbuka perlahan. Seorang perempuan yang luar biasa anggun
dan sucinya keluar mendekatiku dan berkata,
“Aku Maryam. Yang baru saja kau sebut dalam ayat-ayat suci yang kau
baca. Aku diutus oleh Allah untuk menemuimu. Dia mendengar haru biru
tangismu. Apa maumu?”
“Aku ingin masuk surga. Bolehkah?”
“Boleh. Surga memang diperuntukkan bagi semua hamba-Nya. Tapi kau harus tahu kuncinya?”
“Apa itu kuncinya?”
“Nabi pilihan Muhammad telah mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?”
“Aku tidak mengikuti ajarannya.”
“Itulah salahmu.”
“Kau tidak akan mendapatkan kunci itu selama kau tidak mau tunduk penuh
ikhlas mengikuti ajaran Nabi yang paling dikasihi Allah ini. Aku
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
310
sebenarnya datang untuk memberitahukan kepadamu kunci masuk surga. Tapi
karena kau sudah menjaga jarak dengan Muhammad maka aku tidak
diperkenankan untuk memberitahukan padamu.”
Bunda Maryam lalu membalikkan badan dan hendak pergi. Aku langsung
menubruknya dan bersimpuh dikakinya. Aku menangis tersedu-sedu. Memohon
agar diberitahu kunci surga itu. “Aku hidup untuk mencari kerelaan
Tuhan. Aku ingin masuk surga hidup bersama orang-orang yang beruntung.
Aku akan melakukan apa saja, asal masuk surga. Bunda Maryam tolonglah
berilah aku kunci itu. Aku tidak mau merugi selama-lamanya.” Aku terus
menangis sambil menyebut-nyebut nama Allah. Akhirnya hati Bunda Maryam
luluh. Dia duduk dan mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang,
“Maria dengarkan baik-baik! Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan kunci
masuk surga. Dia bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu dengan baik, kemudian
mengucapkan: Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan
abduhu wa rasuluh (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku
bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya) maka akan
dibukakan delapan pintu surga untuknya dan dia boleh masuk yang mana ia
suka!’ 119 Jika kau ingin masuk surga lakukanlah apa yang diajarkan olah
Nabi pilihan Allah itu. Dia nabi yang tidak pernah bohong, dia nabi
yang semua ucapannya benar. Itulah kunci surga! Dan ingat Maria, kau
harus melakukannya dengan penuh keimanan dalam hati, bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Tanpa keimanan itu, yang kau
lakukan sia-sia. Sekarang pergilah untuk berwudhu. Dan cepat kembali
kemari, aku akan menunggumu di sini. Kita nanti masuk bersama. Aku akan
membawamu ke surga Firdaus!”
Setelah mendengar nasihat dari Bunda Maryam, aku lalu pergi mencari air
untuk wudhu. Aku berjalan ke sana kemari namun tidak juga menemukan air.
Aku terus menyebut nama Allah. Akhirnya aku terbangun dengan hati
sedih. Aku ingin masuk surga. Aku ingin masuk surga. Aku ingin ke sana,
Bunda Maryam menungguku di Babur Rahmah. Itulah kejadian atau mimpi yang
aku alami. Oh Fahri suamiku, maukah kau menolongku?”
“Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Maria?”
119 Hadits riwayat Imam Muslim.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
311
“Bantulah aku berwudhu. Aku masih mencium bau surga. Wanginya merasuk ke
dalam sukma. Aku ingin masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji akan
mempersiapkan segalanya dan menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih
dalam cahaya kesucian dan kerelaan Tuhan selama-lamanya. Suamiku, bantu
aku berwudhu sekarang juga!”
Aku menuruti keinginan Maria. Dengan sekuat tenaga aku membopong Maria
yang kurus kering ke kamar mandi. Aisha membantu membawakan tiang infus.
Dengan tetap kubopong, Maria diwudhui oleh Aisha. Setelah selesai,
Maria kembali kubaringkan di atas kasur seperti semula. Dia menatapku
dengan sorot mata bercahaya. Bibirnya tersenyum lebih indah dari
biasahnya. Lalu dengan suara lirih yang keluar dari relung jiwa ia
berkata:
Asyhadu an laa ilaaha illallah
wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh!
Ia tetap tersenyum. Menatapku tiada berkedip. Perlahan pandangan matanya
meredup. Tak lama kemudian kedua matanya yang bening itu tertutup
rapat. Kuperiksa nafasnya telah tiada. Nadinya tiada lagi denyutnya. Dan
jantungnya telah berhenti berdetak. Aku tak kuasa menahan derasnya
lelehan air mata. Aisha juga. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun!
Maria menghadap Tuhan dengan menyungging senyum di bibir. Wajahnya
bersih seakan diselimuti cahaya. Kata-kata yang tadi diucapkannya dengan
bibir bergetar itu kembali terngiang-ngiang ditelinga:
“Aku masih mencium bau surga. Wanginya merasuk ke dalam sukma. Aku ingin
masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji akan mempersiapkan segalanya
dan menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih dalam cahaya kesucian dan
kerelaan Tuhan selama-lamanya.”
Sambil terisak Aisha melantunkan ayat:
Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah
irji’ii ilaa Rabbiki
raadhiyatan mardhiyyah
Fadkhulii fii ‘ibaadii
wadkhulii jannatii
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
312
(Hai jiwa yang tenang
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu
dengan hati puas lagi diridhai
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu
Maka masuklah ke dalam surga-Ku.120
)
Saat itu Madame Nahed, terbangun dari tidurnya dan bertanya sambil mengucek kedua matanya, “Kenapa kalian menangis?”
Kaca jendela mengembun. Musim dingin sedang menuju puncaknya. O, apakah
di surga sana ada musim dingin? Ataukah malah musim semi selamanya?
Ataukah musim-musim di sana tidak seperti musim yang ada di dunia?
Selesai, Rabu 8 Oktober 2003
Pukul 01: 03 dini hari.
Bangetayu Wetan, Semarang
120 QS. Al-Fajr: 27-30
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
313
Kitab-kitab yang mendampingi penulisan novel ini:
1. As-Sunnah wal Bid’ah, (Sunah dan Bid’ah), karya Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhwi, Maktabah Wahbah, Cairo, Cet. I, 1999.
2. At Tadzkirah (Peringatan), karya Imam Syamsuddin Al-Qurthubi, Dar Ibnu Khadun, Alexandria, Cet. I, 1997.
3. Fatawa Mu’ashirah (Fatwa-fatwa Kontemporer) Juz II & III, karya
Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Darul Qalam, Cairo. Cet. I, 2001.
4. Kitab Ar-Ruuh (Kitab Ruh) karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul Fajr, Cairo, Cet I, 1999.
5. Limadza Yakhafunal Islam? (Kenapa Mereka Takut Kepada Islam?), karya
Prof. Dr.Abdul Wadud Syalabi, Darul I’tisham, Cairo, 1999.
6. Makanatul Mar’ah Fil Islam (Posisi Wanita dalam Islam), karya Prof. Dr. Muhammad Biltaji, Darus Salam, Cairo, Cet.I, 2000.
7. Manahilul ‘Irfan fi Ulumil Quran (Sumber Pengetahuan Ilmu-ilmu
Al-Qur’an), karya Syaikh Prof. Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqani,
Muassasah At Tarikh Al Arabiy, Beirut-Lebanon, Cet. III, 1991.
8. Tuhfatul ‘Arus aw Az Zawaj Al Islamiy As Sa’id, (Hadiah Untuk
Pengantin atau Perkawinan Islami Yang Bahagia), karya Syaikh Mahmud
Mahdi Al-Istanbuli, Al Maktabah Al Islamiyyah, Amman, 1410 H.
9. Tuhfatul ‘Aris wal ‘Arus (Hadiah untuk Pengantin Lelaki dan Pengantin
Perempuan), karya Syaikh Muhammad Ali Qutb, Darul Anshar, Cairo, tanpa
tahun.
AYAT AYAT CINTA
Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
314